Thursday, February 12, 2009

SHALAT DAN MESJID

SHALAT DAN MESJID

Bahwa shalat itu lebih utama dilakukan di awal waktu sudah lama aku dengar. Sudah lama juga aku dengar bahwa shalat berjamaah itu lebih baik dari shalat sendirian. Sudah lama pula aku dengar, sudah sejak masa-masa sekolah sampai masa jadi mahasiswa, bahwa shalat berjamaah di mesjid itu adalah lebih baik bagi laki-laki. Tapi untuk melaksanakan shalat dengan kondisi paling utama seperti itu lain lagi ceritanya. Tidak selalu mudah.

Sampai pada suatu hari di awal tahun 1991. Aku mendengarkan ta’lim dari seorang ustad yang waktu itu kami undang dari Dewan Dakwah Jakarta. Bahasan dalam ta’lim itu adalah mengenai keutamaan-keutamaan shalat. Ustad itu menyampaikan beberapa hadits Rasulullah SAW. Di antaranya tentang keutamaan yang nyaris merupakan kewajiban untuk mengerjakan shalat berjamaah di mesjid. Dalam sebuah hadits, kata ustad itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi jiwaku yang ada di tangan Nya, sesungguhnya aku hendak rasanya menyuruh orang-orang membawa kayu, lalu terkumpul, kemudian aku perintah supaya orang-orang shalat, lalu diadakan adzan buatnya, kemudian aku perintah seorang mengimami orang ramai, kemudian aku pergi kepada orang-orang yang tidak hadir buat shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka buat kerugian mereka. Dan demi (Tuhan) yang diriku di tangan Nya, sekiranya seorang dari mereka mengetahui bahwasanya ia akan mendapat tulang yang berdaging gemuk atau daging dua rusuk yang baik, niscaya ia hadir di shalat isya.’

Begitu kerasnya anjuran Nabi SAW menyuruh pengikut beliau untuk mengerjakan shalat berjamaah di mesjid, meski tidak pernah sampai beliau membakar rumah orang yang tidak hadir shalat berjamaah.

Penyampaian ustad dari Dewan Dakwah itu menyentuh dalam ke lubuk hatiku. Kami, empat orang peserta pengajian yang tinggal dalam komplek perumahan kantor berunding, untuk mendiskusikan bagaimana cara mengimplementasikan ilmu yang baru kami terima. Untuk pergi ke mesjid terdekat dari komplek perumahan kami berjarak sekitar dua sampai tiga kilometer. Kami mempunyai kendaraan. Harusnya tidak ada alasan untuk tidak mendatangi mesjid terdekat.

Tapi kami masih menawar. Kami bersepakat untuk mulai mengerjakan shalat berjamaah berempat saja di sebuah mushala yang sudah tidak terpakai, yang diletakkan di pinggir lapangan olah raga. Bangunan mushala (port a camp) yang tadinya digunakan di lingkungan perkantoran kemudian dipindah sesudah sebuah mushala baru dibangun.

Kami yang empat orang ini, dengan segenap daya berusaha untuk istiqamah, untuk selalu hadir berjamaah, terutama di waktu subuh, maghrib dan isya karena shalat zhuhur dan asar kami lakukan di mushala kantor. Alhamdulillah, dengan segala tantangan yang kami hadapi, untuk jangka waktu cukup lama kami berhasil. Sangat jarang kami tidak berjamaah (berempat) di mushala mungil itu. Kadang-kadang kami bawa serta istri-istri kami di waktu maghrib dan isya. Bahkan di hari-hari libur ada satu dua orang rekan lain yang datang ikut berjamaah di waktu subuh. Apa yang kami lakukan menjadi perhatian rekan-rekan sekantor yang lain. Umumnya mereka hanya jadi penonton, meski ada juga yang berkomentar dan bertanya. Bahkan ada yang berkomentar miring, seolah-olah kami tiba-tiba berubah menjadi ekstrim di mata mereka.

Berjamaah berempat di mushala di pinggir lapangan olah raga itu berlangsung selama lebih dari satu tahun. Suatu saat, seorang di antara kami berangkat untuk bertugas di luar negeri. Satu orang yang lain kelihatannya mulai kecapek-an. Tinggallah hanya kami berdua orang saja. Nyaris berakhirlah kebiasaan berjamaah yang sudah dijalankan lebih setahun. Untunglah, kebetulan di komplek perumahan Pertamina dekat tempat kami tinggal, baru dibangun sebuah mesjid kecil. Ke sanalah akhirnya aku bergabung. Jamaah mesjid itu tidak banyak. Di waktu subuh hanya sekitar enam sampai delapan orang. Aku berusaha selalu hadir untuk shalat subuh, maghrib dan isya di mesjid kecil itu. Jemaah mesjid itu sedikit demi sedikit bertambah banyak. Terutama di waktu subuh. Beberapa teman sekantor yang lain, yang tinggal di komplek perumahan ikut pula bergabung. Kami latihan memberikan kuliah tujuh menit secara bergantian. Dan kami bergantian pula menjadi imam.

Aku berusaha memelihara kebiasaan berjamaah ini walaupun aku pergi ke kota lain. Misalnya ketika berada di kampung, di Bukit Tinggi atau di Pakan Baru di saat cuti. Atau kalau sedang bertugas kantor dan menginap di hotel di Jakarta. Sekurang-kurangnya aku shalat di mushala hotel.

Di akhir tahun 1993 aku pindah dari Balikpapan ke Jatibening Bekasi. Di komplek tempat tinggalku yang baru ada sebuah mesjid swadaya penghuni komplek. Mesjid yang terletak di tengah-tengah komplek itu sangat dekat dari rumahku. Aku selalu hadir untuk shalat berjamaah di mesjid itu. Jamaah subuhnya hanya sekitar delapan orang. Empat orang adalah tukang bangunan yang menompang menginap di mesjid. Sebagai pendatang baru, aku diterima cukup baik pada awalnya. Pada suatu subuh, aku ditawarkan menjadi imam. Aku menolak dengan alasan bahwa aku masih berstatus tamu. Bapak tua yang menawariku jadi imam itu setengah mendesak. Aku masih menolak dengan mengatakan bahwa aku tidak membaca qunut. Dia masih tetap menyuruhku maju dan mengatakan, tidak ada masalah, tapi tolong i’tidal (berdiri sesudah rukuk) kedua agak dipanjangkan. Akhirnya aku maju menjadi imam.

Bulan puasa di sekitar bulan Maret di tahun 1994. Jamaah tarawih ternyata banyak sekali dan sebagian jamaah terpaksa shalat di beranda mesjid. Aku segera menemui keganjilan pertama. Jamaah laki-laki dan jamaah perempuan bersisian di dalam mesjid. Mesjid itu dibagi dua memanjang. Jamaah laki-laki di sebelah kanan dan jamaah perempuan di sebelah kiri. Di antaranya ada pembatas / sekeram dari kain.

Di antara shalat tarawih dan witir ada kultum dari jamaah untuk jamaah. Aku diminta pula untuk ikut memberikan kultum. Aku sampaikan hadits Rasulullah tentang aturan saf laki-laki dan perempuan. Bahwa sebaik-baik saf untuk laki-laki adalah yang paling depan, sementara sebaik-baik saf untuk wanita adalah yang paling belakang. Aku jelaskan bahwa betapa beresikonya shalat bersisian antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang hanya dibatasi selembar kain, padahal bapak dan ibu yang bersisian bukan muhrim.

Orang yang dituakan di mesjid ini dapat menerima yang aku sampaikan. Tapi tidak demikian halnya dengan beberapa orang jamaah lain. Pada suatu kesempatan yang aku tidak hadir bertarawih, si pemberi kultum menghujat dengan kata-kata pedas. Siapa itu orang baru yang sok sekali itu, katanya. Baru datang sudah merobah-robah aturan dan mengatur-atur. Kebetulan ada adikku yang hadir mendengarkannya dan menyampaikan isi kultum itu kepadaku. Maksudnya, agar aku jangan terlalu frontal mengoreksi kebiasaan-kebiasaan masyarakat komplek.

Selama bulan puasa tahun pertama itu posisi jamaah laki-laki dan perempuan bersisian tetap berlanjut. Barulah tahun berikutnya berubah menjadi laki-laki di depan.

Aku selalu hadir shalat berjamaah di mesjid itu. Shalat yang manapun, selama aku ada di rumah ketika masuk waktu shalat. Waktu akan shalat zhuhur dan asar di hari Minggu seringkali pintu mesjid terkunci dan aku shalat di beranda mesjid. Aku ajak pemuka mesjid mengadakan diskusi mingguan dengan menggunakan buku rujukan, misalnya kitab hadits shahih untuk membahas hal-hal ringan dan perlu-perlu. Alhamdulillah, orang yang paling dihormati di mesjid itu mau menerima ajakan tersebut. Meskipun diskusi seperti itu segera saja jadi tidak disenangi, ketika beberapa kali yang dibahas menyangkut hal-hal yang selama ini sudah dilakukan di mesjid ini. Contohnya seperti pengaturan saf.

Aku kritik pula kebiasaan melantunkan shalawat badar di antara azan dan iqamat, pada hal orang sedang mengerjakan shalat sunat. Silahkan bershalawat, kataku, tapi jangan sampai mengganggu urang yang sedang shalat (sunat). Orang yang sedang shalat itu sedang berusaha khusyuk dalam shalatnya, akan terganggu oleh lantunan shalawat badar yang menggunakan mikrofon.

Meskipun ada di antara jamaah itu yang terang-terangan menunjukkan ketidak-senangan terhadapku, aku berusaha santai saja. Tidak ada niatku untuk melayani dan mencari musuh. Bukankah mesjid tempat beribadah yang utama?

Jamaah shalat subuh tetap tidak lebih dari sepuluh orang dan sebagiannya adalah para tukang. Penghuni komplek yang ikut berjamaah hanya empat - lima orang dan itupun tidak semuanya secara berkesinambungan. Ketika shalat maghrib lumayan banyak yang ikut, bisa sampai belasan orang sementara shalat isya jumlahnya kembali berkurang. Karena aku selalu hadir lebih awal, seringkali akulah yang jadi imam.

Tanpa kusadari, ada kecenderungan jamaah dari warga komplek bertambah satu demi satu. Ini semata-mata karena hidayah Allah SWT. Aku tidak pernah sekalipun mengajak orang perorangan untuk ikut berjamaah, kecuali pada kesempatan kultum, aku sampaikan betapa baiknya seandainya kita bisa hadir berjamaah ke mesjid.

Pada saat pergantian pengurus mesjid, aku dipilih dan diangkat untuk menjadi ketua pengurus. Kami perbaiki sedikit demi sedikit kegiatan di lingkungan mesjid. Taman Pendidikan Al Quran yang sebelumnya sudah ada lebih diintensifkan lagi. Kegiatan-kegiatan sosial, kegiatan pengajian mingguan, majelis ta’lim ibu-ibu lebih ditingkatkan. Aku ajak jamaah yang sudah mulai juga bertambah untuk berdiskusi sekali seminggu.

Dari salah satu diskusi (setiap diskusi selalu dengan menggunakan kitab rujukan) kami sadari bahwa mesjid harus mempunyai imam shalat rawatib tetap. Jadi bukan imam bergantian karena senioritas. Maka kami adakan pemilihan imam yang melibatkan jamaah shalat tarawih (karena biasanya jumlahnya lebih banyak). Aku dipilih menjadi imam tetap. Tentu saja ada juga imam pengganti, yang akan menjadi imam kalau imam tetap berhalangan.

Alhamdulillah, sekali lagi alhamdulillah. Jumlah jamaah itu selalu bertambah. Puncaknya, pernah kami shalat subuh dengan 70 orang jamaah laki-laki dan tiga puluh orang jamaah perempuan. Walaupun ada sedikit penurunan sesudah itu. Karena ada beberapa dari mereka yang sudah meninggal dunia ataupun pindah ke tempat lain.

Ada-ada saja kejutan bagiku menyaksikan pertambahan jumlah jamaah. Ada bapak-bapak yang sering berpapasan denganku ketika aku pulang dari shalat subuh, beliau dalam pakaian olah raga, berjalan kaki di pagi buta. Kami saling bertegur sapa. Suatu saat, tahu-tahu beliau hadir di mesjid dan sejak itu jadi jamaah tetap mesjid. Ada yang berdiskusi denganku di tempat jaga malam, ketika dulu, di tahun 1998 kami ikut ambil bagian dalam pengamanan komplek. Dia bertanya bermacam-macam hal, seperti bagaimana hukumnya main gaple meski tidak bertaruh. Dibumbuinya pula, bukankah orang Padang sangat hobi main domino alias main gaple. Aku jawab tidak ada apa-apa, selama tidak terjadi apa-apa. Dia bingung dan bertanya apa maksudku. Aku suruh dia membayangkan, bagaimana seandainya, jika Allah berkehendak, dia menemui ajalnya di meja gaple itu? Mungkin karena serangan jantung? Tidakkah dia berpikir, hal itu akan sangat memalukan di hadapan Allah kelak? Bapak itu terdiam. Beberapa hari kemudian dia muncul di mesjid, ikut berjamaah. Ada yang baru diangkat jadi ketua RW, berpidato, menyampaikan ajakan kepada pengurus mesjid untuk bahu membahu menjaga dan membangun komplek. Waktu aku juga diminta mengucapkan pidato, aku hanya mengajak bapak ketua RW itu untuk ikut berjamaah ke mesjid dan dengan cara itu insya Allah kerja sama itu akan berjalan dengan sendirinya. Dan diapun ikut ke mesjid sejak itu.

Untuk istiqamah menegakkan shalat berjamaah memang perlu tekad dan perjuangan pribadi. Di antara penghuni komplek ada yang masih dalam taraf berusaha tapi belum berhasil. Aku melihat mereka mencoba hadir untuk beberapa lama, lalu kemudian kembali gagal. Mudah-mudahan saja suatu saat mereka berhasil.

Waktu aku mula-mula datang di komplek ini aku pernah mendengar ada anak-anak warga komplek yang terlibat narkoba. Alhamdulillah sekarang sudah tidak ada lagi kegiatan seperti itu. Mungkin juga karena remaja 15 tahun yang lalu sekarang sudah jadi bapak-bapak pula. Tapi paling tidak mereka itupun, tidak ada lagi yang terlibat dengan barang haram itu.

Dulu ada rumah khusus tempat bapak-bapak bergadang main gaple sampai pagi. Sudah lama kegiatan itu berhenti. Penghuni rumah khusus itu sudah pindah dan sebagian besar pesertanya sekarang adalah jamaah tetap mesjid.

Aku sangat menikmati lingkungan tempat tinggalku sekarang ini. Dengan rasa persaudaraan dan kekompakan yang tinggi di antara sesama warga. Dan jamaah mesjid yang juga sangat bersemangat. Jumlah zakat maal kami bertambah dari tahun ke tahun. Jumalah hewan kurban yang kami potong bertambah setiap tahun. Kami berusaha untuk selalu perduli dalam masalah sosial. Kami menyumbang dari kantong-kantong pribadi untuk mereka yang terkena musibah dimanapun mereka berada. Terakhir kamipun menghimpun sumbangan untuk dikirimkan kepada kaum Muslimin di Gaza.

Mudah-mudahan Allah selalu menunjuki kami dan menjadikan kami senantiasa mampu untuk tetap istiqamah.


*****