Saturday, May 2, 2009

DERAI-DERAI CINTA (19)

19. ANAK-ANAK MAK DANG

Ruang perpustakaan ramai dengan mahasiswa yang datang untuk belajar. Tapi tetap tertib dalam kesunyian. Setiap pengunjung mentaati aturan untuk tidak berisik dan mengganggu orang lain, tidak merokok dan tidak tidur di dalam ruangan ini. Imran mendapat sebuah kursi kosong di sebuah sudut. Di meja yang sama ada tiga orang mahasiswa lain. Ketiganya sedang tekun dengan buku mereka masing-masing. Imran mengangguk kepada mereka dan menarik kursi pelan-pelan. Diapun segera ikut tenggelam.

Dua jam belajar di perpustakaan sangat efektif. Waktu dua jam itu cepat saja habis. Imran sadar setelah melihat satu persatu teman-teman mahasiswa itu meninggalkan ruangan. Dia melirik jam. Ternyata sudah hampir jam enam. Imran mengemasi buku-bukunya dan segera keluar. Sudah hampir masuk waktu maghrib. Benar saja, sampai di luar terdengar suara azan maghrib bersahut-sahutan. Imran melangkah ke arah mesjid Salman untuk ikut shalat berjamaah.

Waktu sedang memasang sepatu sehabis shalat, Imran ditepuk seseorang dari belakang. Rupanya temannya sama-sama mahasiswa geologi, Tahir Tarigan.

‘Sudah mantap belajarnya ?’ tanya Tahir.

‘Belajar? Ya.... lumayanlah. Kau sendiri bagaimana?’

‘Pokoknya berusaha. Ngomong-ngomong mana teman kau si Padang satunya lagi?’

‘Si Syahrul ?’

‘Iya, si Caun. Kata si Masri, di Padang si Syahrul itu panggilannya si Caun. Benar, kan ? Mana dia ? Biasanya kalian selalu sama-sama.’

‘He..he.. Iya. Si Masri itu di kampungnya dipanggil si Maih. Syahrul lagi membikin tugas sama temannya.’

‘Pantas tak kulihat dia. Pantas kau sendiri saja tadi kulihat di perpustakaan.’

‘Kau tadi di perpustakaan juga ?’

‘Iyalah.’

‘Aku nggak lihat.’

‘Aku di ruangan yang sama dengan kau tadi. Terus mau kemana lagi, kau? Ndak ada kau pergi-pergi lagi ke tempat saudara kau itu ?’ tanya Tahir.

‘Saudaraku yang mana ?’

‘Itu.... Anak ‘mamak’ kau itu...., yang tetangga sama aku itu... bah.’

‘Ooooo. Anak ‘tulang’ ku? Yang di Sekeloa ?’

‘Iya. Kan anak mamak kau nya itu kau bilang. Anak ninik mamak kau, nan gadang basa bertuah..... he..he..he.. begitu kan?’

‘Kebetulan kau bertanya. Aku mau kesana nih, sekarang,’ jawab Imran.

‘Betulan?’

‘Betulan.’

‘Ya, sudah. Mari ikut aku,’ ajak Tahir.

Kebenaran sekali. Imran dibonceng Tahir Tarigan sampai ke depan rumah abang Lutfi.

‘Terima kasih banyak, Hir,’ kata Imran begitu sampai.

‘Kapan-kapan kau mau kesini lagi, hubungi saja aku. Jangan khawatir...he..he...’ kata Tahir sebelum berlalu.

Tahir memang tinggal berjarak beberapa buah rumah dari rumah tempat abang Lutfi ini.

***

Imran menekan bel. Lala yang membukakan pintu.

‘Baru aja diomongin. Masuk bang!’ kata Lala.

‘Diomongin, kenapa?’ tanya Imran.

‘Uni nanyain. Mana si Imran yang katanya mau datang, gitu.’

‘Mana uni Lani? Kok sepi?’

‘Uni di dalam. Baru habis mandi. Abang belum pulang dari praktek.’

‘Gimana bimbelnya? Lancar?’

‘Bimbel lancar. Menjelang ujiannya yang dag dig dug.’

Yuni, teman Lala, keluar dari kamar.

‘Kenalin, bang. Ini Yuni, teman Lala. Yun, ini abang Imran yang aku ceritain.’

Imran dan Yuni bersalaman.

‘Sama-sama dari Rumbai ?’ tanya Imran.

‘Iya,’ jawab Lala dan Yuni bersamaan.

‘Sama-sama ikut bimbel di Dago ?’ tanya Imran lagi.

‘Nggak. Saya di Dipati Ukur, dekat sini,’ jawab Yuni.

‘Yuni pengen masuk kedokteran Unpad,’ Lala menambahkan.

Uni Lani keluar dari kamar.

‘Kemana aja nih, saudagar? Nggak pernah nongol,’ uni Lani menyapa.

‘Mahasiswa dibilang saudagar. Ada-ada saja uni ini.’

‘Sibuk sekali kamu, Ran? Bagaimana usaha pertekstilan?’

‘Sibuk seperti biasa saja, un. Tekstil, jalan terus. Kan remah-remahnya saja yang dikirim ke Bukit Tinggi.’

‘Sudah mulai ujian lagi?’

‘Minggu depan, un.’

‘Uni dengar dari kakak temanmu, yang tinggal dekat sini, kalian mau praktek lapangan. Masak sudah mau praktek lapangan aja sih? Apa benar?’

‘Ooo, kakaknya si Tahir Tarigan? Itu teman uni ya? Benar, kami mau kerja praktek di lapangan. Nanti pas libur semester.’

‘Ya. Farida Tarigan, dia di farmasi tapi satu angkatan sama uni. Adiknya satu angkatan sama kamu kan?’

‘Iya. Barusan saya ikut dia. Kami ketemu di mesjid Salman habis shalat maghrib.’

‘Praktek lapangan apa maksudnya? Dimana?’ tanya uni Lani lagi.

‘Lebih tepatnya praktikum lapangan, uni. Tempatnya di Karang Sambung dekat Kebumen di Jawa Tengah. Mahasiswa geologi yang sudah menyelesaikan empat semester kerja praktek disana. Mengenali ilmu-ilmu geologi langsung di alam terbuka. Mengenali jenis batu-batuan, mengenali kenampakan kumpulan batu-batuan itu, letak satu lapisan batuan dibandingkan dengan lapisan yang lain, kejadian alam di masa lalu yang berlaku terhadap batu-batuan, sisa atau cangkang binatang-binatang purba yang terdapat dalam batuan. Semua ilmu itu sudah kami pelajari di ruang kuliah. Praktikumnya kami kerjakan di laboratorium. Sekarang kami akan melihat keadaan aslinya di alam terbuka.’

‘Hebat! Berapa lama kerja praktek itu?’

‘Empat puluh hari, un.’

‘Kayak petapa, dong. Empat puluh hari.’

Bibik datang membawakan minuman. Teh panas.

‘Ceritanya bang Imran bikin minder, nih,’ kata Lala.

‘Kamu ada-ada saja. Masak cerita begitu bikin minder?’

‘Nggak usah ngomongin kuliahan, ah. Tambah bikin dag dig dug aja. Bang, tembak langsung saja. Kapan mau bikinin gulai tunjang?’

‘Lho. Maksudnya apa nih?’

‘Tadi, uni cerita. Abang pernah bikin gulai tunjang Kapau. Kata uni enak sekali. Ayooo, bikin lagi dong.’

‘He... he..he... Gulai tunjang tinggal beli saja di restoran...’

‘Bang Imran! Serius nih.’

‘Ya, sudah. Kapan-kapan. Kan harus beli dulu tunjang mentahnya.’

‘Hari Minggu, besok?’

‘Waduh. Serius benar, nih?’

‘Serius.’

‘Boleh. Lala bisa nggak pergi membeli tunjang mentahnya?’

‘Harus Lala, ya ? Bisa, lah. Bisa.’

‘Nggak usahlah. Biar abang deh, yang belanja hari Minggu nanti.’

Sambil mereka ngobrol ke barat – ke timur itu bang Lutfi dan istrinya datang.

‘Tumben, Ran. Sudah lama datang?’ sapa bang Lutfi.

‘Sudah, bang. Tadi ketemu Lala di jalan. Dia suruh datang. Ternyata untuk disuruh bikin gulai tunjang.’

‘Wah! Mantap itu. Kapan?’

‘Hari Minggu, bang. Bang Imran sudah janji,’ Lala yang menjawab.

‘Abang kirain sekarang,’ kata bang Lutfi asal-asalan.

‘Ya, nggak mungkin lah bang. Kan bahannya harus dibeli dulu,’ jawab Imran.

‘Ayok makan, yok. Sudah lapar banget, nih,’ ajak bang Lutfi.

Dia tahu, pasti semua masih menunggu dia.


*****

No comments: