Thursday, December 27, 2007

WISATA SUMATERA UTARA

WISATA SUMATERA UTARA

1. Menuju Medan

Beberapa kali mataku singgah di sebuah poster kecil cukup meriah di board pengumuman di kantor yang bertuliskan 'WISATA MEDAN - DANAU TOBA'. Otakku hanya mencatat tanpa ketertarikan khusus dengan komentar dalam hati, ‘rupanya tahun ini kawan-kawan karyawan akan pergi ke Medan’. Tidak terpikirkan untuk ikut. Soalnya kami, aku dan istriku, punya perjanjian tidak tertulis bahwa bepergian yang sifatnya berdarmawisata hanya akan kami lakukan kalau kami berdua bisa pergi bersama. Meski pernah juga perjanjian ini aku langgar ketika aku didaulat untuk menemani kawan-kawan sekantor mengunjungi Sumatera Barat tahun 2003 yang lalu, namun imbuhnya ketika itu, istriku juga ikut wisata rombongan istri-istri karyawan yang kebetulan juga ke Sumatera Barat beberapa bulan kemudian.

Namun, pada suatu pagi, seorang teman mengingatkan dengan nada yang sedikit provokatif, 'Nggak ikutan, pak. Kan bisa sekalian dilanjutin melihat anaknya yang katanya lagi di Aceh?' Aku tersentak. Benar juga ya, pikirku. Kenapa tidak ikut dan kemudian pergi mengunjungi anakku yang sedang PTT di Aceh Tenggara? Meskipun sebelumnya kami, aku dan istriku sudah berangan-angan akan pergi ke Aceh itu sebelum bulan puasa nanti, tapi kenapa tidak sekarang? Aku bisa sekalian mengenal medan perjalanan ke sana.

Aku telepon istriku menanyakan pendapatnya. Dia setuju kalau aku ikut 'Wisata Ke Medan' untuk dikembangkan sendiri ke Aceh. Dan akupun mendaftar.

Perjalanan wisata kali ini digabung dengan kunjungan olahraga persahabatan dengan USU Medan. Ada 50 orang atlit karyawan yang akan ikut dalam berbagai pertandingan persahabatan. Di tambah 25 orang peserta murni wisata. Semua peserta, termasuk mereka yang akan bertanding membayar dengan harga yang disubsidi kantor. Ternyata untuk mendapatkan 75 orang yang akan mengisi tempat duduk yang sudah terlanjur di blok di pesawat mendekati hari ’H’ mengalami sedikit kendala. Tidak cukup orang yang punya waktu untuk berwisata dengan biaya murah dengan disubsidi. Panitia 'terpaksa' membuka kesempatan kepada mereka yang ingin membawa istrinya ikut dalam rombongan. Wah, pucuk dicinta ulam tiba. Langsung saja aku mendaftarkan istriku untuk ikut. Tentu saja dia sangat gembira mendengarnya.

Masih belum tuntas juga. Masih ada beberapa seat kosong lagi, yang akhirnya diisi oleh temanku satu divisi dengan membawa anak-anaknya. Sementara itu, anak kami yang sudah diberitahu rencana kedatangan kami ke Medan menanyakan apakah dia boleh ikut bergabung di Medan. Kalau bisa, dia akan datang ke Medan dari tempatnya di Blangkejeuren. Dan ternyata bisa pula. Alhamdulillah.

Tanggal 1 Juni, kami meninggalkan rumah jam 4 subuh dengan taksi menuju ke Bandara Soekarno - Hatta. Belum masuk waktu subuh. Di perjalanan aku kirim sms ke anakku yang sedang melakukan perjalanan dengan mobil travel menuju Medan. Alhamdulillah, rupanya dia sudah hampir sampai di Medan. Dia akan mampir dulu ke tempat temannya orang Medan, yang sama-sama dalam perjalanan dari Blankejeuren.

Kami sampai di bandara jam lima kurang seperempat. Disana sudah hadir hampir semua peserta wisata dengan kaus seragam berwarna putih sesuai yang ditetapkan panitia. Dan kami keliru memakai kaus satunya yang berwarna merah. Terpaksa buru-buru diganti. Proses check in dibantu oleh panitia dan berjalan cukup lancar. Panitia juga membagikan kotak snack untuk sarapan. Sesudah menyerahkan barang-barang yang akan masuk bagasi, kami bergegas naik ke lantai dua mencari mushala untuk shalat subuh.

Jam setengah enam kami sudah boarding ke pesawat Air Asia dan jam enam tepat pesawat itu take off dari Bandara Soekarno - Hatta. Penerbangan ke Medan terasa cukup cepat karena di pesawat aku melanjutkan tidur. Aku terbangun waktu seorang teman memberi tahu bahwa danau Toba terlihat di sisi sebelah kiri pesawat, dan kawan-kawan heboh ingin melihatnya. Jam delapan kami mendarat di bandara Polonia Medan. Cuaca sangat cerah pagi itu. Kami sudah ditunggu oleh penyelenggara wisata, maupun utusan dari USU. Tentu saja juga oleh anak kami yang sudah hadir di luar. Bukan main gembiranya dia bertemu dengan kami, padahal baru tepat sebulan sejak dia bertugas di Aceh.

2. Kota Medan

Kami sudah ditunggu oleh dua buah bus besar (dari Mutiara Holidays), kendaraan yang akan digunakan selama kunjungan tiga hari ini. Dari Bandara kami langsung dibawa ke Western Asean Hotel, sebuah hotel bintang empat yang terletak di Jl. Adam Malik. Bukan untuk langsung check in tapi untuk sarapan pagi. Kami baru akan check in nanti siang. Pemandu wisata kami seorang Pujakesuma, begitu dia memperkenalkan diri, bernama Eko. Cukup berpengalaman kelihatannya. Dia mulai memperkenalkan kota Medan kepada kami, dalam ceritanya yang aku dengarkan masih dengan sedikit terkantuk-kantuk. Logat bicaranya tidak sedikitpun menyisakan logat Jawa. Dia bercerita tentang penemu kota Medan, yakni Guru Patimpus tepat ketika kami melalui patung besar sang pendiri kota Medan tersebut.

Dan kami sampai di hotel Western Asean, di sebuah jalan yang cukup ramai. Pekarangan hotel yang kononnya berbintang empat itu sangat sempit menjorok ke sisi jalan raya yang tak seberapa bersih dengan bau got yang cukup menusuk. Sebuah sambutan selamat datang yang kurang menjanjikan. Hidungku yang peka segera mengendus bau kurang enak begitu turun dari bus. Soalnya bus kami harus berhenti di pinggir jalan, karena bus tidak bisa masuk ke pekarangan hotel yang sempit itu.

Seperti yang sudah direncanakan panitia, kami menuju ke restoran hotel untuk sarapan. Mungkin karena diserbu 75 orang tamu bersamaan, ketika matahari sudah cukup tinggi pula, layanan hotel itu jadi tidak terlalu elok terasa. Tapi ya sudahlah, kami dapat sarapan sekedarnya.

Sesudah sarapan kami kembali naik bus. Kali ini menuju ke istana Maimoon. Pemandu wisata kembali bercerita, yang aku dengarkan antara iya dan tidak saja. Tidak terlalu lama untuk sampai ke istana Maimoon, istana kerajaan Deli yang sudah kehilangan pamor dan kurang terawat. Padahal Sultannya masih ada dan menurut pemandu wisata kami, sang Sultan yang masih kanak-kanak itu tinggal dengan ibunya di Makassar. Sultan terdahulu, Sultan Tito Ottleman Mahmud Perkasa Alam adalah seorang perwira menengah TNI (berpangkat letnan kolonel) yang gugur dalam sebuah kecelakaan helikopter di Lho Seumawe Aceh bulan Juli tahun 2005 dan dimakamkan di pemakaman raja-raja di kompleks istana ini. Sultan baru yang ketika itu baru berusia delapan tahun dinobatkan pada saat hari pemakaman, karena menurut ketentuan kerajaan, Sultan mangkat maka Sultan pula yang harus memakamkan.

Taman yang ditumbuhi rumput di depan istana terlihat kurang terawat. Di jalan dekat taman ini berjejer pedagang kaki lima dengan aneka jualan. Ada yang berjualan sovenir dan ada yang berjualan jajanan. Ada sebuah gardu tempat meriam kuno yang terletak di halaman istana di sebelah kanan bangunan utama. Di kedua sayap istana Maimoon ini, yang rupanya dihuni oleh keluarga Sultan, terlihat tanda sebuah hunian dengan jemuran kain di depannya.

Kami menaiki tangga istana dan masuk ke dalam ruangan yang temaram di bagian depan. Masih terlihat hiasan lampu gantung dan hiasan dinding berupa lukisan. Tapi sekali lagi, kurang terawat. Di bagian tengah ada ruangan singgasana dengan mahligai Sultan. Ada etalase milik pedagang sovenir pula di bagian dalam. Di dalam etalase itu dipajang miniatur benda-benda milik istana dan batu-batu permata. Beberapa pengunjung yang bukan dari rombongan kami menyewa pakaian adat (pakaian raja dan ratu) untuk diabadikan dengan foto. Sang pemandu bercerita sisilah Sultan Deli yang pernah memerintah.

Kami mengambil foto-foto di dalam bangunan istana itu. Bahkan foto grup rombongan besar, sebelum kami meninggalkan bangunan istana itu. Secara keseluruhan, menurut pengamatanku kunjungan ke dalam istana Maimoon kurang semarak kalau dibandingkan dengan kunjungan ke dalam istano Pagar Ruyung sebelum terbakar. Lingkungan di sekitar istano Pagar Ruyung lebih tertata dan pemandangannya lebih elok. Berkat kepandaian pemandu wisata bercerita saja kunjungan ini masih lumayan bermakna. Akhirnya aku juga mengetahui bahwa hampir tidak ada bantuan pemerintah baik daerah maupun pusat untuk perawatan aset kerajaan Deli termasuk untuk perawatan istana Maimoon ini.

Kami tinggalkan istana Maimoon. Sekarang kami menuju ke mesjid Sultan (mesjid Raya Al Mashun) yang terletak beberapa ratus meter dari istana. Kami akan shalat Jumat di mesjid ini. Hari baru jam setengah dua belas kurang. Memang agak tanggung untuk mengunjungi tempat lain sementara dugaanku waktu shalat Jumat sekitar setengah satu nanti.

Ternyata benar, kami berdiam di mesjid menunggu masuk waktu pukul satu kurang dua puluh menit. Kami ikuti acara shalat Jumat dengan sedikit variasi sebelum khatib naik mimbar, termasuk azan dua kali dan azan oleh dua muazin susul menyusul. Belum pernah aku mendengar azan seperti ini. Khatib naik ke atas mimbar yang cukup tinggi dan aku duduk persis di sebelah kiri mimbar karena ingin melihat khatib yang berkhutbah. Meskipun untuk itu aku harus duduk di shaf ke lima.

Khutbah yang bagus, dan bacaan imam shalat yang fasih.

Sesudah selesai shalat Jumat kami menuju ke hotel, untuk check in. Panitia membekali kami dengan nasi kotak dari rumah makan ACC masakan Minang / Melayu (tertulis begitu di kotaknya). Ada diantara teman-teman yang langsung makan di atas bus. Kami berencana akan makan di kamar hotel saja. Soalnya siang ini kami tidak akan ikut rombongan menonton pertandingan di USU, karena anakku pastilah terlalu lelah sesudah perjalanan dengan mobil travel semalam suntuk tadi malam.

Panitia sudah mengatur bahwa rombongan akan ditempatkan sekamar tiga orang. Untuk kami jadi pas sekali. Kami mendapatkan kamar dengan dua tempat tidur single (cukup besar sehingga kami menolak ekstra bed yang ditawarkan, karena membuat sumpek saja). Kamar yang tidak terlihat seperti sebuah kamar hotel berbintang empat. Agak lusuh meski lumayan bersih. Tidak ada jendela karena berbatasan dengan dinding sisi lain dari hotel. Istriku berpikir-pikir untuk protes, tapi aku larang. Sudahlah, yang kita perlukan adalah tempat tidur dan itu lebih dari cukup. Kami makan siang sebelum beristirahat siang hari itu.

Lumayan, kami dapat beristirahat sebentar. Jam empat kami sudah terbangun dan mandi. Kami ingin berjalan-jalan bertiga dekat-dekat hotel ini. Dan itu pula yang kami lakukan. Beberapa langkah dari hotel, kami temui penjual durian, di atas got yang ditutupi papan dan terpal plastik biru dengan bangku bersusun-susun. Konon begini khasnya pedagang duren pinggir jalan di Medan. Istriku yang sangat penggemar duren (meski seringkali mengeluh sakit ini sakit itu sesudah makan duren), menawar duren kecil-kecil. Alaah mak, duren yang hanya sedikit lebih besar dari kepalan tangan ditawarkan empat puluh ribu. Istriku masih mencoba menawar dua puluh ribu tapi tidak dikasih. Aku benar-benar tidak berminat untuk ikut makan duren di atas got yang berbau busuk itu.

Kami berjalan-jalan di sepanjang jalan itu tanpa tujuan. Sayang turun hujan gerimis. Akhirnya kami berbalik, kembali pulang ke hotel.

Malamnya kami makan di rumah makan Waringin sea food tidak jauh dari hotel. Cukup berjalan kaki saja untuk pergi ke sana. Dan kami dijamu dengan makanan yang berlebih-lebihan banyaknya. Istriku mengingatkan agar aku tidak lepas rem, agar tidak disiksa asam urat. Padahal udang dan cumi gorengnya sungguh sangat mengganggu mata. Mengingat perjalanan yang akan dituju masih panjang, aku terpaksa bersabar, diet dengan hanya memakan ikan gurami goreng.

Sesudah makan malam, kami mencoba membuka lap top (yang aku bawakan untuk anakku) di hot spot hotel. Sayang tidak berhasil. Kami bisa masuk ke dalam sistim zonasi hotel tapi tidak bisa terhubungkan kemanapun.

Akhirnya malam itu kami segera saja beristirahat untuk tidur. Teman-teman lain kabarnya ada yang pergi menjelajah Medan di waktu malam dengan becak motor.


*****

3. Medan – Brastagi

Jam empat aku terbangun lalu berbersih-bersih untuk shalat malam di ujung waktu. Waktu subuh aku perkirakan sekitar jam lima lebih. Sampai mendekati jam lima subuh tidak ada kedengaran suara kegiatan mesjid di sekitar hotel itu. Padahal aku ingin pergi shalat subuh ke mesjid. Sampai jam lima lebih sepuluh tidak juga terdengar suara azan. Akhirnya kami shalat berjamaah bertiga di kamar. Sesudah shalat diteruskan dengan bersiap-siap, mandi dan mengemasi barang-barang. Rencananya pagi ini sesudah sarapan rombongan akan check out dari hotel ini.

Jam enam lebih kami turun untuk sarapan. Restoran hotel sudah dipenuhi oleh banyak teman-teman anggota rombongan. Kami sarapan dengan santai. Sekilas aku lihat ada anggota rombongan lain yang baru kembali dari berolah raga pagi. Berarti waktu untuk meninggalkan hotel masih cukup lama.

Sesudah sarapan kami kembali lagi ke kamar mengambil barang-barang dan setelah itu langsung turun ke lobby. Aku menyerahkan kunci kamar kepada petugas hotel. Menurut rencana jam setengah delapan kami sudah akan meninggalkan hotel. Ternyata tidak tepat seperti rencana, karena busnya belum datang disamping ada juga anggota rombongan yang terlalu santai. Jadi klop juga.

Sudah lebih jam delapan waktu akhirnya rombongan meninggalkan hotel di Medan. Tujuan kami adalah kota Parapat di pinggir danau Toba yang akan kami capai melalui Brastagi. Jarak kedua kota melalui jalur ini lebih kurang 225 km. Aku sudah pernah menempuhnya dulu tahun 1995 ketika ikut field trip IPA. Bus kami melalui daerah Padang Bulan, masih di dalam kota Medan, melalui jalan Jamin Ginting, jalan yang namanya sama sampai ke kota Brastagi bahkan terus ke Kabanjahe. Pemandu wisata menceritakan, ketika terjadi kecelakaan pesawat Mandala pada awal September 2005, badan pesawat nahas yang gagal tinggal landas itu terhempas di sebuah pasar di daerah Padang Bulan ini. Dia menunjukkan tempat dimana badan pesawat itu jatuh dan terbakar lalu mencelakai beberapa orang penduduk.

Sejak dari daerah Padang Bulan ini terasa sekali kekentalan lingkungan Batak Karo yang beragama Kristen. Hal itu terlihat dari banyaknya Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan restoran dengan menu babi panggang. Banyak sekali restoran seperti ini di kiri dan kanan jalan. Pada beberapa restoran tertulis babi panggang Karo disingkat BPK. Jumlah gereja relatif banyak dan mayoritas adalah GBKP. Tapi ada juga gereja-gereja lain seperti gereja Katholik, Advent, Pantekosta dan sebagainya. Mesjidpun ternyata cukup sering terlihat.

Kami telusuri jalan raya yang mulus ke arah selatan menuju Brastagi. Kami lalui kampung demi kampung di pinggir jalan. Aku memperhatikan pemandangan yang menarik sepanjang jalan ini dimana banyak sekali kuburan dengan hiasan salib yang terletak di tengah sawah. Kuburan-kuburan itu umumnya ditembok dan dilapisi porselen. Bahkan ada yang dilengkapi dengan rumah-rumahan, dengan atap permanen. Pemandu wisata kami menjelaskan bahwa membangun kuburan seperti itu merupakan bagian dari adat masyarakat Batak. Disamping juga bermanfaat untuk mempertahankan tanah adat. Kalau orang-orang tua sudah dikuburkan di tengah sawah, tentulah keluarga yang ditinggalkan tidak akan mau sembarangan menjual sawahnya. Dan orang Batak sangat menghormati orang tua. Banyak kuburan yang dibuat megah, kadang-kadang dilengkapi dengan patung dari jasad yang dikuburkan. Begitu kebiasaan masyarakat Batak yang beragama Kristen.

Bus kami mulai menanjak melalui daerah pegunungan yang subur. Banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dikeluarkan dari sini untuk di ekspor ke Singapura dan Malaysia. Jalan semakin menanjak dan berliku ketika mendekati hutan lindung Sibolangit. Puncak pendakian itu menurut pemandu kami berada pada ketinggian 1500m di atas muka laut. Sesudah meliwati puncak pendakian, bus kami berhenti di sebuah tempat pemberhentian untuk memberi kesempatan bagi yang ingin ke kamar kecil. Menurut pemandu wisata pula, kalau lagi musim duren, orang berhenti di situ untuk makan duren dengan lemang ketan. Sayang saat ini belum musim duren. Pantas saja kemarin di Medan harga duren yang ditawarkan sangat mahal.

Kamar kecil disitu kelihatan sangat sederhana dan terbatas jumlahnya, sementara tempat itu memang ideal untuk beristirahat, sesudah berkendaraan cukup jauh dari Medan. Waktu kami berhenti ada pula dua bus lain dari arah berlawanan ikut berhenti. Penumpangnya wisatawan dari Malaysia. Aku rasa seharusnya pemerintah daerah tanggap dan membuatkan peturasan yang lebih baik disitu.

Perjalanan kami lanjutkan ke Brastagi, sebuah kota kecil tempat peristirahatan di daerah pegunungan. Banyak hotel baru dan besar-besar di kota ini. Entahlah dengan tingkat huniannya. Bus kami berhenti di pasar Brastagi. Pemandu wisata mengajarkan beberapa kata-kata dalam bahasa Karo seperti salam ’mejuah-juah’, memanggil wanita pedagang dengan panggilan ’eda’, mengucapkan ’bujur’ yang artinya terima kasih dalam bahasa orang Karo. Dia juga mengingatkan agar menawar harga yang dimintakan pedagang.

Rombongan turun untuk berbelanja dan melihat-lihat. Banyak kios yang menjual aneka barang dan sovenir di pasar itu. Para pedagang berebutan memanggil calon pembeli dengan sapaan yang ramah. Kebanyakan pedagangnya adalah ’eda’ tadi, atau wanita. Aku menyuruh istriku mencarikan celana pendek untuk kupakai tidur karena kelupaan membawanya. Kami berhenti di sebuah kedai. Pemilik kedai ini, yang cukup ramah sebenarnya menanyakan kami dari mana. Waktu kami jawab dari Jakarta dia mengatakan, ’Saya pikir dari Malaysia. Kakak ni jelas seperti orang Melayu, tapi kok suaminya Cina.’ Aku jawab bahwa aku memang orang Cina. ’Oh, jadi benarnya,’ katanya pula. Bukan, aku jawab sungguh-sungguh, dan aku katakan bahwa aku orang Minang. Dia terheran-heran seperti tidak percaya. Waktu kami menawar celana pendek yang ditawarkannya 50,000 hanya 20,000 rupiah dia mengucapkan astaghfirullahi’azhiim.... teganya kakak, katanya. Giliran aku yang terheran-heran. Waktu aku tanyakan apakah dia Muslim, dengan tersenyum dijawabnya diplomatis, tidaklah semua orang Batak Kristiani, dan saya memang Muslim, jawabnya. Dan celana itu akhirnya kami beli 25,000 rupiah. Berbelanja barang-barang sovenir disini ternyata memang harus menawar serendah mungkin. Sebuah kaos yang ditawarkan 50,000 akhirnya di lepas dengan harga 20,000 rupiah.

Kami singgah di kedai yang menjual aneka bibit bunga untuk membeli bibit karena istriku lagi senang-senangnya berkebun. Ada yang berupa biji bulir kecil-kecil ada pula yang berbentuk umbi. Dan terdapat pula pasar buah yang menyediakan beraneka macam buah-buahan segar seperti markisa, mangga, strawberi, alpukat, salak. Aku menanyakan apakah salak yang dijual itu salak Sidempuan (yang kebanyakan sepet), dan pedagangnya membantah. Dia menyuruh mencoba buah salaknya. Aku coba sebuah, enak dan manis bahkan lebih enak dari salak pondoh. Jadilah kami beli sekilo. Waktu kami makan malam harinya di penginapan, ternyata agak sepet, tidak sama seperti yang dicoba di pasar.

Semua anggota rombongan sibuk dengan urusannya masing-masing. Disamping yang berbelanja sovenir ada yang sekedar jajan jagung bakar atau air sari tebu. Bahkan ada yang menaiki kuda sewa untuk berpose dan difoto. Pokoknya ramailah.

Lebih kurang satu jam kemudian kami tinggalkan pasar Brastagi untuk menuju ke restoran di sebuah hotel tidak jauh dari pasar, restoran Gundaling namanya. Penyelenggara wisata telah menyediakan makan siang prasmanan untuk kami di restoran hotel itu. Sesudah makan kami shalat berjamaah di mushala yang terletak agak ke belakang. Lebih kurang jam dua siang kami bersiap-siap untuk melanjutkan lagi perjalanan.

*****

4. Brastagi – Parapat

Kami melanjutkan lagi perjalanan sesudah selesai istirahat makan siang dan shalat zuhur. Menurut pemandu wisata, ada sebuah panorama di kaki gunung Sinabung tempat orang bisa melihat keindahan hamparan pemandangan di dataran rendah yang terbentang sampai ke Medan. Tapi jalan ke panorama itu pasti macet pada hari libur panjang seperti ini. Kalau kami singgah ke sana, akibatnya bisa terlalu malam nanti sampai di Parapat. Sedangkan kami akan mampir pula melihat air terjun Sipiso-piso di ujung utara danau Toba. Oleh karena itu kami tidak jadi singgah di panorama itu.

Sang pemandu bercerita tentang gunung Sinabung yang meski tidak terlalu tinggi tapi mempunyai cerita-cerita agak mistis. Sudah banyak pendaki yang hilang lenyap di gunung itu, katanya. Dia ceritakan pula, pernah seorang pendaki berkebangsaan Jerman hilang di sekitar tahun delapan puluhan. Sudah dicari dengan segenap daya upaya, bahkan konon waktu itu disayembarakan dengan hadiah uang cukup besar dari keluarganya untuk menemukan jasadnya hidup atau mati, tidak ada seorangpun yang berhasil menemukan. Tapi ada pula seorang penduduk dari sekitar gunung itu yang pernah hilang berpuluh tahun, tiba-tiba muncul kembali. Orang ini bercerita bahwa selama menghilang, dia berada di kampung orang bunian di puncak gunung itu. Banyak dari orang-orang yang hilang itu, katanya, tinggal bersama orang bunian disana, dan tidak mau lagi turun ke bawah ke lingkungannya semula. Entah kenapa pula orang yang bercerita itu bisa kembali dari sana. Wallahu a’lam.

Perjalanan diteruskan melintasi kota Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Disini kami tidak singgah alias sekedar menompang liwat saja. Aku melihat mesjid raya Kabanjahe yang sedang di renovasi total, sebagaimana tertulis di papan pengumuman di samping mesjid itu. Melihat mesjid sebesar itu dan masih ada lagi mesjid lain di kota ini, membuat aku semakin mengerti bahwa ragam keberagamaan masyarakat Batak Karo ini benar-benar sangat luas. Bukan sebuah kebetulan ada seseorang yang bernama Muslim Ginting, Abdur Rahman Sebayang dan sebagainya.

Dari Kabanjahe kami menuju ke selatan. Jalan mulai agak sedikit lebih kecil dan agak banyak yang berlobang. Pemandangan di kiri dan kanan jalan masih sama, didominasi oleh sawah dan kebun sayur-sayuran. Dan sering terlihat kuburan-kuburan bertanda salib di tengah sawah atau kebun itu. Kami sampai di sebuah kampung yang bernama Merek dan kami berhenti untuk melihat pemandangan air terjun Sipiso-piso. Tempat bus kami berhenti adalah di bibir sebuah jurang, yang melengkung ke arah utara, sedangkan kami berada di sisi sebelah timur. Disebelah utara terdapat hamparan luas yang tiba-tiba dengan sangat kontras berbatasan dengan sebuah lembah. Beda ketinggian antara hamparan dan lembah di bawah itu kira-kira seratus lima puluh meter. Disanalah terletak air terjun Sipiso-piso. Jarak mendatar dari tempat kami berhenti ke tempat air terjun itu aku perkirakan sekitar satu kilometer.

Pemandangan itu sangat mengagumkan. Ada jalan setapak, berliku dan bertahap sebenarnya untuk turun ke bagian bawah air terjun itu yang menurut informasi orang di sekitar itu, memerlukan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk mencapainya. Kalau untuk turun sambil menurun diperlukan waktu empat puluh lima menit, maka untuk naik kembali tentu akan membutuhkan waktu setidaknya dua kali lipat. Mungkin karena sudah mulai sore dan agak gerimis pula, tidak ada anggota rombongan yang cukup nekad untuk mencoba turun ke bawah sana. Dari tempat kami terlihat banyak orang yang yang berada dekat kaki air terjun. Tapi tidak ada yang benar-benar mendekat ke titik jatuhnya air. Mereka berada sekitar dua puluh meter dari titik itu. Sepertinya orang-orang yang berada di bawah itu pasti basah oleh cipratan air terjun yang terlihat seperti embun jatuh dari kejauhan. Air terjun itu merupakan salah satu pensuplai air danau Toba. Kami berhenti di tempat itu lebih kurang satu jam sebelum melanjutkan lagi perjalanan. Masih diperlukan waktu sekitar dua setengah jam lagi untuk mencapai Parapat dari tempat ini.

Cuaca yang sempat agak gerimis kembali berubah cerah. Kami sekarang menyusuri danau Toba dari kejauhan. Kami masuki daerah Simalungun yang penduduknya adalah suku Batak Simalungun. Pengetahuanku tentang suku Batak, yang tadinya menganggap bahwa orang Batak secara keagamaan identik dengan penganut Kristen Protestan dengan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), mulai terbantahkan. Aku terheran-heran melihat di sepanjang jalan yang kami tempuh, melalui negeri Seribu Dolok, banyak sekali gereja Katholik maupun sekolah-sekolah yang bernaung dibawah gereja Katholik. Sang pemandu wisata menunjukkan pula kepada kami kampung mantan seorang menteri di jaman pemerintahan Soeharto, yakni Cosmas Batubara. Aku mengetahui bahwa beliau ini seorang penganut agama Katholik yang tadinya aku pikir mungkin karena dia menikah dengan seorang wanita Katholik.

Yang sedang aku amati ini akhirnya dikonfirmasikan oleh pemandu wisata kami. Benar, bahwa mayoritas orang Batak Simalungun beragama Katholik. Meskipun agama mereka berbeda dengan orang Batak Karo, tapi adat kebiasaan dalam mengurus kuburan tidak ada bedanya. Di sepanjang jalan ini terlihat banyak sekali kuburan di tengah sawah. Hampir semua dengan hiasan tanda salib. Ada yang cukup megah dengan bangunan beratap atau dengan monumen dan patung. Sempat pula mataku menangkap sebuah kuburan dengan kubah kecil dan tulisan Arab yang tentulah kuburan seorang Muslim. Mesjid, meski tidak sebanyak di daerah Batak Karo yang kami lalui tadi, sekali-sekali ada juga kelihatan.

Kami sedang berada di punggung Bukit Barisan. Di ketinggian sekitar seribu meter di atas muka laut. Rupanya sudah menjauh dari pinggir danau Toba yang tidak pernah lagi kelihatan. Jalannya agak sempit tapi aspalnya lumayan licin. Berliku dan turun naik di pinggir perbukitan hutan pinus. Kami sampai di sebuah kampung yang bernama Simarjarunjung. Disini kami berhenti di sebuah restoran di puncak sebuah bukit. Menurut pemandu wisata kami akan beristirahat sambil minum bandrek dan makan pisang goreng di restoran ini.

Lumayan indah disini. Dan seperti yang dijanjikan pemandu tadi, disini kami minum bandrek dan makan pisang goreng. Restoran yang cukup besar ini, di sore hari itu memang hanya menyediakan dua macam itu saja. Bahkan pisang gorengnya kelihatannya baru digoreng ketika kami masuk. Kami menunggu agak lama untuk mendapatkannya. Bandreknya enak dan sangat kental rasa jahenya. Rupanya lebih mantap lagi kalau diminum pakai susu encer yang disediakan. Terasa hangat di perut. Sangat cocok dengan udara dingin di sekitar kami.

Setelah beristirahat sekitar empat puluh lima menit kami berangkat lagi. Melalui perbukitan berhutan pinus dengan jalan yang berliku-liku. Danau Toba kembali kelihatan di kejauhan. Pemandu wisata kami bercerita tentang danau Toba yang katanya danau di dataran tinggi yang tertinggi kedua di dunia sesudah sebuah danau lain di Peru di Amerika selatan. Tetang pulau Samosir yang terletak di dalam danau yang luasnya lebih besar dari luas pulau Singapura. Aku tergelitik untuk meluruskan keterangannya yang agak keliru ini. Adalah benar bahwa danau Toba berada pada ketinggian sekitar 900 meter di atas muka laut. Tapi di selatan, di Sumatera Barat ada danau kembar yang terletak pada elevasi yang lebih tinggi yakni pada ketinggian 1600 meter. Aku jadi ikut sedikit bercerita tentang danau Toba yang adalah hasil letusan gunung api purba, sama seperti halnya danau Maninjau di Sumatera Barat. Bahwa Samosir bukanlah sebuah pulau pada awalnya melainkan bagian dari daratan lain. Belanda membuat terusan pada bagian tanah yang sempit di sebelah barat sehingga akhirnya Samosir seperti terpisah dan merupakan sebuah pulau di dalam danau.

Sudah liwat waktu maghrib ketika kami sampai di Parapat. Di hotel Danau Toba yang terletak di pinggir danau. Agak kecele waktu pembagian kunci kamar dilakukan di lapangan parkir yang terletak di bagian agak ketinggian. Aku menyangka kamar kami tidak jauh dari tempat itu. Ternyata kami harus melalui tangga dan jalan menurun yang lumayan jauh untuk mencapai kamar kami yang terletak benar-benar di bibir danau. Kami akhiri perjalanan jauh yang melelahkan hari ini, melihat pemandangan beraneka warna dan cukup memukau sepanjang jalan.

*****

5. Danau Toba

Pemandangan di danau Toba sangat mempesona, menunjukkan ke-Maha Kuasa-an Allah dalam penciptaan Nya. Sebuah danau yang luar biasa besar dan terjadi sebagai akibat letusan gunung berapi di jaman purba, seperti yang dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, sesuai dengan bukti-bukti dan tanda-tanda dari kejadian tersebut. Betapa dahsyatnya letusan gunung api itu ketika itu, yang hanya Allah saja yang tahu kapan tepatnya terjadi. Yang terlihat sekarang adalah ketenangan dan keindahan. Ketenangan air danau yang beriak kecil, berwarna biru. Bahkan sangat bening kalau kita amati di dermaga, sehingga kita dapat melihat dengan sangat jelas ikan-ikan kecil berenang. Pemandu wisata kami menceritakan bahwa di danau ini yang banyak terdapat adalah ikan mas dan mujahir. Dan beberapa tahun yang lalu, Megawati sebagai presiden republik memasukkan bibit ikan kecil-kecil. Kelihatannya bibit yang dimaksud adalah dari jenis ikan bilis seperti yang terdapat di danau Singkarak dan Maninjau. Aku melihat kawanan ikan bilis ini di dermaga. Masyarakat yang tinggal dekat danau di Parapat ini membudidayakan ikan dalam keramba. Kami melihat keramba itu bersusun-susun di dalam danau ketika kami hampir sampai ke Parapat.

Pada malam hari ketika kami baru sampai, ada teman-teman yang menyempatkan pergi berjalan-jalan ke pusat kota Parapat. Kami sekeluarga tidak sanggup kemana-mana lagi. Kami lebih memilih beristirahat, sesudah makan malam di restoran hotel yang terletak di dekat tempat parkir tadi, yang artinya harus mendaki dan melalui tangga untuk mencapainya.

Hari Minggu pagi sesudah shalat subuh, aku duduk di teras depan kamar kami menghadap ke danau yang masih diselimuti kegelapan. Sunyi dan sahdu suasananya. Terlihat kelap-kelip lampu di sisi danau. Ada anggota rombongan yang menyempatkan berolahraga dan berlari pagi di jalan kecil berpaving persis di pinggir danau. Udara sangat sejuk dan bersih. Jam enam pagi, ketika cuaca masih gelap, terdengar dentangan lonceng gereja bertalu-talu dari seberang sana. Aku merasa seperti sedang berada di Pau Perancis, karena di tempat itu dulu aku mendengar dentangan lonceng gereja seperti ini. Dan kali ini aku sedang berada di lingkungan penganut agama Katholik di daerah Simalungun.

Sesudah sarapan kami bersiap-siap untuk menuju dermaga karena pagi ini kami akan menyeberang ke Samosir. Kami sudah check-out terlebih dahulu dari hotel karena nanti siang tidak akan kembali lagi kesini. Dua buah kapal motor sudah siap untuk membawa kami mengharungi danau. Pembagian rombongan tetap seperti pembagian di dalam bus. Kapal motor ini cukup lega untuk diisi sekitar empat puluhan penumpang.

Tujuan mula-mula kami adalah ke Batu Gintung. Tapi sebelumnya kami harus kembali dulu ke dermaga kapal motor ini, yang letaknya dekat ke tengah kota, untuk mengambil baju pelampung yang rupanya kelupaan, tidak disiapkan oleh awak kapal. Waktu kami sampai disana, meski hanya berhenti sebentar saja, kami lihat banyak anak-anak berenang-renang di dalam danau. Mereka berteriak-teriak minta dilemparkan uang koin. Persis seperti pemandangan yang pernah aku lihat di Merak dan Bakauheni, anak-anak kecil berebutan mengejar koin yang dilemparkan orang dari kapal. Teriakan anak-anak ini dengan aksen dan logat mereka yang cukup khas, ‘Lemparlah paak. Lemparlah uang koinnya paak...’ Ternyata berkembang pula sesudah itu, mungkin karena ada yang melemparkan uang kertas. ‘Lemparlah buuk... Lemparlah uang kertasnya buuk.....’

Kapal kami sekarang menuju ke Batu Gintung. Pemandu wisata menceritakan sebuah dongeng / legenda tentang seorang puteri raja yang cantik yang menolak ketika akan dinikahkan dengan seorang laki-laki pilihan bapaknya. Sang puteri yang tidak menyukai calon dari sang bapak memilih melarikan diri. Sang raja tentu saja murka ketika puterinya itu berani melawan kehendaknya, bahkan pergi melarikan diri. Puteri itu, yang meninggalkan istana ditemani seekor anjing, disumpahinya dan keduanya berubah menjadi batu, yang tergantung di kaki bukit di pinggir danau. Sebuah dongeng yang bisa-bisa saja, kan namanya juga dongeng. Dan yang kami lihat memang ada dua bongkah batu kapur (stalagtit) tergantung di atas sana pada ketinggian sekitar lima belas meter. Ada objek batunya, ada ceritanya, maka laku pula untuk dijual kepada pengunjung.

Kesibukan pariwisata di danau Toba ini terlihat cukup tinggi. Banyak kapal motor, speed boat berseliweran hilir mudik. Di pinggir danau di sekitar Parapat terlihat banyak wisatawan, ada yang bermain sepeda air, ada yang mandi dan berbasah-basah di pinggir danau.

Kami sekarang menuju ke Ambarita di seberang, di pulau Samosir. Kapal motor kami berjalan beriring-iring. Ada anak-anak kecil yang lain di kapal ini, yang dari tadi aku lihat, di antaranya ada dua orang yang memegang gitar. Rupanya memang anak-anak yang diajak ikut serta untuk menghibur kami. Anak-anak itu, yang umurnya sekitar lima belas tahunan, pandai bermain gitar dan suaranya lumayan dalam menyanyikan lagu-lagu Batak. Tidak percuma sebagai anak orang Batak. Dan hebohlah suasana diiringi suara gitar anak-anak itu. Pelancongpun ada yang ikut menyanyi.

Kapal motor kami melaju membelah air danau yang bening. Perlu waktu sekitar empat puluh menit untuk menyeberang. Pernah aku membaca berita bahwa air danau ini susut akibat digunakan untuk penggerak turbin PLTA Asahan. Tapi saat ini tinggi air terlihat sangat normal. Kadang-kadang terlihat sampah botol plastik terapung-apung di permukaan air. Ini tentunya memerlukan sekedar penyuluhan tambahan saja, untuk mengingatkan pengunjung agar memelihara kebersihan danau. Aku juga tidak melihat pengotoran akibat limbah minyak, sesuatu yang sebenarnya cukup mengkhawatirkan kalau tidak diawasi dengan baik mengingat banyaknya jumlah kapal motor, perahu motor di dalam danau ini. Sebuah pemandangan yang mengherankan aku pula adalah ketika aku melihat sebuah kapal feri dengan muatan mobil (sekitar dua belas mobil kecil sejenis kijang di atasnya). Mengherankan, karena timbul pertanyaan di otakku tentang bagaimana dan dimana agaknya kapal feri itu di rakit di pinggir danau ini.

Jam setengah sepuluh kami sampai di Ambarita. Tempat yang terlihat sudah ramai dengan wisatawan. Kapal kami merapat dan kami segera turun untuk melihat-lihat objek wisata disini.


*****

6. Ambarita dan Tomok

Kami berjalan melalui sebuah gang yang dikiri dan kanannya berjejer kedai-kedai sovenir. Pemilik masing-masing kedai merayu-rayu. ‘Mampirlah bang... Mampirlah kak... Oleh-oleh dari Ambarita.. dikasih murah bang...’ Begitu kata mereka. Karena kami akan melihat sebuah objek di bagian dalam kampung ini dan semua berjalan beriring-iringan di jalan yang berbelok-belok, sementara masing-masing takut ketinggalan serta kehilangan arah, maka tidak ada yang mampir memenuhi rayuan itu. Kami sampai di sebuah komplek perumahan adat yang dipagari dengan pagar tanaman.

Di dalam pagar terdapat beberapa buah rumah adat Batak. Ini adalah komplek rumah adat keluarga raja Siallagan, penguasa daerah Ambarita. Dijelaskan bahwa masing-masing rumah mempunyai fungsi yang berbeda dan memang terlihat perbedaan pada rumah yang satu dibandingkan dengan yang lain. Di pekarangan deretan rumah-rumah itu terdapat sebuah lapangan dengan kursi dan meja dari batu yang kononnya tempat bersidang raja dengan pembantu-pembantunya ketika harus menyelesaikan permasalahan yang timbul dikalangan rakyatnya. Ada patung satu orang dari batu yang sedang duduk di salah satu kursi batu tadi.

Apa saja yang mungkin untuk disidangkan oleh raja dan pembantu-pembantunya? Sebagai contoh diceritakan oleh pemandu wisata kami, bahwa jika ada penyerang dari luar memasuki daerah Ambarita yang tertangkap, mula-mula dia akan dipenjarakan di bawah rumah raja dengan kaki dipasung. Orang yang bernyali untuk menyerang pastilah orang yang mempunyai kesaktian, jadi bukan sembarang orang. Kalau dia berhasil ditangkap mula-mula dia akan dipenjarakan dengan kaki dipasung, sampai suatu hari yang ditetapkan dia akan diadili di mahkamah berkursi batu itu. Kalau dia benar-benar seorang penjenayah, maka hukuman maksimal yang akan diterimanya adalah hukuman mati.

Di samping tempat sidang dengan bangku dan meja dari batu itu ada lagi tempat menjalankan eksekusi berupa sebuah meja panjang (atau dipan?) yang juga terbuat dari batu, kira-kira sembilan puluh senti tingginya. Si terhukum akan dibaringkan di atas meja panjang itu dengan tangan terikat untuk dipenggal kepalanya. Pemandu wisata meminta seorang sukarelawan dari anggota rombongan untuk maju dan berbaring di meja eksekusi itu, untuk mempertunjukkan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi. Dan pertunjukkan ini dilakukan sambil dia meneruskan cerita.

Cerita itu menjadi lebih mengerikan karena proses penghukuman biasanya tidak mudah dilaksanakan berhubung karena si penjenayah pastilah mempunyai ilmu kebal dan tidak mempan dilukai benda tajam. Maka dia akan mengalami penyiksaan dengan dilukai untuk menghilangkan sisa-sisa kesaktiannya. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh pembantu raja yang juga mempunyai ilmu kesaktian. Sampai suatu saat si terhukum benar-benar tidak berdaya lagi barulah akhirnya akan dipancung kepalanya. Dan tubuhnya dicincang lalu dibagikan kepada penduduk yang nanti akan mencampurkan daging cincangan itu dengan daging hewan untuk dimasak dan dimakan. Wah, ceritanya memang sangat mengerikan. Untunglah cerita itu dari jaman dulu kala.

Sesudah mendengarkan cerita pemandu wisata dan melihat-lihat rumah-rumah adat di komplek itu kami dipersilahkan keluar melalui pintu yang lain. Pengunjung diminta untuk memasukkan sumbangan ala kadarnya ke dalam kotak sumbangan yang sudah disediakan dekat pintu keluar.

Dan ternyata kami digiring melalui deretan kedai sovenir yang lain lagi. Umumnya dagangan mereka adalah kaos dengan gambar danau Toba atau dengan tulisan Ambarita, disamping barang pernak-pernik lainnya, termasuk kalender Batak yang terbuat dari bambu. Dan para pedagang inipun merayu-rayu setengah memaksa. ‘Belilah bang... Oleh-olehnya....Janganlah pelit kali...’ Dan pelancong yang tidak mau dikatakan pelit terpaksa berbelanja. Membeli apa saja, termasuk kalender Batak dari bambu, yang entah bagaimana cara membacanya.

Kami berjalan kembali menuju ke dermaga. Setelah semua anggota rombongan lengkap, kapal motor kami kembali bergerak menyusuri pantai ke arah selatan menuju kampung Tomok. Di sepanjang pantai pulau Samosir antara Ambarita dan Tomok ini terlihat kesibukan kapal-kapal wisata yang cukup tinggi. Ketika kami akan merapat di Tomok, kapal motor yang kami tumpangi tidak bisa bersandar langsung ke pinggir dermaga, tapi terpaksa bersandar kepada kapal motor lain yang sedang berhenti. Tomok juga sangat ramai dikunjungi wisatawan. Mula-mula kami dibawa mengunjungi pertunjukan patung Sigale-gale. Patung itu berbentuk seorang laki-laki sedang berdiri yang diberi berpakaian dan berdestar. Patung ini dapat digerakkan oleh seorang dalang yang duduk bersembunyi dibelakangnya. Tentu saja ada pula cerita dongeng dan legenda tentang siapa itu Sigale-gale. Menonton pertunjukan patung menari ini dipungut biaya kolektif Rp 60,000. Biaya ini rupanya sudah dibayarkan oleh panitia. Kami duduk di bangku-bangku kayu yang sudah disediakan. Seorang laki-laki muda muncul dan bercerita tentang Sigale-gale sebelum pertunjukan dimulai. Sesudah penjelasan sekedarnya lalu dimulai pertunjukannya diawali dengan alunan musik Batak (rekaman). Dan sang dalang yang duduk di belakang patung, (terlindung dari penglihatan penonton) memainkan patung Sigale-gale sehingga patung itu terlihat seperti sedang bergerak-gerak turun naik dan mengangkat tangannya (manortor). Orang muda pembawa acara mengajak penonton untuk turun manortor bersama-sama dengannya. Sebelumnya sudah diajarkan bagaimana caranya menggerakkan tangan dan jari tangan dalam menari. Yang paling pintarnya, dipenghujung tarian dia mencontohkan untuk menyelipkan uang sepuluh ribuan di tangan patung Sigale-gale. Para pelancong yang ikut menaripun maklum, bahwa mereka juga harus meniru gerakan yang paling penting ini. Dan masing-masing merogoh dompet sambil menari, untuk menyelipkan sepuluh ribuan untuk Sigale-gale.

Dari pertunjukan Sigale-gale kami kunjungi kompleks pemakaman raja Sidabutar, raja penguasa kampung Tomok. Di kompleks pemakaman ini terdapat beberapa buah kuburan yang ditutupi oleh kotak batu dengan ukiran kepala orang. Kuburan-kuburan itu masing-masingnya adalah makam keturunan raja Sidabutar. Salah satu kuburan itu tidak saja dihiasi oleh patung kepala orang tapi ada pula patung wanita dibagian kakinya. Konon patung wanita itu melambangkan wanita yang seharusnya menjadi istri sang raja tapi dikawini oleh orang lain. Ceritanya agak sedikit berbelit-belit, tapi pada intinya, sang raja meski tidak berhasil mengawini wanita itu tetap mengenangnya dan meminta agar patungnya ikut menemani di makamnya. Ada pula patung seorang laki-laki berkopiah terletak di bawah patung kepala sang raja. Patung berkopiah itu mewakili panglima perang sang raja, seorang Aceh yang beragama Islam, bernama Muhammad Said. Begitu besar jasa orang Aceh ini kepada raja sehingga patungnya ikut pula menemani jasad raja di kuburannya.

Ketika akan meninggalkan pemakaman raja Sidabutar, seseorang memberi isyarat ke arah langit di atas ubun-ubun kami. Rupanya ada pelangi mengitari matahari yang saat itu posisinya persis di atas kepala. Tidak ada yang aneh, pelangi itu muncul akibat adanya uap air danau disaat panas terik seperti siang itu.

Itulah kunjungan kami ke Tomok. Menyaksikan dua objek, Sigale-gale dan makam raja Sidabutar. Sisanya adalah berjalan di sebuah gang sempit yang terletak diantara jejeran kedai sovenir.

Tomok lebih ramai dibandingkan dengan Ambarita. Setidaknya demikian terlihat ketika kami berada disana. Dan banyak sekali pedagang sovenir. Mereka bersaing ketat untuk merayu pembeli. Dan membeli harus pandai-pandai menawar. Di perjalanan kembali ke Parapat, teman-teman menemukan siapa yang lebih pintar dalam menawar. Karena sebuah barang belanjaan yang sama ukuran, warna dan tulisannya, yang seorang membelinya dua puluh ribu rupiah, yang lain membelinya empat puluh ribu. ‘Belilah bang.... Dikasih murah nya bang.....’

*****


7. Kembali ke Parapat

Sesudah mengunjungi kuburan raja Sidabutar, aku yang tidak berminat berbelanja apa-apa segera kembali ke kapal motor. Ada beberapa anggota rombongan yang juga sudah menunggu di kapal. Peserta lainnya datang satu persatu, dengan interval waktu yang tidak menentu pula. Maklumlah masih tersendat-sendat ditahan pedagang souvenir. Beberapa orang pedagang naik ke atas kapal menjajakan kacang rebus, telor rebus dan ada pula ikan kecil-kecil kering. Itulah ikan bilis yang sudah siap untuk digoreng. Seorang peserta bertanya kepadaku apakah ikan bilis itu enak. Dan aku jawab, enak terutama jika digoreng kering dan dilumuri cabe hijau. Dia membelinya beberapa bungkus.

Akhirnya anggota rombongan kembali lengkap dan kapal segera berangkat. Hari sudah jam dua belas siang. Cuaca panas. Kami kembali menuju Parapat di seberang sana. Kapal motor kami melaju membelah air danau yang berbinar-binar ditimpa sinar matahari. Kebanyakan dari anggota rombongan terkantuk-kantuk ditiup angin sepoi-sepoi. Perut sebenarnya sudah agak keroncongan, tapi masih harus bersabar sebentar lagi menjelang sampai di seberang. Untunglah program berikutnya memang makan siang di sebuah restoran di Parapat.

Sekali lagi mataku tertumbuk kepada sebuah kapal feri yang sedang menyeberangkan belasan buah mobil ke arah Tomok. Hebat sekali, kapal feri ini cukup besar. Dan entah dimana kapal sebesar itu di rakit. Kapal motor yang kami tumpangi rasanya masih mungkin di buat di Belawan lalu di bawa dengan truk panjang ke Parapat. Tapi kapal feri itu jelas tidak mungkin. Aku juga tidak yakin bahwa kapal ini dibawa melalui sungai ke danau ini.

Dan kami berpapasan lagi dengan kapal-kapal motor mengangkut wisatawan yang menuju ke arah berlawanan. Terlihat benar kesibukan kapal-kapal motor di danau ini. Danau Toba memang sudah maju beberapa langkah untuk jadi tujuan wisata. Kelihatannya semuanya cukup tertib, termasuk para pedagang sovenir. Tidak terlihat pedagang asongan yang mengerubuti wisatawan menyuruh beli barang dagangannya. (Pedagang kacang rebus yang naik ke kapal tadi cukup sopan dan tidak mendesak-desak.) Tidak terlihat preman, yang suka memungut uang ini itu di tempat-tempat yang kami kunjungi. Tidak terlihat orang-orang bertampang sangar dan menakutkan. Ini benar-benar perlu diacungi jempol. Karena premanisme adalah kartu yang mematikan bagi kemajuan pariwisata.

Sampai di dermaga Parapat yang mula-mula menyambut kami adalah anak-anak kecil yang berenang sambil merayu,’ Lemparlah paak.... Lemparlah uang logamnya paak....’ Tadi juga ada kami lihat di Ambarita. Yang dilakukan anak-anak ini boleh dianggap sebagai sebuah atraksi tambahan saja. Anak-anak itu tidak mengganggu dan tidak pula menggerutu seandainya tidak ada uang logam yang dilemparkan. Tapi sebanyak itu penumpang, selalu saja ada yang mau melemparkan uang receh, uang lima ratusan. Dan anak-anak itu berkejar-kejaran menyelami uang logam yang berkilat dalam air itu. Uang logam yang berhasil mereka dapatkan disimpan dalam mulut.

Kami terlambat kira-kira setengah jam dari jadwal semula. Begitu kapal motor merapat di dermaga kami segera turun. Bus sudah siap menunggu dan kami menaiki bus masing-masing. Tujuan berikutnya restoran Minang di sisi lain kota Parapat. Pemandu mewanti-wanti, jika seandainya restoran penuh, agar kami bersabar sebentar. Mereka khawatir akibat keterlambatan setengah jam dari jadwal, mungkin sekali tempat yang sudah dicadangkan untuk rombongan kami diisi oleh orang lain dan pemilik restoran tentu tidak mungkin menolak tamu yang datang untuk makan di restorannya. Tapi untunglah tempat cukup tersedia untuk kami (75 orang).

Semua peserta langsung sibuk dengan hidangan dihadapannya. Masakan Padang yang cukup enak disamping perut yang memang sudah sangat lapar. Dan tersedia pula ikan bilis goreng cabe hijau. Persis seperti yang aku ceritakan kepada teman yang membeli ikan bilis di kapal tadi. Aku datangi dia kembali untuk menunjukkan ikan bilis goreng cabe hijau itu. Dia tersenyum karena sudah lebih dahulu melihat di mejanya.

Makanan ini rupanya sudah dipesan dengan jumlah yang ditentukan. Aku menyadarinya, ketika meminta gulai kepala ikan mas, seperti yang aku lihat di meja sebelah, tapi tidak kunjung datang dan memang tidak pernah datang. Repotnya si pelayan tidak pula mengatakan ’tidak ada lagi’ misalnya, melainkan diam saja. Aku tambah mengerti, ketika petugas restoran memberi tahu bahwa pesanan minuman harus dibayar sendiri-sendiri karena tidak termasuk paket makanan. Bagaimana jugapun kami cukup puas dengan makanan yang dihidangkan.

Sesudah perut kenyang, masih tertinggal urusan shalat. Tadinya ada teman yang mengajak shalat di mushala rumah makan itu. Tapi kami diingatkan oleh mas Eko bahwa restoran itu terletak sekitar 50m saja dari mesjid raya Parapat. Akhirnya kami pergi ke mesjid itu untuk shalat. Mesjid yang cukup besar dan bersih. Kami shalat berjamaah dijamak qasar di mesjid itu.

Selesai pula kunjungan kami di Parapat dan sekarang kami akan kembali ke Medan melalui Pematang Siantar. Masih melalui jalan yang sama seperti yang kami tempuh waktu datang kemarin sampai ke pertigaan yang terletak beberapa kilometer saja dari Parapat lalu disana berbelok ke kanan. Kemarin kami datang dari arah yang disebelah kiri. Sebelum sampai di simpang tiga tersebut, pemandu wisata menceritakan bahwa di sebelah kanan jalan, ada hutan wisata monyet. Kami tidak akan singgah disitu karena waktu sudah mepet. Dia menceritakan bahwa di suaka monyet itu ada seorang pawang yang mampu memanggil tiga jenis monyet secara bergantian dengan menggunakan irama suara yang berbeda. Dia bisa memanggil rombongan kera, rombongan beruk (kera berbuntut pendek) dan siamang (sejenis monyet berwarna hitam). Masing-masing rombongan akan datang bergantian jika dipanggil. Kalau sang pawang memanggil rombongan beruk maka rombongan kera akan menarik diri masuk kembali ke dalam hutan sebelum rombongan beruk muncul. Begitu ceritanya. Sayang waktu kami sangat sempit, karena harus sampai di bandara Polonia sebelum jam tujuh malam.


*****

8. Kembali ke Medan

Cuaca yang tadi seperti mau hujan ketika kami meninggalkan mesjid Raya Parapat sekarang berubah menjadi cerah. Bus melaju di jalan yang tidak terlalu ramai menuju Pematang Siantar, masih di dalam kabupaten Simalungun. Pemandangan sepanjang jalan ini biasa-biasa saja. Mula-mula kami lalui hutan pinus di perbukitan setelah itu jalan agak menurun melalui kampung demi kampung. Dengan gereja dan kuburan bertanda salib di tengah sawah atau di pekarangan rumah. Masih gereja Katholik yang dominan di daerah ini. Sekitar jam tiga sore kami sampai di Pematang Siantar. Kota kelahiran Adam Malik, mantan wakil presiden di jaman Soeharto. Aku justru baru mengetahui hal ini sesudah diceritakan pemandu wisata kami. Kota Pematang Siantar mempunyai ciri khas yang lain yaitu becak motor dengan motor-motor tua seperti Norton, Dukati dan entah apa lagi. Entah bagaimana cara pemiliknya merawat motor yang harus bergerak setiap hari dengan spare part yang mungkin sudah tidak ada yang menjualnya.

Kota Pematang Siantar terletak di kawasan hunian Batak Simalungun. Banyak gereja besar-besar yang terlihat sepanjang jalan yang kami lalui. Ada gereja Katholik, gereja HKBP dan gereja-gereja lainnya. Dan cukup banyak juga mesjid. Tadinya aku pikir kami akan berhenti di toko Paten di dalam kota, yang menjual oleh-oleh khas Pematang Siantar (yang iklannya terpampang di pelapis sandaran tempat duduk bus yang kami tumpangi ini). Ternyata bus ini melaju sampai ke luar kota. Rasanya tidak mungkin dia tidak akan berhenti di toko itu. Dan ternyata benar, akhirnya kami berhenti di toko Paten yang rupanya terletak agak di luar kota. Di tahun 1995 aku mampir di toko yang sama di dalam kota.

Toko oleh-oleh Paten menjual makanan kecil dari kacang-kacangan, keripik-keripik, sari buah dan sebagainya. Makanan-makanan kecil mereka namai dengan nama yang khas seperti ting-ting, teng-teng, tung-tung dan entah apa lagi. Toko ini berdiri sendiri saja (tidak ada saingan) di tanah yang cukup luas. Bus-bus pariwisata besar-besar dapat parkir dengan lega disini. Bersama-sama dengan bus kami ada beberapa bus pariwisata lain yang sedang menurunkan penumpangnya untuk berbelanja. Semua pengunjung sibuk bertransaksi, membeli oleh-oleh. Kelihatannya cukup besar juga omset penjualan toko ini.

Setelah berhenti lebih kurang empat puluh lima menit kami melanjutkan lagi perjalanan. Kota berikutnya yang akan kami lalui adalah kota Tebing Tinggi yang terletak 47 km dari Pematang Siantar. Aku tetap memperhatikan keberagaman agama melalui rumah ibadah di daerah yang kami lalui. Menjelang kota Tebing Tinggi kelihatannya komunitas Islam lebih dominan. Mesjid semakin banyak terlihat. Tiba-tiba bus yang satu lagi berhenti di depan sebuah mesjid. Dan bus kamipun ikut pula berhenti. Apakah ada yang mau menumpang shalat? Bukankah tadi shalat sudah dijamak dan di qasar? Rupanya ada yang ingin mampir ke kamar kecil. Dan menompang di kamar kecil di mesjid itu.

Kami lalui kota Tebing Tinggi. Mataku memperhatikan beberapa buah bangunan tinggi berlantai empat dengan bagian paling atas terlihat masif tanpa jendela terletak di antara bangunan rumah toko di kota ini. Tadinya aku ragu-ragu bahwa bangunan tinggi seperti itu adalah untuk membiakkan burung walet. Makin lama makin banyak bangunan seperti itu terlihat dan aku perhatikan pula bahwa ada lobang kecil-kecil di bagian paling atasnya. Sekarang aku yakin, itu adalah untuk tempat memelihara burung layang-layang atau walet untuk mendapatkan sarangnya. Sarang burung walet mempunyai arti istimewa dalam masakan Cina dan harganya mahal. Usaha memelihara burung walet seperti ini memang banyak dilakukan orang di berbagai tempat. Tapi bahwa disini dilakukan di tengah kota tentu cukup menarik pula untuk diamati. Aku katakan kepada mas Eko, pemandu kami, kenapa dia tidak bercerita sedikit tentang bangunan tinggi-tinggi itu. Dan diapun bercerita tentang usaha memelihara burung walet tersebut. Bangunan masif di lantai paling atas itu disediakan untuk burung-burung walet datang dan membuat sarang. Agar burung-burung itu mau datang mereka dipancing dengan rekaman suara burung walet pula. Usaha ini kelihatannya berhasil dan tentulah sangat menguntungkan. Banyak sekali bangunan tinggi seperti itu yang terlihat di sepanjang jalan. Bahkan di kota-kota berikutnya yang kami lalui, yakni Sungai Rampah, Perbaungan dan Lubuk Pakam bangunan tinggi tempat memelihara burung walet itu banyak pula terlihat.

Untuk sekedar pengetahuan bagi kami saja, pemandu wisata menceritakan bahwa kalau kita berbelok ke kanan di Perbaungan, maka akan kita dapati kota Pantai Cermin, sebuah tempat wisata di selat Malaka. Hanya untuk diketahui saja dan kami tidak mungkin singgah kesana karena waktu tidak mengijinkan.

Bus kami terus melaju. Mas Eko mengatakan ada sebuah tempat yang dikenal dengan nama ‘Bengkel’ tempat wisatawan bisa membeli oleh-oleh makanan kecil dari ketan, seperti dodol, wajit dan sebagainya. Dan kami melalui tempat tersebut. Di pinggir jalan berjejer kedai dan toko yang memajang kotak-kotak berwarna-warni berisi makanan kecil yang diceritakan tadi. Tapi entah karena tidak ada tanggapan dari kami, atau mungkin hari sudah terlalu sore, atau mungkin juga sang pemandu lupa menyuruh bus berhenti, tempat itu kami lalui saja.

Kota berikutnya adalah Lubuk Pakam. Disini jumlah gereja kembali bertambah. Dan terlihat pula kuburan bertanda salib di pekarangan rumah atau di sawah. Penduduk Lubuk Pakam yang terletak di kabupaten (baru) Serdang Bedagai sebahagian adalah masyarakat Batak Karo dan Simalungun. Kota terakhir sebelum Medan adalah Tanjung Morawa. Hari sudah menjelang maghrib ketika kami melalui kota ini. Akhirnya kami sampai kembali di Medan dan langsung menuju ke Bandara Polonia. Ini adalah menjelang akhir perjalanan wisata kami selama tiga hari. Mas Eko yang sudah memandu kami selama perjalanan menyampaikan kata perpisahan dan ucapan terima kasih. Aku, atas nama peserta di bus kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya.

Sebelum menurunkan barang-barang, kami pergi shalat maghrib dulu ke mushala di Bandara yang berhampiran dengan tempat bus kami berhenti. Sesudah shalat maghrib dan isya dijamak barulah kami menurunkan barang-barang. Panitia membagi-bagikan nasi kotak, jatah makan malam. Kami makan malam di udara terbuka di lapangan parkir dibawah sinar lampu taman yang redup. Rombongan akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan Air Asia jam 21.30. Sementara kami sekeluarga sudah memesan tiket travel untuk melanjutkan lagi perjalanan ke Blangkejeuren. Jam setengah delapan, mobil travel itu datang. Kamipun berpisah dengan rombongan di lapangan parkir itu.


*****

9. Menuju Blangkejeuren

Sejak hari Jum’at aku sudah memesan mobil travel untuk pergi ke Blangkejeuren, melalui telepon. Kami akan dijemput di Bandara Polonia sekitar jam delapan hari Minggu malam, begitu perjanjiannya. Atas saran anakku yang sudah sedikit berpengalaman naik mobil travel, kami tidak lupa menjelaskan bahwa kami meminta tiga tempat duduk persis di belakang supir di mobil Kijang travel itu nanti. Semuanya sepertinya tidak ada masalah. Petugas travel itu mengirim sms dan menelponku ketika kami masih dalam perjalanan dari Parapat. Sayangnya, nada HP aku kecilkan sehingga tidak terdengar adanya panggilan masuk. Waktu iseng-iseng melihat HP ketika sedang berada di toko Paten di Pematang Siantar aku menyadari adanya sms dan miskol tersebut. Isi sms itu adalah untuk rekonfirmasi apakah aku jadi berangkat dan dimana akan dijemput. Segera aku jawab, bahwa kami akan menunggu mobil travel itu di Bandara antara jam setengah delapan – jam delapan. Yang agak kurang enaknya, si petugas travel itu menambah lagi pesan, ‘Pak, bapak tempat duduknya di paling belakang ya?’ Lho, kami sudah pesan sejak hari Jumat, untuk duduk di bangku di belakang supir, bagaimana ini? Aku tanyakan masih dengan sms. Cerita berikutnya adalah cerita ‘mancik-mancik’, begitu biasanya kami sebut. ‘Begini, pak, sebenarnya sebelum bapak pesan tempat itu sudah ada yang pesan melalui teman saya dan minta tempat duduk di belakang supir. Cuma teman saya itu lupa ngasih tahu ke bapak. Jadi bapak duduknya di paling belakang, bapak nggak marah kan?’ Aku sudah malas melayani dengan sms lagi. Dan tidak mungkin juga membatalkan karena kami harus pergi malam ini.

Sesudah kami selesai makan malam aku hubungi supir mobil travel itu (nomornya diberi tahu oleh petugas kantor mereka). Dia sudah dalam perjalanan ke Bandara. Mobil Kijang itu akhirnya sampai. Di dalamnya sudah ada empat orang penumpang, satu duduk di depan dan tiga orang di bangku di belakang supir. Supirnya membantu menaikkan barang-barang bawaan kami, lumayan banyak dan aku mulanya khawatir apakah semua itu bisa muat. Kepada supir aku beritahukan bahwa aku sudah pesan tempat duduk di bangku kedua, kenapa sekarang jadi berubah? Nanti di kantor kita selesaikan bang, abang naik saja dulu, begitu katanya.

Duduk di bangku paling belakang itu memang kurang nyaman karena agak sempit. Yang eloknya pula, tidak seorangpun dari ke empat penumpang itu yang merasa apa-apa. Sesampai di kantornya aku jelaskan kembali kepada si mbak petugasnya, kenapa tempat duduk kami dirubah. Dia bilang, orang-orang itu sudah lebih dulu memesan tempat, pak. Kapan lebih dulunya, aku tanyakan lebih jauh. Kemarin pagi. Ketahuan bohong kamu, jawabku, saya memesan tempat ini sejak hari Jumat. Dia terdiam. Sebenarnya aku malas untuk meributkan lebih jauh hal yang tidak penting sangat itu dan bahkan sudah kubilang kepada istriku, sudahlah kita duduk saja di belakang. Tapi entah bagaimana caranya, anakku berhasil melobby penumpang lain itu, dan akhirnya dua dari tiga orang mengalah mau duduk di belakang. Yang satu orang minta persetujuan kami karena dia baru menjalani operasi usus buntu, katanya.

Jam delapan lebih sepuluh menit kami berangkat dari kantor travel itu. Kejutan berikutnya bagiku, ternyata mobil ini mengarah ke Brastagi. Dalam pikiranku, sesuai yang aku lihat di peta pulau Sumatera, untuk menuju ke Blangkajeuren itu melalui Pangkalan Brandan di utara Medan. Segera hal ini jadi pembicaraan kami dalam mobil, ketika aku menanyakan apakah mobil ini akan melalui Brastagi. Penumpang lainnya itu, yang ternyata keempatnya adalah satu rombongan yang baru mengunjungi orang sakit di Medan, menjawab benar sekali.

Diawali dengan pertanyaanku itu, kami jadi cepat akrab dengan keempat penumpang ini. Mereka orang Gayo dan orang Aceh yang bekerja di Blangkejeuren. Maka panjanglah obrolan kami sepanjang jalan, tentang macam-macam. Banyak lagi hal lain yang aku tanyakan. Tentang jarak yang akan dilalui (sekitar 325 km, katanya), jam berapa perkiraan akan sampai, dan sebagainya. Mereka minta maaf dengan ‘insiden’ tempat duduk tadi.

Lebih sedikit jam sepuluh kami sampai di Kabanjahe. Disini mobil berhenti dulu di sebuah rumah makan. Karena belum lama sehabis makan malam, kami hanya minum kopi dan teh saja. Kira-kira setengah jam kemudian kami lanjutkan lagi perjalanan. Mulai dari Kabanjahe ini ke arah utara, mulai perjalanan yang sesungguhnya. Yang sesungguhnya melelahkan karena melalui jalan yang rusak disana sini.

Sejak dari Kabanjahe, mobil Kijang ini beriringan dengan sebuah Kijang lain yang rupanya dari perusahaan travel yang sama. Mobil yang satunya lagi itu akan ke Kutacane. Kami lalui jalan yang berliku di tengah ladang jagung. Jagung rupanya merupakan hasil pertanian yang cukup penting di daerah kabupaten Karo ini. Ladang-ladang jagung itu umumnya sudah mendekati waktu panen dengan pohon jagung yang sudah tinggi. Dari arah berlawanan seringkali kami berpapasan dengan truk besar-besar. Menurut cerita teman-teman Aceh seperjalanan ini, truk itu bermuatan jagung. Karena jalan yang rusak dan kadang-kadang agak sempit pula mengharuskan supir bekerja ekstra hati-hati. Pernah kami harus mundur dulu untuk memberi jalan kepada sebuah truk besar.

Dalam suasana jalan yang berlobang-lobang dan mobil seperti diguncang-guncang aku tidak bisa tidur sama sekali. Terpaksalah aku mengamati saja pemandangan di bawah sinar bulan di sepanjang jalan ini. Aku perhatikan, seperti sebelumnya, keberadaan mesjid dibandingkan dengan gereja. Mesjid cukup sering terlihat. Aku perhatikan jenis kendaraan yang kami temui. Kalau truk yang terlihat berpapasan adalah yang ukuran lumayan besar, kebalikannya bus yang searah ataupun yang berpapasan hanyalah berukuran mini. Yang paling banyak adalah mobil travel menggunakan Mitsubishi L-300. Kami lalui kota kecil Tiga Binanga. Salah satu penumpang tadi berpesan agar mobil ini berhenti di kota ini karena dia ingin membeli buah untuk oleh-oleh. Sebuah toko buah-buahan memang masih buka rupanya di tengah malam ini. Setelah itu kami teruskan lagi perjalanan melalui jalan yang rusak-rusak. Di sebuah tempat kami lihat ada beberapa orang bekerja bergotong royong, menimbuni lubang yang cukup dalam. Mobil kami menunggu beberapa saat untuk melintas. Ketika giliran kami melintasi jalan yang sedang diperbaiki itu, supir memberikan sedikit uang kepada pekerja malam itu yang menerimanya dan mengucapkan, ‘Bujur amang’. Bahasa Karo yang tidak siang aku pelajari. Yang artinya terima kasih pak.

Pada waktu berikutnya mobil Kijang satunya (yang akan ke Kutacane) rupanya mengalami masalah dengan bannya. Sejak dari Kabanjahe tadi mobil tersebut selalu berada di depan kami. Mobil itu akhirnya berhenti di suatu tempat yang ada sebuah truk besar sedang berhenti dan agak menghalangi jalan. Ada pula sebuah mobil lain agak terpisah yang juga sedang berhenti. Untuk melalui kedua buah mobil itu perlu keberhati-hatian khusus dan mobil yang akan melaluinya harus sangat pelan-pelan.

Rupanya ban mobil Kijang yang satunya itu kempes. Mobil kami ikut berhenti. Jadilah jalan itu ditutupi secara total. Untung tidak ada mobil lain yang akan melintas. Supir mobil kami ikut turun membantu supir Kijang itu mengganti ban. Aku ikut pula turun melihat-lihat. Saat itu hujan gerimis.

Sesudah mengganti ban barulah kami melintas pelan-pelan. Aku tidak mengerti kenapa truk dan mobil lainnya itu berhenti disana, yang tidak ada rumah atau warung di dekatnya. Kata supir kami mobil itu sedang ada kerusakan. Mungkin supir dan pembantunya sedang mencari onderdil pengganti.

Jalan mulai agak sedikit bagus sesudah itu. Dan mungkin aku sudah terlalu lelah sehingga akhirnya aku tertidur juga. Aku terbangun ketika mobil itu tiba-tiba berhenti lagi. Supirnya turun dan pergi ke belakang mobil sesudah menyalakan sebatang rokok. Agak lama dia tidak kembali dan waktu kembali dia melakukan gerakan-gerakan senam. Dua tiga menit kemudian dia naik kembali ke mobil. Aku tanyakan apa yang dia lakukan dan dijawabnya, ‘Ini bagian yang paling berat. Akhirnya datang juga kantuk dan saya merokok dulu sebatang terus senam sedikit,’ katanya. Aku tanyakan mana Kijang yang satu lagi tadi?. Katanya, ‘Oh dia sudah tidur nyenyak di Kutacane sekarang.’ Rupanya kami sudah melalui Kutacane ketika aku sempat tertidur tadi.

Mobil kembali berjalan. Penumpang lain semua sedang tidur nyenyak. Aku ajak dia ngobrol karena khawatir kalau dia diserang kantuk lagi. Tapi kelihatannya dia sudah kembali segar. Kami lalui jalan yang gelap dan berliku turun naik. Sepertinya tidak ada kampung dan rumah penduduk sedikitpun. Kami sedang di tengah hutan belantara. Seandainya supir ini alpa agak satu dua detik saja pasti akan fatal akibatnya. Dan aku berzikir dan berdoa agar perjalanan ini diselamatkan Allah.

Hari sudah jam setengah lima subuh. Aku tanyakan apakah tidak ada pemberhentian sama sekali sebelum sampai ke kota Blangkejeuren nanti. Ada, katanya, nanti ada tempat pemberhentian dekat sebuah mesjid. Disana bisa sekalian shalat dan sesudah itu minum kopi, katanya.


*****

10. Blangkejeuren (1)

Jam lima lebih sedikit kami sampai di tempat yang dimaksud supir tadi itu. Sebuah bangunan warung besar dan di hadapannya ada sebuah surau atau mesjid kecil. Hanya saja gelap gulita di kedua tempat itu, tidak ada penerangan sedikitpun. Kami pergi ke kamar kecil di sebelah warung panjang itu. Ternyata tidak ada air. Kami bersuci dengan menggunakan air aqua. Tiba-tiba terdengar bunyi mesin dihidupkan dan lampu mulai menyala. Rupanya pembangkit listrik itu dimatikan di saat penghuni warung tidur. Mulailah terlihat tanda-tanda kehidupan. Rombongan teman semobil segera berwudhu dari air selang yang keluar dari pompa yang hidup sesudah listrik menyala. Airnya dingin sekali. Mereka duluan shalat di mesjid kecil itu. Tidak ada suara azan. Tidak ada siapapun yang datang untuk shalat. Teman-teman tadi shalat berjamaah bertiga. Kami masih perlu sedikit waktu lebih sebelum siap untuk mengerjakan shalat jadi shalatnya tidak bersamaan dengan mereka.

Kami shalat subuh berjamaah pula bertiga sesudah itu, aku, istri dan anakku. Sesudah kami selesai shalat baru datang seorang tua dan dia shalat sendirian. Surau itu memang terletak di tengah pesawangan, jadi kecuali orang-orang di warung depan tidak ada jamaahnya.

Sesudah shalat kami masuk ke warung untuk minum teh. Untuk teman minum teh hanya ada biskuit yang dibungkus, tidak ada makanan buatan warung. Mungkin belum dibuat, maklumlah mereka juga baru pada bangun.

Mendekati jam enam kami melanjutkan lagi perjalanan. Masih sekitar satu jam lagi untuk sampai di tempat tujuan menurut supir. Hari mulai siang. Kami sedang berada di daerah perbukitan dengan hutan di kiri dan kanan jalan. Jalan berliku-liku dan kadang-kadang turun naik. Tidak ada perkampungan di sekitar jalan ini. Bukit-bukit itu rupanya ditumbuhi pohon-pohon pinus.

Kami berbincang-bincang sepanjang sisa perjalanan ini. Tentang Aceh, tentang GAM, tentang perang, tentang akibat perang terhadap kehidupan masyarakat. Perang memang tidak menyisakan apa-apa kecuali kerusakan dan kehancuran. Kehancuran tatanan kehidupan dan kerugian moril masyarakat. Syukurlah bahwa peperangan yang merugikan itu sudah berakhir.

Akhirnya terlihat juga Blengkajeuren. Terlihat pemandangan lembah di ujung kampung dengan latar belakang bukit-bukit. Persisi seperti foto yang aku lihat di Google Earth yang berasal dari kota kecil ini. Jam tujuh pagi kami sampai di losmen Wahyu di Blangkejeuren yang sudah dipesan anakku beberapa hari yang lalu. Kami berpisah dengan teman-teman seperjalanan yang ternyata cukup simpatik dan asyik diajak bercerita.

Losmen yang sangat sederhana. Tapi ada kamar mandi, ada tempat tidur. Jadi cukuplah untuk tempat beristirahat melepas lelah sesudah perjalanan panjang selama 11 jam sejak dari Medan. Aku mencoba untuk tidur sesudah mandi. Tapi tidak bisa. Akhirnya kami putuskan untuk pergi keluar dulu.

Kami berkunjung ke tempat ‘ibu dan bapak angkat’ anakku, tidak seberapa jauh dari losmen itu. Orang-orang tua yang sangat baik dan santun. Adalah tangan Allah yang membimbing anakku sampai terdampar ke tempat mereka, yang memperlakukan anak kami seperti anak kandungnya sendiri. Aku sudah pernah berbicara di telpon dengan bapak tua yang umurnya sudah melebihi 70 tahun itu. Seorang pensiunan Kantor Urusan Agama. Kami berbincang-bincang seperti sudah kenal lama. Sesudah kira-kira satu jam disana kami mohon pamit untuk beristirahat dulu karena tadi malam sangat sedikit sekali tidur di mobil. Mereka menyuruh kami kembali untuk makan siang.

Siangnya, baru saja selesai shalat zhuhur kami ditelpon agar segera kembali kerumah karena makanan sudah siap. Dan kami dijamu dengan kekerabatan yang sangat hangat. Hadir putera dan puteri bapak ini yang semua adalah pegawai negeri. Bapak tua ini sangat bangga sebagai pegawai negeri dan mempunyai anak-anak yang semua jadi pegawai negeri pula. Waktu masih di Jakarta sebelum berangkat aku menyuruh tanyakan seandainya bisa menyewa mobil di kota ini untuk sekedar pergi melihat-lihat di sekitarnya. Anak perempuan bapak itu memberi tahu ada temannya punya mobil yang bisa disewa, mulai sore itu dan besok seharian. Aku langsung menyetujuinya. Karena rencananya, besok malam kami akan berangkat kembali ke Medan.

Kami gunakan mobil Suzuki Escudo itu untuk sedikit menjelajah Blangkajeuren dan sekitarnya. Anakku menunjukkan tempat dia bekerja, sebuah Puskesmas yang baru selesai dibangun. Masih belum ada listrik di gedung itu, meski tiang listrik ada di depan. Pekarangan depannya, sebuah lapangan yang penuh ditumbuhi semak belukar. Bahkan ada kawanan kerbau sedang merumput disana. Di dalam terlihat peralatan-peralatan medis seperti dipan dan meja yang masih baru dan masih dibungkus plastik. Tapi untuk anakku belum ada peralatan dokter gigi, dan hal itu sudah dilaporkannya ke Dinas Kesehatan. Katanya alat itu akan segera diusahakan. Hanya segeranya itu yang susah diperhitungkan. Anakku juga menyadari hal itu dan dia tidaklah terlalu optimis.

Kota ini tidak kecil-kecil amat. Sebuah kota yang bisa dikembangkan dan kelihatannya memang sedang akan berkembang. Pemandangan ke bukit-bukit disekitarnya bagus. Ada sebuah sungai sedikit di luar kota yang dapat digunakan untuk jadi cadangan air minum PAM. Pohon-pohon pinus yang sangat banyak dibukit-bukit itu harusnya bisa jadi bahan baku untuk pabrik kertas. Tapi kelihatannya belum ada yang mengelola.

Sorenya kami sempatkan pula mampir ke tempat dimana anakku akan kos. Puskesmas di kota ini tidak menyediakan (atau sudah ada yang menempati?) rumah untuk tenaga medis. Selama tiga minggu disana dia berusaha mencari tempat kos. Tinggal di rumah tempat dia menompang sementara ini, tidak memungkinkan karena rumah itu sebenarnya pas-pasan untuk mereka sekeluarga. Hal ini sudah pula kami bincangkan siang tadi. Bapak dan ibu itu yang sebenarnya ingin agar anakku tinggal bersama mereka, tapi menyadari bahwa hal itu tidak akan nyaman termasuk untuk anakku. Mereka menyetujui kalau anak kami menyewa tempat di rumah lain. Dan rumah itu adalah rumah seorang ibu, janda, yang memerlukan teman karena dia tinggal berdua saja dengan kemenakannya di rumah yang cukup besar. Anaknya dua orang, satu sedang kuliah di Jogya dan yang satunya kadang-kadang pulang ke Blangkejeuren, kadang-kadang tinggal di Kutacane dengan suaminya.

Rumahnya sangat besar dan masih baru. Sebenarnya dia tidaklah menerima anak kos melainkan sekedar mencari teman untuk tinggal bersama dirumahnya. Karena kadang-kadang dia juga harus pergi keluar kota (ibu ini masih dinas dan aktif sebagai pegawai negeri) sehingga kesulitan ketika meninggalkan kemenakannya seorang diri di rumah. Pokoknya kemudahan lain dari Allah. Sore itu kami serahkan uang kos untuk satu tahun sesuai yang sudah disepakati sebelumnya. Sewa yang relatif cukup murah. Rencananya anakku akan mulai tinggal disana sesudah kami berangkat kembali ke Medan besok.

Malam itu kami makan nasi bungkus di losmen, sebelum beristirahat untuk mengganti tidur yang masih belum cukup tergantikan siang tadi.


*****

11. Blangkejeuren (2)

Ada acara khusus yang diniatkan pak tua, bapak angkat anakku itu untuk kami, orang kota. Yaitu pergi makan ke pinggir kolam di Lempuh. Lempuh itu nama tempat di arah ke luar kota. Acara itu sudah diusulkannya kepada anakku. ‘Nanti kita ajak ayahmu pergi makan ke pinggir kolam di Lempuh,’ katanya. Aku menerima ajakan yang sangat bersahaja tapi sangat pula tulus itu. Mereka menganggap kami orang kota, dan akan diajak pergi makan-makan ke pinggir kolam sambil memancing disana. Padahal aku juga orang kampung, yang sangat terbiasa dengan kehidupan kampung.

Pagi hari Selasa itu anakku pergi dulu menjemput mobil yang kami sewa kemarin. Mobil itu aku suruh antarkan saja tadi malam dan akan dijemput untuk kami gunakan kembali pagi ini. Dia kembali dengan mobil ke losmen serta membawa oleh-oleh ‘nasi gurih’ untuk sarapan. Nasi gurih adalah sebangsa nasi uduk dengan lauk telor rebus digoreng dan sambel ikan teri. Cukup gurih memang.

Sesudah sarapan, kami terlebih dulu mengantarkan anak ke Puskesmasnya dan setelah itu kami pergi berjalan-jalan raun panik di dalam kota kecil itu. Kami lihat gedung perkantoran DPRD yang cukup megah dan kelihatannya baru dibangun. Setelah itu berjalan hilir mudik agak tidak jelas, menurutkan jalan yang panjang ke arah luar kota yang lain. Jalan dalam kota ini bagus dan terawat dari kerusakan. Kecuali dari kotoran kerbau yang berceceran dimana-mana. Ada sebuah pompa bensin Pertamina juga baru dibangun dan belum berfungsi.

Tidak sampai satu setengah jam, kami kembali lagi ke Puskesmas. Kembali dulu ke losmen menunggu waktu shalat zhuhur. Sesudah shalat kami menuju ke rumah pak tua. Mereka sudah siap dengan makanan yang akan dibawa ke Lempuh. Bapak dan ibuk akan ikut kami sementara anak-anak, menantu dan cucunya akan naik becak motor. Angkutan dalam kota disini adalah becak motor. Barang-barang makanan itu dinaikkan ke mobil.

Dan kamipun sampai di Lempuh. Di tempat itu ada lima buah kolam cukup besar-besar milik pak tua. Ada sebuah dangau-dangau di tengah area itu. Dangau yang semi permanen, bisa ditinggali secara sederhana. Di pinggir-pinggir kolam ada tanah yang ditanami palawija. Konon, pak tua itu menyewa becak motor untuk datang ‘berkantor’ kesini setiap hari, membersihkan tebing kolam yang ditumbuhi tanaman.

Wanita-wanita dalam rombongan ini sibuk menggelar tikar di pematang di antara dua kolam dan menata makanan di atas tikar itu. Kami akan segera makan. Anakku bercerita, ketika dia dulu diajak makan siang kesini dia makan beralaskan daun pisang. Aku bilang aku juga ingin makan di daun pisang. Anak laki-laki pak tua itu melotot ke arahku seperti tidak percaya. Aku ulangi pernyataanku dan aku minta tolong diambilkan daun pisang. Dia pergi mengambilnya dan menyerahkan daun pisang itu kepadaku. Setelah dilap sedikit aku menggunakannya untuk tempat nasi yang akan aku makan.

Kami makan sambil berbincang-bincang. Kolam-kolam ini pernah ditanami bibit ikan mas. Sayang sesudah besar ada saja orang lain yang lebih dulu memanennya di malam hari, kata pak tua. Pernah pula mereka mengajak orang lain untuk menjagai kolam itu, dibekali dengan beras untuk makannya, diberi uang saku untuk belanjanya, tapi di saat hampir panen dia lebih dulu menjual ikannya bekerja sama dengan maling lainnya. Masih ada lagi kerja sama dengan orang yang berasal dari Jawa. Dibekali pula kembali, bahkan dibelikan ayam untuk dipelihara karena lokasi itu cukup ideal untuk memelihara ayam. Akhirnya sama juga, orang itupun berkhianat.

Dan akhirnya kolam-kolam itu dibiarkan saja berisi ikan mujair, yang kelihatannya kurang diminati oleh maling. Atau mungkin karena masih kecil-kecil ? Entahlah.
Ketika aku bercerita bahwa di kampung kami juga ada kolam, tapi tidak banyak seperti disini, dan aku biasa memancing di kolam, anak pak tua menanyakan, apakah aku ingin mencoba memancing disini. Aku jawab kenapa tidak. Dia bertanya lagi, dengan umpan apa biasanya dulu aku memancing. Aku jawab dengan cacing. Lalu dia pergi mencari cacing dan setelah dapat menyodorkan sebuah tangkai pancing kepadaku.

Kamipun memancing sesudah makan siang. Istriku asyik berbincang dengan ibu dan menantu-menantunya (dua orang). Ikan mujair yang berhasil dipancing kebanyakan masih kecil-kecil. Setiap kali dapat ikan kecil aku lepaskan kembali ke kolam di sebelah. Anak pak tua ini merasa masih belum cukup menjamuku. Dia menawarkan, bagaimana kalau besok kita pergi memancing ke kolam pemancingan yang ikannya banyak dan besar-besar. Aku jawab, tidak mungkin karena sore ini aku akan berangkat kembali ke Medan. Dia terheran-heran, dan tidak menyangka bahwa kunjunganku hanya sesingkat itu. Pada saat azan asar, kami bersiap-siap meninggalkan Lempuh. Rencananya kami akan mampir lagi di tempat anakku akan kos sesudah ini.

Sesudah mengantar ibu dan cucunya yang kali ini ikut bersama kami (sedangkan bapak tua masih meneruskan pekerjaannya dan akan shalat asar dulu di Lempuh), kami kembali dulu ke losmen untuk berkemas dan sekalian check out. Mobil travel sudah dipesan untuk menjemput kami di rumah bapak tua nanti sore. Dari losmen kami kembali lagi kerumah bapak tua sebelum ke rumah ibu kos, karena bapak dan ibu ini ingin pula melihat susana di rumah itu.

Sayang ibu kosnya sedang tidak di rumah. Kami hanya bertemu dengan keponakannya saja. Untung kemarin kami sudah mohon pamit, seandainya tidak sempat bertemu lagi, maka kami menitipkan anak kami kepadanya. Sementara itu istri pak tua melarang anak kami pindah mulai sore itu. ‘Nanti papa mamamu berangkat kamu menangis lagi semalaman. Malam ini kamu tidur di rumah saja dulu, besok baru mulai tidur disini,’ begitu katanya. Orang tua itu memang sangat santun.

Sekarang kami kembali ke rumah pak tua. Hari sudah jam setengah enam sore. Aku berharap agar mobil travel itu datang menjemput sesudah kami shalat magrib saja. Lebih tenang dalam perjalanan kalau kita sudah shalat. Kami lanjutkan obrolan di rumah pak tua. Aku sudah mengantongi nomor telepon anaknya yang paling bungsu yang sepantar dengan anakku dan sedang kuliah di UI dan tinggal di Depok. Aku berjanji akan mencari anaknya itu. Si ibu menawarkan agar kami makan lagi dulu, yang kali ini terpaksa kami tolak karena belum lama sebelumnya kami makan bertambuh-tambuh di Lempuh. Nanti baru tengah malam akan dapat makan di Kutacane, kata ibu itu pula. Kami tetap menolak. Masih terlalu kenyang rasanya. Tapi aku tidak menampik ketika ditawarkan kopi. Aku suka minum kopi kalau bepergian dengan mobil apalagi untuk jarak jauh.

Alhamdulillah, ketika azan magrib dikumandangkan mobil travel itu belum datang. Kami segera shalat maghrib berjamaah di rumah. Khusus aku dan istriku, kami jamak dengan shalat isya. Begitu selesai shalat, belum selesai dengan zikir yang ringkas, mobil travel itu datang. Kami berpamitan. Aku ingatkan anakku agar pandai-pandai membawa diri. Agar senantiasa menjaga shalat dan zikir kepada Allah. Agar sopan santun dalam pergaulan dimana saja. Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak, ibu dan anak-anaknya yang terasa seperti saudara kandung. Allah telah menganugerahi kami dengan banyak sekali kemudahan dan kebaikan. Kami titipkan anak kami kepadanya yang diterimanya dengan tulus. Kami percaya betul akan ketulusannya. Jam tujuh lebih sedikit kami meninggalkan rumah bapak tua itu. Mobil travel ini masih akan menjemput penumpang lain.


*****

12. Kembali ke Medan (2)

Mobil travel kali ini tidak sama dengan yang kami tompangi kemarin. Kali ini adalah L-300 Mitsubishi. Tarifnya juga tidak sama. Yang kemarin itu 125 ribu, di tiket tertulis full AC, full music. AC tidak ada (tidak pernah dijalankan). Musik dibunyikan cukup sopan, dengan suara pelan. Yang sekarang ini tarifnya 90 ribu, tidak ada AC (resmi) dan full benar-benar full musik dangdut dengan volume a’utzubillah kerasnya. Sesudah menjemput kami mobil ini menjembut seorang penumpang lagi. Di atas mobil sudah ada tiga orang penumpang selain aku dan istriku. Sesudah mengambil penumpang berikutnya itu mobil ini langsung berangkat meninggalkan Blankajeuren. Jadi hanya ada enam penumpang dari sembilan tempat duduk yang tersedia. Supir mempunyai seorang pembantu yang nanti ternyata adalah supir kedua. Mereka membawa mobil ini bergantian.

Kami duduk di belakang supir. Ruangan untuk kaki lumayan luas. Disebelahku duduk seorang bapak-bapak, seorang perokok. Jadi lengkap juga hiasan mobil ini, musik yang hingar bingar dan asap rokok. Sebelum meninggalkan kota aku mintak tolong agar volume musik itu dikecilkan sedikit karena aku ingin menelpon. Dan permintaanku dipenuhi. Alhamdulillah.

Mobil kami melaju di kegelapan malam. Kelihatannya hari mau hujan. Bahkan sudah mulai agak gerimis. Mobil ini berhenti di tempat kami beristirahat subuh kemarin. Tadinya aku pikir mau beristirahat makan disana, ternyata bukan. Pak supir rupanya ingin membeli solar tambahan. Dan ternyata di kedai itu solar sudah habis. Kami meneruskan lagi perjalanan. Karena masih belum terlalu malam dikiri dan kanan jalan terlihat lampu dari rumah penduduk. Padahal waktu melalui daerah ini dua hari yang lalu kami tidak melihat apa-apa dan sepertinya kami sedang berada di tengah hutan belantara saja. Ada dua buah tempat lagi yang ditanyai oleh pak supir yang ternyata juga tidak ada persediaan solar. Wah, kalau tetap tidak ada tentulah mobil ini tidak akan sampai di Medan. Untunglah di tempat berikutnya ada persediaan dan mobil ini menambah 20 liter solar curah. Entah berapa harganya seliter.

Kami lanjutkan lagi perjalanan sampai ke sebuah pos pemeriksaan. Lokasinya agak di tengah hutan. Disini dilakukan pemeriksaan bawaan penumpang untuk memeriksa kalau-kalau ada yang menyelundupkan ganja. Kami tenang-tenang saja di mobil. Rupanya semua tas bawaan penumpang diturunkan. Aku terpaksa turun ketika petugas polisi menyuruh buka tas-tas yang sudah tergeletak di luar, di atas sebuah meja kayu. Hari sedang hujan rintik-rintik. Aku turun memakai topi ‘koboi’ bersisi lebar yang beberapa hari yang lalu aku beli di pasar Brastagi. Maksudnya sekedar melindungi kepala dari gerimis. Aku buka tas koper kami yang memang dikunci. Polisi itu meraba-raba jauh kedalam. Akhirnya dia menyuruh tutup kembali tas itu. Ada sebuah tas lagi yang mau kubuka tapi dilarangnya.

Sesudah pemeriksaan itu barulah perjalanan kami dilanjutkan lagi. Jam sebelas malam kami sampai di Kutacane. Ternyata kota Kutacane jauh lebih besar. Lampu-lampu jalan menghiasi jalan di tengah kota yang dibagi menjadi dua jalur. Perut sudah lapar, dan mobil ini berhenti di sebuah kedai nasi Minang / Melayu. Kami makan malam di saat hampir tengah malam.

Lanjut lagi perjalanan. Ternyata penumpang yang duduk di depan, seorang ibu, hanya sampai ke Kutacane ini saja. Begitu dia turun, bapak yang duduk disampingku pindah ke depan. Tinggal kami berdua saja di bangku kedua. Dan rupanya supirnya berganti sekarang dengan yang satunya, yang tadinya aku pikir pembantu supir. Supir yang ini mulai lagi dengan musik yang berdentum-dentum. Kami tinggalkan Kutacane melalui negeri-negeri yang hampir bersambungan saja layaknya. Yang tidak aku lihat beberapa malam yang lalu karena aku tertidur ketika itu.

Kami masuki kota berikutnya, Lau Pakam. Kota ini sudah berada di kabupaten Karo di Sumatera Utara. Memasuki daerah Karo langsung secara kontras terlihat gereja-gereja yang satu sesudah yang lain. Agak heran juga aku, justru di perbatasan sekali ini jumlah gereja terlihat cukup banyak. Tempat inipun tidak terlihat olehku beberapa malam yang lalu. Memasuki daerah kabupaten Karo ini jalanpun dengan kontras berbeda. Jalan disini banyak yang rusak dengan lubang besar-besar. Mulailah ayunan dan bantingan jalan kami rasakan. Supir cadangan ini ternyata cukup hebat mengendarai mobil di jalan yang rusak-rusak itu.

Dan terlihat pula ladang jagung di sepanjang jalan. Dan tentu saja dengan selingan kuburan bertanda salib di tengah ladang ataupun di pekarangan. Jalan ini berliku, berputar, mendaki dan menurun. Kadang-kadang terlihat kembali lembah yang baru saja kami lalui setelah kami mencapai sebuah puncak. Seandainya perjalanan ini dilakukan siang hari mungkin bagus juga pemandangannya.

Aku amati terus rumah-rumah ibadah yang terletak disepanjang jalan. Meski yang dominan adalah gereja GBKP, diselingi oleh gereja lainnya (ada gereja Katholik juga), frekwensi kehadiran mesjid cukup sering dan biasanya mesjidnya bagus-bagus.

Kira-kira mendekati jam tiga malam, kami melintasi sebuah jalan di tengah ladang jagung. Di sebelah kiri jalan lamat-lamat terlihat silhoute bukit memanjang dan di atas bukit itu terlihat bulan yang sudah tinggal separo. Jalan masih banyak yang berlubang. Mungkin karena kecapekan, pemandangan itulah yang terakhir aku ingat dan sesudah itu aku tertidur. Aku terbangun ketika mobil ini berhenti di sebuah pompa bensin di kota Kabanjahe. Pak supir mengisi tangki solarnya sampai penuh dan menggoncang-goncangkan mobil agar tangki itu benar-benar penuh. Karena itulah aku terbangun. Hari sudah jam setengah lima pagi. Sesudah menambah solar sekarang mobil melaju dijalan yang mulus. Kembali dikendarai supir utama (supir cadangan hanya kebagian dijalan buruk saja). Kami lalui Brastagi dan ketika itu aku mendengar suara azan. Aku beritahu supir bahwa aku ingin berhenti shalat dulu. Dia bilang nanti saja di depan ada mesjid lain lagi.

Dan benar, kami berhenti di depan sebuah mesjid kecil yang lampunya terang benderang. Aku turun bersama istriku. Kami ke kamar kecil dan berwudhu di tempat wudhu yang bersih. Di dalam mesjid hanya ada satu orang yang sudah selesai shalat kelihatannya. Kami shalat berdua saja tanpa shalat qabliyah, biar tidak terlalu lama. Soalnya hanya kami berdua saja yang turun untuk shalat. Sesudah shalat sempat juga aku berbincang sedikit dengan orang tadi yang boleh jadi petugas mesjid ini. Aku tanyakan apakah tidak ada jamaah shalat subuh yang lain. Katanya, kalau subuh memang biasanya dia sendiri saja. Tapi kalau maghrib ada empat lima orang. Aku salami dia sebelum berangkat.

Kami teruskan lagi perjalanan di udara yang sejuk di subuh itu. Sudah terang ketika kami berhenti lagi di warung kopi di daerah Sibolangit. Di warung Fatimah dengan ibu-ibu berjilbab pemilik warung ini. Aku memesan supermi dan kopi. Tadinya aku pikir supermi digodok secara cepat saja tapi ternyata diolahnya dengan sedikit ribet dan memakan waktu. Ketika supir bis menanyakan apakah kami sudah siap berangkat, aku beritahu bahwa kami masih menunggu supermi. Dan kami ditunggunya.

Aku minta tolong dicarikan losmen atau hotel klas melati yang bersih dan murah sesampai di Medan nanti. Aku jelaskan bahwa kami akan ke Jakarta dengan pesawat jam tujuh malam. Kata pak supir itu, tidak ada masalah dan dia berjanji akan mengantarkan kami ke sebuah hotel yang bersih di Padang Bulan.


*****

13. Akhir perjalanan

Sebelum meninggalkan Medan beberapa hari yang lalu aku memesan kamar di hotel Western Asean, dan aku jelaskan bahwa kami kemungkinan akan datang subuh pada hari Rabu tanggal 6 Juni. Tidak ada masalah bagi fihak hotel sejauh aku bersedia membayar satu hari penuh yang dihitung sejak hari Selasa sore. Dan check out terlambat hanya diijinkan maksimum jam 15.00 sore. Tarifnya adalah tarif corporate, 466 ribu. Menurut jadwal, pesawat kami untuk kembali ke Jakarta adalah jam 19.00. Paling nanti kami duduk-duduk saja di loby hotel sebelum berangkat ke Bandara, begitu rencana kami mula-mula.

Tapi pagi ini, ternyata jam setengah tujuh kami masih di Sibolangit, dan diperkirakan akan sampai di Medan jam setengah delapan. Jam setengah delapan check in untuk keluar lagi jam 3 sore lalu membayar 466 ribu kok rasanya agak kurang pas. Dan iseng-iseng aku tanyakan kepada supir travel kalau-kalau dia tahu tempat penginapan yang baik, bersih dan tidak terlalu mahal di Medan. Dia bilang, tidak perlu khawatir, dan dia tahu banyak hotel yang baik dan murah di daerah Padang Bulan.

Lalu kami diantarkan ke sebuah hotel, cukup jauh sebelum masuk ke pusat kota Medan, Hotel Alam Indah namanya. Aku menjelaskan kepada petugas hotel itu bahwa yang kami perlukan adalah tempat beristirahat sampai menjelang magrib atau sekitar jam lima sore saja. Waktu ditanyakannya apakah kami mau kamar ber AC atau tidak, tentu saja aku jawab yang ada AC. Dan kamar ber AC itu ada. Dan ketika aku tanyakan berapa sewanya, aku agak kaget mendengar, 60 ribu rupiah. Kami lihat kamarnya, ternyata lumayan bersih dan ada kamar mandi di dalam yang juga bersih. Sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan hotel ini hotel yang bisa disewa jam-jaman aku tepis. Aku tidak yakin supir mobil travel tadi akan menjahili kami dengan mengantarkan ke hotel sembarangan. Dan di dalam kamar aku baca selembar peraturan hotel, yang salah satu ketentuannya berbunyi, dilarang menerima tamu berlainan jenis di kamar dan untuk menerima tamu disediakan ruang tamu hotel.

Kami mandi dan sesudah itu mencoba untuk beristirahat. Aku tertidur sampai sekitar jam sepuluh. Waktu terbangun aku perhatikan ada beberapa sms di HP. Yang paling penting adalah pemeberitahuan bahwa jadwal pesawat kami diundur satu setengah jam menjadi jam 20.30. Aku balas sms itu, kalau memang ada perubahan, apakah bisa dimajukan. Kami terlibat dalam berbalas sms, namun sayang hasil akhirnya tidak bisa, tetap harus mengikuti yang jam 20.30 itu. Ya sudah, kami akan menunggu saja, tidak perlu dipikirkan.

Istriku mengajak pergi ke kota, ke toko bika Ambon Zulaikha, untuk membeli oleh-oleh. Tiga hari yang lalu kami ikut membeli bika Ambon dari toko ini bersama anggota rombongan lain, tapi itu adalah untuk dibawa ke Blangkajeuren. Sekarang yang untuk dibawa ke Jakarta.

Kami naik angkot dari depan hotel. Rencananya sampai bertemu dengan taksi. Tapi waktu kami tanyakan kemana tujuan angkot ini dan kami balik ditanya mau pergi kemana, lalu kami jelaskan mau ke toko Zulaikha di jalan Majapahit, supir angkot mengatakan bahwa mobilnya akan melalui jalan dekat toko itu. Jadilah kami naik angkot sampai ke tempat yang dituju. Supir itu memberi tahu persis dekat simpang jalan Majapahit. Ongkos angkot ini 2500 per orang jauh dekat. Waktu aku membayar dengan uang sepuluh ribu untuk dua orang dikembalikannya lima ribu.

Dekat kami turun dari angkot aku lihat sebuah restoran Minang / Melayu sangat parlente. Kami langsung menuju kesana. Di tempat parkir terlihat mobil-mobil berpelat merah. Rumah makan ini luas dan bersih. Full AC. Ada ruangan khusus dan kami masuk kesana. Didalam ada dua meja yang sudah ditempati dan kami adalah yang ketiga. Pelayan berpakaian Melayu menanyakan apakah kami ingin memesan minuman khusus dan kami ditawari jus Martabe. Maksudnya jus markisa dan terong belanda. Aku memesannya sementara istriku memilih jus kuini.

Makanannya enak. Lebih enak dari nasi kotak ACC yang kami makan hari pertama. Lebih enak dari rata-rata restoran Sederhana di Jakarta. Harga ternyata masih lebih murah dari rata-rata restoran di Jakarta. Aku memperkirakan kami akan membayar diatas seratus ribu untuk makanan yang kami makan, mengingat servis dan tempat yang sangat apik ini, ternyata hanya delapan puluh lima ribu rupiah. Aku meninggalkan sedikit tip dari uang kembalian.

Saat kami makan terdengar suara azan tanda masuk waktu zuhur. Kami menumpang shalat di mushala di bagian belakang restoran ini. Mushalanya kecil dan bersih. Tempat wudhuknya juga bersih. Sesudah selesai shalat baru kami menuju ke toko Zulaikha yang terletak hanya beberapa puluh langkah saja dari restoran ini. Istriku membeli bika Ambon dan kue lain untuk oleh-oleh yang langsung dipak ke dalam kotak yang sudah disiapkan oleh toko dan siap untuk dijinjing. Di depan toko aku melihat sebuah taksi berhenti. Aku pikir taksi yang tidak berpenumpang dan bebas. Rupanya sedang menunggu penumpangnya yang sedang berbelanja. Ternyata di belakang taksi ini berlalu angkot seperti yang kami tumpangi tadi. Aku tanya apakah dia akan melalui Padang Bulan, dan dijawab ya, kami langsung naik angkot lagi saja. Benar-benar irit perjalanan kami.

Sorenya masih bisa tidur siang. Jam empat aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Jam setengah lima bersiap-siap, mandi dan duduk-duduk nonton TV. Rencana mau ke Bandara sehabis maghrib. Jam setengah enam aku keluar ke kantor hotel ingin meminjam sajadah. Alaah mak, dia bilang nggak punya. Aku test lagi, tahu tidak arah kiblat. Dia bilang, kalau itu kami tidak tahu. Yaa ampun. Aku putuskan segera berangkat saja kalau begitu, biar nanti kami shalat di Bandara saja. Kami berjalan keluar mencari taksi. Ada kira-kira seperempat jam menunggu sampai akhirnya sebuah taksi kami dapatkan. Taksi itu dibawa masuk ke pekarangan hotel untuk mengambil barang-barang kami dan langsung check out.

Sopirnya orang Banten tapi sudah lama di Medan. Radio taksi itu mengumandangkan suara orang mengaji menjelang waktu maghrib. Kami berbincang-bincang santai sepanjang jalan. Persis saat menjelang azan kami sampai di Bandara. Kami langsung menuju tempat check in yang ternyata sudah dibuka untuk penerbangan yang jam setengah sembilan malam. Setelah itu kami keluar lagi menuju mushala untuk shalat maghrib. Mushala tempat kami shalat sebelum ke Blangkejeuren tiga hari yang lalu. Selesai shalat kami makan malam di CFC. Tadinya mau di KFC yang terlihat lebih banyak pengunjung, tapi ayam gorengnya habis dan mesti menunggu seperempat jam. Jadi kami pergi dari sana.

Barulah masuk ke ruang tunggu. Jam delapan sudah bersiap-siap untuk boarding. Dan jam setengah sembilan tepat pesawat Air Asia itu tinggal landas. Kami sampai di Cengkareng jam setengah sebelas malam lalu menunggu bagasi pula sebentar. Sudah lebih jam sebelas waktu kami bisa keluar. Aku mampir di counter Bluebird untuk memesan mobil sewaan yang bukan taksi dan aku minta jenis Kijang Innova. Sudah tidak ada, kata petugasnya. Yang ada hanya Mercedes dengan tarif 600,000 ke Jatibening. Aku tertawa saja mendengar.

Kami berlalu dari counter Bluebird dan berhenti dibelakang antrian cukup sibuk di counter Gamya. Aku menanyakan apakah masih ada mobil untuk ke Jatibening. Dijawab, ‘Ada pak, bapak mau pilih Altis atau Serena?’ Tarifnya sama, 180,000 sudah termasuk biaya toll. Akhirnya kami kebagian Nissan Serena. Jam dua belas kurang seperempat sampai di rumah. Berakhirlah perjalanan panjang kami selama enam hari.


Tamat

2 comments:

Petani Internet said...

wah seru juga ya bisa rekreasi bersama

salam kenal :)

Anonymous said...

cerita perjalanan yang sangat mengasikkan. untuk info wisata sumut lainnya, kunjungi juga blog ya, tks

http://www.rahelsibayak.blogspot.com