Tuesday, December 25, 2007

HARTA TERGADAI

HARTA TERGADAI

Aku sedang menikmati macetnya kota Jakarta di sore hari itu dalam perjalanan pulang dari kantor. Tiba-tiba telpon genggamku berdering. Ternyata dari Nasrul, seorang teman sekampung. Kami berbincang berbasa basi sampai dia menanyakan apakah aku ada waktu untuk melayaninya berdiskusi tentang sesuatu yang agak rumit, katanya. Silahkan saja, jawabku. Silahkan datang ke rumah kalau mau, tambahku. Dia berjanji akan datang ke rumah malam ini.

Nasrul seorang pedagang yang cukup sukses di Tanah Abang. Rezekinya sedang naik. Dan alhamdulillah, si Naih, ini adalah seorang yang sangat taat dalam beragama. Sering juga dia berdiskusi tentang masalah agama denganku. Yang eloknya, hasil diskusi itu baginya adalah untuk diamalkannya. Dan si Naih adalah seorang pembayar zakat dan pengeluar infaq yang sangat baik.

Sebelum isya dia sudah sampai di rumah. Berdua dengan istrinya si Nian (nama sebenarnya Zuniar). Kami pergi shalat isya berjamaah dulu ke mesjid. Pulang dari shalat, istriku yang sudah kakeh kambeh (= bekerja keras) menyediakan makan malam pasti akan tersinggung kalau kami tidak segera mencicipi dulu masakannya. Dan aku (pura-pura) terheran-heran karena di meja makan bertabur gulai lebih banyak dari biasanya. Dari mana pula lagi kalau bukan dari Rumah Makan Nasi Kapau di Pasar Tanah Abang, yang dibawakan si Nian sebagai ‘buah tangan’. Kamipun makanlah bersama-sama. Bukankah berunding (harus) sesudah makan?

Sesudah makan, sesudah mehotar pula dulu sedikit ke kiri dan ke kanan, si Naih menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya.

Mangko uda,’ (= Begini uda) katanya mengawali cerita. ‘Ada masalah yang ingin saya tanyakan ke uda pemecahannya,’ sambungnya lagi.

‘Sampaikanlah,’ kataku.

‘Perkara harta. Perkara sawah pusako. Amak, maksud saya amak si Niar (dia tidak memanggil Nian seperti aku, mungkin panggilan Niar lebih mesra) menyampaikan sebuah hetongan yang agak sulit bagi saya mencernanya. Beliau menyuruh saya menebus sepiring sawah yang menurut beliau tergadai ketika beliau menikah dulu. Sudah lebih empat puluh tahun. Pertanyaan saya diawali dengan, bagaimana hukumnya bagi saya untuk menebus sawah pusako kepunyaan amak yang tergadai itu? Itu saja dulu pertanyaannya.’

‘Hukum menebus barang yang tergadai tentu boleh. Malah harus sebenarnya kalau yang menggadai sudah sanggup untuk menebus kembali barang yang digadaikannya. Cuma masalahnya barangkali, yang disuruh menebus itu bukan yang menggadaikan,’ aku melakukan verifikasi terlebih dahulu.

‘Kan itulah da. Kalau sekarang saya menebusnya, apakah berarti sawah itu berada dibawah kekuasaan saya ? Atau katakanlah berpindah ketergadaiannya kepada saya ?’

‘Bisa iya, bisa tidak. Kalau ibaratnya, Marajo (gelar si Naih ini Sutan Marajo, dihadapan istrinya aku risi memanggilnya Naih saja, tidak beradat rasanya) memberikan uang, benar-benar memberi kepada amak, tentulah sawah itu kembali berada di bawah ‘kepemilikan’ amak secara adat. Tapi kalau Marajo memang bersepakat pula dengan amak bahwa sekarang Marajo yang memegang gadai, maka betul sawah itu berada dibawah kewenangan Marajo sebagai harta tergadai.’

‘Maksud uda, seandainya saya tebuskan sawah itu untuk beliau, maka sawah itu akan sepenuhnya dibawah kekuasaan beliau sebagai pusaka tinggi, dan bukan dianya nanti menjadi ‘milik’ si Niar, juga sebagai pusaka tinggi? Apa begitu?’

‘Ya, begitu. Kalau Marajo sekedar memberi uang, tanpa pamrih, tanpa syarat kepada beliau untuk menebus sawah itu. Dan itu artinya lagi, seandainya nanti beliau sudah tidak ada suatu ketika, sawah pusako tinggi itu akan menjadi ‘milik’ si Nian dan si Idan (si Nian punya seorang saudara perempuan yang namanya Zuidar, dipanggil si Idan), bersama-sama, sebagai pewaris pusaka tinggi menurut aturan adat.’

‘Tapi kalau sekarang saya yang memegang gadai, atau saya hanya mengambil alih ketergadaiannya, siapa yang berhak memungut hasil sawah itu?’

‘Tentu Marajo.’

‘Dan boleh saya berikan hasil sawah itu kepada si Niar dan anak-anak sebagai hasil pusaka rendah ?’

‘Marajo boleh memberikan kepada siapa yang Marajo suka. Tapi harus diingat bahwa sawah itu tetap bukan milik Marajo melainkan sebagai harta yang tergadai saja. Suatu saat nanti, statusnya harus kembali kepada pemiliknya.’

‘Itulah yang repot, da. Siapa pulalah yang akan menebusnya kepada saya nanti, kalau dilihat dari kenyataan sekarang. Tentu tidak mungkin amak yang akan menebusnya. Dan rasa-rasanya tidak akan mungkin juga uni Idar yang akan menebus. Artinya, sangat boleh jadi harta itu akan terkatung-katung saja statusnya sebagai sawah tergadai selama-lamanya.’

‘Memang demikian faktanya keadaan banyak sawah-sawah orang awak. Tergadai dan hampir tidak mungkin ditebus lagi. Dan ketika akan ditebuspun timbul pula masalah seperti ini.’

‘Sulit juga ya uda?’ katanya.

‘Tapi, kenapa rupanya timbul pemikiran untuk menebus?’ tanyaku.

‘Kan itulah uda. Kata amak, dek kalian ada baik rezekinya, tolonglah amak untuk menebuskan sawah di Tepi Guguk yang dulu tergadai ketika amak akan diperhelatkan. Beliau merasa seolah-olah bertanggung jawab dengan ketergadaian sawah itu, dan berharap kami akan menebuskannya untuk beliau. Mungkin saja dalam pemikiran amak, seandainya sawah itu ditebus tidak mesti kepada beliau balik kepemilikannya. Tapi inikan saya berandai-andai. Pusing juga kepala saya.’

‘Ya, baiknya dijelaskan juga tentang itu. Tapi sementara itu Marajo sendiri harus jelas pula niatnya. Apakah akan menolong menebuskan atau akan mengambil alih penggadaian. Keduanya berbeda nilai dan caranya.’

‘Repot kita dengan harta pusaka tinggi ini ya uda? Bagaimana pendapat uda?’ tanyanya pula.

‘Bisa repot bisa juga tidak repot. Sebab begini. Kalau saya menilai, harta pusaka tinggi itu adalah sandaran terakhir orang perempuan di Minangkabau. Sejatinya harta pusaka tinggi itu tidak boleh diapa-apakan kecuali diambil hasilnya saja sekedar untuk dimakan. Meskipun sepanjang adat dia boleh digadaikan ketika, rumah gedang ketirisan, atau gadis gedang tidak berlaki atau mayat terbujur tengah rumah. Begitu kata adat. Namun sesudah itu, lihatlah betapa rumitnya pula urusan pegang – gadai itu, persis seperti yang Marajo hadapi. Yang artinya, kalau kita tidak berhati-hati sepanjang urusan syarak menggadaikan sawah harta pusaka tinggi itu akan menimbulkan banyak masalah. Belum lagi pendapat yang berbeda tentang boleh tidaknya si pemegang gadai memakan hasil sawah yang tergadai kepadanya. Tapi bisa juga tidak repot kalau sesudah tergadai, yang menggadaikan tidak mampu, ya sudah, diikhlaskan saja lagi. Tapi kan banyak pula orang perempuan di negeri awak yang memang merasa rugi kalau sawah itu dibiarkan saja tergadai, karena besarnya gadai biasanya dibawah harga jika sawah itu dijual. Sawah ini, yang Marajo katakan, berapa rupiah emas tergadai?’ tanyaku.

‘Dua puluh rupiah, uda,’ jawabnya.

‘Tentulah sekali pulang padinya sekitar empat puluh sumpit dan kalau sawah itu dijual harganya sekitar empat puluh rupiah,’ aku menambahkan sedikit sok tahu.

‘Memang sebegitu uda,’ jawabnya pula. ‘Pusing saya. Tapi begini sajalah. Seandainya uda jadi saya, apa yang uda lakukan?’ katanya memancing.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Lama aku tidak bisa berkata-kata.

‘Kalau saya jadi Marajo? Walaupun jelas saya bukanlah Marajo. Kalau saya jadi Marajo, kalau benar saya berniat menolong amak, saya tebuskan sawah itu untuk amak dan saya biarkan dia terletak di posisi pusaka tinggi kembali. Saya tidak akan memakan hasilnya, cukuplah saya memakan beras berbeli di rantau. Dan akan saya katakan begitu pula kepada istri saya, agar dia tidak merasa seolah-olah sawah yang ditebus itu menjadi miliknya, karena saya, suaminya yang menebus. Saya menebusnya karena ingin berbuat baik, ingin berbakti kepada amak saja. Saya menghindar dari keterlibatan memanfaatkan hasil sawah pusaka tinggi itu sebisa-bisanya. Dan ini sungguh-sungguh. Bukan seandainya saya jadi Marajo. Kami, saya dan keluarga hanya ikut makan hasil padi sawah pusaka tinggi itu sekali-sekali ketika pulang ke kampung saja. Bahkan istri saya juga menolak menerima hasil penjualan padi dan menyuruh agar uang hasil penjualan itu dipergunakan di kampung saja.’

‘Kenapa demikian uda? Apakah uda merasa bahwa hasil sawah pusaka tinggi itu tidak halal? Tidak elok dimakan?’

‘Oh tidak. Tidak ada saya mengatakan demikian. Kan sudah saya katakan, bahwa saya menilai bahwa hasil sawah pusaka tinggi itu sebagai benteng terakhir untuk perempuan yang tinggal di kampung. Sebab kepemilikannya sangat samar-samar. Kepemilikan yang sulit ditelusuri asal usulnya. Secara adat harta itu tidak boleh dijual, walau dalam kenyataannya sekarang diperjualbelikan orang juga.’

‘Karena kepemilikan yang samar-samar itu, uda menghindar dari memanfaatkannya? Begitu?’

‘Hampir seperti itu. Dan kami, maaf, bukan saya menyombongkan diri, kan tidak pula merasa memerlukan mengambil hasilnya.’

‘Tapi, kenapa kalau uda menjadi saya, uda katakan uda mau menebuskannya untuk amak?’

‘Karena beliau merasa berhutang. Sawah itu dulu tergadai untuk biaya berhelat beliau. Dan karena beliau minta tolong kepada saya. Maka saya bantu beliau membayarkan hutang itu. Begitu saja,’ jawabku.

‘Dan sesudah itu tidak ada pamrih? Tidak uda harapkan apa-apa dari hasil sawah itu?’

‘Tidak ada pamrih. Dan tentu pula kalau memang saya ada kelapangan. Kalau ada kesanggupan untuk menolong,’ tambahku.

Si Naih Sutan Marajo mengangguk-angguk. Mungkin dia sedang mencerna ucapan-ucapanku. Sedang mengali-ngalikan angka, sedang berhitung dalam otaknya. Diakan pedagang.

‘Akan saya lakukan seperti pendapat uda,’ akhirnya cetusnya setelah beberapa saat. ‘Tidaklah saya memerlukan hasil sawah itu sebenarnya. Saya akan benar-benar memberi hadiah saja kepada beliau.’

Aku tersenyum menatapnya.

‘Ada satu lagi sebenarnya uda. Bagaimana pendapat uda kalau saya membangun rumah di kampung untuk si Niar di tanah pusakonya?’

Aku kembali terdiam. Mematut-matut ke arah si Naih.

‘Sudah dibangun?’ tanyaku.

‘Belum, baru dalam perbincangan,’ jawabnya.

‘Kalau begitu sebaiknya jangan,’ kataku tegas.

‘Kenapa ?’ tanyanya.

‘Kalau Marajo membangun, tentu barangkali niatnya nanti untuk dijadikan pusaka rendah. Yang akan diwariskan kepada anak secara syarak. Maka akan timbul perkara. Tanahnya adalah tanah adat, tidak mungkin dimiliki anak laki-laki Marajo dua kali lebih besar dari punya anak perempuan. Jadi akan menimbulkan masalah lagi,’ jawabku.

‘Paham saya,’ jawabnya singkat. ‘Satu lagi yang terakhir uda. Pada kenyataannya, tanah maupun sawah diperjualbelikan orang juga di Minangkabau saat ini. Bagaimana pendapat uda tentang hal itu ?’

‘Yang menjual, dia telah menjualnya secara tidak ‘hak’. Tidak ada tanah pusaka itu yang jelas kepemilikannya jadi tidak ada yang bisa menjualnya. Tapi sudahlah, karena dalam kenyataannya ada saja orang menjual dengan seribu dalih. Saya hanya berani berpendapat untuk yang membeli. Begitu dibelinya, maka jelaslah status kepemilikan tanah atau sawah itu maka tidak lagi dia menjadi bagian pusaka tinggi, melainkan menjadi pusaka rendah adanya. Dia harus diwariskan kepada keturunannya secara syarak. Begitu pendapat saya.’

‘Tapi banyak saja orang masih menganggap bahwa sawah yang dibeli itu menjadi bagian pusaka tinggi kembali. Apakah itu keliru menurut uda?’

‘Kalau menurut saya iya. Itu keliru.’

‘Lalu bagaimana caranya ?’

‘Tugas mubaligh, tugas buya, tugas ustad untuk menjelaskan hal ini sejelas-jelasnya. Kalau menurut pendapat saya.’

‘Baiklah uda. Terima kasih atas pencerahan uda ini. Insya Allah akan saya lakukan sesuai dengan yang uda jelaskan,’ kata si Naih Sutan Marajo mengakhiri perbincangan kami sesore itu.


*****

No comments: