Thursday, October 9, 2008

SANG AMANAH (8)

(8)


Di ruangan guru-guru para guru asyik ngerumpi. Ibu Purwati yang baru datang, karena akan mengajar sesudah jam istirahat pertama, menanyakan kepada ibu Sofni tentang pengganti kepala sekolah yang diceritakan pak kepsek minggu lalu. Ibu Purwati adalah wakil kepala sekolah sekarang. Dia sebenarnya sudah berharap-harap untuk naik pangkat menjadi kepala sekolah pula. Meski menurut kebiasaan kalau seorang wakil kepala naik pangkat jadi kepala sekolah harus pindah ke sekolah lain. Bahkan sebelum ini sudah cukup gencar issue bahwa yang akan menggantikan pak Suprapto adalah dirinya. Dia sudah ‘melatih’ diri untuk menduduki ruangan ber AC di sebelah itu. Tapi tiba-tiba saja seminggu yang lalu pak Suprapto mengatakan bahwa calon penggantinya akan datang seminggu lagi. Itu artinya hari ini. Dengan sedikit harapan jawabannya nanti adalah ‘tidak’ atau ‘belum ada’ ibu Purwati bertanya.

‘Apa benar calon boss sudah datang?’ ibu Purwati mengawali diskusi.

‘Betul. Tadi sudah di kenalkan pak Suprapto kepada kita semua serta kepada murid-murid saat upacara,’ jawab ibu Sofni.

‘Sekarang lagi kemana? Apa masih di dalam?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Kelihatannya sepi-sepi saja di dalam. Saya juga tidak tahu dia sedang kemana.’

‘Iya ya, kayaknya di dalam nggak ada orang deh,’ ibu Sarah menambahkan.

Tiba-tiba pak Mursyid datang. Guru olah raga pencetus ‘teori duel untuk mencegah tawuran’ ini langsung membuka cerita.

‘Wah, belum apa-apa sudah di kerjain anak-anak bapak kepala sekolah kita itu.’

‘Dikerjain bagaimana maksudnya? Oleh siapa?’ tanya ibu Purwati.

‘Oleh murid kelas dua C. Vespanya dijahilin. Ditulisi pakai cat semprot dan bannya dikempesin. Pelakunya Adrianto ditemani Iwan Tirta murid kelas dua C.’

‘Vespanya? Calon kepala sekolah naik Vespa?’ ibu Purwanti mengerutkan keningnya.

‘Iya. Memangnya kenapa? Sudah lumayan naik Vespa. Masih banyak lho kita yang masih naik angkot.’

‘Lho, pak Mursyid kok langsung ‘spanning’? Berarti dia masih belum kepala sekolah sebelum ini. Orangnya sudah berumur berapa sih kira-kira?’

‘Kok mesti ‘berarti’? Apa kalau kepala sekolah sudah pasti mampu punya mobil, begitu? Dia sih masih muda. Mungkin sekitar empat puluh tahunan. Dan sebelum ini memang dia wakil kepala sekolah di SMU 267.’

‘Yang mana ya, orangnya? Padahal saya banyak kenal lho guru-guru SMU 267. Ibu Sofni berarti sudah kenal sebelumnya?’ selidik ibu Purwati.

‘Ya, saya dulu sama-sama mengajar di sana. Di SMU 267.’

‘Sekarang sih masih pakai Vespa. Tapi sebentar lagi jadi orang penting. Pasti bakalan meningkat, lihat aja….’ ibu Purwati meramal.

‘Ya kita lihat saja. Tapi kalau dugaan saya sih belum tentu. Setahu saya orangnya lempeng banget. Tapi ya..…nggak tau juga sih. Siapa tahu kalau sudah jadi penjabat bisa berubah.’

‘Terus, sekarang dia lagi kemana, pak Mursyid?’

‘Ya, itulah. Tadi boss sama calon pengganti kan rapat. Mulai serah terima, begitu. Tau-tau ada telepon dari luar. Rupanya dari istri pak Umar itu. Dan tau nggak apa beritanya?’

‘Berita apa memangnya?’

‘Anaknya dapat musibah, kecelakaan lalu lintas dan dibawa ke rumah sakit. Jadi tadi dia buru-buru ke rumah sakit mau melihat anaknya itu. Pergi ke belakang, ke tempat parkir motor. Eh, nggak taunya motornya tidak bisa dipakai.’

‘Vespanya, maksudnya?’

‘Iya, Vespanya.’

‘Terus?’

‘Di belakang, dia lihat kedua anak-anak itu sedang mencari-cari sesuatu. Pak Umar menanyai, sedang ngapain mereka. Kedua anak itu gugup. Sama pak Umar disuruh masuk kelas. Karena ketakutan, karena memang bersalah, tadinya mereka mau kabur. Di depan ketangkap sama kepala sekolah.’

‘Detil sekali informasinya, pak Mursyid tahu dari mana tuh?’

‘Kan anak-anak itu diinterogasi. Ditanyain di ruang kepala sekolah. Saya diminta pak Prapto membantu mengusut mereka. Tadinya waktu tertangkap sama pak Prapto, karena keduanya pucat dan menggigil, dikirain kasus narko. Saya diminta menggeledah keduanya dan diminta memanggil teman-teman mereka yang duduk berdekatan di kelas. Ada empat orang lagi. Kita geledah di ruangan sebelah. Ya nggak ketemu apa-apa. Akhirnya Adriantonya bercerita panjang.’

‘Terus pak Umarnya naik apa ke rumah sakit?’

‘Naik ojek motor.’

‘Nah terus, pak Umarnya belum kembali?’ tanya ibu Sofni.

‘Kayaknya belum tuh.’

‘Bagaimana keadaan anaknya? Ada beritanya nggak?’

‘Saya kurang begitu jelas. Kalau nggak salah ditabrak motor pas baru sampai di sekolahnya. Kepalanya luka dan dibawa ke rumah sakit untuk dijahit.’

‘Iiih..ada-ada saja ya?! Ngeri, kalau sudah urusan berdarah-darah begitu. Kayaknya pertanda buruk juga tuh. Hari pertama berkenalan di SMU 369 sudah dirundung macam-macam persoalan.’

‘Yang anehnya kok anak-anak kita sebegitu nekad dan jahilnya sih? Ngerjain Vespa calon kepala sekolah?’ tanya ibu Sofni tidak habis pikir.

‘Menurut Adrianto lagi, tadi pagi mereka mau nonton duel. Sudah ada nih calonnya. Sudah hampir jadi. Kebetulan pak Umar ini liwat. Tentu saja dia kaget, kok pagi-pagi anak-anak seperti mau berantem. Nah, sama pak Umar dihardik. Duelnya batal… nggak jadi. Dan anak-anak itu kan belum tau siapa pak Umar. Tapi mereka sempat lihat waktu dia datang pakai Vespa. Mereka kira mungkin tamu biasa saja. Karena keki, dikerjain deh tuh Vespa. Nah terus, waktu upacara tadi, sama pak Prapto kan dikenalkan… bahwa itu adalah calon penggantinya. Kedua anak tadi… dasar anak-anak orkay… berani jahil tapi nyalinya ciut… lha jadi ketakutan. Sedang jam pelajaran pertama permisi keluar mau nyari kembali pentil ban Vespa yang tadi sudah dibuang. Nah, waktu itu kelihatan sama pak Umar. Tambah ketakutan. Rencananya mau kabur, di depan ketangkap sama kepala sekolah, jadi makin senewen.’

‘Jadi pak Umarnya nggak marah kalau Vespanya diusilin sampai nggak bisa dia pakai? Atau dia nggak tahu kalau anak-anak itu yang ngerjain?’

‘Kayaknya dia belum tahu apa yang terjadi. Waktu Anto dan temannya di belakang mereka tidak sedang melakukan apa-apa. Jadi dia nggak bisa menuduh dan memang dia tidak menuduh siapa-siapa. Mungkin karena sedang mikirin anaknya yang sedang di rumah sakit, pak Umar itu sedikitpun tidak mempermasalahkan Vespa yang tidak bisa dipakai saat itu.’

‘Terus, dia pergi naik ojek?’

‘Iya. Emang kenapa? Menteri aja naik ojek kalau udah kepepet waktu, ya nggak?’

‘Iya juga sih. Tapi saya masih penasaran, yang mana ya orangnya?’

‘Lha, nggak usah penasaran. Paling sebentar lagi juga datang.’

Dan tiba-tiba pak Umar muncul. Wajahnya biasa-biasa saja menunjukkan tidak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan. Ibu Sofni menanyakan apa yang terjadi dan bagaimana keadaan anak pak Umar. Dia menceritakan secara ringkas peristiwa yang menimpa Amir. Pak Mursyid memperkenalkan pak Umar kepada ibu Purwati, ibu wakil kepala sekolah, dan mereka terlibat dalam omongan basa-basi sebentar. Kelihatan sekali sambutan perkenalan ibu Purwati tidak hangat dan sepertinya ada rasa ‘iri’ yang terlihat dari raut wajah ibu wakil kepala sekolah ini. Guru-guru itu terlibat dalam bincang-bincang sampai lonceng masuk kelas dibunyikan. Pak Umar menanyakan dimana pak Suprapto berada kepada guru-guru itu, karena dia tidak ada di ruangannya. Tapi tidak ada yang tahu. Waktu semua guru-guru itu pergi mengajar ke kelasnya masing-masing, pak Umar tinggal sendirian menunggu di ruangan guru itu.

Ruangan ini cukup luas, sedikit lebih besar dari ukuran ruangan kelas. Dindingnya dicat putih bersih. Ada beberapa gambar berupa foto pemandangan alam Indonesia digantung di dinding sebelah depan. Di bagian belakang terdapat jendela-jendela lebar berteralis besi. Di belakang jendela itu, kira-kira satu setengah meter terlihat tembok pagar sekolah. Udara bersirkulasi dengan baik di ruangan ini. Di langit-langit ada dua buah kipas angin yang berputar pelan-pelan. Meja-meja tulis diatur mengelilingi ruangan sebanyak 24 buah dengan posisi enam-enam. Di bagian tengah ada 14 buah meja lagi. Artinya meja itu mewakili setiap guru yang 38 orang. Di atas setiap meja-meja itu ada yang terdapat kotak surat masuk dan surat keluar atau tumpukan buku atau barang-barang kecil lain. Ada juga yang dihiasi dengan vas bunga berisi bunga segar. Tentu meja dengan vas ini menunjukkan bahwa pemiliknya adalah ibu guru. Dengan pengaturan seperti itu ruangan itu masih terkesan cukup lapang. Di sebelah kanan ruangan ada lemari besar yang terdiri dari rak-rak tertutup seperti ‘locker’. Rak-rak itu rupanya kepunyaan masing-masing guru dan ditandai dengan nama-nama setiap guru. Di atas lemari atau ‘locker’ itu diletakkan beberapa buah vandel dari sekolah di kota lain, mungkin yang pernah datang berkunjung ke sekolah ini. Ada pula beberapa buah piala. Di samping rak ada dua tempat air mineral ‘Aqua’ dan di sampingnya ada dua buah botol ‘Aqua’ gallon yang masih berisi penuh. Di sebelah kiri ruangan ada papan board putih besar. Penuh tulisan-tulisan yang umumnya berisi pesan dari guru yang satu kepada yang lain. Di antaranya terbaca sebuah pesan;

‘Pak Sofyan tolong hubungi saya sore ini di rumah sekitar jam 7 malam. Situmorang, 13/9.’

Tentu setiap guru harus rajin melihat ke papan pesan-pesan itu setiap hari.

Guru-guru menggunakan ruangan ini sebagai kantor. Biasanya pada saat menunggu waktu mengajar dan yang paling ramai pada waktu jam istirahat. Hampir tidak pernah semua guru hadir bersamaan di sini.

Tiba-tiba pak Suprapto muncul dan mendapatkan pak Umar sendirian.

No comments: