Wednesday, November 19, 2008

SANG AMANAH (66)

(66)

Pak Umar memandang sampai mobil itu keluar dari arena sekolah tanpa berkata sepatahpun.

‘Itu sepupu saya, pak. Kolonel Sudibyo. Dengan anaknya yang bermasalah. Biar saya jelaskan nanti di kantor kalau pak Umar tidak berkeberatan,’ ibu Purwati berusaha mencairkan suasana.

‘Baik kalau begitu. Saya menaruh Vespa ini dulu ke tempat parkir,’ jawab pak Umar sambil terus berlalu.

Ibu Purwati bergegas menuju ruangan guru. Di sana sudah ada pak Mursyid yang tentu saja sangat ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi.

‘Ada apa barusan mbak?’ tanya pak Mursyid.

‘Ada maling…..,’ jawab ibu Purwati sekenanya, masih berusaha bercanda.

‘Maling apaan? Tentara tadi siapa?’ tanya pak Mursyid lagi.

‘Mm… Tentara barusan sepupu saya. Namanya Sudibyo. Kolonel Sudibyo,’ jawab ibu Purwati lagi.

Sementara itu pak Umar masuk dan mengambil tempat disalah satu kursi di ruangan itu. Pak Umar tidak berkata apa-apa. Ibu Purwati meneruskan ceritanya.

‘Tadi malam saya ditelpon sepupu saya itu. Katanya dia ingin memasukkan anaknya sekolah di sini. Tepatnya dia ingin memindahkan anaknya ke sini dari SMU 235. Saya tanya kenapa harus pindah? Dia bilang karena anaknya terlibat kenakalan remaja di sekolah itu dan dikeluarkan. Saya bilang coba saja dibawa besok, akan saya pertemukan dengan kepala sekolah. Tadi jam setengah sembilan mereka datang. Saya tidak kenal dengan anaknya yang mau dipindahkan sekolah itu. Setelah saya lihat, saya heran, kok anak ini seperti kurang sehat dan bicaranya agak ngawur. Kami masih berbincang-bincang sambil menunggu kedatangan pak Umar, waktu tiba-tiba anak itu menggigil dan hampir pingsan. Itulah yang tadi digotong ayahnya untuk dibawa ke rumah sakit,’ ibu Purwati mengakhiri keterangannya.

‘Menggigil dan hampir pingsan? Memangnya kenapa? Maksud saya, anak itu sakit apa?’ tanya pak Mursyid.

‘Dari bincang-bincang tadi ketahuan bahwa anak itu rupanya pengguna obat-obat terlarang. Dia biasa menyuntik dirinya sendiri dengan narkoba. Tadi beberapa kali dia mengatakan bahwa ingin menyuntik dirinya, sebelum dia hampir pingsan itu. Saya kaget mengetahui hal itu. Pengguna narkoba seperti itu tentu tidak mungkin diterima di sekolah ini. Ayah anak itu atau sepupu saya itu mengatakan bahwa tadi malam anak itu berprilaku sangat normal baik perbuatan maupun kata-katanya. Dia bahkan berjanji akan patuh dan menurut asal bisa pindah sekolah. Ternyata…. nggak tahunya jadi seperti itu. Saya baru sekali ini melihat orang ketagihan seperti itu. Terus, tadi saya sarankan agar anak itu dirawat intensif di panti rehabilitasi untuk penyembuhan,’ ujar ibu Purwati melanjutkan keterangannya.

‘Wah! Kalau begitu gawat urusannya. Mana mungkin anak yang sudah kecanduan obat terlarang bisa berubah normal tiba-tiba. Tadi malam itu mungkin dia sedang dalam keadaan normal sebentar lalu setelah itu kambuh lagi. Tanpa perawatan khusus tidak mungkin pecandu seperti itu disembuhkan,’ komentar pak Mursyid.

‘Apakah pada waktu datang tadi anak itu sudah kelihatan seperti orang yang sedang sakit?’ tanya pak Umar.

‘Hanya kelihatan sangat lemah, pak. Tapi dia masih bisa berkomunikasi. Meskipun berbicaranya kadang-kadang ngawur’, jawab ibu Purwati pula.

‘Sakit apa anak itu tadi ya?’ tanya pak Umar.

‘Saya rasa lagi ketagihan obat pak. Biasanya memang begitu. Pecandu obat menjalani hidup mereka dalam siklus seperti itu. Mengkonsumsi obat, terbuai oleh pengaruh obat, lalu sadar dan normal sebentar untuk kemudian nagih lagi, begitu terus menerus. Kalau sudah nagih, reaksinya bisa macam-macam. Dari yang reaksi lemah sampai reaksi penuh kekerasan untuk memenuhi hasrat ketagihan mereka,’ pak Mursyid menjelaskan.

‘Apakah pecandu obat seperti itu tidak bisa disembuhkan sama sekali?’ tanya pak Umar pula.

‘Dengan kerja keras dan kesungguh-sungguhan ada yang berhasil, pak. Saya kenal beberapa orang tua yang anaknya bisa sembuh total dari ketagihan obat terlarang. Tapi usaha itu benar-benar harus maksimal dan kelihatannya cukup berat. Yang pasti, menyembuhkan kecanduan itu jauh lebih sulit dari memulainya. Biasanya mereka yang terperosok ke lembah narkoba itu jarang yang mampu berusaha maksimal seperti itu. Akibat penyalahgunaan obat seperti itu biasanya sangat fatal. Seringkali resikonya kalau bukan maut menjadi tidak waras alias gila,’ jawab pak Mursyid pula.

‘Itulah tantangan yang sangat serius yang harus kita hadapi. Ingat bagaimana gigihnya para pengedar narkoba itu menjaring mangsa dan bagaimana buasnya mereka seperti kasus yang dialami Arif, anak kelas dua D itu,’ kata pak Umar seperti kepada dirinya sendiri.

‘Benar pak. Setiap orang tua harus berhati-hati benar-benar mengawasi prilaku anak-anaknya. Harus waspada agar jangan sampai terjebak oleh sindikat narkoba yang semakin nekad seperti sekarang ini,’ pak Mursyid menambahkan.

‘Tapi…., ngomong-ngomong, tadi mau dibawa kemana anak itu?’ tanya pak Umar lagi.

‘Saya rasa mungkin ke rumah sakit. Tapi saya tidak tahu ke rumah sakit mana,’ jawab ibu Purwati.

‘Kasihan anak-anak muda yang terlibat penggunaan obat-obat terlarang seperti itu,’ komentar pak Umar pendek.


*****


Rumor segera saja menyebar. Bahwa ada anak seorang tentara, saudaranya ibu Purwanti, mau dimasukkan ke SMU 369. Ternyata anak itu ‘morfinis’. Dan tadi pagi sebelum sempat masuk kelas, anak itu kumat sehingga terpaksa harus dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Ayah anak itu seorang tentara berpangkat jenderal, datang dengan ajudannya mau menitipkan anaknya di SMU 369. Ibu Purwati sudah menerima anak baru itu, yang tadi sudah mau diantarkan ke salah satu dari kelas dua.

Entah dari mana sumber desas-desus itu. Mungkin waktu ibu Purwati sedang berbincang-bincang dengan tamunya ada murid yang kebetulan berada dekat kantor guru dan mendengar sebagian pembicaraan mereka. Dan anak ini yang jadi sumber berita.

*****

‘Lo udah dengar gossip terbaru belum? Ada murid baru, morfinis, diterima di sekolah ini?’ Nurul, seorang murid kelas dua A memulai pembicaraan di kantin sekolah.

‘Becanda lo. Mana mungkin. Siapa yang bilang sih gossip murahan kayak gitu?’ Lita, temannya balik bertanya.

‘Tadi Aida kebetulan lewat dekat kantor guru. Di sana ada ibu Purwati dengan seorang tentara sedang ngobrol. Katanya itu sodaranya ibu Purwati. Ada seorang murid baru juga. Anak tentara itu. Katanya sudah mau diantarin ke kelas dua mana gitu…….,’ jawab Nurul.

‘Di kelas dua mana?’

‘Ya.. gue nggak tahu. Coba aja tanyain anak-anak kelas dua itu satu-satu!’ kata Nurul pula.

‘Kayaknya nggak ada deh. Di kelas kita nggak ada. Kalau memang ada anak baru biasanya kan suka dikenalin ke semua kelas,’ Sinta murid kelas dua B berkomentar.

‘Kayaknya nggak jadi deh. Paling nggak belum jadi. Anak itu tadi katanya keburu semaput dan segera dibawa pergi lagi,’ kata Sri.

‘Siapa bilang?’ tanya Sinta.

‘Barusan pak Mursyid memberi keterangan pers, di depan kelas dua C. Dia tidak bilang anak itu diterima atau belum, tapi dia bilang kalau tadi ada calon murid baru pindahan, sakit, lalu buru-buru dibawa ke rumah sakit,’ jawab Sri mencoba menjelaskan.

‘Jangan-jangan yang ini lain lagi,’ kata Dewi.

‘Ya nggak lah. Orang kata pak Mursyid, anak itu anak saudaranya ibu Purwati. Anak jenderal apa kolonel gitu……. nggak tau deh gue. Yang tadi pagi datang bersama anaknya itu ke sini,’ Sri menjelaskan lebih lanjut.

‘Kata pak Mursyid emang sakit apa anak itu?’

‘Kata pak Mursyid anak itu pemakai.’

‘Pemakai? Pemakai apaan sih?’

‘Bodo lu. Pemakai itu tukang ngeboat. Nggak tau juga, ngeboat?’

‘Tukang ngeboat diterima di sini? Lha, dulu murid sini yang ngeboat dikeluarin!’ Dewi setengah protes saking tidak percaya.

‘Itu dulu…baru ini….’ Sri mencoba melucu meniru bahasa iklan

‘Ah…nggak percaya gue. Pak Umar mau nerima anak yang suka ngeboat sekolah di sini? Tak mungkiiiin…..’ Dewi mencibir.

Suasana kantin itu bertambah ramai setelah beberapa anak laki-laki kelas dua B datang dan ikut-ikutan ngerumpi.

‘Lo-lo pada ngomongin apa sih? Apa bener ada anak baru, madatan, diterima di sekolah ini?’ Rano yang baru datang ikut nimbrung.

‘Kita lagi ngebahas itu memang. Tapi kayaknya nggak deh. Kayaknya anak itu belum diterima deh di sini. Tapi keburu semaput. Dan nggak jadi diterima,’ Sri mengulang penjelasannya lagi.

‘Kata siapa belum diterima? Katanya anak saudaranya ibu Purwati. Anak tentara. Pangkatnya jenderal. Jadi terpaksa diterima,’ Rinto ikut menambahi.

‘Buktinya belum masuk kelas kan? Berarti belum tentu diterima dong. Lagian masak iya sih pak kepsek mau nerima kalau memang anaknya nggak jelas gitu. Gue nggak percaya deh,’ Dewi kembali berusaha membantah.

‘Bagusnya kita tanyain yok. Kita tanya ibu Purwati aja,’ Rano mengusul.

‘Lo mau nanyain apa? Mau nanyain kalau keponakannya ibu Purwati tukang ngeboat diterima sebagai murid baru di sini? Begitu?’ Rinto menantang.

‘Ya..nggak apa-apa kan?’ jawab Rano.

‘Terus kalau dia bilang iya, lo mau ngapain? Mau protes?’

‘Ya kita demo dong. Kan dulu ada anak sekolah sini dikeluarin gara-gara ketauan sakau. Masak iya sekarang mau nerima yang baru? Apa mentang-mentang keponakannya ibu Purwati?’

‘Boleh juga ide lo. Gue demen tuh kalau kita bikin demo rame-rame.. he..he..he,’ Rinto menyambut penuh antusias.

‘Tapi lo berani nggak nanyain ke ibu Purwati?’ tanya Sri sama Rinto.

‘Ya berani aja. Kita tanyain aja, apa bener ada murid baru mau masuk di sini. Jangan tanyain apa anak itu tukang ngeboat atau bukan. Jangan langsung nanyain itu. Entar aja kalau sudah dia bilang iya baru kita minta penjelasan,’ jawab Rinto, sok bijaksana.

‘Kalau kata ibu Purwati nggak ada? Gimana?’

‘Ya..berarti emang nggak ada dong. Susah amat. Nggak perlu ada lagi gossip-gossipan kalau gitu,’ jawab Rinto lagi.

‘Ayo kalau gitu. Sini gue temenin. Tapi lo yang nanya ya?’ ajak Rano.

‘Lo takut? Tadi ini kan usulan lo? Tapi nggak apa-apa. Ayo kita ke ibu Purwati,’ ajak Rinto mantap.

‘Tungguin! Gue juga mau ikutan,’ teriak Dewi.

‘Gue juga mau ikut. Gue juga mau ikut,’ cewek-cewek yang lain berebutan ingin ikut pula.

‘Gue rasa mendingan nggak usah rame-rame dulu deh. Ntar dikirain kita sudah demo beneran. Mending gue ama Rinto aja dulu yang pergi. Lo-lo tungguin aja di sini,’ usul Rano sok tahu bercampur ngeper.

‘Yeee… sok lo. Ya udah pergi sana. Gue doain biar dibentak ibu Purwati lo berdua. Ntar gue sukurin….,’ Dewi setengah protes.

Rinto dan Rano keluar dari kantin menuju ke ruang guru.

‘Lo mau nanyain ke ibu Purwati di dalam ruangan guru itu?’ tanya Rano semakin ragu-ragu.

‘Gue berani aja. Lo takut? Udah….. lo ikut aja. Pokoknya gue yang nanyain,’ Rinto tetap pede.

No comments: