Monday, October 6, 2008

SANG AMANAH (4)

(4)


Sementara guru-guru masuk ke kelas masing-masing untuk memulai pelajaran pertama, pak Suprapto dan pak Umar kembali ke ruangan kepala sekolah melanjutkan pembicaraan mereka tadi. Di ruangan pak Suprapto ada papan board besar berisi informasi lengkap tentang data-data pribadi setiap guru-guru yang mengajar di SMU 369.

Pak Suprapto memanggil pak Dadang, kepala Tata Usaha sekolah dan memperkenalkannya kepada pak Umar. Pak Suprapto meminta pak Dadang untuk mengambil daftar semua kelas beserta jumlah murid masing-masing kelas. Tidak lama kemudian pak Dadang datang membawa tiga buah map tebal berisi macam-macam informasi yang diminta.

‘Mari kita lanjutkan pak Umar. Jumlah murid di SMU ini ada 718 orang dalam 18 kelas. Masing-masing kelas satu, dua dan tiga ada enam kelas. Jumlah ruangan belajar sementara ini disesuaikan dengan jumlah kelas yakni 18. Masih ada dua ruangan lagi yang bisa digunakan sebagai ruang kelas yang sementara ini dijadikan aula pertemuan dan untuk kegiatan ekstra-kurikuler dan kesenian. Kita mempunyai laboratorium biologi/kimia dan fisika serta ruangan komputer. Bukannya saya membanggakan diri, tapi sepuluh buah ruangan yang ada dibangun selama saya menjabat menjadi kepala sekolah. Wali-wali murid di sini banyak yang kaya-kaya dan saya berhasil melibatkan mereka untuk membangun sekolah ini. Oh ya, kita juga punya mesjid. Ini tentu penting sekali buat pak Umar ketahui. Tentu pak Umar akan dapat memajukan penggunaan mesjid ini nantinya untuk pendidikan anak-anak yang beragama Islam.’

Pak Umar tersenyum mendengar uraian pak Suprapto yang terakhir ini.

‘Apakah mesjid itu tidak penting untuk bapak?’

‘Ooh penting juga. Saya sering juga shalat di sana. Beberapa kali dulu kami mengadakan shalat Jumat di sini. Tapi lama kelamaan karena yang jadi khatibnya selalu pak Darmawan, guru agama itu, anak-anak bosan. Akhirnya malahan tidak ada lagi shalat Jumat di sini. Kalau mau shalat Jumat kita pergi ke mesjid kampung di sebelah timur sana yang saya lupa namanya.’

‘Jadi mesjid sekolah ini sehari-hari tidak pernah digunakan lagi pak?’ tanya pak Umar menyelidik.

‘Masih digunakan. Masih ada anak-anak yang shalat di sana. Biasanya digunakan juga untuk pesantren kilat di bulan puasa. Di samping itu perayaan hari-hari besar Islam kita lakukan di mesjid itu juga. Untuk jelasnya pak Umar bisa menanyakan kepada pak Darmawan nanti. Baiklah saya teruskan mengenai guru-guru. Staf guru yang mengajar di sini saat ini termasuk saya sendiri ada 39 orang seperti yang tertera di papan board besar ini. 22 orang guru laki-laki dan 17 orang guru wanita. Ada 2 orang guru olah raga yang sangat berambisi untuk memajukan olah raga di sekolah ini yaitu pak Hardjono, mengajar kelas satu dan sebagian kelas dua serta pak Mursyid yang mengajar kelas lainnya. Ada kebijaksanaan guru olah raga ini yang sedang mereka uji cobakan, yang sebenarnya saya pribadi tidak terlalu suka yaitu membiarkan anak-anak di sekolah ini duel atau berkelahi dengan syarat satu lawan satu dan tidak boleh menggunakan senjata. Kata kedua guru itu hal ini untuk menyalurkan hasrat berkelahi anak-anak agar mereka tidak terlibat tawuran. Katanya lagi perkelahian itu harus selesai hari itu juga dan tidak boleh ada dendam serta tidak boleh dibawa keluar sekolah. Tapi siapa yang bisa menjamin? Hal ini baru diperkenalkan kedua guru olah raga itu sejak dua bulan ini. Hampir tiap hari sekarang ada duel seperti itu.’

‘Saya hampir menyaksikannya tadi pagi pak. Tapi saya yang tidak tahu peraturan tersebut membentak mereka tanpa sadar. Mereka bubar sesudah itu.’

‘Seperti saya katakan, saya sebenarnya keberatan karena mengandung resiko dimana anak-anak itu bisa jadi semakin suka berkelahi. Tapi jalan ini ditempuh setelah diputuskan majelis guru sebagai uji coba yang akan dievaluasi ulang setelah tiga bulan. Ada lagi ketentuan lain. Guru-guru tidak boleh melibatkan diri untuk melerai, jadi harus dibiarkan mereka berkelahi sampai salah satu menyerah kalah.’

‘Lalu setelah itu apakah yang menang tidak jadi sewenang-wenang terhadap yang mengaku kalah, pak?’

‘Entahlah. Saya belum pernah dapat laporan tentang itu. Memang saya akui sebelum ini anak-anak ini beberapa kali terlibat tawuran dengan sekolah lain. Bahkan pernah sekolah ini diserang murid-murid sekolah lain sehingga saya harus menelepon polisi. Untung waktu itu polisi cepat datang. Kebetulan pos polisi memang tidak terlalu jauh dari sini. Urusan kenakalan remaja ini memang memerlukan perhatian khusus.’

‘Bagaimana dengan kasus penggunaan obat-obat terlarang pak. Apakah juga ada di sini?’

‘Persis. Saya telah mengeluarkan lima orang murid dari sekolah tahun ini saja karena terlibat kasus narkoba itu. Mereka kedapatan sedang dalam keadaan mabuk berat atau mereka sebut ‘sakau’. Dua atau tiga orang di antaranya telah mengalami hal yang sama sampai dua kali di sekolah. Kelakuan mereka persis seperti orang gila. Saya panggil orang tuanya untuk menyaksikan anak mereka dalam keadaan mabuk berat seperti itu. Rupanya anak-anak itu memang dari keluarga bermasalah. Sebangsa ‘broken home’ begitu. Saya terpaksa mengembalikan mereka kepada orang tuanya. Semenjak itu secara berkala, tanpa pemberi tahuan terlebih dahulu, kami adakan razia dengan memeriksa tas-tas anak-anak, kantong baju dan celana mereka, menguji air seni mereka yang dicurigai terlibat obat-obat terlarang itu. Sementara ini belum ada lagi kasus lain. Yang juga perlu jadi perhatian adalah kasus moral anak-anak. Terus terang, hal ini tidak hanya menyangkut anak didik tapi para gurupun ada yang patut diawasi. Sepertinya ada oknum guru kita yang tidak baik moralnya karena suka ‘mengganggu’ dalam tanda kutip murid-murid wanita. Ini saya dengar dari rumor yang beredar di kalangan guru-guru. Saya sudah pernah memanggil dan menanyai guru yang diduga bermasalah itu tapi tentu saja dia tidak mengaku. Belum lagi kasus yang terjadi antara sesama murid. Bahkan pernah terjadi setahun yang lalu seorang murid wanita akhirnya terpaksa berhenti sendiri dari sekolah karena hamil.’

‘Boleh saya menanyakan hal lain dulu pak, selain yang menyangkut masalah akhlak seperti yang bapak ceritakan?’

‘Silahkan. Masalah apa yang ingin anda tanyakan?’

‘Bagaimana mengenai kegiatan belajar tambahan yang dilakukan di sekolah ini khususnya untuk anak-anak kelas tiga yang sedang mempersiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi. Apakah ada bimbingan belajar khusus yang diadakan sekolah?’

‘Ada, meskipun sifatnya sukarela. Dan karena sukarela itu hasilnya tidak maksimal. Guru-guru tidak mungkin mengorbankan waktu tambahannya kalau tidak ada imbalan yang memadai. Ini kan hal yang sangat wajar saja. Waktu saya mintakan partisipasi wali murid untuk memikirkan kesejahteraan guru, mereka meminta agar pelajaran tambahan itu diberikan oleh guru-guru dari luar yang lebih profesional. Katakanlah dari guru-guru bimbingan belajar yang sifatnya komersial itu. Tentu saja itu tidak dapat kita penuhi karena di samping biayanya akan mahal sekali, kita juga ingin pelajaran tambahan ini ditangani oleh guru-guru di sini. Jadi tidak ada titik temu antara pendapat mayoritas wali murid dengan kondisi yang kita tawarkan. Akhirnya tetap kita adakan juga dengan sumbangan dari beberapa wali murid saja. Pesertanya hanya dua kelas dan itupun tidak penuh . Melibatkan kira-kira 60 orang murid. Kelas ekstra ini diadakan tiga kali seminggu, setiap hari Senin, Rabu dan Kamis.’

‘Berapa orang guru yang menangani kelas ekstra itu pak?’

‘Perlu saya jelaskan bahwa kita punya guru yang punya dedikasi tinggi dan sangat bersungguh-sungguh untuk membantu anak-anak, yaitu pak Sofyan guru matematika dan pak Amir guru kimia. Beliau berdua ini boleh dikatakan tanpa pamrih. Pernah terjadi hal lucu. Pak Sofyan menerangkan pelajaran fisika yang ditanyakan oleh murid waktu pelajaran tambahan itu. Pak Situmorang guru fisika mengetahui bahwa murid itu diajar oleh pak Sofyan dan oleh karenanya dia protes. Oleh pak Sofyan dengan santai diberitahu kalau pak Situmorang tersinggung lebih baik pak Situmorang membantu pula mengajar kelas tambahan. Untunglah dia akhirnya juga setuju untuk memberi pelajaran ekstra itu. Ada sepuluh orang guru yang terlibat dalam memberikan pelajaran tambahan itu sekarang. ’

Diskusi antara pak Suprapto dan pak Umar berlangsung santai. Mereka membahas hal-hal lain yang menyangkut pendidikan anak-anak diselingi masalah lainnya di seputar keadaan sekolah. Sementara itu telepon berdering. Pak Suprapto mengangkat telepon dan terlibat pembicaraan dengan orang di seberang sana.

‘Halo, selamat pagi…. Wa’alaikum salam…... Ya betul, ini SMU 369.’………..’Ya betul, saya sendiri. Ini dari mana?’……….’Oh ya. Mau berbicara dengan siapa?’……….’Oh ya ada. Ini sedang bersama saya. Kami sedang rapat. Ibu mau berbicara?’………..

‘Pak Umar, ini dari istri anda. Silahkan diterima.’

Pak Suprapto menyerahkan gagang telepon itu kepada pak Umar.

‘Ya halo. Assalamu’alaikum. Ada apa Fat?’……..’Innalillahi… kamu sekarang dimana?’…….’Bagaimana keadaannya?’…….’Baiklah, abang segera ke sana. Kamu tunggu di sana saja ya!’…… ‘Wa’alaikum salam warahmatullah’. Pak Umar meletakkan gagang telepon.

‘Pak, kami dapat musibah nih. Anak saya Amir mendapat kecelakaan ditabrak sepeda motor di depan sekolahnya. Bagaimana kalau saya minta izin dulu melihatnya ke rumah sakit sebentar?’

‘Apakah dia selamat? Maksud saya …..’

‘Ya dia luka dan harus di jahit. Sekarang di Rumah sakit Harmoni.’

‘Tapi benar dia tidak apa-apa? Atau ada yang meninggal karena kecelakaan itu?’

‘Tidak apa-apa pak. Tidak ada yang meninggal. Hanya lukanya agak serius di kepalanya dan harus dijahit.’

‘Saya dengar tadi pak Umar menyebut ‘Innalillahi’?

‘Oh ya pak. Setiap mendapat musibah saya membacanya. Itu sunnah nabi.’

‘Syukurlah kalau begitu. Silahkan kalau pak Umar mau menengok anaknya dulu. Ini bisa kita teruskan besok-besok.’

‘Kalau urusan di rumah sakit itu selesai cepat saya segera kembali ke sini pak.’

‘Terserah pak Umar. Tapi kalau memang ada yang perlu diselesaikan, selesaikan dulu urusannya. Kitakan masih punya banyak waktu. Saya masih akan di sini dua minggu lagi. Silahkan kalau pak Umar mau pergi sekarang.’

‘Baiklah pak, kalau begitu saya minta permisi dulu.’

‘Silahkan pak Umar. Mudah-mudahan anaknya tidak apa-apa dan segera sembuh. Salam saya untuk ibu Umar.’

‘Baik pak. Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikum salam.’


*****

No comments: