Thursday, February 21, 2008

KETUPAT LEBARAN (1421)

KETUPAT LEBARAN (1421)

Hari baru jam sembilan lebih seperempat malam. Aku baru kembali dari mesjid. Takbir masih terdengar bergemuruh. Allahu Akbar – Allahu Akbar – Allahu Akbar. Laa ilaha illa ‘Llahu waLlahu Akbar. Allahu Akbar walilLahil hamd. Selesai sudah Ramadhan tahun ini, setelah tigapuluh hari penuh berpuasa. Bahana takbir bersahut-sahutan di udara malam nan syahdu.

Di rumah kudapati anak-anak dan ibu mereka sedang bergotong royong di meja makan menyiapkan hidangan hari raya besok. Mereka bekerja sambil berseloroh, mengobrol macam-macam dari barat ke timur, mengulangi kenangan lama saat mereka masih kanak-kanak, diselingi tawa terkekeh-kekeh.

“Malam takbiran seperti ini selalu mengingatkanku pada Balikpapan,” kata si Sulung. “Hari raya disana selalu lebih ramai. Sehabis salat Ied tamu kita, terutama teman-teman sekantor ayah segera berdatangan.”

“Iya, aku ingat kita bergantian membakar sate dan rumah kita seperti warung sate Padang,” si Tengah menambahkan.

“Malam takbiran begini biasanya kita menusuk sate beramai-ramai, sementara si mBok sibuk merebus ketupat. Kenapa buk, disini kita tidak membuat sate Padang?” si Bungsu menimpali.

“Di sini tetangga-tetangga datang berhari raya hanya sampai di pintu rumah untuk bersalaman, setelah itu pergi, beda dengan di Balikpapan yang lebih akrab. Kalau disini masing-masing orang ingin segera berkumpul dengan keluarga besarnya.” jawab ibu mereka.

“Lha, apa hubungannya dengan tidak bikin sate Padang?” si Tengah yang kritis menyela.

“Hubungannya, yang makan hanya kita-kita saja, karena tamu kita jarang yang mau ikut duduk untuk makan bersama karena disini begitu tradisinya. Kalau cuma untuk kita, ya kita pergi saja ke warung sate Padang” si Sulung membuat interpretasi.

“Ah, bukan juga begitu, kalau kalian mau nanti kapan-kapan kita bikin” jawab ibu. “Sekarang biarlah kita siapkan ketupat dan opor ayam ini saja.”

“Ngomong-ngomong tentang Balikpapan aku ingat waktu pertama kali ikut salat taraweh, aku maunya salat dekat ayah, dan aku ditertawakan karena anak cewek harusnya salat di belakang bersama ibu-ibu, he he he.” kenang si Sulung yang asik mengupas bawang.

“Kalau aku yang nggak bisa lupa waktu aku menumpahkan kolak pisang di sajadah tante Ani waktu salat taraweh di rumahnya. Tante Ani yang latah itu tereak-tereak mengatakan aku ngompol sehingga semua orang melotot ke arahku.” kata si Tengah.

“Ya, dan kamu langsung nangis waktu itu, he he he,” si Sulung menambahkan.

Suara takbir bersahut-sahutan masih terus terdengar dari pengeras suara di mesjid-mesjid di sekitar kompleks perumahan ini. Allahu Akbar waliLlahil hamd. Biasanya cerita nostalgia itu berlanjut kemana-mana. Masing-masing mengungkit memori kanak-kanak mereka tentang kejadian sekitar sepuluh tahun atau lebih yang lalu. Kadang-kadang aku ikut membumbui obrolan mereka. Kadang-kadang aku ikut mengingatkan kejadian yang mereka alami. Kadang-kadang aku juga menceritakan kenanganku waktu kecil selama puasa Ramadhan. Ceritaku tentu saja lain dengan pengalaman anak-anak yang lebih berwarna-warni, karena waktu aku kecil kami menjalani bulan puasa ditengah kesederhanaan suasana kampung.

Allahu Akbar kabiiran, wa subhanaLlahi bukratan wa ashiila. Entah kenapa, tiba-tiba saja air mataku berlinang kali ini dan aku jadi terisak-isak. Tentu saja semua jadi gempar.

“Kenapa ayah? Kok ayah jadi cengeng begini?” tanya si Bungsu hati-hati.

Yang lain semua diam membisu. Mereka bahkan menghentikan pekerjaan mereka, menatap padaku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku mencoba meredam emosi. Allahu Akbar walilLahil hamd.

“Berapa tahun sejak kamu ikut salat taraweh yang pertama kali yang kamu sebutkan tadi?” tanyaku pada si Sulung.

Dia berfikir sebentar.

“Enam belas tahun ayah. Waktu itu aku masih di TK nol kecil” jawabnya.

“Betul. Dan kamu masih ingat kejadian-kejadian lain waktu itu?” tanyaku pula.

“Ingat, banyak sekali kejadian yang aku masih hafal luar kepala. Waktu aku pertama kali ikut bus jemputan ke sekolah, waktu itu aku sangat senang karena merasa sudah besar, tidak usah diantar ibu ke sekolah. Waktu aku pergi ke ulang tahun temanku Santi dan aku naksir sekali kado yang aku bawakan untuknya. Waktu kita ketinggalan pesawat sekembali dari liburan di kampung. Semua masih segar dalam ingatanku.” tambahnya pula.

“Ayahpun masih ingat waktu pertama kali ayah puasa saat ayah berumur enam tahun. Hari pertama puasa tiap sebentar ayah menanyakan waktu pada nenekmu. Lama betul rasanya menunggu beduk magrib dipukul orang di mesjid. Hari-hari berikutnya kami sudah lebih tahan. Ayah dan teman-teman ayah bermain sepanjang hari. Main bola, main layang-layang, bermain-main di sawah, naik di punggung kerbau. Sore-sore biasanya kami mengendap-endap mandi di kolam mesjid, takut ketahuan tuanku mesjid yang selalu marah karena kami mandi memperkeruh air kolam tempat wudu itu,” aku bercerita panjang.

“Cerita ini sudah pernah ayah ceritakan. Suatu kali tuanku mesjid merendam baju ayah ke dalam kolam sehingga ayah terpaksa pulang tanpa baju, iya kan? Maaf ayah, kenang-kenangan itukah yang menjadikan ayah sedih sampai menangis?” tanya si Bungsu lagi.

“Benar” jawabku, “ayah terharu mengingat semua itu.”

“Aneh benar, bagian mananyakah yang mengharukan?” tanya si Tengah.

“Baik, coba kalian dengar. Kenangan kakakmu berumur enam belas tahun. Kenangan ayah berumur lebih lama lagi, empat puluh tiga tahun. Semuanya juga masih segar dalam ingatan ayah, ketika Ramadhan demi Ramadhan ayah lalui dalam kehidupan ayah. Padahal waktu 43 tahun adalah jangka waktu yang lama dalam hidup seorang manusia. Kenapa ayah sedih? Pernahkah kita menanyakan kepada diri kita berapa kali Ramadhan lagi yang akan kita lalui? Hanya Allah yang tahu. Yang pasti setiap kali kita menyelesaikan satu bulan Ramadhan jatah kita makin berkurang. Berbeda dengan ketupat yang setiap tahun kita santap di hari raya, yang menjadikan kita dapat mengukir keindahan kenangan idul Fitri itu, tubuh kita selalu berubah sesuai dengan kodrat manusiawi, dan Allah menjadikan perubahan itu sebagai peringatan buat kita. “Demi masa” firman Allah. Kamu tidak mungkin menyangkal bahwa kenangan kamu tadi adalah kenangan dari masa kanak-kanakmu. Waktu itu kamu seorang gadis cilik yang ceria. Dan sekarang kamu adalah seorang dewasa. Sementara ayah telah menyaksikan pula dalam perjalanan hidup ayah macam-macam hal, mulai dari sebelum kalian lahir, masa-masa kalian masih bayi, masa kalian tumbuh sampai sekarang. Suatu saat ini akan berakhir. Jatah kita menjalani Ramadhan akan habis, dan mungkin itu dalam waktu yang tidak akan terlalu lama. Buat ayah mungkin tidak akan sampai 43 tahun lagi, wallahu a’lam. Pernahkah kita memikirkan itu? Pernahkah kita menanyakan seberapa jauh makna Ramadhan yang baru saja kita lalui? Pernahkah kita membayangkan untuk kedepan arti ibadah yang kita lakukan? Pernahkah kita menanyakan ‘Akankah Allah berkenan dengan ibadah puasa kita?’ Pernahkah kita menanya diri kita bahwa yang kita lakukan bukan hanya sekedar mengakhiri latihan mengendalikan diri sebulan penuh lalu setelah itu kita kembali tidak terkendali? Seandainya demikian bukankah kita akan termasuk kelompok yang di cap Allah ‘Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi’ karena boleh jadi puasa kita kosong belaka artinya. Karena puasa itu tidak membuahkan ketaqwaan yang dapat kita pelihara sampai lama sesudah berakhirnya Ramadhan. Betapa ayah penuh harap kiranya kita termasuk orang yang berhasil dengan puasa kita. Yang tidak sekedar untuk kita rayakan dengan ketupat lebaran. Betapa ayah berharap kita akan termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah, ‘kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh’. Dan ayah ingatkan kalian untuk lebih memahami artinya puasa yang baru saja selesai kita laksanakan. Ibadah yang kita ikrarkan semata-mata hanya karena Allah. Mudah-mudahan kalian mengerti bahwa ayah menangis bukan karena cengeng.” Semua diam membisu. Gema takbir terus berkumandang. Allahu Akbar – Allahu Akbar – Allahu Akbar, walilLahil hamd.
******




******


Jatibening, 1 Syawal 1421H

No comments: