Saturday, November 29, 2008

SANG AMANAH (77)

(77)

‘Silahkan pak Muslih!’ jawab pak Umar.

‘Saya ulangi pertanyaan saya dalam rapat dengan pengurus OSIS kemarin. Apakah pak Umar sudah memikirkan akibat yang mungkin timbul? Seandainya anak-anak itu kembali kambuh lagi di sini. Catatan sejarah mereka menunjukkan, bahwa selama masa skorsing saja ada yang berani datang kembali ke sekolah dan mengulangi perbuatan yang sama. Apakah kita sudah siap untuk menerima kenyataan hal seperti itu berulang kembali. Dan kalau terjadi, apakah nama dan reputasi sekolah ini nanti tidak hancur? Sekarang kalau kita amati. Orang tua mereka masing-masing saja sudah bisa menghadapi kenyataan ini dengan tidak protes. Bahkan mereka berusaha mencari jalan keluar masing-masing. Kenapa kita mesti membantu orang-orang yang sesungguhnya saat ini tidak meminta pertolongan kita. Apakah kita tidak akan dinilai orang lain sebagai orang yang ‘kurang pekerjaan’ nantinya? Itu saja tambahan dari saya pak.’

‘Pak Muslih. Saya menyadari sepenuhnya ada kemungkinan itu. Itulah sebabnya kita harus lebih siap. Orang tua mereka tidak meminta bantuan kita. Betul. Mereka sudah menerima anak mereka menjalani hukuman tempohari, karena kenyataannya memang anak mereka waktu itu bermasalah. Lalu mereka berusaha memperbaiki anak mereka itu. Lalu sekarang setelah kita pantau dan ternyata anak-anak itu, yang dulu adalah murid-murid kita, ibarat sakit, sekarang sudah sembuh. Meski ada memang resiko akan kumat atau kambuh lagi. Tapi saya yakin kita bisa membantu mencegahnya. Kita berikan bimbingan serta perhatian khusus kepada anak-anak itu. Insya Allah saya sanggup melakukan itu, membimbing mereka dengan perhatian khusus. Kenapa kita mesti khawatir? Menurut pak Muslih, ini sudah tidak tanggung jawab kita lagi karena toh anak-anak itu dulu sudah resmi dikeluarkan. Mungkin memang begitu halnya. Tapi di sini ada sebuah peluang. Ada sebuah kesempatan bagi anak-anak itu untuk melanjutkan pendidikan mereka dan saya rasa kita sangat dianjurkan untuk menolong mereka. Sangat dianjurkan oleh kode etik kita sebagai pendidik, untuk membantu pendidikan siapa saja yang memang seharusnya berhak untuk mendapatkan pendidikan itu.’

Ruangan itu kembali sunyi. Pak Muslih tidak mampu lagi bersuara. Dalam hati kecilnya dia juga menyadari bahwa tidak ada salahnya mencoba membantu anak-anak yang dulu dikeluarkan itu. Bahkan sangat mulia jika anak-anak yang tadinya sudah menjalani masa hukuman lalu dibantu kembali mendapatkan pendidikan mereka.

Guru-guru lain saling membisu. Sebagian berpandangan satu dengan yang lain. Tapi tidak ada yang mampu mengeluarkan kata-kata.

Setelah beberapa saat berlalu, ibu Purwati memecah keheningan.

‘Maaf pak. Ada hal lain yang barangkali juga perlu jadi bahan pertimbangan. Ada lagi kasus lain di sekolah ini selain narkoba di waktu yang lalu. Pernah ada anak-anak yang dulu dikeluarkan karena ….maaf…hamil. Mereka dikeluarkan. Bagaimana dengan kasus seperti ini menurut pak Umar? Apakah pak Umar berpendapat bahwa mereka juga bisa diterima kembali bersekolah seandainya mereka menginginkan?’ tanya ibu Purwati.

‘Begini, bu. Kalau pendapat saya, jika mereka, mudah-mudahan tidak banyak contoh seperti yang ibu sebutkan, memang sudah insaf, sudah menyadari kekeliruan mereka dan sanggup tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama, maka saya pribadi berpendapat anak yang seperti itu tetap diberi kesempatan bersekolah kembali. Dan kita bimbing dengan hati-hati agar mereka jangan mengulangi lagi perbuatan tercela yang pernah mereka lakukan. Apakah mereka masih sanggup untuk bersekolah kembali sesudah punya bayi? Tentu lain lagi masalahnya. Tapi kesempatan untuk berubah menjadi baik, bagi mereka yang sudah insaf, menurut pendapat saya sangat wajar dan bahkan perlu kita dukung dan kita bantu semampu kita,’ jawab pak Umar mantap.

‘Maaf, pak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat sependapat dengan pak Umar,’ pak Tisna tiba-tiba ikut berbicara.

‘Terima kasih pak Tisna. Mudah-mudahan pak Tisna sependapat ini bukan karena sudah lelah mengikuti diskusi ini,’ jawab pak Umar sambil tersenyum.

‘Insya Allah bukan karena itu pak. Saya sejujurnya memahami apa yang disampaikan pak Umar dan saya ikut mendukung gagasan untuk menerima kembali seandainya mantan murid-murid kita itu ingin kembali belajar di sini dengan persyaratan seperti yang pak Umar sampaikan tadi,’ ujar pak Tisna menambahkan.

‘Boleh saya mengajukan usul pak?’ pak Mursyid mengangkat tangan.

‘Silahkan, pak Mursyid!’ jawab pak Umar.

‘Ada dua hal yang ingin saya usulkan. Pertama kita ‘voting’ saja. Sekedar ingin tahu siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju dengan gagasan pak Umar. Maksudnya hanya sekedar mengetahui. Karena siapa tahu, bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain, yang pada diam-diam ini belum tentu semuanya satu pendapat. Baik yang setuju maupun yang tidak setuju. Usul yang kedua, apakah tidak sebaiknya kita jajaki juga apakah benar anak-anak tadi itu, minimum yang tiga orang, Edwin, Wahyu dan satunya Danta kalau saya tidak salah, memang masih berminat untuk bersekolah kembali di sini. Siapa tahu mereka justru sudah malu untuk kembali lagi, karena teman-temannya dulu sudah kelas tiga. Mereka tentu tidak mungkin kita terima di kelas tiga. Itu saja usul saya pak. Terima kasih,’ pak Mursyid mengakhiri kata-katanya.

Guru-guru yang lain cukup kaget mendengar usul pak Mursyid. Tapi tidak ada yang menolak. Sepertinya tidak ada yang keberatan diadakan ‘voting’. Apa lagi sekedar untuk mengetahui apakah sefaham atau tidak dengan gagasan pak Umar tadi.

Pak Umar minta ketegasan guru-guru yang hadir.

‘Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu? Ada yang keberatan dengan usul pak Mursyid?’ tanya pak Umar.

Tidak ada jawaban.

‘Atau semua setuju dengan usul pak Mursyid?’ tanya pak Umar kembali.

Tidak ada jawaban, tapi guru-guru itu pada tersenyum.

‘Atau begini saja. Siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju kita adakan ‘voting’? Yang setuju mohon mengangkat tangan.’

Guru-guru itu pada mengangkat tangan. Tidak serentak. Tapi akhirnya hampir semua mengangkat tangan.

‘Sekarang, siapa yang tidak setuju kita adakan ‘voting’ mohon mengangkat tangan,’ ujar pak Umar.

Tidak ada yang mengangkat tangan.

‘Pak Muslih bagaimana?’ tanya pak Umar lagi.

‘Saya abstain,’ jawab pak Muslih, disambut ketawa guru-guru yang lain.

‘Pak Wayan juga abstain?’ tanya pak Umar lagi.

‘Ya sudah, saya abstain saja pak. Pertanyaan mula-mula tadi saya pikir siapa yang tidak setuju. Makanya saya tidak mengangkat tangan.’

Guru-guru itu kembali gemuruh ketawa.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Mayoritas kita setuju diadakan ‘voting’. Maka kita akan adakan ‘voting’ dengan cara yang sama. Pertama siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju. Saya ulangi, yang setuju, jika mantan murid bermasalah yang sudah dinyatakan insaf, diterima kembali bersekolah di SMU 368. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju diminta mengangkat tangan. Dan kali ini akan kita hitung. Silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu,’ kata pak Umar memberi komando.

Kali ini guru-guru itu mengangkat tangan lebih tangkas, tanpa melirik dulu kiri kanan seperti sebelumnya. Hasilnya dua puluh dari dua puluh tiga guru yang hadir mengangkat tangan. Pak Umar menghitung jumlah itu.

‘Baik ada dua puluh orang yang setuju. Sesuai prosedur ‘voting’ tetap saya tanyakan siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak setuju,’ tanya pak Umar lagi.

Tidak ada yang mengangkat tangan. Guru-guru yang lain kembali gerrr. Berarti pak Muslih, pak Darmawan dan ibu Lastri abstain.

‘Kalau begitu kita sahkan dulu hasil pemungutan suara ini. Jadi kita secara mayoritas, dua puluh berbanding tiga setuju jika mantan murid bermasalah yang sudah insaf diterima lagi. Tiga orang tidak berpendapat dan tidak ada yang tidak setuju,’ kata pak Umar sambil memukul meja tiga kali.

‘Selanjutnya sesuai dengan usulan pak Mursyid yang nomor dua tadi, kita akan tanyakan kepada mantan murid yang bersangkutan. Sementara ini yang sudah kita dengarkan paling siap untuk kembali bersekolah berdasarkan informasi yang ada adalah tiga orang, masing-masing Wahyu, Edwin dan Danta. Karena OSIS sudah diminta juga untuk meneliti lebih lanjut keberadaan serta keadaan mereka, informasi itu tetap kita tunggu. Saya berharap hasilnya tidak akan berubah dari apa yang tadi sudah kita dengar. Kalau informasi dari OSIS ini sudah masuk dan ternyata cocok dengan informasi yang sudah kita punyai, saya akan menghubungi orang tua ketiga murid tadi untuk menanyakan apakah mereka berminat menyekolahkan anak mereka kembali di sekolah ini. Saya akan menelpon mereka atau bila perlu mendatangi mereka. Tapi hanya sekedar menanyakan. Jadi saya tidak akan mempengaruhi mereka untuk menyekolahkan anak mereka kembali ke sini. Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu setuju dengan usulan ini?’ tanya pak Umar lagi.

‘Pak Umar sendiri yang akan mengambil inisiatif untuk menanyakan hal itu kepada orang tua mereka?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya. Kenapa tidak? Harus ada yang memulai dari fihak sekolah. Kalau tidak orang tua mereka tidak akan pernah tahu dengan apa yang kita rencanakan sekarang ini,’ jawab pak Umar.

‘Ya. Tapi apa tidak sebaiknya jangan pak Umar sebagai kepala sekolah langsung yang menanyakan. Mungkin bisa juga salah satu dari guru-guru yang menjajaki. Kalau memang ada respon kita atur agar orang tua mereka itu datang bertemu dengan pak Umar di sekolah ini,’ usul pak Mursyid pula.

‘Maaf pak,’ pak Muslih mengangkat tangan.

‘Silahkan pak Muslih!’ kata pak Umar.

‘Saya sependapat dengan usul pak Mursyid. Itu lebih elegan bagi sekolah. Biar salah satu dari guru-guru, atau dua tiga orang dari guru-guru yang ditugasi untuk meninjau kepada orang tua dari ketiga anak tadi itu. Berapa orang tadi? Tiga, kan tadi yang sudah dianggap pantas untuk di sekolahkan kembali? Bagaimana tanggapan orang tua mereka, jika positip, baru diatur agar orang tua yang bersangkutan datang ke sekolah untuk membicarakan lebih tuntas,’ usul pak Muslih.

‘Apakah ada komentar dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain?’ tanya pak Umar.

‘Saya juga setuju dengan gagasan itu pak,’ pak Hardjono menambahkan.

‘Ada yang tidak setuju bapak-bapak dan ibu-ibu?’

Ternyata tidak ada. Semua setuju agar ditunjuk guru-guru untuk menjajaki hal itu ke orang tua murid yang bersangkutan. Akhirnya di tetapkan mantan guru kelasnya yang akan menghubungi. Jadi tugas ini akan dipikul oleh ibu Hartini dan ibu Sofni, mantan guru kelas dua A dan dua C tahun lalu.

Rapat guru-guru itupun berakhir.


*****

No comments: