Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.26)

26. Shalat Subuh di Mesjid Raya

‘Jam berapa sekarang?’ tanya Aswin waktu terbangun subuh, dan dilihatnya Pohan sudah lebih dulu bangun.

‘Baru jam setengah lima. Perutku sakit dan aku barusan ke belakang. Aku pikir sudah tanggung mau tidur lagi. Sebentar lagi sudah waktu subuh,’ jawab Pohan.

‘Sakit perut kenapa?’ tanya Aswin pula.

’Ah, nggak. Sakit perut ingin buang air saja. Dan sekarang sudah nggak apa-apa,’ jawab Pohan.

’Kenapa kamu? Keracunan makanan di restoran kemarin?’

’Ah, nggak juga. Aku rasa bukan karena itu. Tapi, ngomong-ngomong ada sesuatu yang entah menarik bagimu entah tidak....’ Pohan ragu-ragu.

’Apa itu? Apa maksudmu?’

’Shalat subuh di mesjid raya Bukit Tinggi. Hari Jumat imam biasanya membaca surat yang panjang dan ada sujud sajadah. Sujud tambahan pada rakaat pertama, khusus di lakukan di shalat subuh hari Jumat.’

’Kelihatannya akan jadi pengalaman yang menarik bagiku. Apa kita tidak terlambat untuk ke Bukit Tinggi sekarang?’ tanya Aswin bersemangat.

’Tidak. Kalau kamu segera pergi berwudhu, waktu kita masih panjang. Ke Bukit Tinggi kita hanya memerlukan 15 menit dari sini. Subuh jam 5 lebih 5. Waktu kita lebih dari cukup,’ jawab Pohan.

’OK. Aku akan ke kamar kecil dan sekalian berwudhu.’

’OK juga. Kalau begitu aku panaskan mobil sementara kamu ke kamar mandi.’

Mereka bersiap-siap. Etek terbangun mendengar mereka ribut-ribut dan sedikit heboh. Apalagi mendengar suara mesin mobil dihidupkan.

’Mau kemana kalian pagi-pagi begini?’ tanya etek waktu berpapasan dengan Aswin dekat kamar mandi.

’Kami mau shalat subuh di Bukit Tinggi,’ jawab Aswin.

’Oo o. OK, etek pikir kalian akan langsung berangkat pergi melancong lagi.’

Dan merekapun pamit mau berangkat lalu langsung pergi. Melalui jalan ke ngarai Sianok. Melalui jalan yang sunyi sepi.

’Tadi ada sujud apa namanya kamu bilang dalam shalat subuh di hari Jumat?’

’Sujud sajadah. Kalau aku tidak salah, imam membaca surah ke 32 dari Al Quran yang namanya surah Sajadah. Ayat ke 15 surah itu disebut ayat sajadah. Kalau kita mendengar ayat seperti itu dibacakan, sunah atau sangat dianjurkan kita sujud dan sujudnya disebut sujud sajadah,’ jawab Pohan.

’Bagaimana aku tahu kalau itu ayat ke 15? Dan apakah bacaan sujudnya berbeda dengan bacaan sujud ketika shalat biasa?’

’Bagaimana kita tahu? Akupun tidak hafal ayat surah sajadah itu. Tapi aku mengikuti saja gerakan imam. Ketika dia sujud aku ikut sujud. Dan memang harus agak melihat karena imamnya tidak memberi komando, tapi tiba-tiba dia sujud. Orang yang sudah hafal ikut sujud. Dan kita ikut sujud. Apa yang dibaca? Menurut ustad ada bacaannya khusus, tapi kalau tidak hafal, boleh kita baca bacaan ketika sujud seperti dalam shalat umumnya.’ Pohan menjelaskan panjang lebar.

’Tentu itu ada dalil dan keterangannya. Bukan sesuatu yang diimprovisasi oleh imam shalat.’

’Oo, jelas ada dalilnya. Ada haditsnya, kata ustad. Ada contohnya dari nabi Muhammad jadi bukan sesuatu yang dibuat-buat,’ jawab Pohan.

’Dan kamu sudah hafal bacaannya?’ tanya Aswin.

’Sudah hafal. Sajada wajhiya lillatzii khalaqahu wa sam’ahu, wa abshaarahu, bi haulihi, wa quwwatihi. Fatabarakallahu ahsanul khaaliqiin. Artinya, aku sujudkan wajahku kepada Sang Penciptanya, dan (yang menciptakan) pendengarannya, dan (yang menciptakan) penglihatannya dengan kekuasaan dan kekuatanNya. Allah Maha Memberkati dan sebaik-baiknya Pencipta.’

’Hebat. Bisa kamu ulang pelan-pelan biar aku coba menghafalkannya pula?’

Dan Pohan mengulanginya. Beberapa kali, sampai akhirnya Aswinpun hafal.

Persis saat azan subuh baru mulai dikumandangkan ketika mereka sampai di mesjid raya Bukit Tinggi. Cukup ramai jamaah yang datang untuk melaksanakan shalat subuh di mesjid ini. Cuaca dingin kota Bukit Tinggi yang cukup menusuk tidak mengurangi semangat mereka yang datang untuk melaksanakan shalat disini. Mereka masuki mesjid. Jamaah sudah ramai di dalam. Menunggu selesainya kumandangan azan. Lalu orang-orang itu shalat sunah sebelum subuh dua rakaat. Shalat sunah fajar. Tidak lama sesudah itu iqamat dikumandangkan. Jamaah yang banyak itu berdiri mengatur saf. Meluruskan dan merapatkan saf. Siap sudah semua. Dan imam memberi komando. Mengangkat tangan untuk takbir. Allahu Akbar. Dengan suara berat yang berwibawa.

Dan dibacanya surah alfatihah. Dengan bacaan yang sangat indah dan fasih. Dan makmum mendengarkannya dengan khusyuk di belakang. Selesai alfatihah disambut amiin yang panjang oleh jamaah. Dibacanya surah Sajadah. Aliif Laam Miim. Tanziilul kitaabi laa raibafiihi min rabbil ’aalamiin..... Syahdu. Merdu. Mendayu. Makmum menyimak dengan khusyuk. Biar tidak mengerti artinya sekalipun.

Sesudah ayat yang ke lima belas. Imam langsung sujud. Makmum langsung sujud. Pohan dan Aswin ikut sujud. Sajada wajhiya lillatzii khalaqahuu...... Dan imam itu bangkit berdiri kembali. Meneruskan bacaannya dalam ayat-ayat surah sajadah. Sampai selesai. Sampai dia rukuk dan makmum ikut rukuk. Imam sujud dan makmum ikut sujud. Dan seterusnya sampai dia bangkit untuk rakaat yang kedua. Mengulangi bacaan alfatihah. Dilanjutkan dengan surah yang lain. Hal ata ’alal insaani hiinum....

Selesai shalat subuh. Dikuti zikir dan doa. Dan ada kuliah subuh, begitu istilahnya. Aswin betah saja duduk mendengarkan ceramah itu. Ustad bercerita tentang makna kejujuran. Makna amanah. Setiap orang yang beriman seharusnya adalah orang-orang yang jujur dan amanah. Yang dapat menahan serta mengendalikan dirinya dari berbuat zalim kepada orang lain dengan tidak mengambil hak orang lain. Dengan tidak melukai orang lain. Ustad membacakan ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits nabi dalam ceramahnya.

Mereka dengarkan taklim itu sampai selesai. Yang selesainya ketika hari sudah terang benderang.

Waktu mereka bergerak keluar terdengar orang berbicara dalam bahasa Melayu. Tentu pelancong Malaysia agaknya. Boleh jadi yang menginap di Novotel Hotel. Atau hotel mana lagi yang berdekatan dengan mesjid ini. Berarti di antara jamaah shalat subuh ini juga ada kaum pelancong. Ya, kenapa tidak. Seperti waktu itu sama-sama shalat di Tabek Patah.

’Kemana kita?’ tanya Aswin.

’Mencari sarapan. Ada jenis sarapan yang mirip dengan ketupat sayur namanya ’bubua samba’. Bubur nasi yang sudah seperti lontong atau ketupat, dimakan dengan gulai sayur dan kerupuk merah. Kerupuk merah yang kita lihat dijemur orang di Piladang. Kamu masih ingat?’

’Ya. Aku masih ingat. Dan tentu bubur nasi itu tidak ada bedanya dengan ketupat sayur yang dibeli etek pagi-pagi tiga hari yang lalu?’

’Hampir tidak ada bedanya. Tapi rasanya pasti agak berbeda.’

’OK sajalah. Dimana tempatnya?’

’Di jalan kita mau pulang. Di jalan masuk ke ngarai. Ada kedainya disana.’

Hanya dalam beberapa menit merekapun sampai di lepau ’bubua samba’ itu. Persis di mulut jalan menuju ke dalam ngarai di sebelah kiri jalan. Dan tidak hanya ’bubua samba’ yang tersedia. Semuanya ada di situ. Mau ketan dan pisang goreng, atau ketan dengan srikaya, mau bubur kampiun, mau apam serabi. Pokoknya lengkap.

Karena yang direkomendasi Pohan adalah ’bubua samba’, maka itulah yang mereka pesan. Dan secangkir kopi untuk Aswin serta teh telur untuk Pohan. Ternyata memang top rasanya. ’Bubua samba’ dengan sayur nangka dan rebung, dengan kerupuk merah, dengan sambel. Lepau yang tidak seberapa besar itu dipenuhi pengunjung. Sebagian adalah warga di sekitar lepau dan sebagian lagi orang yang sengaja datang. Terlihat beberapa mobil terparkir di depan lepau.

’Kita bawakan untuk etek dan nenek?’ tanya Aswin.

’Ya, kita bawakan untuk etek dan nenek. Dan nenek senang dengan bubur kampiun.’

’Apa maksudnya bubur juara itu?’ tanya Aswin.

’Wah, apa saja ya, yang dimasukkan mereka? Ada ketan, ada bubur sumsum atau bubur tepung beras, ada srikaya, ada bubur.. entah apa lagi namanya. Semua itu disatukan dengan kuah santan dan tengguli. Atau kamu mau mencobanya?’

’Tidak sekarang. Sekarang ’bubua samba’ ini sudah lebih dari cukup,’ jawab Aswin.

’Kenapa kamu tidak mau mencoba dua makanan berbarengan? Sesudah makan lompong sagu tidak mau makan yang lain. Sesudah ’bubua samba’ tidak mau mencoba bubur kampiun. Tapi kemarin di Padang sesudah makan steak mau makan es krim.’

’Begini. Kalau makanan itu baru aku coba, dan aku menyukainya, aku tidak ingin rasa enaknya segera hilang dari mulut. Tapi kalau makanan itu sudah biasa aku makan, tidak ada masalah mencoba yang lain sesudah itu,’ Aswin menjelaskan.

’Berarti ’bubua samba’ ini cukup enak?’

’Ya. Ini enak.’

’Atau kita bawa pulang juga untuk kamu nanti di rumah?’

’Sebentar dulu. Acara kita hari ini apa saja? Maksudku setelah pulang ke rumah, sesudah mandi, kita ke mana?’

’Nanti kita ke ngalau Kamang. Dan shalat Jum’at di mesjid raya lagi. Atau di mesjid mana saja. Dan nanti sesudah shalat Jum’at kita makan nasi Kapau uni Lis. Habis itu ke Sungai Janiah dekat Baso. Heboh kan? Acara kita?’

’Jam berapa kita berangkat?’

’Sekitar jam sembilan. Ngalau Kamang tidak jauh. Hanya sekitar 12 kilometer dari Bukit Tinggi.’

’Panjang betul urusannya. Kalau begitu tidak usah kita bawa pulang. Aku rasa sebelum shalat Jumat nanti kita bisa sempatkan makan bubur kampiun dimana saja.’

’OK kalau begitu. Jadi kita suruh bungkus dua bubur kampiun untuk etek dan nenek. Kata etek, dia juga mau bubur kampiun,’ kata Pohan.

Dia sudah menanyakannya kepada etek di rumah.


*****

1 comment:

Pengalaman di Adsense said...

Salam.
Saya suka blog islami seperti ini.
Oleh penulis buku 40 Hari Di Tanah Suci.