Saturday, December 13, 2008

SANG AMANAH (92)

(92)

21. Sebuah Kejutan

Pak Umar menerima tawaran pak Darmaji dan ibu Rita untuk ikut bersama-sama pulang ke Jakarta dari rumah si Abah di Cimande. Karena ada sedikit keingintahuan dalam hati pak Umar. Bagaimana agaknya hubungan mereka berdua ini sekarang? Tentu saja bukan karena usil, bukan karena ingin tahu masalah orang lain. Tapi sekedar berspekulasi, siapa tahu dalam perjalanan ke Jakarta nanti hal itu bisa terungkap tanpa ditanya.

Kendaraan itu, sebuah sedan kecil Toyota Starlet, adalah mobil ibu Rita. Pak Darmaji yang menyetir. Pak Umar duduk di depan, di samping pak Darmaji dan ibu Rita duduk sendirian di kursi belakang. Mereka bertiga terlibat obrolan-obrolan yang masih menyangkut peristiwa selama pendakian gunung Salak kemarin.

‘Pak Darmaji berada dimana waktu babi hutan itu tiba-tiba muncul?’ tanya pak Umar, mengawali pembicaraan waktu mereka bertiga berada dalam mobil masih di jalan keluar dari Cimande.

‘Berdekatan dengan pak Sofyan, pak. Pak Sofyan kepala barisan waktu kami menuju pulang dari puncak gunung. Ada dua orang di antara saya dan pak Sofyan. Wisman dan Darmanto. Begitu mendengar suara telapak kaki binatang berlari, pak Mursyid memberi aba-aba agar semua berhenti. Kami semua menoleh ke arah datangnya suara tapak binatang itu. Kedua ekor babi itu mengarah tepat ke Wisman dan Darmanto. Pak Sofyan berteriak menyuruh keduanya loncat. Wisman loncat ke arah saya dan Darmanto ke arah pak Sofyan. Pak Sofyan tidak sadar berada di pinggir tebing. Dia terpeleset dan berguling ke dalam lembah,’ Darmaji menjelaskan.

‘Ya. Itu benar-benar sebuah musibah. Yang tidak diduga-duga. Kita bersyukur pak Sofyan selamat dari bencana yang lebih besar,’ pak Umar menambahkan.

‘Habis kejadian itu kedua ekor babi tadi nggak kembali lagi, mas?’ tanya Rita yang duduk di belakang.

‘Nggak. Babi itu menyeruduk maju dan tidak kembali lagi. Sebenarnya binatang itu bukan menyerang kami waktu itu. Keduanya berlalu begitu saja,’ jawab Darmaji.

‘Sepanjang jalan, waktu pergi dan pulang nggak ketemu binatang lain, mas?’ tanya Rita lagi.

‘Ada. Kami bertemu kawanan monyet. Dekat tempat pak Sofyan jatuh itu ada banyak sekali pohon pisang. Dan banyak monyet di hutan pisang itu. Waktu berangkat pagi-pagi monyetnya tidak banyak. Dan mereka tidak berani dekat-dekat dengan kami. Waktu pulangnya nggak taunya banyak sekali. Dan mereka lebih berani. Ada yang hanya satu setengah meter dari saya. Kami sempat berhenti menonton monyet itu persis sebelum musibah itu terjadi.’

‘Hutan pisang? Maksudnya kebun pisang penduduk, mas?’

‘Kayaknya bukan milik penduduk deh. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan penduduk. Pak Mursyid menyebutnya hutan pisang.’

‘Berarti milik monyet-monyet itu barangkali he..he..he...’ Rita tertawa geli.

‘Kamipun bilang begitu,’ jawab Darmaji.

‘Mungkin dulu sekali milik orang kampung. Tentu ada yang menanamnya mula-mula dulu,’ pak Umar menambahkan.

‘Boleh jadi begitu pak. Gunung Salak itu memang agak misterius menurut pendapat saya. Di puncak yang kami kunjungi itu ada gundukan tanah ditutupi batu-batu menyerupai kuburan. Menurut pak Mursyid itu memang kuburan. Saya tidak habis pikir, siapa agaknya yang membawa jenazah untuk dikubur di puncak gunung itu. Kan tidak mungkin ada orang yang bermukim di sana karena tempat itu berbahaya dengan gas beracun yang setiap saat bisa keluar dari lubang kawahnya,’ pak Darmaji melanjutkan.

‘Apakah kemarin waktu rombongan berada di puncak tidak tercium bau gas yang keluar dari lubang kepundan itu?’

‘Ada pak. Bau belerang. Tapi tidak terlalu keras. Dan kami tidak lama-lama berada di dekat kawah itu. Mungkin hanya antara lima sampai sepuluh menit, lalu pindah mencari tempat yang lebih aman. Di sana kami makan dan beristirahat. Dan shalat berjamaah. Pak Sofyan yang jadi imam.’

‘Banyak yang shalat?’ tanya pak Umar.

‘Kira-kira dua pertiganya pak. Mungkin lebih. Pak Mursyid juga ikut shalat.’

‘Ya. Saya perhatikan pak Mursyid sejak beberapa minggu terakhir ini rajin ikut shalat berjamaah.’

‘Betul, pak. Termasuk saya barangkali, pak. He..he..he,’ Darmaji menambahkan.

‘Ya. Termasuk pak Darmaji. Saya bersyukur melihat mesjid sekolah semakin bertambah jamaahnya,’ ujar pak Umar.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di jalan raya arah ke Sukabumi. Mobil itu berbelok ke kanan, menuju Ciawi untuk terus Jakarta. Mobil sedan itu berjalan dengan mulus di jalan yang rata. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang karena hari ini adalah hari kerja.

‘Bagaimana kalau kita berhenti makan dulu, pak?’ tanya Rita.

‘Oh ya? Mau berhenti dimana?’ tanya pak Umar.

‘Di rumah makan Padang atau di rumah makan Sunda? Pak Umar mau pilih yang mana?’ tanya Rita pula.

‘Lho, kok saya. Saya dimana saja bisa. Bagaimana kalau kita serahkan pak Darmaji saja yang memilih? Dimana saja dia ingin menghentikan mobil ini,’ usul pak Umar.

‘Saya kenal rumah makan Sunda di depan sana, sebelum masuk Ciawi. Bagaimana kalau kita berhenti di sana?’ tanya Darmaji.

‘Ya sudah. Kita berhenti di sana saja,’ jawab pak Umar.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah makan yang disebutkan Darmaji. Sebuah rumah makan sederhana, tapi banyak pengunjungnya. Agaknya merupakan jaminan bahwa masakannya enak. Mereka bertiga memilih tempat di sebelah dalam. Pilihan Darmaji ternyata tidak salah. Ikan mas goreng, sayur asem, lalapan segar dan sambal terasinya ternyata enak luar biasa. Di samping karena sudah lapar, sudah lewat waktunya makan siang, mereka makan dengan lahap sekali.

Sesudah makan mereka masih beristirahat beberapa saat lagi. Ibu Rita setengah memaksa waktu tadi membayar makan itu. Katanya biar adil, jadi dia yang wanita yang membayar. Hari sudah lewat jam dua siang. Pak Umar yang melihat ada wartel di depan rumah makan itu, mampir ke sana untuk menelpon dulu ke rumah, memberi tahu keluarganya bahwa dia agak terlambat pulang. Sesudah itu barulah mereka berangkat. Mereka melanjutkan lagi obrolan santai sepanjang jalan. Tiba-tiba Darmaji mengingatkan Rita sesuatu.

‘Rit, kamu nggak mau cerita ke pak Umar?’

‘Iya sih…..,’ ujar Rita dengan suara tercekat.

‘Ada cerita apa rupanya?’ tanya pak Umar.

Hening beberapa saat. Pak Umar bertanya-tanya dalam hati. Apa mereka diam-diam sudah menikah? Apa mereka sekarang sudah menjadi suami istri? Kelihatannya hubungan mereka biasa-biasa saja. Tapi masak, sih? Atau justru itu yang ingin disampaikan ibu Rita?

‘Mmmh,… cerita itu, pak. Cerita bahwa saya sekarang seorang Muslimah,’ ujar Rita tenang.

Pak Umar sungguh kaget mendengarnya. Tanpa disengaja dia menoleh ke belakang ke arah Rita.

‘Oh ya? Bagaimana ceritanya? Maksud saya……. bagaimana dengan orang tua ibu Rita? Apakah mereka ……..,’ tanya pak Umar.

‘Sekarang sudah baik-baik, pak. Sesudah melalui proses diskusi yang cukup panjang. Terutama dengan ayah saya. Saya bersyukur bahwa saya berhasil meyakinkan ayah saya dengan apa yang saya lakukan.’

‘Jadi… sejak kapan ibu Rita menjadi seorang Muslimah?’ tanya pak Umar lagi.

‘Sudah sejak tiga bulan yang lalu, pak. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat di depan seorang imam mesjid dekat tempat tinggal mas Darmaji. Tanggal 20 April yang lalu.’

‘Sejak tiga bulan yang lalu?’ pak Umar terheran-heran.

‘Betul, pak. Saya ingat betul tanggalnya. Tanggal yang bersejarah dalam kehidupan saya. Rasanya lebih penting dari tanggal kelahiran saya.’

‘Bagaimana cara ibu Rita memberi tahu dan meyakinkan orang tua ibu Rita sebelum sampai ke saat itu?’

‘Dengan cara mengajak ayah saya berdiskusi. Saya lakukan dengan sabar dan hati-hati. Kalau suasana diskusinya berubah menjadi panas, segera saya hentikan dulu dengan setenang mungkin.’

‘Dengan cara diskusi bagaimana kalau boleh saya tahu?’ tanya pak Umar

‘Saya berterus terang mengatakan bahwa saya sudah membaca buku-buku tentang Islam dan saya tertarik dengan konsep ketuhanan di dalam Islam. Mula-mula ayah selalu menganggap rendah apa-apa yang saya kemukakan. Awal-awalnya ayah saya selalu emosi dan marah kalau saya ajak berdiskusi tentang agama Islam. Tapi saya tetap berusaha dengan sabar mengajak beliau bertukar fikiran tanpa emosi. Sedikit demi sedikit ayah mau mendengarkan. Waktu ayah saya mengatakan saya ingin masuk Islam hanya karena saya ingin bersuamikan orang Islam, saya bantah pernyataan itu. Bukan karena itu saya ingin masuk Islam.’

‘Maaf, bagaimana hubungan pak Darmaji dan ibu Rita sekarang? Maksud saya…..,’ pak Umar tidak meneruskan ucapannya.

‘Masih seperti dulu pak. Masih sebatas hubungan teman. Kalau bapak menerima istilahnya, masih sebatas berpacaran. Saya masih sedang belajar banyak sekali untuk menjadi seorang Muslimah yang baik.’

‘Tentu suatu saat anda berdua akan menikah. Kapan kira-kira?’ tanya pak Umar.

‘Sedang kami rencanakan, pak. Mungkin dalam beberapa bulan ini,’ jawab Darmaji.

‘Apakah sekarang ayah ibu Rita dapat menyetujui rencana anda berdua untuk menikah itu?’

‘Paling tidak, sudah tidak ada lagi ungkapan keberatan dari ayah saya. Bahkan sekarang kalau mas Darmaji datang ke rumah, beliau tidak lagi bermuka masam seperti sebelum-sebelumnya. Walau juga tidak akrab. Saya rasa itu sudah merupakan suatu kemajuan. Saya masih membatasi diri untuk membicarakan rencana pernikahan itu. Kami sepakat untuk menunggu beberapa waktu lagi. Mudah-mudahan saja nanti segalanya berjalan aman dan selamat.’

‘Saya ucapkan selamat kepada ibu Rita. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa menunjuki hati ibu Rita untuk memahami Islam dengan sebaik-baiknya. Dan memudahkan segala urusan anda berdua untuk mencapai cita-cita serta senantiasa dibimbing ke arah yang diridhai Nya. ’

‘Amiin…,’ ujar Darmaji dan Rita serempak.

‘Maaf, tadi ibu Rita menyebut tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Tanpa bermaksud untuk menguji, konsep yang mana yang begitu berkesan di hati ibu Rita?’

‘Konsep ke Maha Esaan Allah. Ke Maha Perkasaan Allah. Konsep ke Maha Penciptaan Allah. Bahwa Allah itu adalah Yang Maha Awal, tidak berhingga keawalanNya. Begitu juga Yang Maha Akhir dan tidak berhingga keakhiranNya. Mustahil dalam menguasai alam raya, dalam menciptakan alam raya yang maha luas ini, Tuhan akan perlu bekerja sama dengan tuhan-tuhan yang lain. Dari sana saya tidak percaya lagi dengan adanya tuhan lain selain Allah, sesuai dengan makna kalimat syahadat itu. Apa lagi tuhan lain yang ditambahkan hanya sejak beberapa ribu tahun yang lalu ke atas bumi yang usianya sudah berjuta-juta bahkan bermilyar tahun. Mustahil Tuhan Allah akan memerlukan pula sekutu untuk mengurus bumi yang kecil ini, di tengah-tengah alam jagad raya yang maha luas tadi itu. Atau apa Allah juga mempunyai sekutu di planet-planet lain yang entah dimana itu? Kalau iya, akhirnya tentu lebih banyak lagi bilangan tuhan. Sementara Islam mengajarkan hal yang lebih rasional. Allah Yang Maha Pencipta itu, yang menciptakan langit dan segala isinya, yang menciptakan bumi dengan segala isinya, adalah Allah Yang Maha Tunggal.’

‘Subhanallah. Saya kagum mendengar uraian ibu Rita. Apakah konsep itu ibu Rita dapatkan dari membaca saja atau termasuk juga dari perenungan pribadi?’

‘Mungkin keduanya, pak. Bahkan termasuk juga dari diskusi-diskusi yang saya lakukan dengan orang yang saya nilai dapat memberi pencerahan secara jujur. Begitu juga diskusi dengan pak Umar beberapa bulan yang lalu, saya rasa ikut menjadikan saya berfikir lebih jernih.’

‘Memang betul. Dengan banyak membaca, paling tidak tumbuh keingintahuan. Dan dengan rasa ingin tahu itu secara tidak disadari kita terlatih untuk membuat perbandingan. Selama kita tidak menggunakan prasangka-prasangka buruk sebelumnya, saya percaya, sangat mudah untuk memahami agama Islam.’

1 comment:

ivan aries said...

sudah saatnya kita memanfaatkan sumberdaya alam dan manusia Indonesia dengan membangun desa dari sektor agrobisnis, energi, dan pangan.

Imbas krisis ekonomi global semakin nampak nyata pengaruhnya pada perekonomian Indonesia. Dalam hitungan bulan, satu persatu perusahaan bakal bertumbangan.
Ratusan ribu pekerja terancam PHK. Mereka bakal kehilangan sumber pendapatan. Daftar pengangguran makin panjang. Tak hanya itu, pelacuran bakal tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Tindak kejahatan pun mengintai. , orang harus mengambil alternatif untuk mengamankan hidupnya, mengamankan ekonomi keluarga. Jika mereka berasal dari kelas menengah (midle), akan memilih strategi alternatif income sebagai sumber keuangan keluarga. Misalnya menjadi pedagang Kaki-5, buka warung dan menjadi sales.
Berbeda dengan keluarga kelas bawah. PHK dikhawatirkan bakal memunculkan kasus kejahatan. Semakin banyak masyarakat bawah terkena PHK, tingkat kerawanan kejahatan semakin meningkat tajam. Mereka yang tergolong masyarakat paling bawah di antaranya tukang cuci, tukang kebun, satpam dan pekerja kasar. “Memilih kejahatan karena mereka tidak memiliki alternatif apa pun sebagai sumber pendapatan. Mau usaha modal tidak ada. Inilah jalan yang paling gampang. Jika terjadi PHK besar-besaran, angka kejahatan meningkat tajam. Kota-kota besar akan diserbu sektor informal.
kalau pemerintah tidak siap, kemiskinan akibat kesulitan ekonomi akan menimbulkan kriminalitas dimana-mana. Karena itu pemerintah dianjurkan menjaga kestabilan pengamanan, terutama pada beberapa sektor industrial yang ada seperti sektor pariwisata, agro bisnis dan ekonomi informasi.
Diposkan oleh i