Thursday, December 18, 2008

YANG TERHORMAT

YANG TERHORMAT

Dia dapat julukan seperti itu. Yang Terhormat. Dia anggota Dewan Yang Terhormat. Di Malaysia predikat dan panggilan itu bahkan resmi dan harus disebutkan. Orang harus menyandangkan predikat itu di depan namanya. Yang Berhormat Haji Masri. Itu kalau di Malaysia. Dengan sebutan atau panggilan lengkap seperti itu, orang banyak akan langsung tahu bahwa dia adalah seorang wakil rakyat.

Masri dulu teman sekantorku. Karena dia jauh lebih muda dan ditempatkan di bagianku, dia otomatis jadi anak buahku. Hubungan pergaulan kami sangat baik. Kami sama-sama aktif di pengajian mingguan yang dilakukan secara teratur di kalangan karyawan. Masri lebih berpengatahuan dariku dalam masalah agama. Dia hafal dan faham beberapa hadits dengan pemahaman yang baik. Teman-teman sekantor menjulukinya ustad. Sepertinya julukan itu pas-pas saja untuknya.

Masri selalu kritis di setiap pengajian di kantor. Kekritisan yang kadang-kadang agak mirip-mirip pamer. Dia senang berdebat dengan ustad pemberi ceramah. Sekali lagi aku harus mengakui bahwa pemahaman agamanya cukup luas. Kebalikannya, prestasi kerjanya biasa-biasa saja. Tidak terlalu menonjol dan tidak pula terlalu memerlukan tegoran. Meski beberapa kali perlu juga aku ingatkan.

Di awal masa reformasi, Masri ikut-ikutan aktif di sebuah partai. Partai yang bernafaskan Islam tentu saja. Kegiatan partai itu tidak mengganggu sedikitpun pada pekerjaan kantor. Aku terheran-heran waktu di akhir tahun 2003 dia mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaan. Katanya dia akan lebih berkonsentrasi di kegiatan partai. Dan Masri ternyata tidak main-main. Dia terpilih jadi anggota Dewan. Menjadi anggota Dewan Yang Terhormat itu. Sejak itu Masripun menghilang dari pandanganku.

Tiba-tiba baru-baru ini dia muncul di rumahku. Penampilannya sangat berbeda dengan Masri yang kukenal dulu. Dulu, Masri seperti diriku, adalah orang yang biasa-biasa saja.

Masri yang sekarang lebih pantas dikategorikan sebagai seorang selebriti. Baunya wangi. Entah parfum merek apa yang dipakainya. Padahal dulu dia pernah bertanya kepadaku bagaimana cara menghilangkan bau badan dan aku menganjurkan agar menggunakan bedak penyerap bau merek Hibka. Efektif menghilangkan bau badan dan tidak wangi, karena wangi-wangian itu kurang pas untuk laki-laki. Begitu dulu pendapatku yang disetujui pula oleh Masri.

Baju yang dipakainya sangat pas dan elok potongan dan jahitannya. Pokoknya Masri sangat parlente. Bahkan istriku yang sok tahu menyimpulkan bahwa Masri melakukan perawatan khusus untuk kuku dan kulitnya. Aku bertambah terheran-heran.

Masri datang dengan sebuah mobil yang mereknya cukup wah. Dan disopiri. Hebat tenan.

Aku mempersilahkannya masuk ke rumah. Aku berusaha bersikap biasa-biasa saja kepadanya.

‘Cukup lama kita tak jumpa, bang. Abang masih tetap bekerja di kantor itu kan?’ tanyanya.

‘Ya. Sudah lebih lima tahun. Saya masih bekerja di tempat dulu dan masih seperti dulu,’ jawabku.

‘Kawan-kawan kita dulu masih lengkap disana, bang ? Bagaimana dengan pengajian mingguan? Masih tetap jalan?’ dia mencecarku dengan pertanyanan-pertanyaan.

‘Masih... Masih seperti dulu. Ada satu dua orang karyawan yang berganti. Yang berhenti atau pensiun dan ada pula karyawan yang baru masuk. Pengajian, alhamdulillah masih jalan. Bahkan bertambah jamaahnya,’ jawabku.

‘Syukurlah. Dan abang sehat-sehat saja, kan ? Tetap tidak berminat untuk ikut aktif di partai?’ tanyanya lagi.

Dulu memang pernah dia mengajakku untuk ikut aktif di partainya. Dia selalu menggejobohkanku bahwa aku sangat potential untuk aktif di partai. Dikatakannya bahwa aku teguh memegang prinsip, pandai berdiplomasi, selalu punya ide-ide yang merakyat. Begitu katanya, tentang aku.

Tapi aku tidak pernah tertarik sedikitpun.

‘Alhamdulillah, saya ya begini-begini saja. Cukup sehatlah meski harus diakui dengan bertambahnya umur sudah mulai ada yang berkurang. Rambut sudah tambah banyak yang putih. Partai? Saya masih tetap sama. Biarlah jadi orang luar partai saja..’ jawabku.

‘Sayang sebenarnya bang. Orang seperti abang ini tidak mau menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Banyak sekali yang dapat kita perbuat di partai. Untuk kemaslahatan umat. Apa lagi kalau abang duduk di Dewan. Akan lebih banyak lagi manfaatnya,’ tambahnya lagi.

‘Mana pantas orang seperti saya ikut-ikutan duduk di Dewan,’ aku sengaja agak sedikit menyindir.

Baru saja mataku menangkap bahwa Masri ternyata memakai kalung emas. Jadi tidak hanya dua cincin emas besar berbatu permata berwarna hijau yang melekat di jarinya saja perhiasannya.

‘Ah, abang tidak pernah berubah. Selalu saja merendah. Padahal sangat banyak yang bisa kita sumbangkan di Dewan itu bang. Banyak sekali pemikiran-pemikiran yang perlu kita tuangkan disana. Untuk kepentingan bangsa dan negara,’ dia semakin bersemangat.

Aku mulai agak sedikit kurang enak melihatnya.

‘Kamu benar. Saya memang masih begini-begini saja. Tidak berubah. Dan mudah-mudahan tidak perlu berubah. Kecuali perubahan yang tidak bisa dihindari seperti bertambah tua, bertambah lemah dan akhirnya akan mati,’ jawabku sekenanya.

‘Ya, tidak boleh begitu dong, bang. Kita ini diingatkan Rasulullah SAW agar memiliki hari ini yang lebih baik dari hari kemarin. Orang yang hari ininya sama seperti kemarin, rugi namanya. Orang yang hari ininya lebih buruk dari hari kemarin bangkrut namanya,’ katanya mulai berkhutbah.

Aku mematut-matutnya sambil sedikit mengangguk-angguk. Hebat sekali si Masri ini kataku dalam hati.

‘Jadi karena itu penampilanmu sekarang sangat berubah?’ tanyaku.

‘Maksud abang?’ tanyanya tersenyum.

‘Sekarang kau terlihat sangat makmur. Sangat parlente. Baumu saja wangi,’ aku berkata hati-hati.

‘Kalau inikan hanya kulit-kulitnya saja bang. Ini kan untuk menyeimbangkan dengan lingkungan. Tentu kurang elok kalau kita sendiri saja yang berbeda. Ibaratnya, saya sekedar menyesuaikan rentak dengan irama gendanglah..he..he..he..’ jawabnya sambil tertawa.

‘Jadi maksudmu, semua anggota Dewan Yang Terhormat itu harus berpenampilan licin mengkilat sepertimu ini?’

‘Ya, iyalah bang. Bagaimana mungkin kita akan berkonsentrasi kalau di dalam ruangan sidang ada yang memelihara bau badan. Bisa buyar segala-galanya,’ jawabnya.

‘Tapi maaf. Bagaimana dengan hadits yang melarang laki-laki menggunakan perhiasan emas yang dulu sekali pernah kau jelaskan itu?’ aku jadi tidak sabar.

‘Begini, bang. Para anggota Dewan itu mewakili rakyat. Mewakili penampilan rakyat yang diwakilinya. Dan mereka harus terlihat berwibawa. Setiap anggota Dewan itu mesti memelihara wibawanya kalau tidak ingin dijatuhkan dan dilecehkan oleh anggota yang lain. Ada banyak kepentingan di Dewan itu bang. Sebanyak kepentingan rakyat yang kita wakili. Ada kalanya kepentingan itu saling berbenturan. Kami saling berdebat. Saling jatuh menjatuhkan pendapat. Disini perlunya wibawa, bang. Disini perlunya menjaga penampilan. Jadi saya, harus mengikuti irama gendang. Agar rentak tarian saya juga diakui. Itulah yang abang lihat pada diri saya saat ini,’ Masri berceloteh panjang lebar.

‘Jadi? Dengan penampilanmu seperti sekarang, hadits tadi tidak berlaku lagi? Dan apakah dengan demikian kamu selalu berhasil memelihara wibawamu di kalangan anggota yang lain?’ tanyaku pula.

‘Yang penting kan hatinya bang. Penampilan itu kan hanya dunia saja. Perhiasan dunia semata,’ dia menambahkan mulai sedikit ngawur.

‘Ooo begitu... Baiklah. Jadi... kehidupan setiap anggota Dewan Yang Terhormat itu memang sangat makmur rupanya? Tapi? Aneh juga ya? Bagaimana caranya mereka bisa menjadi kaya raya sesudah menjadi anggota Dewan?’

‘Yaaa. Bagaimana bang ya? Terus terang kita memang banyak mendapat pemberian. Mendapat hadiah. Ada orang, entah perseorangan entah pemilik suatu usaha, yang merasa terbantu kemajuan usahanya oleh kita, lalu mereka memberi hadiah. Memberi sesuatu dengan ikhlas. Bagaimana tidak akan kita terima? Tentulah kita terima. Itulah yang abang lihat seolah-olah sebuah kemakmuran. Yang padahal tidak seberapa artinya.’

‘Saya jadi ingat cerita pengumpul zakat di zaman Rasulullah yang dulu pernah kau jelaskan. Bahwa pemberian orang di luar zakat yang diterima si pengumpul itu, oleh Rasulullah dinyatakan bukan milik pribadinya. Karena orang lain tidak akan memberinya hadiah seandainya dia bukan pengumpul zakat. Kamu masih ingat kisah itu?’ tanyaku.

‘Iyalah bang. Ceritanya tidak sama. Abang harus menyadari bahwa penampilan saya ini adalah penampilan rakyat yang saya wakili. Jadi bukan penampilan saya pribadi saja.’

Wah! Semakin kacau, kataku dalam hati.

‘Tapi, maaf. Apakah ada sesuatu yang dapat saya bantu? Apakah kedatanganmu ini ada maksudnya yang agak khusus barangkali?’ aku mengalihkan pembicaraan.

‘Abang masih aktif jadi pengurus mesjid?’ tanyanya.

‘Masih. Kenapa rupanya?’

‘Kalau begitu saya ingin minta tolong bang. Tolonglah diundang saya berceramah di mesjid dekat rumah abang itu,’ jawabnya.

‘Maksudnya?’ tanyaku pura-pura bodoh.

‘Saya ingin bersilaturrahmi dengan masyarakatlah, bang. Dalam rangka persiapan tahun depan,’ tambahnya.

‘Oo begitu. Nantilah, akan saya coba menanyakan ke pengurus yang lain,’ jawabku.

‘Terima kasih kalau begitu bang. Ngomong-ngomong kalau boleh saya tahu, masyarakat di sekitar komplek abang apa afiliasi politik mereka?’

‘Disini sejauh yang saya tahu masyarakatnya sangat alergi dengan politik. Sangat jijik dengan tingkah laku kebanyakan wakil rakyat seperti yang disiarkan televisi,’ jawabku terus terang.

‘Mudah-mudahan pandangan itu bisa berubah nantinya,’ Masri berharap.

‘Mudah-mudahan,’ tambahku pendek.

Masri segera berpamitan.

Agak kasihan aku melihat anggota Dewan Yang Terhormat yang satu ini. Sepertinya dunia telah menjadikan dia tidak seberapa terhormat.


*****

2 comments:

elfitra baikoeni said...

Meski hanya membacanya (tak ketemu dengan orangnya) saya ikut-ikutan emosi membayangkan perangai anggota dewan terhormat kita ini Engku....Sepertinya gaya hidup dia, menggambarkan secara umum gaya hidup anggota legislatif kita. Tak banyak yg bisa diharapkan dari mereka untuk berjuang demi kepentingan rakyat. Dalam konteks inilah kita paham kenapa semakin banyaknya saja orang bersikap golput. Tq Engku...

M.D. Saib Lembang Alam said...

Terima kasih telah hadir dan ikut membaca. Ya begitulah, kaliber wakil rakyat kita, paling tidak yang sering terekspos di media massa. Bagaimanapun cerita ini hanya karangan saja....