Tuesday, February 26, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.16)

16. Beruk Lubuk Basung

Pagi-pagi sekali mereka sudah bersiap lagi untuk berangkat. Kali ini membawa tas ransel berisi pakaian ganti karena nanti malam mereka akan menginap di Padang. Mereka sudah memesan kamar di hotel Pangeran Beach untuk satu malam. Pagi itu hujan turun rintik-rintik.

’Kelihatannya hujan nih, apa kita tetap berangkat pagi-pagi ini? tanya Aswin, waktu mereka masih di meja makan.

’Nantian lah dulu sabanta. Kan ndak ado nan ka dikajai do,’ kata nenek. Seperti biasa kali ini jo bahaso Minang.

’Bagaimana?’ tanya Aswin kepada Pohan.

’Ya udah. Kita tunggu agak setengah jam,’ kata Pohan.

’OK.’

Mereka melanjutkan bincang-bincang di meja makan sementara menunggu waktu setengah jam itu berlalu. Dan ternyata memang hujan berhenti. Tapi masih tetap saja mendung.

’Kita berangkat saja. Mudah-mudahan nanti cuaca berubah di perjalanan,’ ajak Pohan.

’Atau, kita tidak usah melalui Maninjau lagi, langsung ke Padang liwat Padang Panjang. Kalau di sana hujan dan jalanan licin apa melalui belokan empat puluh empat tidak berbahaya?’ tanya Aswin pula.

’Mudah-mudahan nggak apa-apa. Kita liwat Maninjau saja. Atau seandainya nanti di sana hujan dan hujannya deras, kita berhenti dulu di Embun Pagi. Tapi belum tentu juga hari hujan waktu kita nanti liwat di sana,’ Pohan percaya diri.

‘OK. Kalau kamu yakin, aku OK saja,’ ujar Aswin pula.

Setelah berpamitan dengan nenek dan etek, mereka berangkat. Sudah hampir jam delapan. Melalui jalan ke Matur untuk terus ke Maninjau. Menjelang Matur jalan justru berubah menjadi berkabut. Pohan menyalakan lampu kuning untuk menembus kabut. Tapi untunglah kabut itu menipis begitu mereka mendekati Embun Pagi. Dan mereka lalui kelok empat puluh empat, kelok demi kelok ke bawah yang berakhir di Maninjau. Berbelok ke kanan menuju Lubuk Basung, melalui jalan di pinggir danau. Cuaca masih tetap redup. Dan di dalam danau, sepagi ini sudah ada yang bermain ski air.

Mobil melaju dijalan dengan tenang. Di perjalanan itu mereka temui rombongan sekitar sepuluh orang sedang bersepeda ke arah yang sama dengan mereka. Orang-orang asing berkulit putih semua. Memang enak bersepeda di jalan ini karena jalannya rata. Mereka mungkin bisa sampai ke Lubuk Basung dengan sepeda. Mendekati Lubuk Basung cuaca sudah berubah cerah. Matahari terlihat sudah tinggi dari sebelah bukit Puncak Lawang. Di luar kota ini, di pinggir jalan yang banyak pohon kelapa, terlihat kerumunan pelancong sedang menengadah melihat ke atas pohon kelapa. Ada satu orang memegang tali yang terentang ke atas pohon kelapa di antara kerumunan orang itu.

’Apa yang mereka lihat?’ tanya Aswin.

’Mereka melihat beruk memetik kelapa,’ jawab Pohan.

’Wah. Mari kita lihat juga,’ pinta Aswin.

Pohan menghentikan mobil dan memarkirnya di pinggir jalan. Mereka ikut menonton kebolehan beruk yang dikomando oleh pemiliknya untuk mengambil kelapa.

’Suruh dia ambil kelapa muda,’ kata seorang pelancong bule itu.

Pemilik beruk memberikan aba-aba dengan mengatakan sesuatu yang entah apa artinya. Tapi beruk itu rupanya mengerti dan menjatuhkan sebuah kelapa muda.

’Suruh dia ambil lima kelapa muda,’ kata bule itu lagi.

’Lima lagi?’ tanya pemilik beruk.

’Tidak. Lagi ampat,’ tambahnya pula.

Kali ini diulanginya aba-aba hampir seperti tadi juga bunyinya dan entah dimana bedanya. Beruk menjatuhkan empat buah lagi kelapa muda. Rupanya beruk dan juragannya sudah benar-benar saling memahami. Pelancong-pelancong itu bertepuk tangan menyaksikan atraksi kepintaran si beruk. Pemilik beruk itu memberi aba-aba dan beruk itu sekarang turun dengan sangat lincahnya dari pohon kelapa yang lebih sepuluh meter tingginya itu. Kadang-kadang dengan kepala ke bawah. Namanya saja beruk. Sampai di tanah dia mendapatkan upahnya, dua buah pisang. Tidak lupa dia menyeringai kepada pelancong yang menonton itu sebelum menikmati kedua buah pisang itu.

Kelapa muda yang dipesan pelancong bule itu langsung disiapkan oleh anak penjaga warung. Warung itu rupanya milik yang empunya beruk itu juga. Kelapa muda yang sudah dirapikan bagian atasnya, disajikan dengan apik di atas piring lengkap dengan sedotan plastik dan sendok untuk mengambil daging kelapa muda. Rupanya tidak semua pelancong itu mengerti bahwa mereka bisa menikmati kelapa muda seperti itu. Sekarang kesembilan orang pelancong sama-sama menginginkan kelapa muda. Mereka minta kepada yang tadi bisa berbahasa Indonesia agar meminta diambilkan kelapa muda lagi karena mereka juga ingin menikmatinya.

‘Ini orang semua mau kelapa muda juga. Bisa lagi monyet suruh ambil?’ katanya dengan bahasa Indonesia seadanya.

Pemilik warung merangkap pemilik beruk itu tersenyum.

’Berapa lagi?’ tanyanya.

’Lagi... satu, dua tiga, ampat. Lagi ampat,’ kata si bule.

’Tolong ambilkan juga untuk kami berdua,’ kata Pohan menambahkan.

Sekarang beruk itu disuruh memanjat pohon kelapa yang lain lagi. Diulanginya kembali atraksi tadi. Dengan sangat cepat dan lincah sebentar saja dia sudah sampai di puncak pohon kelapa. Menjatuhkan beberapa buah kelapa muda yang sesuai pesanan tadi.

Sekarang semua menikmati kelapa muda di warung sederhana yang bersih dan tertata apik itu sambil mengobrol. Pelancong bule itu ada yang dari Australia, dari Canada dan dari Belanda. Aswin dan Pohan terlibat perbincangan dengan mereka. Yang pandai berbahasa Indonesia tadi, yang rupanya orang Australia, banyak tahu tentang objek wisata di negeri ini. Dia mengatakan bahwa ada lomba memetik kelapa antar beruk yang biasa dilakukan di Lubuk Alung dan Sicincin. Yang dipertandingkan adalah ketepatan dan kecepatan masing-masing beruk memilih buah kelapa dan kecepatannya. Di samping tentu saja kepintaran beruk menerima perintah dari majikannya. Lomba itu menarik, kata si Australia itu, karena meskipun beruk-beruk itu sudah dilatih tapi kemahirannya masih berbeda. Ada saja misalnya yang mengambil kelapa muda padahal yang dipertandingkan adalah memetik kelapa yang tua. Atau ada yang memetik lebih dari yang disuruh. Lomba seperti itu biasanya ramai pengunjungnya baik pelancong maupun orang kampung. Beruk juara akan mendapat hadiah.

Pemilik warung yang ternyata faham dan bisa berbahasa Inggeris ikut berbicara dan mengatakan bahwa beruknya jadi juara tiga dalam perlombaan tahun lalu.

’This ’beruk’?’ tanya seorang pelancong.

‘Yes. This one,’ jawab orang warung itu. ‘You see that trophy over there? That is his trophy,’ tambahnya lagi sambil menunjuk ke sebuah piala yang dipajang di atas kulkas. Dengan sedikit bangga.

‘Selain piala apa lagi hadiahnya?’ tanya Aswin.

’Uang. Dua juta lima ratus ribu. Juara satu dapat uang lima juta rupiah. Dan piala dari pak Bupati Padang Pariaman,’ jawabnya.

’Hebat. Kapan diadakan lomba beruk memetik kelapa itu?’ tanya Aswin pula.

’Bulan Juli. Pada saat pelancong lebih banyak datang ke Sumatera Barat. Sebelumnya ada juga lomba antar kampung, tapi kurang menarik. Hitung-hitung hanya sebagai pemanasan saja,’ tambahnya lagi.

’Siapa yang melatih beruk-beruk itu?’ tanya Pohan pula.

’Kami-kami saja. Maksudnya masing-masing pemiliknya. Belum ada sekolah beruk. He..he..’ jawab orang warung itu.

’And this year this ‘beruk’ wil participate again?’ tanya seorang pelancong.

‘Sure. I hope this time he will win the competition,’ jawabnya lagi.

‘He? Is it a male?’

‘Yes. And only male ‘beruk’ can participate.’

‘O o. OK.’

‘Mungkin dari sana asal usul celotehan orang Pariaman. Disangko baghuak e jantan, kigho e mambang ikue e,’ kata Pohan.

‘Antahlah,’ jawab pemilik warung tersenyum.

’What did he say?’ tanya si Bule.

Aswin menerangkan arti olok-olokan itu.

’Don’t you give him a name? What is his name?’ tanya si Bule yang lain pula.

‘No need. He wouldn’t understand. He will understand when he hears my voice and I say cuk..cuk.. cuk..’

‘I will name him ‘Juaro’. What do you think?’ kata si orang Australia.

Si empunya warung tersenyum saja.

‘What does it mean?’ tanya teman-temannya.

‘Champ. Champion,’ jawabnya.

‘Yeah…. We name him … what was that?’

‘Juaro.’

‘Yeah.. Juaro. Hey Juaro… Hey Juaro…’ teriak turis itu ramai-ramai ke arah si beruk yang terikat di luar.

Si beruk menyeringai dan mencibir kepada mereka.


*****

No comments: