Saturday, April 18, 2009

DERAI-DERAI CINTA (7)

7. MUSIBAH BESAR

Hujan semakin lebat. Suara curahannya menimpa atap semakin keras saja. Imran tidak bisa tidur. Kenapa, ya? Ibu banyak bercerita tentang ayah? Ingin berziarah ke pusara ayah? Diapun jadi ingat ayah. Ayah yang dulu memboncengnya naik sepeda berkeliling kampung. Ayah yang membawanya berjalan-jalan ke kebun binatang di Bukit Tinggi. Ayah yang mengajarnya mengaji. Karena ayah memang guru mengaji di kampung. Dan ayah tiba-tiba meninggal akibat sakit tetanus. Sesudah kakinya tertusuk duri aur di tepi batang air. Hanya dua hari beliau sakit lalu meninggal. Betapa sedihnya ibu kala itu. Berhari-hari mata ibu sembab karena menangis.

Beberapa bulan kemudian ibu bangkit dari duka mendalam itu. Melanjutkan usaha ayah berdagang pisang. Dan ternyata ibu mampu. Mengumpul dan menjual pisang ke kota. Dan ibu memberinya tanggung jawab menanak nasi ketika ibu pulang terlambat. Atau menggoreng telor untuk lauk. Imran jadi bisa dan terbiasa dengan pekerjaan dapur.

Sampai suatu hari, setahun lebih yang lalu ibu jatuh sakit. Apakah karena ibu terlalu letih? Tapi bukan karena itu kata pak mantri di kampung ini. Ibu berpenyakit tekanan darah tinggi. Yang berakhir dengan kelumpuhan.

Atas saran pak mantri ibu dimasukkan ke rumah sakit. Imran menunggui beliau di rumah sakit. Dari rumah sakit dia berangkat ke sekolah. Ke rumah sakit dia kembali pulang dari sekolah. Setelah hampir sebulan ibu minta dibawa pulang. Dan dia merawat ibu di rumah.

Semua bayangan masa lalu itu berputar menari-nari di kepala Imran. Dia berbalik ke kanan dan ke kiri di atas dipan kayu itu. Dan matanya tidak kunjung bisa tidur. Meski dia telah menguap berkali-kali. Hujan mulai agak reda. Tapi suara guruh menggemuruh berulang-ulang. Dari celah pintu terlihat kilat berapi-api.

Tapi akhirnya dia tertidur juga. Di ujung kegelisahannya.

***

Petir menggelegar keras sekali. Imran terloncat bangun karena kaget. Jantungnya berdebar keras karena terkejut. Dilihatnya ibu. Ibu tidur nyenyak. Imran duduk memperhatikan celah jendela. Kilat masih sabung menyabung di luar sana. Dibacanya laa hawla quwwata illa billah ketika kilat menyambar. Tidak sengaja matanya kembali melihat ke arah ibu. Masya Allah..... Ibu sedang mengangkat kedua tangannya. Ya, tangan kiri ibu yang lumpuh juga ikut diangkat. Tangan itu menggapai-gapai. Tiba-tiba petir menggelegar sekali lagi. Imran hampir meloncat karena terkejut. Tangan ibu kembali diturunkannya seolah-olah sedang menggenggam sesuatu. Ibu tersenyum. Imran ikut tersenyum. Rupanya ini arti mimpi itu. Ibu memetik petir, yang baru saja menggelegar. Dan tangan ibu seperti tangan normal. Bukan tangan sakit yang lumpuh. Ya Allah, inilah rupanya arti mimpi ibuku, desah Imran dalam hati.

Beberapa puluh detik kemudian, tiba-tiba terdengar suara menderu. Bukan suara curah hujan di atap seng. Bukan suara guruh. Suara apa itu? Imran tidak sempat berpikir. Suara itu semakin keras. Imran melompat turun dari dipan dan menuju ke jendela. Dibukanya jendela karena ingin melihat sumber suara itu. Kebetulan kilat menyambar. Imran tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Puluhan benda-benda sebesar ketiding besar berkejar-kejaran dari arah gunung Marapi. Imran terkesiap. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dia juga tidak tahu benda apa itu.

Suara gemuruh itu semakin dan semakin dekat. Dan mulai terdengar suara berdengkang menghantam sisi rumah. Dan suara kaca pecah dari rumah sebelah. Rumah yang ditempati nek Piah. Ya Allah.....

Imran berteriak Allahu Akbar. Ibu terbangun dan langsung terkejut mendengar suara berdengkang-dengkang. Dan suara kaca pecah. Dan suara nek Piah berteriak minta tolong.

‘Ran! Tolong nek Piah, Ran. Tolong nenekmu ke bawah!’ teriak ibu.

Imran berlari ke pintu keluar. Dibukanya kunci pintu. Gelap di luar sana. Kilat menyambar lagi dan dia lihat di antara tangga dan rumah sebelah tidak ada apa-apa. Imran lari turun menuju rumah nek Piah. Jendela-jendela kaca di bagian samping rumah itu hancur berantakan.

‘Nek, buka pintunya nek,’ teriak Imran.

Samar-samar terlihat bayangan nek Piah di dalam. Nek Piah mendekat ke arah pintu dan membuka kunci. Beliau membuka pintu. Muka nenek itu berdarah. Imran membimbing tangan nenek itu ke luar dari rumah. Suara gemuruh dan berdengkang-dengkang masih tetap berlanjut.

Sebuah hantaman sangat kuat terdengar di sisi rumah. Persis di sisi kamar ibu. Diikuti suara kayu patah berderak. Dan suara sesuatu yang ambruk. Imran membimbing nenek ke sisi lain rumah karena tempat itu terlindung dari hantaman.

‘Nenek tunggu disini sebentar nek. Awak mau melihat ibu ke atas. Nenek tutup luka nenek dengan selendang ya...’ kata Imran.

Imran bergegas naik tangga ke rumah. Bunyi tangga itu sekarang berderak-derik. Imran melangkah hati-hati. Dia sampai di atas dan didorongnya pintu. Pintu itu keras sekali. Imran tidak sabar. Ditendangnya pintu itu sekuat tenaga. Pintu terbuka. Imran menuju ke kamar. Ya Allah......... Lantai kamar itu ambruk. Tempat tidur ibu ikut runtuh ke bawah dalam posisi terguling. Imran berteriak memanggil ibu. Tidak ada jawaban. Imran melihat ibu tertelungkup di sisi bawah tempat tidur yang terguling.

Imran tidak bisa segera turun ke tempat ibu karena lantai yang terjungkal. Tadi Imran melihat tumpukan kain bekas cucian di atas kursi di luar. Diambilnya dua helai kain panjang dan diikatkannya ke pegangan pintu. Berpegangan pada kain panjang itu Imran turun ke bawah. Dibalikkannya tubuh ibu dengan sedikit susah. Nafas ibu tersengal-sengal dan dari mulut beliau keluar darah. Ibu memandang Imran dengan tersenyum.

‘Hati.... ha...ti....se..pe..ning....gal... ibu...nak.... laa ilaha illallaah.......’

Itulah kalimat beliau yang terakhir. Imran menjerit memanggil ibu yang ada dipelukannya. Ibu yang sekarang sudah jadi jasad. Begitu cepatnya. Imran menangis. Menangis parau.

Sekarang diluar sunyi senyap. Tidak ada lagi bunyi menderu. Nenek Piah berjalan sambil meraba-raba menuju tangga. Beliau mendengar teriakan Imran. Nenek Piah menaiki tangga sambil berpegangan tangan.

Nenek berjalan menuju kamar. Lantai yang diinjaknya berbunyi berderak-derak. Imran mendengar suara tapak kaki melangkah.

‘Siapa disitu?’ tanya Imran.

‘Nenek, Ran. Dimana kau? Apa yang terjadi?’ tanya nenek.

‘Jangan kesini nek. Lantai terban. Ibu, nek....... Ibu....... ‘ teriak Imran dalam tangis.

‘Kenapa ibumu? Bagaimana dia?’ tanya nenek.

‘Ibu sudah pergi nek....... Nenek jangan kesini.... ‘

‘Ibumu kenapa? Si Ana kenapa? Dimana dia?’ Nenek ikut histeris. Beliau berteriak dan menangis.

‘Ibu jatuh, nek....... Tempat tidur terguling....... Ibu sudah tidak ada..........’ jawab Imran dalam tangis.

‘Ya Allaaah..... Ana.... Anaa...... kenapa kau nak....... Ya Allaaah.....’ nenek semakin histeris.

Nenek dan Imran bertangis-tangisan di tempat masing-masing. Kira-kira setengah jam kemudian terdengar suara orang di luar. Mak etek Nursal dan mak etek Tamrin datang. Terdengar suara mak etek memanggil-manggil.

Mendengar suara tangisan nenek dan Imran kedua orang itu naik ke rumah. Kembali suara tangga berderak-derak.

‘Kenapa mak?’ tanya mak etek Tamrin.

‘Si Ana, Tamrin.... si Ana.....’ hanya itu jawab nenek.

Dari dalam kamar di bagian bawah terdengar isakan tangis Imran. Kedua mak etek itu melangkah hati-hati ke arah kamar.

‘Imran!’ mak etek Nursal memanggil.

‘Mak etek...... Ibu...mak etek.... Ibu sudah pergi.......’ jawab Imran


*****

No comments: