Wednesday, October 29, 2008

SANG AMANAH (38)

(38)

9. Kisah Cinta Sepasang Guru

Pak Darmaji datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Dia seharusnya mengajar sesudah jam istirahat pertama, atau jam sepuluh. Hari baru jam setengah sembilan. Pak Darmaji ingin menghadap pak Umar. Dia sudah mendengar bahwa ada peraturan dilarang merokok bagi setiap orang di lingkungan sekolah. Tapi dia datang bukan untuk urusan itu. Di ruangan guru masih ada tiga orang guru tadi, pak Situmorang, pak Sutisna dan pak Sofyan.

‘Maaf pak Sofyan, pak Umar ada di dalam nggak?’ tanya pak Darmaji.

‘Ada…. mau protes juga?’ tanya pak Sofyan.

‘Bukan….saya ada keperluan lain,’ jawabnya sambil menuju ke pintu ruangan pak Umar.

Pak Darmaji mengetok pintu dan memberi salam.

‘Selamat pagi, pak. Apa saya boleh minta waktu sebentar?’ tanya pak Darmaji.

‘Selamat pagi.. tentu…silahkan masuk…silahkan duduk..,’ jawab pak Umar.

Pak Darmaji duduk. Jantungnya berdebar-debar. Entah dari mana dia harus memulai pembicaraan. Padahal tadi dia sudah mantap betul ingin minta pendapat pak Umar. Tadi dia sudah menghapalkan kata-kata yang akan disampaikannya. Tapi sekarang seperti semua itu hilang dari ingatannya. Pak Umar melihat bahwa pak Darmaji agak ragu-ragu.

‘Apa yang bisa saya bantu pak Darmaji?’ pak Umar memulai membuka pembicaraan.

‘Betul pak, maaf. Maksud saya ada yang ingin saya sampaikan. Tapi sifatnya sangat pribadi sebenarnya. Saya ingin minta nasihat bapak,’ pak Darmaji mulai menemukan kembali kata-katanya.

Pak Umar bangkit dari kursinya dan pergi menutup pintu.

‘Silahkan kalau begitu. Apa yang ingin saudara sampaikan?’ tanya pak Umar sambil kembali ke kursinya.

‘Begini, pak. Sebelumnya sekali lagi saya minta maaf sehubungan dengan….dengan peristiwa kemarin. Saya malu sekali sebenarnya,’ Darmaji masih agak ragu-ragu.

‘Kalau masalah itu sudah saya maafkan. Tapi apakah ada hal lain yang mungkin bisa saya bantu?’ tanya pak Umar pula.

‘Bapak tidak keberatan kalau saya bercerita mengenai masalah pribadi saya?’

‘Saya tidak keberatan,’ jawab pak Umar pendek.

‘Baiklah pak. Ini menyangkut hubungan saya dengan Rita. Kami terlibat dalam hubungan asmara tapi menghadapi masalah yang cukup berat, terutama buat saya. Pertama, kami berbeda keyakinan. Rita beragama Kristen. Hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya. Dan orang tuanya sangat keras bahkan pernah mengancam saya. Tapi kami berdua merasa ada kecocokan meskipun kami juga menyadari kendala yang ada. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya saya sudah pernah mencoba berterus terang kepada orang tuanya, menyampaikan keinginan saya untuk menikah dengan Rita. Orang tuanya tidak mengizinkan karena perbedaan agama itu. Sesudah itu mereka melarang hubungan kami dan melarang saya datang ke rumah mereka. Tapi kami selalu bisa bertemu di sekolah. Dan kami semakin yakin bahwa kami seharusnya menjadi pasangan suami istri. Itulah masalah yang saya tidak tahu bagaimana mencari jalan keluarnya, pak,’ ungkap pak Darmaji.

‘Ya, repot juga kalau begitu. Memang sebenarnya pernikahan berbeda agama itu mengandung banyak resiko. Di samping resiko tidak berbaikan dengan mertua seperti yang saudara ceritakan, ditambah lagi resiko sesudah mempunyai anak-anak nantinya. Anak-anak mau ikut agama siapa? Ikut agama ayahnya atau ikut agama ibunya? Pasti tidak mudah. Apakah anda berdua tidak menyadari hal itu?’

‘Saya menyadarinya, pak. Tapi mungkin karena terdorong oleh perasaan yang menggelora, hal-hal seperti itu tidak pernah saya pikirkan benar. Kecuali menghadapi kendala yang disebabkan oleh orang tuanya saat ini.’

‘Barangkali harus dihadapi secara realistis. Karena saya khawatir, kalaupun diteruskan mungkin akan menimbulkan korban, seperti misalnya hubungan buruk dengan orang tuanya Rita di samping hubungan mereka, orang tua dan anak, yang mungkin juga bisa terganggu. Apalagi kalau mereka sudah mengancam-ancam. Tentu tidak baik akibatnya.’

‘Jadi kalau menurut bapak tidak mungkin akan ada jalan keluarnya?’

‘Jalan keluar agar rencana anda berdua tetap terlaksana menurut saya memang sulit,’ jawab pak Umar.

‘Maaf pak, bagaimana pandangan bapak seandainya kami nekad ‘kawin lari’?’

‘Kalau saya jelas tidak setuju dengan cara seperti itu. Pernikahan itu adalah sesuatu yang suci apalagi kalau dipandang dari kacamata agama Islam. Pernikahan itu adalah suatu perjanjian, dengan ijab dan kabul, perjanjian yang diikrarkan oleh orang tua mempelai wanita dengan mempelai laki-laki. Ada serah terima tanggung jawab bagi pemeliharaan seorang wanita. Ayah mempelai wanita menyerahkan tanggung jawab atas anaknya kepada mempelai laki-laki, tanggung jawab untuk di dunia dan akhirat. Jadi sangat salah kalau pernikahan itu dilakukan dengan cara yang saudara sebut sebagai kawin lari tadi itu. Kalau boleh saya sarankan kalian berdua pergi kembali menghadap orang tuanya, sampaikan sekali lagi keinginan kalian berdua, dan minta keikhlasan orang tuanya untuk mengizinkan kalian berdua menikah. Menurut saya hanya itu satu-satunya jalan.’

‘Itu sudah pernah saya lakukan, pak. Dan hasilnya seperti tadi saya katakan. Orang tuanya marah-marah dan mengancam akan mengadukan saya ke polisi kalau sampai saya menikahi Rita.’

‘Ya…. kalau begitu apa lagi yang bisa saudara harapkan?’ tanya pak Umar.

‘Apakah bapak sedang mengatakan agar saya melupakan Rita, dan tidak usah berharap bisa menikahinya?’

‘Saya pikir itu mungkin suatu kenyataan yang harus saudara hadapi.’

‘Tapi itu terlalu berat rasanya buat saya pak. Dan saya yakin begitu juga buat Rita. Kami benar-benar saling mencintai.’

‘Cerita seperti yang saudara katakan bukan sesuatu yang baru. Banyak terjadi hal yang sama. Tapi kalau menurut pandangan saya, memang hubungan seperti itu sebaiknya dicegah sedini mungkin. Artinya, pada saat kita menyadari ada penghalang berupa keyakinan yang berbeda, cepat-cepat menarik diri. Saya kurang tahu seberapa baik saudara memahami dan mematuhi peraturan agama saudara,’ tambah pak Umar pula.

‘Terus terang, saya mungkin bukan seorang Muslim yang baik, pak. Saya sering lalai dalam melakukan shalat. Tapi orang tua saya lebih taat,’ jawab Darmaji.

‘Kalau dari fihak orang tua saudara tidak adakah kendala?’ tanya pak Umar lagi.

‘Sebenarnya ada kendala pak. Orang tua saya haji, berwanti-wanti betul agar saya memutuskan hubungan saya dengan Rita. Orang tua saya juga tidak setuju saya menikah dengan orang yang tidak beragama Islam.’

‘Kalau begitu bukankah masalahnya sudah jelas? Kenapa saudara berdua tidak mencoba menerima kenyataan apa adanya?’

‘Menghadapi orang tua saya mungkin lebih mudah pak. Rita pernah mengatakan mau menikah secara Islam.’

‘Maaf saudara Darmaji, kalau menurut saya, kalian berdua ini memang perlu belajar lebih banyak. Pernikahan itu bukan sandiwara, bukan hanya untuk upacara satu hari. Pernikahan itu sesuatu yang sakral, sesuatu yang suci. Jadi hendaknya jangan mempermain-mainkan agama untuk memenuhi hasrat sesaat. Dia mau menikah secara Islam, tapi sesudah itu? Kalau hanya untuk main-main, kalau hanya untuk sekedar memenuhi peraturan, saya khawatir saudara akan kecewa nantinya. Tuhan akan marah kepada kalian dan kehidupan kalian tidak akan mendapat berkah. Janganlah memperolok-olokkan agama.’

‘Bagaimana kalau seumpamanya dia masuk Islam dengan sungguh-sungguh?’

‘Tapi saudara hanya mengatakan dia mau menikah secara Islam. Tidak berarti dia mau menjadi seorang Muslimah sungguh-sungguh, kan?’

‘Saya berandai-andai. Maksud saya seandainya dia mau masuk Islam secara bersungguh-sungguh.’

‘Saya rasa saudara sedang mempertinggi tempat jatuh. Mengandaikan bahwa orang yang saudara inginkan menjadi istri saudara masuk Islam, padahal dia belum tentu berpikiran demikian. Jadilah seorang yang dapat menerima apa adanya, seorang yang realistis. Kalau tidak, saudara akan jadi sangat frustrasi nanti pada saat menghadapi kenyataan yang pahit.’

‘Rita pernah mengutarakan keinginannya mau masuk Islam kepada saya.’

‘Masih dalam konteks ini? Masih sehubungan dengan kisah kasih kalian berdua?’

‘Bukan, tapi pada saat kami berdiskusi tentang agama. Saya bukan seorang yang berpengetahuan tentang agama, jadi saya tidak menanggapi secara baik.’

‘Bagaimana sampai dia mengatakan ketertarikannya? Dari mana dia bisa tertarik tentang Islam?’

‘Dia membaca buku-buku tentang perbandingan bermacam-macam agama. Dia banyak menanyakan tentang agama Islam kepada saya. Saya hanya bisa menjawab bagian-bagian luarnya saja.’

‘Kalau begitu biarkanlah dia berproses dengan dirinya sendiri. Tapi hal itu tidak usah dihubung-hubungkan dengan rencana saudara untuk menyuntingnya.’

‘Makanya saya tanyakan, bagaimana seandainya dia itu sudah masuk Islam dan bersungguh-sungguh sebagai seorang muslimah.’

‘Itu lain urusannya. Kalau dia masuk Islam bukan karena mau menikah, lalu dinikahi sesudah dia beragama Islam tentu boleh. Tapi bukan berislam hanya sekedar untuk mengikuti upacara pernikahan secara Islam lalu sesudah itu kembali dengan agamanya. Yang seperti ini adalah berbohong dalam beragama. Bohong dengan agamanya sendiri dan membohongi pula agama Islam.’

‘Benar, pak. Dia pernah mengatakan ingin masuk Islam kepada saya. Tapi dia sangat takut kepada kedua orang tuanya.’

‘Ya repot memang,’ pak Umar berkomentar singkat.

‘Tidak adakah jalan lain sedikit juapun yang bapak lihat?’

‘Jalan lain agar kalian bisa menikah?’

‘Bukan. Jalan agar dia bisa masuk Islam tanpa menimbulkan masalah dengan orang tuanya.’

‘Secara manusiawi tidak. Saya tidak melihat jalan keluar. Tapi secara rohani, seandainya saya menghadapi hal yang sulit dalam kehidupan ini, saya mengadu kepada Allah. Saya berdoa kepadaNya agar dikeluarkan dari kesulitan yang saya hadapi. Dalam hal yang saudara tanyakan tadi, kalau memang Allah menggerakkan hati seseorang untuk beriman kepadaNya, Allah akan memudahkan urusan orang tersebut dengan cara yang tidak diduga-duga.’

‘Jadi perlukah dia berdoa misalnya kepada Allah, padahal dia belum beragama Islam?’

‘Mungkin dimulai dengan berdoa kepada Tuhan, tanpa menyebutkan Allah kalau memang dia belum meyakini atau beriman kepadaNya, meminta bimbingan dan petunjuk untuk beriman sesuai dengan yang tergores dihatinya. Kalau memang dia cenderung kepada Islam, dan kalau Allah berkehendak menjadikannya seorang yang beragama Islam, mudah-mudahan Allah akan menunjukinya.’

‘Baiklah pak. Atas pandangan-pandangan bapak saya ucapkan terima kasih banyak. Saya mohon maaf sekali lagi mengganggu waktu bapak,’ pak Darmaji ingin mengakhiri diskusi itu.

‘Terima kasih kembali. Saya sarankan juga agar saudara Darmaji mengenal agama saudara sendiri secara lebih baik.’

‘Baik pak. Saya akan berusaha. Dan saya mohon diri,’ kata pak Darmaji sambil bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke ruangan guru.


*****

No comments: