Friday, October 7, 2011

Santri

SANTRI

Rafki sampai di rumah orang tuanya. Untuk berlibur hari raya selama dua minggu. Betapa menyenangkan untuk kembali berada di rumah ini, dekat ayah dan ibu serta adik-adiknya. Rafki adalah seorang santri di sekolah penghafal al Quran di luar kota, di kaki gunung Marapi. Sudah setahun dia menuntut ilmu di sana. Atas perintah ayah, karena ayah ingin dia menjadi seorang hafidz. Seorang penghafal al Quran. Doa penghafal al Quran itu diijabah Allah dengan mudah. Orang tuanya pun nanti akan dihimbaunya masuk ke surga atas izin Allah. Itulah sebabnya ayahnya, Khatib Sulaiman sangat berambisi menyekolahkan Rafki ke pesantren itu.

Dan selama setahun itu baru kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya di Jambi. Meskipun pada awalnya dia tidak terlalu bersemangat meninggalkan rumah orang tuanya, Rafki sebagai seorang anak yang penurut, mematuhi arahan ayah itu. Tapi ternyata suasana di pondok itu cukup menyenangkan. Kawan-kawannya semua baik-baik. Ustadz-ustadznya baik-baik. Lingkungannya ramah dan menyenangkan. Di sana Rafki termasuk santri yang terbaik. Prestasi sekolahnya bagus. Dan dia sudah menghafalkan 3 juz terakhir al Quran dengan bacaan yang fasih dan bersih tajwijnya. Sebuah prestasi yang luar biasa.

Kemajuan Rafki selalu dipantau Khatib Sulaiman ayahnya. Dua kali seminggu ayah dan anak itu berkomunikasi melalui sms, melalui hape ustadz Saiful. Ayah selalu saja bertanya sudah sejauh mana kemajuan hafalan al Qurannya. Bagi ayah hal itu adalah yang paling penting. Alhamdulillah Rafki selalu melaporkan kemajuan. Melaporkan surah demi surah pada setiap juz terakhir yang sudah dihafalkan. Khatib Sulaiman bangga berbunga-bunga. Ingin sekali dia mendengarkan langsung bacaan anaknya itu. Akan dimintakannya ijin imam mesjid agar si Rafki mengimami shalat subuh di mesjid. Betapa akan menyenangkan, punya anak penghafal al Quran.

Sekaranglah tiba waktunya. Di saat Rafki pulang berlibur ini. Khatib Sulaiman yang paling bahagia dengan kepulangan anak sulungnya itu. Rafki terlihat agak kurus sedikit tapi sangat sehat. Matanya bersinar-sinar. Sinar mata seorang penghafal al Quran.

Adik Rafki yang persis di bawahnya bernama Zain, duduk di kelas lima SD. Zain juga terkagum-kagum dengan Rafki. Dengan da Rafki atau lebih ringkas dipanggilnya da Raf. Kakaknya itu sangat berpaham penampilannya sekarang. Sangat berbeda dengan ketika sebelum dia berangkat ke pesantren. Sejak sampai di rumah tadi siang, sudah beberapa kali Zain memergoki Rafki sedang bergumam dengan nada seperti orang mengaji. Tapi suaranya terlalu halus untuk bisa didengar. Zain tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

‘Sedang apa da Raf ini?’ akhirnya dia bertanya.

Rafki hanya tersenyum dan terus juga seperti bergumam.

‘Da Raf mengaji?’

Rafki mengangguk.

‘Cobalah baca yang keras. Awak ingin mendengar.’

Rafki menyaringkan suaranya. Terdengar bacaannya yang sangat elok, tartil, dan teratur dengan irama agak cepat. Zain terkagum-kagum mendengarnya. Sepertinya bacaan itu sangat lancar. Tidak pernah sekali juga dia terhenti atau ragu-ragu.

‘Surah apa yang da Raf baca? Biar awak simak,’ kata Zain. Tangannya sudah memegang sebuah mushaf al Quran.

Kali ini Rafki menghentikan bacaannya. Diambilnya al Quran itu dari tangan adiknya dan dibukanya surah al Mujadalah, awal juz ke dua puluh delapan.

‘Simaklah baik-baik!’ katanya.

Rafki kembali membaca dan Zain menyimaknya. Ayat demi ayat itu dibacanya dengan jelas. Jelas panjang dan pendeknya, jelas dengungnya, jelas tasydidnya, jelas qalqalahnya. Zain semakin terkagum-kagum. Tidak ada satupun bacaan itu yang salah. Sampai Rafki menyelesaikan keduapuluhdua ayat. Dilanjutkannya pula dengan surah al Hasyr sampai selesai.pula.

Rafki masih terus mengaji. Adiknya Zain menyimak dengan bersungguh-sungguh dengan kekaguman. Betapa hebatnya kakaknya itu. Betapa hebatnya da Raf. Setelah itu kedua adik kakak itu terlibat dalam pembicaraan.

‘Berapa lama da Raf menghafalkan juz ke dua puluh delapan itu?’ tanya Zain.

‘Hampir tiga bulan sampai benar-benar hafal,’ jawab Rafki.

‘Semua teman di pondok hafal seperti itu?’

‘Hampir semua. Ada bahkan yang lebih cepat, yang sudah mulai menghafalkan juz dua puluh tujuh.’

‘Kenapa dari belakang menghafalnya?’

‘Kata ustadz memang lebih baik seperti itu. Dimulai dengan yang susah dari belakang, karena ayat-ayatnya pendek-pendek dan banyak. Tapi kalau kita berhasil menghafalkan juz-juz terakhir itu, juz seterusnya jadi lebih mudah dihafalkan. Juz ‘ama atau juz tiga puluh baru bisa hafal dalam waktu hampir lima bulan. Juz berikutnya sekitar empat bulan. Terakhir juz dua puluh delapan selama tiga bulan.’

‘Sampai kelas tiga nanti bisa hafal sampai juz berapa?’

‘Mudah-mudahan sampai sepuluh juz. Target ustadz-ustadz di pondok seperti itu dan mudah-mudahan kesampaian.’

‘Hebat sekali…… Awak juga ingin sekolah ke sana,’ kata Zain bersungguh-sungguh.

‘Sudah diberitahukan ke ayah dan mak?’

‘Sudah. Ayah sangat setuju. Hanya mak yang ragu-ragu karena nanti rumah jadi sepi kalau awak pergi. Begitu kata mak.’

‘Kan masih dua tahun lagi. Mudah-mudahan saja nanti mak tidak lagi ragu-ragu.’

‘Tolong doakan ya da Raf?!’

‘Ya, insya Allah da Raf doakan.’

Di waktu shalat maghrib, di rumah, ayah menyuruh Rafki jadi imam. Dia membaca surah al Kaafiruun dan surah al Ikhlas. Surah yang pendek. Rafki membacanya dengan fasih dan tartil. Ayahnya berkomentar bahwa kedua surah itu terlalu pendek. Ayah ingin mendengar surah yang lebih panjang dan beliau meminta agar shalat isya nanti Rafki membaca yang lebih panjang. Dan Rafki mematuhinya. Dia baca surah al Muzzammil dan al Muddatstsir. Dengan fasih. Dengan lancar dan tartil.

Khatib Sulaiman bahagia dan bangga. Bacaan anaknya itu sangat mengagumkannya dan menyenangkan hati.

‘Besok subuh kita shalat di mesjid Al Barkah,’ kata ayah.

Rafki mengangguk.

‘Da Raf akan disuruh jadi imam?’ tanya Zain.

‘Kalau Haji Ahmad menyuruh kau maju, maka kau maju saja jadi imam!’ kata ayah.

‘Kan tidak enak sama orang tua-tua ayah,’ jawab Rafki.

‘Ayah sudah memberitahu Haji Ahmad. Beliau tidak keberatan. Beliau bahkan sangat setuju. Katanya, biar anak-anak muda, atau setidak-tidaknya orang tua yang punya anak muda tertarik pula mengirim anak mereka ke sekolah penghafal al Quran.’

‘Ya da Raf. Baca surah yang tadi itu lagi saja,’ Zain ikut menyemangati.

Di waktu subuh ketiga ayah dan anak itu pergi ke mesjid Al Barkah tepat saat azan subuh dikumandangkan. Jamaah subuh di mesjid ini ada sekitar empat puluh orang. Umumnya orang tua-tua. Sebahagian besar berpakaian haji atau sekurang-kurangnya bersorban. Sesudah iqamat, Haji Ahmad memanggil Rafki yang duduk di saf belakang dan menyuruhnya jadi imam. Meski agak sungkan, tapi Rafki maju juga. Sebelum takbir memulai shalat diingatkannya para jamaah agar meluruskan shaf. ‘Sawuu sufufakum….,’ katanya. Dan mereka mulai shalat.

Rafki membaca surah al Insaan di rakaat pertama dan surah al Mursalaat di rakaat kedua. Suaranya yang nyaring dan terang itu bertambah indah berkat bantuan alat pengeras suara. Lalu mereka rukuk di rakaat kedua. Lalu I’tidal. Lalu langsung sujud. Terjadi sedikit ‘huru-hara’. Ada yang berdehem-dehem dan ada yang membaca subhanallaah. Rafki yang tidak merasa ada yang salah tidak bereaksi apa-apa dan meneruskan saja shalatnya sampai selesai. Waktu dia menoleh dan mengarahkan pandangan ke belakang, dilihatnya orang-orang tua itu pada sujud. Rafki agak terheran-heran. Rupanya beliau-beliau itu sujud sahwi. Apa yang salah? Apa yang terlupa? Rafki tidak habis pikir.

Ayah mendekat kepadanya dan berbisik.

‘Kenapa kau tidak membaca doa qunut?’

Rafki baru sadar. Rupanya itu penyebabnya. Dia tidak membaca qunut waktu shalat tadi. Tapi Rafki diam saja. Dia tidak berkomentar apa-apa.

Sampai di rumah ayah kembali menanyakan.

‘Kenapa kau tidak qunut?’

‘Qunut itu kan sunah saja ayah. Di pondok ustadz-ustadz tidak membaca doa qunut,’ jawab Rafki dengan nada biasa-biasa saja.

‘Apa? Tidak membaca qunut?’ suara ayah meninggi.

‘Tidak ayah. Membaca qunut itu tidak wajib. Di masjidil Harampun imam shalat subuh tidak membaca qunut,’ jawab Rafki.

‘Wah! Kalau begitu kau sudah masuk perangkap. Kau sudah masuk ke golongan yang keliru. Kita adalah anggota ahlus sunnah wal jamaah. Kita wajib membaca qunut. Kalau kau lupa kau harus sujud sahwi. Sayang….. Bacaanmu yang bagus tadi tidak ada artinya karena kau menyalahi aturan. Karena kau tidak membaca qunut.’

‘Ayah… Membaca qunut itu hanya sunnah. Tidak wajib. Tidak membacanya tidak menjadikan shalat tidak sah. Kami menonton di televisi Arab Saudi, di Masjidil Haram imam shalat subuh tidak membaca qunut dan tidak ada orang yang sujud sahwi,’ jawab Rafki berhati-hati.

‘Ternyata pesantrenmu itu milik golongan itu. Golongan yang suka membid-‘ah-bid-‘ahkan orang lain. Membid-‘ah-bid-’ahkan kita. Sebaiknya, atau ayah putuskan, kau tidak usah lagi balik ke sana.’

Rafki terperangah mendengar ucapan ayah. Begitu juga Zain. Bukankah sampai tadi malam ayah sangat benar bangga dengan bacaan al Quran Rafki? Benarkah dengan tidak membaca qunut waktu shalat subuh tadi dia sudah membuat kesalahan fatal? Rafki tidak ingin meneruskan bantahan dan memilih diam.

Dan ternyata ayah tidak main-main dengan keputusannya melarang Rafki kembali ke pondok.

‘Nanti kita cari pondok yang lain. Pondok dari golongan ahlus sunnah wal jamaah. Ayah akan menghubungi pimpinan pondok itu untuk memberi tahu bahwa kau tidak akan kembali lagi ke sana,’ begitu kata ayah.

Rafki sedih tidak boleh kembali ke pondok. Lebih sedih lagi karena dia yakin alasan ayah itu tidak masuk akal. Tapi dia tidak mau membantah. Dia tidak mau mendurhakai ayah. Zain juga terheran-heran dengan keputusan ayah itu yang dirasanya sangat aneh dan tidak adil. Padahal dia sudah bertekad untuk mengikuti jejak da Raf. Untuk ikut jadi santri di sekolah penghafal al Quran itu. Yang sekarang ternyata jadi buyar.


*****

No comments: