Tuesday, September 30, 2008

KETUPAT LEBARAN (1429)

KETUPAT LEBARAN (1429)

Allahu Akbar wa lillahilhamd. Gema takbir berkumandang lagi, seiring tenggelamnya matahari sebagai pembatas selesainya Ramadhan dan bermulanya bulan Syawal. Selesai pulalah ibadah puasa tahun 1429 H ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Waktu satu bulan penuh itu berakhir begitu cepatnya. Mengakhiri kegiatan rutin di bulan suci itu.

Rutin dengan shalat berjamaah. Dengan kultum. Dengan menyediakan iftar di mesjid. Dengan tarawih. Dengan tadarus. Dengan i’tikaf semampunya. Dalam kebersamaan jamaah. Alhamdulillah, kesadaran jamaah yang meski tidak kentara tapi pasti ada kemajuannya dibanding tahun-tahun yang lalu. Dan rutin pula dalam menampung zakat, infaq dan sadakah dari jamaah serta warga di sekitar komplek. Untuk kemudian disalurkan kepada para mustahiq. Para yang berhak menerimanya, yang tinggal dilingkungan terdekat dengan komplek perumahan kami.

Dalam diskusi antar jamaah timbul pertanyaan dan usulan agar pengkriteriaan mustahiq ini diperbaiki. Harus diseleksi benar-benar mereka yang dikategorikan sebagai yang berhak menerima limpahan zakat. Bagian utama adalah para fakir dan miskin. Nah, siapa yang benar-benar fakir? Yang benar-benar miskin?

Fakir, kata ustad, adalah mereka yang tidak punya apa-apa untuk dimakannya hari ini. Sementara yang disebut miskin pula adalah mereka yag masih punya makanan untuk hari ini tapi tidak punya apa-apa untuk dimakannya besok.

Ternyata sulit mencari fakir dan miskin yang memenuhi kriteria itu. Tukang pulung, yang mengumpulkan karton dan plastik bekas. Yang mengumpulkan barang-barang terbuang langsung dari tempat sampah. Menurut sebuah wawancara, mereka masih mampu mendapat penghasilan 20,000 sampai 30,000 rupiah sehari. Jumlah itu bagi mereka cukup untuk sekedar makan hari ini.

Mustahiq yang datang meminta pembagian zakat ke mesjid kami termasuk para kaum pemulung ini, yang jumlahnya selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Di sebelah komplek kami ada perumahan kampung. Disitu terdapat banyak sekali rumah-rumah petak kontrakan. Rumah-rumah petak yang disewa oleh tukang atau buruh bangunan, oleh tukang sol sepatu keliling, tukang ojek, pekerja bengkel, sopir angkot, sopir taksi, pedagang asongan, pedagang kaki lima, petugas keamanan atau petugas sekuriti. Ada yang istri mereka juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ada yang keluarga kecil dan ada yang keluarga cukup besar dengan 6 orang anak, bersempit-sempit di dalam sempitnya rumah petak kontrakan. Ada juga janda-janda tua atau bahkan para orang tua jompo. Mereka itulah yang kami kategorikan sebagai mustahiq penerima zakat.

Sahkah mereka kami anggap sebagai orang-orang miskin? Mereka mampu menyewa rumah petak. Mereka pasti masih punya bekal untuk makan besok dan lusa. Tapi mereka adalah orang-orang yang berjuang sangat keras untuk menopang kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang mengekas untuk mendapatkan makan. Seorang tukang yang bergaji harian antara 50,000 sampai 60,000 rupiah sehari, dengan kondisi tidak ada kerja, tidak ada gaji, harus membiayai kehidupan keluarganya. Serta membayar uang sekolah anak-anaknya.

Mereka kami data, dan kami bagi kupon. Keluarga dengan maksimum tiga jiwa dapat satu kupon. Dengan empat sampai enam jiwa dapat 2 kupon. Diatasnya 3 kupon.

Kupon yang kami bagi-bagikan ketika kami mensurvai langsung ke tempat tinggal mereka. Kami, para jamaah masjid, bergotong royong, berombongan-rombongan melakukannya. Tentu saja dengan melibatkan para remaja mesjid.

Dan kami minta mereka datang pada hari terakhir puasa, ba’da shalat asar, ke mesjid untuk menukarkan kupon dengan amplop berisi uang. Jumlah mustahiq kami tidak sampai ribuan. Kami membagikan sekitar 600 buah kupon. Masing-masing kupon kami tukar dengan amplop berisi 50,000 rupiah. Lalu kami layani mereka dengan tertib.

Tentu saja termasuk para pemulung yang tidak tinggal di rumah petak di sebelah komplek. Tapi datang dari tempat yang sedikit lebih jauh. Mereka datang berombongan-rombongan dengan pakaian dinas lengkap dengan pengais besi dan karung goni rombeng. Jumlah mereka sudah mencapai lebih seratus orang. Empat lima tahun yang lalu hanya beberapa orang saja, yakni yang biasa dinas ke tempat-tempat sampah di komplek. Mereka kami suruh berbaris teratur lalu juga diberi kupon.

Semua berjalan lancar dengan cara seperti itu.

Tidak semua yang terkumpul kami bagi-bagikan kepada para mustahiq. Ada bagian amil yang kami serahkan kepada para remaja mesjid yang bertugas menerima ZIS. Mereka bekerja pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ada yang kami masukkan ke dalam baitul maal mesjid, dana yang dapat dipinjamkan tanpa bunga kepada pedagang asongan dan sebangsanya, lalu dibayar cicil. Ada yang kami berikan untuk mensubsidi murid-murid Taman Pendidikan Al Quran di mesjid kami.

Cara seperti ini telah kami lakukan sejak bertahun-tahun. Selalu dengan laporan panitia Ramadhan yang setransparan mungkin kepada jamaah. Alhamdulillah jumlah ZIS yang kami himpun selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jamaah, yang adalah jamaah mesjid, yang adalah kami-kami juga, semakin percaya menitipkan zakat infaq sadakahnya.

Betapa tragisnya kejadian di Jawa Timur yang memakan korban jiwa sampai 21 orang, meninggal karena lemas akibat terdesak dan terinjak-injak ketika masyarakat berbondong-bondong tidak terkendali untuk menerima zakat. Pristiwa menyedihkan itu jadi tontonan di televisi. Menyedihkan sekali. Di rumah para puteriku mewanti-wanti, jangan sampai terjadi kejadian yang sama seperti itu ketika kami membagi-bagikan zakat.

Alhamdulillah kami tidak mengalami hal seperti itu. Karena jumlah mustahiq yang relatif kecil disamping kami menggunakan sistim kupon. Kami membuat enam buah loket untuk melayani pembawa kupon yang sudah diberi nomor sebelumnya. Sehingga benar-benar tertib dan mudah dikendalikan.

Seorang puteriku bertanya, kenapa orang tidak mau menyerahkan zakat infaq dan sadakah mereka kepada BAZIS atau LAZIS, yakni badan pengumpul zakat yang dibentuk pemerintah. Bukankah seandainya hal itu dikelola dengan benar kejadian menyedihkan seperti di Jawa Timur itu bisa dihindari?

Rasa-rasanya, jawabku, karena umat belum terlalu yakin dengan cara kerja badan-badan tersebut. Belum jelas dengan cara apa ZIS yang dikumpulkan umat itu dikelola. Belum ada laporan yang transparan. Yang ada baru sekedar iklan. Padahal, seandainya badan amil zakat itu dapat menarik simpati umat karena cara kerjanya yang amanah, kekuatan ZIS umat Islam di negara ini pastilah tidak tanggung-tanggung. Aku membandingkan dengan komplek perumahan kami yang hanya terdiri dari 200 an buah rumah. Yang Muslimnya sekitar 85%. Yang akrab dengan mesjid sekitar separuhnya. Tahun ini kami mampu mengumpulkan hampir 50 juta rupiah. Suatu jumlah yang cukup lumayan.

Sekitar delapan tahun yang lalu aku hadir pada sebuah rapat lembaga amil zakat itu. Pada rapat itu, pimpinan LAZIS menggebu-gebu meminta agar semua zakat yang terkumpul di setiap mesjid dikumpulkan kepada mereka untuk dibagikan kepada para mustahiq. Ketika itu aku jawab, hal itu sudah kami lakukan. Kami telah membagikannya kepada para mustahiq di sekitar perumahan kami. Mereka menanyakan apakah kami yakin bahwa yang menerima benar-benar mustahiq. Aku menjelaskan para mustahiq yang sama seperti disebut di atas. Aku balik bertanya, apakah LAZIS sudah punya contoh nyata, kemana mereka menyalurkan ZIS yang mereka kumpulkan? Sudahkah ada laporannya? Ternyata belum ada. Kalau begitu, kataku waktu itu, biarlah kami meneruskan saja seperti yang kami lakukan, karena kami selalu membuat laporan pertanggung-jawaban setiap kali kami membagi-bagikan zakat. Mereka berjanji akan membuat laporan serupa untuk tahun berikutnya. Tapi sejak itu kami tidak ada kontak lagi.

Pernah pula kami menerima kupon dari kelurahan beratus-ratus lembar dengan nominal rupiah di setiap lembarnya. Kami diminta menyerahkan sebanyak nilai kumulatif kupon tersebut kepada pengumpul zakat dari kelurahan. Seandainya kami ikuti, maka semua ZIS yang dikumpulkan terpaksa diserahkan kepada petugas dari kelurahan.

Dengan sangat hati-hati, kami kembalikan kupon-kupon itu, dan hanya beberapa ratus ribu rupiah yang kami serahkan. Kami jelaskan kepada pak Lurah bahwa kami telah membagi-bagikan zakat kepada para mustahiq di sekitar kami. Sejak itu, sudah cukup lama kami tidak lagi menerima bundelan kupon dari kelurahan.

Aku masih berharap, bahwa ZIS ini suatu saat benar-benar bisa dikelola dengan baik dan benar secara nasional, karena manfaatnya pasti akan besar sekali.

Allahu Akbar.

Jatibening, awal Syawal 1429H.


*****