Friday, November 21, 2008

SANG AMANAH (68)

(68)

Sesudah tamu-tamu itu pergi, kolonel Sudibyo kembali menanyakan kepada pak Rahardjo dimana tepatnya rumah pak Umar. Pak Rahardjo merasa agak heran, kenapa adik iparnya masih menanyakan lagi tentang pak Umar.

‘Ada apa sih, kok dik Dibyo masih nanyain pak Umar itu?’ tanya pak Rahardjo.

‘Saya ingin bertamu ke rumahnya. Kira-kira dia mau menerima saya nggak ya, malam-malam begini?’ tanya kolonel Sudibyo.

‘Ada perlu apa?’ tanya pak Rahardjo.

‘Ada perlu sesuatu. Mas Rahardjo bisa nggak menemani saya ke sana?’

‘Oh ya. Memang ada perlu apa sih?’ pak Rahardjo bertanya sedikit penasaran.

‘Itu lho mas. Urusan sekolahnya Priyo,’ jawab kolonel Sudibyo.

‘Oh begitu….. Terus, mau pergi sekarang? Sudah jam berapa sih ini?’ tanya pak Rahardjo.

‘Sudah jam sembilan lebih, sih memang. Apa kalau kita bertamu jam segini, kurang pantes, mas? Apa jam segini dia sudah mau tidur?’

‘Saya ndak tahu juga. Biasanya keluarga itu rajin shalat tengah malam. Ya mungkin saja dia tidurnya lebih awal. Tapi boleh juga kita coba lihat ke sana,’ usul pak Rahardjo pula.

‘Kita lihat dulu aja mas. Kalau umpama dia sudah tidur, ya sudah,’ desak kolonel Sudibyo.

‘Baik. Mari kita ke sana,’ ajak pak Rahardjo pula.

Mereka berdua melangkah keluar, menuju ke rumah pak Umar di blok D3. Sambil berjalan itu kolonel Sudibyo menjelaskan secara ringkas kejadian yang menimpanya tadi pagi. Pak Rahardjo menjadi lebih paham kenapa iparnya begitu ngotot mau bertamu malam ini juga, walaupun dia kaget mendengar kejadian yang menimpa keponakannya, Priyo. Dia belum sempat menanyakan apa sesungguhnya yang menimpa Priyo, karena keburu mereka sudah sampai di depan rumah pak Umar

Mereka beruntung karena ternyata pak Umar belum tidur. Dia sedang duduk sendirian di teras rumahnya sambil membaca buku. Duduk di teras memang lebih sejuk. Pak Rahardjo mengucapkan salam ketika sampai di pintu pagar rumah pak Umar. Pak Umar menjawab salam pak Rahardjo dan bangkit membukakan pintu pagar menyambut kedatangan tamunya itu. Kedua tamu itu masuk dan mereka bersalaman. Kolonel Sudibyo memberi hormat dengan menundukkan kepala sebelum menjabat tangan pak Umar.

‘Kenalkan, pak Umar. Ini adik ipar saya, mas Sudibyo. Kayaknya dik Dibyo ini ada suatu keperluan yang ingin dibicarakan dengan pak Umar,’ pak Rahardjo memperkenalkan adik iparnya itu.

Pak Umar mempersilahkan kedua tamu itu masuk ke ruangan tamu dalam rumahnya. Mereka terlibat dalam bicara basa basi sebentar. Pak Rahardjo menjelaskan bahwa kolonel Sudibyo itu adalah seorang perwira menengah Angkatan Darat dan istrinya adalah adik kandung pak Rahardjo. Pak Umar mengangguk-angguk dan tersenyum mendengar penjelasan pak Rahardjo itu. Setelah itu barulah kolonel Sudibyo mengutarakan maksudnya.

‘Kedatangan saya ini, terus terang adalah untuk minta maaf atas kejadian di sekolah tadi pagi, pak,’ kolonel Sudibyo mengawali pembicaraan.

‘Kejadian mana maksud bapak?’ tanya pak Umar agak berpura-pura.

‘Tadi pagi saya bertemu dengan pak Umar di sekolah… SMU…berapa itu…? Saya sedang kalut. Tadi itu saya berlaku kurang pantas terhadap pak Umar dengan bersuara keras. Untuk itu saya mohon maaf,’ kata kolonel Sudibyo.

‘Oh ya. Saya jadi ingat. Bapak yang tadi pagi datang ke SMU 369 bertemu ibu Purwati, ya?’ pak Umar bertanya.

‘Betul. Yaa… itulah. Saya ini punya masalah dengan anak saya. Anak itu… mungkin karena terlalu dimanja. Sehingga jadi kehilangan kontrol. Priyo itu lho mas Har. Jadi kehilangan pegangan. Tadinya dia sekolah di SMU 235. Terlibat kenakalan remaja, lalu sama kepala sekolahnya dikeluarkan. Saya sedih. Saya marah juga sebenarnya, kok anak saya dikeluarkan dari sekolah. Tapi ya sudahlah. Anak saya ini sepertinya memang salah. Di rumah sudah saya marahi. Sudah terampun-ampun. Ngakunya sudah kapok, sudah nggak mau bandel lagi. Lalu saya ingat jeng Purwati. Itu lho mas Har, Jeng Purwati anaknya pakde Sutomo yang di Brebes. Jeng Purwati iki, saya dengar kan wakil kepala sekolah di SMU… piro tho….SMU 369. Lha namanya saya masih berharap anak saya masih bisa melanjutkan sekolah. Tadi malam saya telpon dia, minta tulung kalau bisa memasukkan Priyo di SMU 369. Dia bilang ya dibawa saja, nanti tak ketemukan kepala sekolah. Tadi pagi saya bawa. Weleh, nggak tahunya bocah iku… anak itu…kok malahan kumat. Ketagihan… terus langsung pingsan. Yaa… saya kalut tenan.. Ya kecewa…ya sedih…ya dongkol…. Bocah pingsan itu saya gotong ke mobil. Pak Umar ini datang…dan saya yang lagi kalut.…lagi nggak normal…membentak pak Umar. Waktu jeng Purwati itu mengingatkan, ini bapak kepala sekolah…wadduh, aku yo isin. Saya ya maluu buanget. Tapi kalut. Tapi ya lagi mumet. Saya nggak minta maaf…. nggak bilang apa-apa. Lah, malam ini kok ndilalah ketemu di sini. Saya dari tadi merhatiin terus. Merasa maluu terus. Kok ini pak kepala sekolah yang tadi tak kasari kok ada di sini. Jadi begitu ceritane pak. Saya sekali lagi mohon maaf, karena tadi saya sudah berlaku tidak pada tempatnya sama pak Umar.’

‘Wah, langsung saja pak. Saya sangat mengerti perasaan bapak yang lagi gundah. Jadi jelas bapak saya maafkan. Tapi, maaf. Kalau boleh saya tahu, bagaimana kondisi anak bapak itu sekarang?’ tanya pak Umar mengalihkan pembicaraan.

‘Tadi itu mula-mula saya bawa ke rumah sakit. Sama dokter di rumah sakit itu diberi suntikan. Setelah itu agak lumayan. Siang terbangun dan kelihatan agak segar. Sore ini sudah lemes lagi. Saya juga ndak ngerti, pak. Kelihatannya anak saya itu sudah gawat ketagihannya. Saya bener-bener kecolongan. Kepinginnya saya ya dirawat di panti rehabilitasi begitu. Tapi masih berunding sama istri saya,’ kolonel Sudibyo menjelaskan.

‘Lha, sekarang dia dimana dik?’ tanya pak Rahardjo.

‘Di rumah. Tadi saya suruh jaga sama Sinta,’ jawab kolonel Sudibyo.

‘Harus cepat-cepat dirawat lo, dik Dibyo. Mumpung belum terlalu terlambat. Waduh kasihan betul. Priyo itu padahal pintar lho. Sampai tamat SMP itu juara kelas terus lho, pak Umar. Saya kok ya baru ngerti sekarang ada masalah begini,’ komentar pak Rahardjo pula.

‘Saya juga terlambat ngertinya, mas. Dik Yayu itu selalu menutup-nutupi. Lha, sekali waktu saya ditelpon kepala sekolahnya, langsung ke kantor. Katanya Priyo sudah dua minggu nggak masuk sekolah. Katanya lagi, sudah diberitahukan ibunya seminggu sebelumnya kok tetap tidak muncul di sekolah. Wah, aku yo, nesu. Di rumah tak tanya apa yang terjadi baru dia cerita. Ngakunya sakit. Lha, sakit apa, wong anaknya kelihatan biasa-biasa aja. Aku ndak mikir macem-macem. Tak nasihati. Dikasih tahu baik-baik. Dirayu lagi. Sudah mau sekolah lagi. Besoknya saya antar ke sekolah. Saya bicara sama kepala sekolah. Saya titip baik-baik agar anak itu diawasi biar nggak ngawur. Tiap hari saya telpon ke sekolah selama seminggu pertama, selalu ada. Tapi kok ya, kata gurunya kayak sakiten gitu. Saya perhati-perhatiken, memang anak ini kurusan. Kok jadi rodo pendiem. Saya pikir, ya mungkin lagi masa pancaroba. Jadi saya biarken. Terakhir minggu kemarin saya ditelpon lagi sama kepala sekolah. Dia bilang anak ini terpaksa harus dikeluarkan, karena kedapetan menggunakan alat suntik. Wadduh, rasanya saya mau pingsan. Bocah ini kok ya jadi begini. Saya kalut dan kalap. Saya datangi sekolah itu dan saya marahi kepala sekolahnya. Ini…. mohon maaf ya pak Umar…..gimana saya ndak jadi marah. Orang saya sudah nitip. Sudah minta tulung agar anak ini dibantu diawasi, kok malah divonis dikeluarken. Tapi akhirnya saya sadar juga. Mana mungkin dia hanya mengawasi anak saya saja. Dan mungkin juga anak saya memang sudah terlanjur nggak bener sampai berani main alat suntik di sekolah. Lalu di rumah masih saya coba menasihati panjang lebar. Saya marahi, saya bilang baik-baik, saya ingatken, wah, pokoknya sudah macem-macem. Tapi mungkin karena sudah terlanjur kecanduan. Jadi rodo sulit. Dua hari yang lalu saya nasihati lagi, tak ajak ngomong-ngomong lagi. Saya tanya, kamu ini main suntik-suntik ini karena iseng atau sudah kecanduan? Bisa berhenti atau sudah nggak bisa lagi berhenti? Jawabnya, cuman iseng aja kok, dan bisa serta mau berhenti. Kamu ini masih mau sekolah apa bagaimana? Jawabnya masih mau sekolah. Dan saya ingat sama jeng Purwati. Saya masih ingin anak ini bisa sekolah. Saya minta tulung mau memasukkan ke sekolahnya pak Umar. Ee nggak tahunya kejadian seperti tadi pagi itu. Wah, maaf nih pak Umar. Saya kok ya jadi membukakan rahasia keluarga saya sendiri,’ kolonel Sudibyo mengakhiri uraian panjang lebarnya.

Pak Umar manggut-manggut mendengar cerita kolonel Sudibyo. Dia sangat prihatin mendengar uraian panjang itu.

‘Saya bisa merasakan kekecewaan pak Sudibyo. Tapi saya ingin menyarankan satu hal. Jangan berputus asa, pak. Dalam keadaan sulit bagaimanapun mengadulah kepada Tuhan. Kepada Allah SWT. Tidak ada urusan yang sulit bagi Allah. Berusaha untuk merawat anak bapak dan memohon kepada Allah dengan setulus-tulus permohonan,’ pak Umar memberikan saran.

‘Benar yang dikatakan pak Umar. Sekarang yang paling penting adalah merawat Priyo dengan intensif. Kalau memang harus masuk panti rehabilitasi, ya dimasukkan. Namanya usaha. Dan setelah itu diiringi dengan doa,’ pak Rahardjo menambahkan.

‘Saya setuju sekali. Akan saya usahakan menjalankan seperti itu. Sekalian, agaknya ini juga merupakan tamparan kepada saya. Karena selama ini saya tidak bersungguh-sungguh menjalankan perintah agama. Saya merasakan betul yang dikatakan pak Umar. Kepada siapa lagi saya akan minta tolong kalau bukan kepada Nya. Saya sangat mengharapkan Priyo itu berhasil sekolahnya. Walaupun masih terlalu awal, saya berandai-andai. Seandainya anak saya itu bisa sembuh dari kebiasaan menggunakan obat suntik itu, apakah dia mungkin diterima di sekolah pak Umar?’ tanya kolonel Sudibyo.

‘Seandainya dia sudah tidak lagi terlibat dalam penggunaan obat-obat terlarang, insya Allah akan saya bantu. Sekali lagi saya sarankan, agar bapak berikhtiar. Dan berdoa banyak-banyak kepada Allah, dengan bersungguh-sungguh. Sayapun akan membantu berdoa untuk kesejahteraan anak bapak,’ jawab pak Umar.

‘Saya ucapkan terima kasih banyak atas nasihat dan doa pak Umar. Sekali lagi saya mohon maaf, karena sudah mengganggu pak Umar sampai malam-malam begini,’ ucap kolonel Sudibyo.

‘Saya senang sekali berkenalan dengan bapak. Dengan pertemuan seperti ini bertambah saudara saya. Mudah-mudahan perkenalan kita ini mendapat ridha Allah SWT,’ jawab pak Umar.

‘Amiin. Baiklah, pak Umar. Kami mohon diri dulu. Tolong sampaikan salam saya sama ibu,’ pak Rahardjo berpamitan.

‘Insya Allah saya sampaikan. Mungkin karena kecapekan, dia sudah lebih duluan tidur,’ jawab pak Umar pula.

‘Monggo pak Umar, nggih,’ kolonel Sudibyo juga berpamitan.

‘Mari…mari pak…,’

‘Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikumsalam warahmatullah.’


*****

No comments: