Tuesday, April 29, 2008

BALAHAN

‘BALAHAN’

Masih terngiang di telingaku peringatan itu, ketika dulu kami terlibat dalam sebuah diskusi.

‘Sudah tiga kali kau kunjungi negeri itu, kau belum pernah bertemu mereka? Balahan kita itu? Kenapa begitu?’

‘Kali pertama aku kesana, aku berjumpa dengan mamak. Beliau sangat senang ketika itu. Kami berbincang dalam bahasa kampung kita yang totok. Beliau memperkenalkan aku kepada anak-anak beliau yang langsung sangat akrab denganku. Ketika aku berkunjung lagi beberapa tahun kemudian, aku jumpai anak-anak mamak itu yang tetap sangat akrab. Aku jadi lupa bertanya tentang karib kita yang lain. Maklumlah kunjungan ke rumah anak-anak mamak itu hanya sebentar saja. Begitu juga halnya ketika aku datang lagi untuk ketiga kalinya.’

‘Hubungan yang sudah kau bina dengan anak pisang kita itu sangat baik. Tapi saudara mara kita sendiri tetap pula harus didatangi. Kalau kau berkunjung lagi kesana, kau harus mengunjungi mereka. Mereka itu balahan kita (saudara sepayung dalam persukuan yang tinggal terpisah di rantau lain).’

‘Aku tahu. Insya Allah aku akan berusaha mencari mereka kalau aku kesana lagi nanti,’ jawabku.

‘Kau kan tahu, nama-nama mereka itu ada dalam ranji. Dan nama-nama itu tidak lengkap. Kau harus melengkapinya.’

‘Meskipun mereka tidak tertarik lagi dengan sistim kekerabatan kita?’

‘Belum tentu. Paling tidak kau dapat menunjukkan kepada mereka bahwa antara kita ada sauh bersauh. Kait berkait dalam kekeluargaan.’


*****

Dengan izin Allah kesempatan berkunjung itu datang pula kembali. Kali ini aku berniat benar untuk mencari balahan kami itu. Aku membawa selembar besar ranji untuk kutunjukkan kepada mereka. Seandainya saja mereka tertarik untuk melihatnya.

Aku mendapatkan nomor hp saudara sepupu itu. Begitu sampai di kotanya, aku segera menelpon sambil memperkenalkan diriku, yang adalah sepupunya menurut cara di kampung. Sambutannya biasa-biasa saja. Tidak terlalu meriah dan tidak pula dingin. Aku menanyakan keadaan mereka, keadaan etek yang adalah ibunya dan etek satunya lagi, adik ibunya. Kami berbicara di telepon sedikit berbasa basi. Aku utarakan keinginanku untuk bertemu dengannya, sekaligus dengan ibu dan eteknya. Dia menyambut keinginanku itu kembali biasa-biasa saja.

‘Telepon aku kapan kau akan datang, nanti aku beritahu alamat kami. Kau bisa mendapatkannya dengan mudah dengan taxi,’ katanya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Sementara itu tolong kau sampaikan salamku kepada ibumu dan kepada etek,’ tambahku.

Besoknya aku sedang di kamar mandi ketika hp ku berdering. Istriku yang mengangkat. Di sebelah sana terdengar suara yang mengatakan ingin berbicara denganku, orang yang menelponnya tadi malam, katanya kepada istriku. Istriku menyerahkan hp itu kepadaku dan aku menjawab sapaannya.

‘Aku Jamal. Aku minta maaf. Aku telah memberi tahu etek tentang pembicaraan tadi malam dan dia meminta bertemu dengan kau hari ini. Bisa?’ tanyanya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Berikan alamatmu, aku akan mencarinya dengan taksi nanti sesudah shalat zhuhur.’

‘Maaf. Aku sedang sakit. Aku tidak bisa keluar. Akan kukirim sopir. Dimana kau bisa menunggunya?’

‘Tidak usah repot-repot. Berikan saja alamatmu,’ jawabku.

‘Kau tunggu di depan rumah sakit Djiyad. Di dekat pintu Raja Abdul Aziz. Aku menyuruh sopir mencarimu kesana. OK?’

‘Baiklah. Dengan satu lagi syarat. Kau harus mengijinkan aku untuk kembali ke mesjid untuk shalat asar.’

‘Insya Allah. Kau tunggu ya...’

Kami menunggu di tempat yang disepakati itu sesudah selesai shalat zuhur. Agak lama. Mungkin karena jalanan macet. Hp ku berdering. Suara perempuan. Kali ini fasih berbahasa Indonesia. Dia menyuruhku pindah ke dekat hotel Balad ? karena jalan sangat macet, katanya. Mana aku tahu lokasi hotel Balad. Aku tidak tahu dimana tempatnya, aku akan tetap menunggu disini, jawabku.

Cukup lama kami berbicara di telepon untuk mengetahui posisi kami. Sampai akhirnya dia sudah berada sekitar tiga meter dariku. Istriku memberi tahu, bahwa aku sedang berbicara dengan wanita itu, katanya sambil menunjuk kepada seorang wanita berabaya hitam tanpa cadar, mungkin agar dapat kukenali. Aku memperhatikan wanita itu yang masih saja berbicara kepadaku melalui hp nya.

‘Kau berbicara kepadaku ?’ tanyaku mendekatinya sambil tersenyum.

‘Hah, akhirnya. Muhammad Dafiq?’ tanyanya sambil menarik nafas lega.

‘Ya,’ jawabku pendek.

‘Mari kita ke sana. Mobil tidak dapat masuk kesini. Ditahan polisi di sebelah sana,’ katanya.

‘Ini istriku,’ aku memperkenalkan istriku kepadanya.

Mereka bersalaman.

Dimobil ada wanita lain lagi yang ternyata adalah kakaknya yang sayangnya tidak bisa berbahasa Indonesia. Sopir mereka orang Sunda, tapi baru bekerja dan tidak terlalu tahu jalan.

Kami menaiki kendaraan itu menuju ke rumahnya. Entah dibagian mana kota.


(besok disambung insya Allah)



No comments: