Sunday, March 9, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (2)

2. Hari Keberangkatan


Malam sebelum berangkat saya tidur lebih awal. Rasanya tidak sabar menunggu saat keberangkatan. Waktu bangun subuhnya perasaan saya bergelora-gelora. Ada perasaan harap, cemas, tidak sabaran bercampur aduk. Dalam hati saya berdoa, mudahkanlah perjalanan ini ya Allah. Subuh itu saya ke mesjid ditemani istri sementara anak-anak bersiap-siap untuk shalat di rumah. Saya tidak dapat menahan tangis pada saat menjadi imam shalat subuh itu. Pada rakaat pertama saya beberapa kali tertegun menahan tangis, tapi pada rakaat kedua tangis saya benar-benar tidak dapat ditahan lagi. Selesai shalat, saya kembali berpamitan dengan para jamaah dengan suara terisak-isak. Saya mohon agar saya dan keluarga saya didoakan agar selamat pulang dan pergi ke Tanah suci. Karena hari itu hari libur (tahun baru Cina), sesudah shalat ada kuliah subuh. Ustad yang akan mengisi kuliah subuh mendoakan kami dengan khusyuk dan sesudah itu, sebelum saya berpamitan, jemaah mesjid bergantian bersalaman dan memeluk saya. Beberapa orang jamaah ikut larut dalam tangis. Setelah itu saya pulang, untuk bersiap-siap, karena kami akan berangkat jam tujuh pagi dari rumah.

Jam tujuh, saya ajak anak-anak untuk ke mesjid, untuk shalat sunat sebelum berangkat. Dan setelah itu barulah kami meninggalkan rumah dengan diantarkan oleh adik saya. Kami menuju Mesjid Al Furqan, dekat kantor Dewan Dakwah di Kramat Raya. Pagi itu ada acara pelepasan jemaah oleh Pimpinan Yayasan yang dihadiri pula oleh beberapa orang ustad Dewan Dakwah. Acara terpaksa dibuat padat, karena jam sepuluh kami sudah harus berangkat ke Bandara.

Alhamdulillah, segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana. Jam sebelas kurang kami sudah sampai di Bandara. Jam dua belas lebih seperempat kami sudah mulai naik ke pesawat dan jam satu tepat pesawat Saudi Arabia yang membawa kami menuju Madinah Munawarah sudah tinggal landas di landasan pacu Bandara Sukarno – Hatta. Kami berlima duduk di bangku tengah pada deretan ke 32 di pesawat Boeing 777 itu.

Labbaika Allahuma Labbaik. Labbaika laa syariikalaka labbaik. Innal hamda wani’mata laka walmulk, laa syariikalak. Kalimat talbiyah itu saya ulang-ulang dalam hati dan mata saya berlinang-linang. Setelah pesawat itu terbang dengan lebih tenang dan mendatar, kami lakukan shalat zuhur dan ashar dengan dijamak dan diqasar. Dan setelah itu kami jalani sepuluh jam penerbangan yang cukup menyenangkan diselingi acara makan, menonton, mendengarkan tilawah al Quran dari remote cassete, ngobrol, zikir dan tidur. Di layar tv terpampang informasi mengenai penerbangan ini secara teratur. Tinggi jelajah, kecepatan penerbangan, jarak yang sudah ditempuh, jarak yang tersisa, perkiraan waktu sampai di tujuan dsb.

Dua bangku di depan saya, di kursi sebelah kiri, duduk Prof. Quraisy Syihab dan istrinya, Mula-mula ada keinginan untuk berkenalan dengannya, tapi saya urungkan. Saya khawatir saya hanya akan mengganggunya saja. Tapi pada kesempatan lain istri saya sempat ngobrol dengan istrinya, waktu mereka bersantai melepas ketegangan otot-otot di bagian belakang pesawat. Penerbangan itu benar-benar menyenangkan dan adalah penerbangan langsung menuju kota Madinah. Akhirnya, jam sebelas malam waktu Jakarta atau jam tujuh malam waktu Madinah, pesawat itu mendarat di Bandara Madinah. Meski agak lelah sesudah terbang non stop selama sepuluh jam, kami, sebagaimana umumnya penumpang lain kembali bersemangat. Pemeriksaan di imigrasi bandara itu berjalan cukup cepat karena hanya rombongan kami itu saja yang mereka periksa. Jam delapan malam kami sudah sampai di pemondokan, di hotel Durrat Al-Andalus, yang terletak lebih kurang dua ratus meter dari mesjid Nabawi.

Waktu berada di dalam lift ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena melihat kami berlima dengan tiga anak gadis, lalu mengingatkan agar berhati-hati. Lengkap dengan contoh kasus. Katanya, baru minggu kemarin kejadian, ada orang yang anak gadisnya lagi berhalangan ditinggal di hotel ini sendirian, lalu di perkosa. Wallahi, saya sebenarnya sedih dan tidak suka mendengar cerita seperti ini. Biasanya kalau didesak, apakah ibu melihat sendiri? Jawabannya biasanya, saya diceritain. Cerita yang sejak saya pergi haji tahun 90 dulu pernah pula saya dengar, yang entah darimana sumbernya. Dan sejujurnya, saya tidak terlalu percaya. Cerita seperti itu banyak versinya dan bahkan ada yang lebih seram, bahwa setelah diperkosa wanita itu dibunuh. Tapi kalau ditelusuri, biasanya sumbernya diceritain oleh orang lain yang melihatnya. Siapa yang melihat itu? Ya orang lain.

Setelah menaruh barang bawaan di kamar, kami bersiap-siap untuk pergi ke mesjid Nabawi untuk shalat maghrib dan isya. Hari sudah sekitar jam sembilan malam, waktu shalat isya sudah lebih sejam berlalu. Waktu mau masuk ke tempat shalat wanita, petugas pintu dan petugas kebersihan melarang istri dan anak-anak saya masuk. Mereka mengucapkan kata-kata yang kami tangkap hanya ‘shubh - shubh’, yang maksudnya nanti saja waktu subuh. Karena tempat shalat wanita dan laki-laki terpisah saya tidak berusaha lagi untuk masuk ke dalam mesjid dan akhirnya kami shalat di lantai luar saja. Kami shalat maghrib dan isya dijamak dan diqasar.

Setelah itu kami kembali ke pemondokan untuk makan malam dan beristirahat. Saya sudah mendapatkan informasi bahwa waktu subuh besok adalah jam 5.30. Saya memasang alarm di HP untuk bangun jam empat kurang seperempat. Tapi ternyata pagi itu saya terbangun sekitar jam tiga (sudah jam tujuh di Jakarta) dan segera bersiap-siap untuk pergi ke mesjid.



*****

No comments: