Thursday, April 30, 2009

DERAI-DERAI CINTA (17)

17. LALA

Lala bercita-cita masuk ITB. Seperti bang Imran. Bukan. Bukan hanya seperti bang Imran, tapi seperti banyak kakak kelas Lala yang sudah jadi mahasiswa ITB. Papa juga sangat ingin ada salah satu di antara mereka bersaudara yang masuk ITB. Seperti papa dulu. Sekarang harapan itu tinggal tergantung pada Lala. Kakak Lala yang paling tua, abang Lutfi adalah seorang dokter dari Fakultas Kedokteran Unpad. Kakaknya yang nomor dua, uni Lani saat ini masih melanjutkan kuliah lagi di Psikologi Unpad.

Begitu ujian akhir SMA selesai, Lala segera berangkat ke Bandung. Seperti teman-teman sekelasnya yang juga ingin melanjutkan sekolah disana. Semua berangkat sesegera mungkin untuk mempersiapkan diri melalui bimbingan belajar. ITB bagaikan sebuah magnit . Banyak sarjana teknik karyawan Caltex adalah alumni ITB. Sekarang anak-anak mereka ingin mengulang jejak.

Di Bandung mak dang Taufik mempunyai rumah di Sekeloa. Rumah yang dibeli mak dang ketika bang Lutfi mula-mula jadi mahasiswa Unpad. Sebuah rumah berukuran cukup besar dengan tiga buah kamar tidur. Mak dang sekeluarga biasa datang kesini kalau sedang cuti. Sebelum Lala datang, di rumah ini tinggal bang Lutfi dengan istrinya, teteh Yani dan uni Lani. Bang Lutfi baru saja menikah. Istrinya juga seorang dokter. Mereka sebenarnya sudah ingin pindah ke rumah mungil mereka di daerah Buah Batu tapi tidak tega meninggalkan uni Lani sendiri di rumah ini.

Bersama Lala ikut teman sekelasnya Yuni. Kedua remaja ini bersahabat karib sejak dari SD. Yuni ingin masuk fakultas kedokteran Unpad. Kalau dia diterima, Yuni rencananya akan ikut tinggal di rumah ini. Lala dan Yuni segera terlibat dengan kegiatan bimbingan belajar. Lala di bimbingan belajar Ganesa di Dago sementara Yuni ikut di jalan Dipati Ukur dekat Unpad. Jadwal belajar mereka tidak selalu sama.


***

Siang itu Lala cepat pulang karena pembimbing pelajaran fisika berhalangan. Jam dua belas kurang dia sudah sampai di rumah. Lala tadi bertemu bang Imran di dekat jalan Ganesa. Bang Imran turun dari oplet. Dia buru-buru mau berangkat kuliah. Lala minta bang Imran datang ke rumah. Bang Imran berjanji akan ke rumah nanti malam.

Uni Lani yang sibuk menyiapkan makalah tidak kemana-mana hari ini. Uni Lani selalu saja sibuk dengan makalah-makalah. Dengan seminar-seminar. Setiap makalah memerlukan daftar pustaka yang banyak. Buku-buku tebal psikologi bergeletakan di kamar dekat tempat tidurnya.

Lala dan uni Lani makan siang berdua saja. Sambil ngobrol santai.

‘Barusan aku ketemu bang Imran, un,’ Lala memulai cerita.

‘Dimana ?’

‘Di jalan Ganesa. Dia baru turun dari oplet dari arah bawah. Dia nggak lihat, lalu aku panggil.’

‘Nggak diajak kesini ?’

‘Dia mau kuliah, katanya.’

‘Dari mana dia naik oplet? Dia kan tinggal di Taman Sari.’

‘Nggak tau. Bang Imran jarang kesini, ya un ?’

‘Sekali-sekali banget.’

‘Pasti dia sibuk. Orangnya kan selalu sibuk. Sibuk berdagang.’

‘Ya. Dulu sama papa kan disuruh tinggal disini. Dia nggak mau. Imran sepertinya menjaga jarak dengan kita,’ kata Lani.

‘Mungkin nggak juga. Mungkin bukan karena menjaga jarak. Memang dia orangnya suka berdikari.’

‘Nggak tahulah. Tapi kelihatannya dia memang berbakat dagang. Dari sini dia mengirim kain ke Bukit Tinggi. Ibu temannya jadi pedagang disana.’

‘Dia cerita begitu?’

‘Ya. Ibunya Syahrul yang sama-sama tinggal dengan dia, punya toko baju di Bukit Tinggi. Syahrul sudah duluan tinggal di Bandung. Syahrul diminta ibunya mencari dan mengirim bahan tekstil dari sini, ternyata nggak jalan. Dia nggak berbakat dagang. Sama Imran hal itu ditangani dengan baik. Dia rutin mengirim tekstil dalam jumlah cukup besar ke Bukit Tinggi.’

‘Hebat. Dulu waktu SMA dia berdagang beras. Ada temannya punya toko beras di Pakan Baru. Bang Imran mengirim beras dari Bukit Tinggi.’

‘Ya. Uni pernah dengar cerita itu dari dia. Makanya dulu dia nggak mau diajak papa tinggal dan bersekolah SMA di Rumbai.’

‘Dia membiayai hidupnya sendiri sejak dari SMA. Bang Imran itu memang serba bisa.’

‘Memang. Dan pintar masak juga.’

‘Kok uni tahu ?’

‘Dia pernah memasak disini. Membuat gulai tunjang. Disuruh abang. Dan memang enak. Abang mengajaknya membuat restoran. Dia bilang, mengurus restoran itu berhabis hari.’

‘Oh, ya? Memangnya abang serius mengajak membuat restoran?’

‘Nggak juga. Tapi saking enaknya gulai tunjang Kapau yang dibuatnya, kata abang sayang kepandaian memasak sehebat itu tidak dibisniskan.’

‘Kalau begitu, entar aku mau minta dibikinin gulai tunjang lagi ah.’

‘Coba aja kapan-kapan dia datang kesini.’

‘Ntar malam dia kesini.’

‘Tadi kamu suruh dia datang ?’

‘Ya. Katanya entar abis magrib dia kesini.’

Kakak beradik itu meneruskan diskusi santai mereka di meja makan.

‘Prestasi sekolah si Imran juga bagus. Dia memang pintar,’ kata Lani.

‘Dia yang cerita?’

‘Dia bercerita waktu ditanya papa. Waktu papa datang, papa menyuruh Imran datang kesini. Papa bertanya bagaimana kemajuan kuliahnya. Katanya lumayan bagus. Tidak pernah mengulang mata kuliah. Papa menyuruh dia mengajukan permohonan beasiswa dari Caltex.’

‘Oh ya. Papa pernah cerita. Dia dapat beasiswa Caltex.’

‘Sebelumnya papa menanyakan berapa biaya hidup disini dan dari mana dapat uang. Waktu itu dia bercerita tentang perdagangan tekstil. Penghasilannya kayaknya lumayan juga. Papa terkagum-kagum waktu mendengar ceritanya.’

‘Lalu buat apa lagi minta beasiswa?’

‘Tadinya secara tidak langsung dia mengatakan seperti itu pula. Dia sanggup membiayai kuliahnya tanpa beasiswa. Duit awak untuk hidup sederhana cukup saja, mak dang, katanya dengan logat kampungnya yang khas. Tapi kata papa, beasiswa itu adalah hadiah dari suatu prestasi. Tidak semua orang berkesempatan dapat beasiswa.’

‘He..he.. Bang Imran kalau berbicara dengan papa memang sangat medok sekali. Berbahasa Minang totok. Bahasa kampung.’

‘Ya. Sama kayak papa juga. Kalau papa ngobrol dengan saudara-saudaranya, semua sangat totok.

‘Ngomong-ngomong, bang Imran itu punya pacar nggak un?’

‘Hah? Kenapa kamu nanya itu?’

‘Orang sesibuk dia sempat nggak berpikir tantang punya pacar?’

‘Uni nggak tahu. Nggak pernah nanya. Coba aja kamu tanya.’

‘Kan bisa ketahuan. Anak laki-laki kan suka pamer kalau punya pacar.’

‘Nggak tahu. Lagian dia jarang datang kesini.’

‘Pernah nginap disini?’

‘Pernah. Kalau papa disini, sama papa disuruh nginap. Ngobrolnya sama papa kan biasanya berlarut-larut. Waktu datang selain itu juga pernah disuruh abang nginap dan dia mau.’

‘Aku kagum, lho sama bang Imran itu.’

‘Kagum apa naksir?’

‘Lho. Sama saudara kok naksir?’

‘Kali-kali aja.’

‘Memang boleh aku naksir dia?’

‘Jadi beneran nih naksir?’

‘Aku ingat. Mama dulu setengah mengusir bang Imran karena takut aku akan berpacaran sama dia.’

‘Mama setengah mengusir dia? Kok kamu tahu?’

‘Aku mendengar papa dan mama bertengkar di kamar. Mama sorenya habis memarahi bang Imran gara-gara nggak pamit waktu pergi ke Pakan Baru. Pada hal waktu dia pergi mama nggak di rumah dan dia sudah pamit ke nenek. Sorenya mama marah-marah. Sampai waktu makan malam mama masih marah di depan papa. Habis tu papa dan mama bertengkar.’

‘Apa hubungannya dengan kamu ?’

‘Ya itu. Kata mama, mama nggak suka bang Imran tinggal di Rumbai, takut nanti dia pacaran sama aku. Mama memang ada-ada saja. Akhirnya, gitu deh. Nenek dan bang Imran balik lagi ke kampung.’

‘Mama bilang ke Imran bahwa mama nggak mau dia tinggal di Rumbai?’

‘Nggak sih. Nenek waktu itu tersinggung. Gara-gara apa ya? Pokoknya nenek tiba-tiba minta pulang. Bang Imran juga minta pulang. Sama papa ditanya, apa alasannya mau pulang. Apa rencananya setelah di kampung. Waktu itu dia cerita tentang rencananya berdagang beras. Kebetulan waktu papa ngobrol sama bang Imran aku juga ikut mendengar. Begitu deh.’

‘Heboh juga ceritanya.’

‘Biasalah mama. Pikiran mama kan suka sensasional.’


*****

No comments: