Tuesday, January 19, 2010

DERAI-DERAI CINTA (49)

49. KALAU TAK JODOH

Rumah petak itu masih begitu-begitu saja. Masih tetap utuh berada di sebelah kanan rumah utama. Penghuninya selalu silih berganti. Jika yang satu pergi kemudian ada lagi penggantinya yang baru datang. Penghuninya selalu mahasiswa, berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah penyewa tahunan. Atau istilahnya, mereka mengontrak rumah-rumah petak itu. Ada yang betah tinggal sampai bertahun-tahun disitu tapi ada juga yang hanya untuk satu tahun lalu pindah. Waktu Syahrul dan kemudian Imran tinggal disitu, mereka termasuk yang paling betah. Kedua anak muda itu menempati rumah kontrakan itu selama lima tahun. Selama itu pula kehadiran mereka memberi warna tersendiri di lingkungan itu. Kedua anak muda itu sangat sopan, rajin ke mushala, bergaul dengan masyarakat di sekitar dengan santun. Tidak pernah sekali juga mereka bermasalah dengan penduduk.

Sangat lama Ratih merasa kehilangan sesudah Syahrul dan Imran pergi dari situ. Kedua anak muda itu sangat berbeda dengan penghuni-penghuni lainnya. Lebih sopan dan lebih alim. Terutama Imran, yang lebih akrab dan sering ngobrol dengannya. Ngobrol dengan Imran itu selalu menyenangkan. Dan selalu menambah wawasan karena pengetahuan umumnya luas.

Imran, dulu itu, memang beda. Dia bukan hanya sekedar enak diajak ngobrol tapi juga berkepribadian sangat menyenangkan. Sangat berwibawa. Sangat keras memegang prinsip. Ratih pernah merasa sangat malu dan menyesal, ketika dia mengundang Imran ke acara ulang tahunnya, lalu mengirimi Imran kartu undangan istimewa. Ternyata Imran tidak bisa datang karena dia sedang ke luar kota. Yang membuat Ratih malu adalah ketika kemudian dia menyadari bahwa Imran tidak suka diistimewakan oleh teman wanita yang manapun. Imran tidak mau menjalin hubungan istimewa dengan teman wanita. Kasarnya, Imran tidak mau mempunyai pacar. Dia punya alasan yang sangat prinsipil tentang itu.

Hubungan persahabatan mereka selalu terpelihara dengan baik. Ratih menyenangi kesempatan berbincang-bincang dengan Imran. Perbincangan yang selalu menjadikan Ratih sangat menghormati dan menghargai Imran. Menjadikan dia semakin tertarik kepada Imran.

Diam-diam, awalnya Ratih berharap bahwa pada suatu hari nanti dia akan berjodoh dengan Imran. Tapi kemudian dia mendapat informasi bahwa Imran telah dijodohkan dengan sepupunya, Lala. Ratih mengenal Lala dan pernah bertemu dengannya. Lala itu cantik dan cerdas. Dan Ratih merasa bahwa dia sudah pasti akan kalah bersaing dengannya untuk mendapatkan Imran. Lala puteri paman yang sangat dihormati Imran. Dalam bayangan Ratih, tidak akan mungkin Imran menolak kalau dia dijodohkan dengan Lala. Biarpun Imran pernah mengatakan bahwa dia tidak memikirkan sama sekali perjodohannya dengan Lala. Ratih yakin, Imran akan menikah dengan Lala.

Kemudian Syahrul mengajuk hatinya. Ratih tidak terlalu yakin untuk menerimanya. Dia tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Syahrul. Tidak menolak dan tidak mengatakan mau. Dia hanya mengatakan bahwa dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu. Syahrul berangkat ke Australia selama dua tahun. Selama waktu dua tahun itu Ratih sudah menyelesaikan kuliahnya di farmasi, lalu kemudian dilanjutkannya dengan pendidikan apoteker di ITB.

Dia pernah bertemu dengan Syahrul di kampus ketika Syahrul baru pulang dari Australia. Waktu itu mereka ngobrol sebentar. Syahrul memberitahu bahwa sekarang dia tinggal di Cisitu. Ratih berbasa basi mengajak Syahrul datang ke rumah. Syahrul memang pernah datang sekali ke rumah di Taman Sari. Mereka ngobrol lebih lama waktu itu. Obrolan mengenai pengalaman Syahrul di Australia. Tentang kemungkinan dia akan kembali lagi suatu saat nanti kesana untuk mengambil gelar doktor. Dalam obrolan itu, tidak ada sedikitpun Syahrul menyinggung tentang keinginannya untuk menjalin hubungan dengannya. Tentang sesuatu yang pernah diutarakan Syahrul dulu sebelum berangkat ke Australia.

Syahrul hanya datang sekali itu saja. Sudah beberapa bulan pula berlalu sesudah itu. Mereka tidak pernah lagi bertemu. Ratih memahami bahwa hasrat yang pernah disampaikan Syahrul dulu sudah tidak berlaku lagi. Dan bagi Ratih tidak ada masalah.

Yang merasa bermasalah adalah orang tuanya. Termasuk uci. Uci sudah sangat ingin agar Ratih segera berumah tangga. Usia Ratih sudah sangat cukup untuk menikah. Kuliahnyapun sudah selesai. Tapi dengan siapa? Ratih tidak punya pacar.

***

Pak Bambang Sadarta punya keponakan jauh bernama Mashudi. Seorang dokter alumni Unpad. Dia tinggal dan praktek di Cimahi. Usianya sudah tiga puluh tahun. Belum menikah. Mashudi seorang kutu buku dan sangat serius. Dunia utamanya adalah buku. Tubuhnya tinggi agak kurus. Wajahnya yang selalu dihiasi kacamata sebenarnya cukup tampan tapi sayang penampilannya kaku dan terlalu pendiam. Dengan pasienpun dia berbicara seperlunya saja.

Suatu hari Mashudi datang mengantarkan ayahnya, pak Broto, ke rumah pak Bambang Sadarta. Pak Broto yang tinggal di kampung di Purwokerto, ingin bersilaturahim dengan saudara sepupunya itu. Kebetulan dia sedang ada urusan ke Bandung. Dulu ketika masih muda, dan sama-sama tinggal di kampung mereka sangat akrab. Tapi sesudah pak Bambang Sadarta merantau mereka sangat jarang bertemu. Pertemuan nostalgia itu secara gurauan menyerempet kepada kemungkinan berbesanan. Pak Broto bertanya bagaimana seandainya Ratih jadi istri Mashudi. Pak Bambang Sadarta menjawab secara bergurau pula bahwa urusan jodoh biarlah anak-anak saja yang menentukan. Kalau anak-anak sudah ada kecocokan, orang tua cukup menilai dan merestui. Tapi setelah tamunya pergi pak Bambang Sadarta memikirkan gurauan itu dengan lebih serius. Dalam pikirannya, Mashudi sangat layak dijodohkan dengan Ratih. Seandainya jadi, betapa idealnya. Yang satu dokter, yang satu apoteker. Mashudi cukup gagah untuk jadi suami Ratih.

Pak Bambang Sadarta bukanlah seorang yang otoriter. Apa yang dipikirkannya dirundingkannya dengan istrinya. Istrinya sangat setuju jika Mashudi jadi menantu. Lalu mereka tanya pula pendapat Ratih. Ternyata tanggapan Ratih dingin-dingin saja. Dia sudah kenal dengan Mashudi sejak lama, sejak ketika sekali-sekali mereka bertemu di pertemuan keluarga. Mashudi bukan tipe laki-laki yang disukai Ratih. Karena orangnya terlalu pendiam dan terlalu serius. Ratih senang ngobrol. Senang berbicara. Sepertinya, dengan Mashudi tidak banyak yang bisa diobrolkan.

Tapi Ratih tidak pula menolak mentah-mentah kemungkinan itu. Dia menyarankan agar mereka, Mashudi dan Ratih saling menjajagi dulu. Pak Bambang Sadarta setuju dengan usulan Ratih. Dia segera menghubungi pak Broto dan menyampaikan informasi itu. Sejak itu Mashudi jadi lebih sering datang berkunjung.

Beberapa bulan berlalu. Mashudi secara teratur datang ke rumah keluarga pak Bambang Sadarta. Biasanya pada hari Minggu sore karena hari itu dia tidak praktek. Kadang-kadang dia mengajak Ratih berjalan-jalan keluar. Pergi menonton bioskop atau makan di restoran. Dia tidak banyak omong tapi perhatiannya terhadap Ratih cukup baik. Beberapa kali dia memberi Ratih hadiah berupa buku.

Tiga bulan mereka saling menjajagi. Atau tepatnya selama itu Ratih menilai pribadi Mashudi. Dokter muda itu sopan, tidak grasa-grusu, selalu menepati janji, mau memberi perhatian. Satu-satunya nilai kurang pada diri Mashudi adalah kehematannya dalam berbicara. Jarang sekali dia bertanya kalau mereka sedang berdua. Selalu Ratih yang bertanya dan Mashudi yang menjawab. Jawabannyapun seringkali seperlunya saja. Ratih berpikir panjang selama tiga bulan itu. Membolak balik buruk dan baiknya kalau dia menerima untuk jadi istri Mashudi. Sikap hemat bicara Mashudi sebenarnya sudah merupakan sebuah kendala. Sulit bagi Ratih membayangkan akan serumah dengan seseorang yang sebegitu pendiam. Punya suami yang sangat sedikit bicara. Sementara dirinya adalah orang yang senang berbagi cerita. Suka mendengar dan ingin pula didengar lawan bicaranya. Mashudi mungkin seorang pendengar yang baik tapi itupun sulit dibuktikan.

Ayahnya sudah dua kali menanyakan tanggapan Ratih tentang Mashudi. Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Dia coba melibatkan uci, meminta pendapat beliau. Ternyata uci bersikap netral saja. Tidak melarang dan tidak mendorong. Tapi Ratih tahu kalau uci tidak terlalu bersemangat mendengar cerita tentang Mashudi. Berbeda dengan ketika mendengar cerita tentang Imran dulu.

Tapi disisi lain Ratih juga dihantui kekhawatiran tidak akan dapat jodoh. Sejak beberapa tahun ke belakangan sudah tidak ada lagi anak muda yang mencoba mendekatinya karena mereka tahu Ratih sepertinya dingin. Seolah-olah tidak berminat terhadap laki-laki. Kalau Mashudi ditolak pula, siapa lagi yang akan diharapkan? Mashudi punya kekurangan tapi masih bisalah diharapkan. Mudah-mudahan saja, seandainya nanti mereka menikah, Ratih bisa mengajak agar Mashudi lebih komunikatif. Akhirnya dia setuju untuk menikah dengan Mashudi.

Lucunya, setelah beberapa bulan berusaha akrab, dengan cara datang berkunjung secara teratur ke rumahnya, Mashudi tidak pernah sekalipun juga mengatakan apa yang dia harapkan dari Ratih. Tidak pernah dia mengatakan bahwa dia ingin melamar Ratih. Tidak pernah dia menyebut bahwa dia ingin menjadikan Ratih istrinya. Bahkan tidak pernah dia mengatakan bahwa dia menyukai Ratih. Ketika ayah menanyakan hal yang sama untuk ketiga kalinya, Ratih menjawab bahwa dia bersedia kalau memang Mashudi mau melamarnya, dan berharap Mashudi akan menyampaikan kata-kata lamaran itu secara pribadi kepadanya.

Tapi Mashudi tetap tidak mau. Entah malu, entah bagaimana. Akhirnya sesudah diinterlokal pak Bambang Sadarta, pak Broto datang lagi ke Bandung. Dia meyakinkan Ratih dihadapan ayahnya, bahwa Mashudi ingin melamar Ratih menjadi istrinya, tapi malu mengutarakannya langsung. Mashudi itu terlalu pemalu. Begitu kata pak Broto. Ratih mengalah. Dia menerima lamaran itu.

Pernikahan mereka direncanakan dan dipersiapkan dalam waktu singkat. Hanya dalam waktu satu setengah bulan. Mereka akan menikah di awal bulan September 1989. Undangan segera dibuat dan diedarkan dua minggu sebelum hari pernikahan. Pesta pernikahan akan dilaksanakan di rumah pak Bambang Sadarta. Tidak banyak yang diundang. Teman sekantor pak Bambang Sadarta, teman sesama guru istrinya, teman-teman dekat Ratih, teman-teman Mashudi yang jumlahnya hanya beberapa orang dan tetangga-tetangga.

***

Manusia berencana tapi Allah Yang Maha Menentukan. Manusia boleh berkehendak, berkeinginan, mengatur rencana tapi kalau Allah menetapkan lain, manusia tidak kuasa menolaknya. Pernikahan Mashudi dan Ratih sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Undangan sudah disebarkan. Rumah pak Bambang Sadarta dihiasi karena sebentar lagi perhelatan akan digelar disitu. Menurut rencana, akad nikah akan dilaksanakan sesudah shalat Jumat. Resepsi pernikahan akan dilangsungkan pada hari Minggu.

Hari Kamis sore, Mashudi naik vespa dari rumah sakit Hasan Sadikin menuju ke Cimahi. Mashudi terburu-buru karena dia berjanji dengan seorang pasien sore hari itu. Di perlintasan kereta api di Cimindi, pintu kereta sudah ditutup karena ada kereta api yang akan lewat. Mashudi menoleh ke kanan dan kiri rel kereta api. Dia melihat sebuah kereta api dari arah Bandung. Masih cukup jauh. Karena buru-buru, Mashudi memaksa untuk melintasi pintu kereta yang sudah ditutup itu. Melihat Mashudi berusaha melintas, seorang anak muda bersepeda motor di belakangnya ikut pula ingin menerobos. Penjaga pintu kereta membentak orang-orang nekad itu. Si pengendara sepeda motor menancap gas. Motornya seperti mau terbang menerjang ke depan dan menyenggol vespa Mashudi. Mashudi terjatuh. Dia berusaha bangkit dan meloncat ke pinggir. Pada saat bersamaan kereta api melintas. Lokomotif itu melindas vespa dan menyenggol tubuh Mashudi yang terpelanting menghantam dinding gardu penjaga pintu kereta. Mashudi terkapar dengan kepala luka parah. Dia segera dilarikan ke rumah sakit Hasan Sadikin. Tapi ternyata nyawanya sudah tidak tertolong. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.


*****

No comments: