Thursday, January 10, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (7)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (7)

7. CUACA MAKIN PANAS

Makin lama jadi anggota partai bukannya membuat Syamsuddin tambah nyaman. Sebaliknya dia malah semakin kegerahan. PKI makin menjadi-jadi. Semua organisasi yang berseberangan dengan mereka digilas dan di ganyang. Kata-kata ganyang ini sangat populer sejak diperkenalkan oleh Presiden Republik Indonesia, Paduka Yang Mulia Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Putera Fajar Yang Agung, Dr. H. Soekarno. Yang mula-mula diganyang adalah musuh revolusi, kemudian siapa saja yang berseberangan dengan Bung Karno. Yang paling heboh adalah himbauan untuk mengganyang Malaysia, negara boneka New Colonialisme (Nekolim). Negara boneka Malaysia harus diganyang, Kalimantan Utara harus dibebaskan, Inggeris harus dilinggis, Amerika harus diseterika. Hayo, mana dadamu, ini dadaku.

Bung Karno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sibuk dengan slogan-slogan. Rakyat kenyang dengan slogan-slogan itu, tapi diam saja. Bangsa Indonesia harus Vivere veri coloso, harus berani nyerempet-nyerempet bahaya. Harus berani, harus menentang musuh. Hayo, teriakkan, mana dadamu, ini dadaku. Biar harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Biar harus makan nasi bulgur. Tidak mengapa, kita harus tegar sebagai anak-anak bangsa.

PKI menjiplak slogan-slogan Bung Karno. Siapa saja yang menghalang-halangi revolusi harus diganyang. Yang kontra revolusi adalah yang melawan komunis. Semua orang harus menerima komunis seperti sudah dicanangkan Bung Karno agar setiap penduduk Indonesia menganut faham Nasakom. Ketiga unsur itu harus dalam satu tarikan nafas sekaligus. Nasionalis, agamis dan komunis.

Syamsuddin yang sedikit mengerti dengan makna pidato-pidato Bung Karno menjadikan kata-kata bertuah ini sebagai tameng terakhir. Dia proklamirkan sendiri dirinya adalah seorang Nasakom.

Pada kesempatan rapat partai di Padang, dia masih tetap berani terang-terangan melakukan sembahyang. Ketua partai yang memimpin rapat sudah mengumumkan sejak awal bahwa rapat kali ini harus bersih dari daki-daki revolusi. Dari kotoran revolusi. Harus bersih dari sembahyang. Semua peserta rapat tidak diijinkan mengerjakan sembahyang selama hari-hari rapat berlangsung. Tapi Syamsuddin tetap nekad, meski dia melakukannya agak sembunyi-sembunyi. Rupanya ada kamerad lain yang memang sudah ditugaskan untuk memata-matai kemudian melaporkannya kepada ketua partai. Buntutnya dia disidangkan. Diinterogasi di depan petinggi-petinggi partai. Tapi Syamsuddin berkelit. Dia mengatakan dia tidak melanggar peraturan sedikitpun. Dia sudah mempraktekkan yang diamanatkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menjalankan Nasakom. Dia mejalankan ketiga unsur itu dalam satu tarikan nafas.

Sudah barang tentu dia jadi bulan-bulanan petinggi-petinggi partai itu. Nasakom itu untuk orang lain di luar partai, untuk kita hanya ada ‘kom’, begitu kata Ketua. Komunis, komunis, komunis. Komunis yang tidak dicampur aduk dengan yang lain. Komunis tidak percaya agama. Komunis tidak butuh agama. Tidak perlu sembahyang. Sembahyang itu perbuatan sia-sia, perbuatan orang yang jiwanya sakit. Percaya dengan yang tidak ada. Komunis tidak percaya adanya Tuhan. Nah lho! Belum jugakah jelas ?

Syamsuddin dikenai sangsi karena indisipliner. Sangsi dikurung sehari semalam tanpa diberi makan di sebuah ruang gelap di kantor partai. Untung, itu terjadi di hari terakhir rapat. Dia hanya lemas sesudah menjalani hukuman itu. Sungguh aneh, tidak timbul penyakitnya. Karena hari terakhir, dan karena Datuk Rajo Bamegomego tidak punya ongkos oto untuk pulang, dia diijinkan pulang bersama engku Datuk.

‘Itulah kau, madar. Sudah sejak lama aku nasihati, kau tidak juga kunjung berubah. Yang sekali ini hendaknya kau jadikan benar pelajaran,’ petuah engku Datuk dalam perjalanan pulang.

Syamsuddin mengkal bukan main. Dalam hatinya dia berniat, cukup sampai disini partai ini. Dia tidak akan pernah ikut-ikut lagi di hari-hari berikutnya. Di depan engku Datuk ini biarlah dia diam-diam saja.

Itulah yang dia lakukan. Sejak pulang dari rapat di Padang itu Syamsuddin benar-benar menjaga jarak dengan Datuk Rajo Bamegomego. Sebisa-bisanya dia menghindar untuk bertemu. Dia lebih banyak berdiam di rumah. Menyendiri dalam penyesalan, kenapa dia dulu ikut-ikutan dengan partai yang garang itu.

Tentu saja Datuk Rajo Bamegomego kehilangan. Berkali-kali dia bertanya di lepau tempat mereka biasa berkumpul-kumpul, kemana menghilangnya Syamsuddin Sutan Marajo. Dia diberitahu bahwa Syamsuddin ada di rumah. Pulang dari kantor, dia memang tidak mau keluar rumah. Paling-paling hanya keluar kalau pergi sembahyang Jumat. Entah kenapa sampai demikian, kata orang yang bercerita. Tapi engku Datuk tahu penyebabnya. Tentulah dia kecewa dan marah gara-gara dia dikurung sehari semalam ketika rapat di Padang beberapa hari yang lalu.

Engku Datuk menceritakan kejadian itu di lepau. Diujung cerita ditambahinya pula dengan kata-kata, ‘Jangan dikira mudah untuk jadi orang PKI tulen. Sutan Marajo itu masih sontoloyo. Masih PKI gadungan. Baru digenjot sedikit saja sudah terampun-ampun. Bagaimana akan menggulirkan roda revolusi kalau loyo seperti itu. Kalau tidak cepat berubah dia nanti yang akan dilindas roda revolusi,’ begitu kata engku Datuk.

Dia tidak sekedar berbicara di lepau saja. Sesudah dia yakin bahwa Syamsuddin memang benar-benar menghindar darinya, dia putuskan untuk mendatanginya ke rumah. Akan dinasihatinya kader yang satu itu baik-baik. Sangat sayang kalau sampai Syamsuddin berputar haluan.

Pada suatu sore niat itu dilaksanakannya. Dia datangi Syamsuddin ke rumah istrinya. Syamsuddin sedang santai di rumah. Sedang membaca-baca Tafsir Al Quran Mahmud Yunus. Istrinya menganjurkan agar banyak-banyak membaca dan memahami kandungan al Quran kalau pikiran sedang kalut.

Sampai di pekarangan rumah itu didapatinya istri Syamsuddin sedang menampi beras di luar dapur. Langsung disapanya, menanyakan Syamsuddin.

‘Di rumah ‘Tan Marajo, Zahara?’ tanyanya.

‘Ee engku Datuk. Ada engku, ke rumahlah,’ jawab Siti Zahara, istri Syamsuddin, sambil membasakan tamunya itu naik ke rumah.

Datuk Rajo Bamegomego naik ke rumah. Dia bertanya lagi.

‘Sedang apa dia ? Apa dia kurang sehat ?’

‘Ya, engku Datuk. Sejak pulang dari Padang kemarin ini sakit-sakit perut dia. Katanya mungkin masuk angin karena terlalu letih dalam rapat. Masuklah engku, dia ada duduk di dalam,’ ucapnya lagi.

Siti Zahara langsung meninggalkannya dan berlalu ke dapur.

Syamsuddin mendengar pembicaraan istrinya dengan engku Datuk. Dia berusaha menenangkan dirinya. Apa pula yang akan ditakutkan dengan orang ini, katanya dalam hati. Tafsir Al Quran yang dibacanya dibiarkannya saja tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka. Begitu engku Datuk sampai di dalam rumah, dia bangkit berdiri menyongsong tamu itu.

‘Merepotkan diri benar engku Datuk menyilau saya. Duduklah engku!’ katanya berbasa.

‘Tidak repot. Saya sudah menduga, tentu Marajo sedang kurang sehat sehingga jarang keluar. Makanya saya sengaja datang menyilau. Sakit apa Marajo?’

‘Entahlah engku. Sejak pulang dari Padang, sejak saya dikurung dan tidak makan sehari semalam tempohari kumat lagi penyakit saya. Badan terasa lemah dan perut saya terasa mual-mual.’

‘Ah, itu kan sedikit latihan untuk mempertegar semangat. Kalau hanya sakit seperti itu sebentar juga akan sembuh. Anu..... Ada yang perlu saya sampaikan. Kita harus hadir pada rapat cabang di Bukit Tinggi pekan depan. Ini dalam rangka persiapan rapat tahunan yang akan dilangsungkan di Jakarta dua bulan lagi. Saya sudah mengusulkan waktu di Padang kemaren bahwa untuk mewakili Kabupaten Agam tahun ini, dimana saya ditunjuk sebagai wakil, membawa Marajo sebagai pendamping. Rasanya hanya dengan Marajo saya cocok untuk hadir di rapat di Jakarta itu,’ kata engku Datuk.

‘Saya rasa saya tidak sanggup engku Datuk. Saya penyakitan dan saat ini badan saya tidak sehat,’ jawab Syamsuddin.

‘Kan tidak sekarang. Masih sepekan lagi. Sehatkanlah badan Marajo. Dan ke Jakarta itu masih dua bulan lebih lagi. Masih panjang hari lagi.’

‘Saya rasa, saya tidak akan ikut-ikut lagi,’ kata Syamsuddin dengan suara agak bergetar.

‘Kenapa? Apa alasan Marajo tidak akan ikut-ikut lagi?’ tanya engku Datuk dengan mata melotot.

‘Saya ternyata tidak cocok ikut di partai engku Datuk. Saya tidak sanggup mematuhi semua aturan partai. Jadi lebih baik saya beristirahat dulu saja,’ suara Syamsuddin sedikit lebih mantap.

‘Oh. Tidak bisa begitu. Marajo kan sudah diangkat sebagai anggota. Marajo sudah punya kartu anggota. Menjadi anggota partai yang revolusioner ini memang tidak mudah. Perlu penggemblengan. Perlu mental yang kuat seperti besi. Masakan baru digantik sedikit saja Marajo mau mundur? Kecil betul nyali Marajo. Kecil betul arti partai bagi Marajo kalau demikian. Jangan patah arang begitu. Marajo sendiri yang akan rugi nanti.’

‘Saya sudah mantap. Sudah saya pikir matang-matang dan saya sudah sampai kepada kesimpulan bahwa tempat saya tidak ada di partai. Saya tidak cocok duduk di partai. Oleh karena itu saya ingin mengundurkan diri secara baik-baik.’

‘Tidak bisa begitu Marajo. Tidak ada istilahnya orang keluar dari partai. Itu berkhianat namanya. Kan Marajo tahu, berkhianat itu tidak boleh. Berkhianat itu berdosa. Kan Marajo orang yang beragama. Orang yang membaca Quran seperti ini. Carilah di dalam buku ini, pasti ada keterangan tidak boleh berkhianat.’

Tiba-tiba saja Datuk Rajo Bamegomego menyinggung-nyinggung soal agama.

‘Saya tidak berkhianat engku Datuk. Saya hanya ingin keluar secara baik-baik. Saya tidak mengkhianati siapa-siapa.’

‘Tidak bisa itu. Kalau Marajo keluar itu namanya berkhianat. Hukumannya berat itu nanti. Saya ingatkan saja. Marajo akan dilindas roda revolusi kalau begitu caranya. Saya sampaikan ini dengan niat baik. Saya yang mengajak Marajo ikut bergabung, maka saya juga bertanggung jawab membela Marajo. Jangan sampai terniat-niat oleh Marajo untuk berkhianat seperti itu. Cukuplah saya saja yang tahu, jangan sampai orang lain tahu. Rubahlah pikiran dangkal Marajo yang sangat mengandung resiko itu.’

‘Engku. Partai ini kan organisasi. Tempat orang-orang yang sepemahaman berkumpul. Saya sudah mencoba mengikuti aturan main partai. Dan ternyata saya sendiri yang berbeda. Partai ternyata tidak membenarkan orang masih menjalankan agama. Partai melarang anggotanya sembahyang. Dan ternyata saya sendiri yang berlain dari orang banyak dalam partai. Saya sendiri yang berbeda. Saya sembahyang juga. Beragama juga. Berarti saya memang tidak cocok untuk bertahan di partai. Itulah sebabnya saya mencoba tahu diri. Biarlah saya yang keluar, karena saya tidak sesuai dengan kondisi partai. Ibaratnya orang berlaki istri engku. Sudah tidak ada kecocokan. Tentu boleh bercerai. Seperti itu pula saya. Biarlah saya bercerai dengan partai. Karena saya tidak sanggup memenuhi aturan-aturan partai,’ Syamsuddin makin tegas dalam berbicara.

‘Sudah pintar Marajo sekarang. Sudah pandai Marajo membantah. Ingat-ingat benarlah. Besar taruhannya nanti,’ Datuk Rajo Bamegomego merasa sedikit kewalahan.

‘Maksudnya engku mengancam saya?’

‘Bukan saya yang mengancam Marajo. Roda revolusi yang mengancam. Marajo akan digilingnya. Akan dilindasnya sampai lumat. Apa Marajo tidak melihat apa yang terjadi dengan musuh-musuh revolusi? Apa yang terjadi dengan PRRI? Ini akan lebih hebat lagi nanti. Semua kerikil yang menghalangi roda revolusi pasti akan lumat. Terserah Marajo. Marajo akan menjadi bagian dari penggerak revolusi atau akan jadi bagian yang dilindas revolusi. Pikirkan benar itu!’

‘Saya siap dengan resiko apapun engku Datuk. Saya sudah mantap untuk tidak ikut-ikut lagi. Saya mohon maaf kalau engku Datuk kecewa.’

‘Sudahlah. Saya tidak mau berpanjang-panjang. Satu hal saja yang saya ingatkan. Jangan berkhianat. Marajo akan menanggung resiko berat nanti. Bukan hanya Marajo sendiri. Anak istri Marajopun akan dilindas roda-roda revolusi kalau Marajo teruskan niat itu. Saya beri Marajo waktu untuk berpikir seminggu ini. Camkan baik-baik pesan saya. Sudahlah. Saya pamit dulu,’ kata Datuk Rajo Bamegomego sambil berdiri.

Syamsuddin tidak menjawab. Diamatinya saja orang tua itu pergi. Dia tidak bergeming dari tempat duduknya.

‘Kok tergegas benar engku Datuk. Ini saya sudah buatkan kopi,’ kata istri Syamsuddin ketika dilihatnya engku Datuk mau meninggalkan rumah.

‘Tidak usahlah Zahara. Saya baru saja minom kopi di lepau sebentar ini,’ jawabnya dengan muka yang kelihatan sekali sedang meradang.

***

Siti Zahara, istri Syamsuddin meletakkan dua cangkir kopi di meja di hadapan suaminya. Kopi yang seharusnya untuk Datuk Rajo Bamegomego. Yang agak terlambat dia mengetengahkan karena harus menjerangkan air terlebih dahulu. Dia tersenyum melihat wajah suaminya. Dia bangga. Suaminya ternyata punya keberanian untuk menentang Datuk Rajo Bamegomego. Syamsuddin terlihat tenang. Dia lega sesudah mengeluarkan isi hatinya. Dan dia menyampaikan secara santun dan baik-baik. Untunglah pembicaraan tadi berlangsung cukup tertib dan sopan. Tidak keluar caci maki. Tidak keluar carut bungkang. Bahkan tidak seperti di tempat rapat, engku Datuk berbahasa halus disini. Di rumah ini. Dia tidak manden, tidak beraku-aku. Tapi berambo, bersaya. Dan meski sekedar ungkapan basa basinya, keluar pengakuan agama dari mulutnya. Disinggungnya urusan agama, urusan khianat yang tidak dibenarkan agama. Syamsuddin sangat yakin, dia bukan berkhianat. Dia tidak mengkhianati siapa-siapa.

Syamsuddin percaya Datuk Rajo Bamegomego tidak bisa garang disini karena tuah rumah ini. Karena tuah istrinya yang salehah. Jeri dia untuk bersilantas angan dalam berbicara.

‘Minumlah, tuan! Biarlah kita saja lagi minum kopi ini, sudah pergi tamu,’ kata Siti Zahara memecah kesunyian..

‘Bagaimana pendapatmu?’ tanya Syamsuddin pendek.

‘Apa yang tuan sampaikan sudah benar. Tuan sudah mengundurkan diri. Tidak perlu diikuti lagi kegiatan partai itu. Dan tidak perlu khawatir. Begitu pendapat saya,’ jawab istrinya.

‘Dan ancamannya? Bagaimana pendapatmu tentang ancamannya?’

‘Kita serahkan kepada Allah semata tuan. Apa pula yang akan ditakutkan dengan ancaman manusia.’

‘Terus terang, ada juga kekhawatiranku. Kalau-kalau, dengan cara-cara kasar mereka, orang-orang mereka menghempas kesini. Merusak dan mencelakai kita,’ ujar Syamsuddin.

‘Sekali lagi, kita serahkan kepada Allah. Allah lah sebaik-baik tempat berlindung. Mereka punya rencana, seandainya benar demikian, Allah pasti punya rencana pula. Cukuplah Allah sebagai sandaran kita,’ Siti Zahara berusaha menenangkan hatinya.

‘Kamu benar. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Apapun yang akan mereka lakukan, kalaupun kita terkorban, mudah-mudahan kita terkorban masih dalam keadaan Islam. Saya tidak akan takut-takut lagi menghadapi Datuk Rajo Bamegomego itu.’

‘Insya Allah, tuan. Mudah-mudahan kita selalu mendapat kemudahan dan bimbingan serta petunjuk Allah. Terpelihara dari rencana makar dan kejahatan orang-orang zalim.’


*****

No comments: