Friday, January 18, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (15)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (15)

15. KISAH CINTA

Marwan kembali melanjutkan ceritanya.

‘Namanya Rosita. Dia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Ayahnya seorang dokter di Rumah Sakit Umum Malang. Ayahnya orang Bukit Tinggi dan ibunya orang Maninjau. Mereka sudah lama tinggal di Malang. Rosita angkatan 74. Dan tahun 74 itu dia masuk menjadi anggota HMI. Aku mengenalnya sejak masa perkenalan anggota baru. Sejak pandang pertama aku mulai kenai hati kepadanya meski aku tidak berani mengutarakannya. Orangnya cantik, ceria, baik, pandai berbicara. Paslah untuk jadi aktifis HMI.

Sesudah masa perkenalan anggota, dia langsung aktif dan diangkat menjadi pembantu pengurus sebuah bidang dalam organisasi HMI. Aku sendiri adalah salah satu pengurus ketika itu. Kami sering bertemu dalam rapat-rapat pengurus dan kami sering berdiskusi. Dia banyak bertanya tentang HMI dan aku berusaha memberikan keterangan untuk hal-hal yang ditanyakannya. Dan kami terlibat juga dalam pembicaraan di luar HMI. Aku makin tertarik saja kepadanya. Tapi aku sendiri heran, kenapa aku sangat takut untuk menunjukkan perasaanku. Aku berusaha menjaga penampilan. Menjaga image atau jaim kata anak-anak sekarang. Mungkin agak sedikit berlebihan.

Hubungan jaim itu berlangsung selama hampir setahun. Setiap kali aku maju mundur, antara keinginan mengutarakan perasaanku kepadanya atau tidak. Dan selama setahun itu selalu berakhir dengan ‘tidak usah sekarang, nanti-nati saja’. Sepertinya aku memang agak penakut. Diam-diam aku berusaha memonitor sambil dag dig dug apakah dia sudah punya pacar. Untungnya sejauh yang aku ketahui dia tidak punya pacar.

Kami secara berkala melakukan pertemuan pengurus sekali sebulan. Aku selalu hadir dan dia juga. Lama kelamaan timbul juga keberanianku. Dengan sindiran aku akhirnya menyampaikan bahwa aku menyukainya. Dia diam saja dan tidak menanggapi. Hanya dia jadi semakin sering dan betah berdiskusi denganku pada setiap kali bertemu dalam acara HMI. Kami semakin akrab, semakin kelihatan bahwa kami saling cocok. Akhirnya aku bertanya dengan lebih jelas, aku ingin dia jadi ibu anak-anakku suatu saat nanti. Aku tanyakan apakah dia setuju. Dia tetap tidak menjawab selain hanya tersenyum. Dan aku menganggap senyuman itu sebagai kesediaannya. Diam-diam, teman-teman HMI yang lain juga memberikan dukungan. Dengan sedikit keusilan mereka mengatakan, dasar Padang, maunya mesti ketemu Padang lagi.

Seperti itu awal hubungan cinta kami. Kami tidak berpacaran seperti orang lain berpacaran. Aku hampir tidak pernah datang ke tempat kostnya untuk berpacaran di malam minggu seperti yang banyak dilakukan mereka-mereka yang berpacaran. Kami hampir tidak pernah pergi berdua-dua. Tapi sebaliknya dia sering datang ke toko buku di hari Minggu. Dia betah di toko buku sambil membaca-baca. Dan kami sering berdiskusi. Begitulah cara berpomle kami yang aku katakan ala HMI.’

‘Wah... Kisah cintanya jadul sekali ya? Mirip kisah cinta jaman Siti Nurbaya. Tidak adakah acara pergi nonton, pergi piknik misalnya?’ tanya Desi menggoda.

‘Ya begitulah. Memang jadul. Memang hampir tidak pernah kami pergi nonton bioskop berdua. Kebetulan, kami memang orang yang tidak suka menonton filem. Seingatku kami pernah pergi menonton bioskop itu tiga kali. Dua kali bersama-sama teman HMI lain dan sekali, hanya sekali yang berdua. Tapi waktu datang ke rumah orang tuanya di Malang kami pergi berdua,’ jawab Marwan.

‘Jadi pernah ada juga acara pergi berduaan..he..he..he,’ aku berkomentar karena geli mendengar ceritanya.

‘Adalah. Sebelumnya, setiap kali pak etek menanyakan apakah Rosita itu pacarku, aku mengatakan bahwa dia teman di HMI. Tapi lama kelamaan, pak etekku tentu arif bahwa sebenarnya hubungan kami tidak hanya sekedar teman. Hanya beliau agak heran, bahwa aku tidak pernah pergi berkunjung ke rumahnya. Bahkan pernah beliau menanyakan, kenapa aku tidak berusaha mengenal keluarganya. Aku tidak berkomentar apa-apa. Pada kesempatan berdiskusi lagi, ketika Rosita datang lagi ke toko pada suatu hari Minggu, aku sampaikan apa yang dikatakan pak etek itu kepadanya. Dia mengajakku untuk datang mengunjungi orang tuanya di Malang.

Tawaran sekaligus tantangan itu tentu saja aku terima. Kami pergi ke Malang. Aku dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Mereka sangat baik kepadaku, lebih-lebih ibunya. Kami berbicara dengan bahasa Minang di rumah itu, kecuali Rosita yang tidak pandai berbahasa Minang. Mereka bertanya tentang diriku dan aku bercerita seperlunya. Bahwa aku tinggal dengan pak etek di Surabaya, bahwa ayahku sudah meninggal, dan ibuku dan adik-adikku tinggal di kampung. Pokoknya setiap pertanyaan dan interview pak dokter dan istrinya aku jawab sebaik mungkin. Kedatanganku menemui orang tuanya di Malang itu terjadi di awal tahun 76.

Belum ada pernyataan apa-apa dari pihak orang tuanya waktu itu. Belum ada pertanyaan apa-apa yang menyangkut hubungan aku dengan Rosita. Kami tetap bergaul seperti biasa di Surabaya. Rosita tetap rajin ke toko buku. Atas saran pak etek lagi, (aku benar-benar sangat tergantung kepada beliau), Rosita kuajak pula datang ke rumah untuk berkenalan dengan keluarga pak etek. Sejak itu adik-adikku, anak-anak pak etek mengenal uni Rosita mereka, yang langsung mereka anggap sebagai kakak ipar. Mereka menyukai Rosita.

Pada hari raya Idul Fitri tahun 76 itu aku datang ke Malang untuk kedua kalinya bersama Rosita. Ketika itulah ayahnya bertanya agak lebih menjurus, apakah aku merencanakan untuk menikahi Rosita. Dan aku jawab sejujurnya, bahwa aku menyukai Rosita dan kalau diizinkan aku berniat menikah dengannya. Tapi tentu bukan untuk segera karena kuliahku belum selesai. Orang tua itu menerima yang aku sampaikan dan menasihatiku. Katanya, kalau aku bersungguh-sungguh, dia akan merestui anaknya jadi istriku.

Dalam perjalanan pulang ke Surabaya aku ceritakan pembicaraan kami itu kepada Rosita. Dia tersenyum mendengarnya. Dan dia menambahkan bahwa ibunya yang lebih ‘jatuh hati’ kepadaku, untuk menjadikan aku menantunya.’

Marwan berhenti sejenak dari cerita kisah cintanya untuk minum dulu seteguk. Aku dan Desi menunggu lanjutannya.

Cerita itu dilanjutkannya lagi.

‘Akhir tahun 76 sampai pertengahan tahun 77 aku disibukkan penulisan skripsi. Aku tidak setiap minggu datang ke toko. Karena pertemuan kami biasanya di toko pada hari Minggu, dengan sendirinya kami jadi agak jarang bertemu pada masa-masa itu. Hal itu tidak jadi masalah bagi hubungan kami. Lucunya waktu itu kami rajin bersurat-suratan. Tidak tanggung-tanggung, surat Rosita dia titipkan melalui pak etek di toko. Surat-surat kami bukanlah surat cinta. Rosita bertanya entah tentang apa saja. Atau menceritakan hal-hal sepele. Sangat kentara bahwa surat-surat itu hanya sekedar untuk membina hubungan. Setiap suratnya pasti aku balas. Surat balasan itu aku kirim dengan pos.

Bulan Oktober tahun 77 aku lulus ujian sarjana. Subhanallah, alhamdulillah. Aku jadi insinyur. Aku, si Marwan anak mak Syamsuddin Sutan Marajo, anak tukang pos, jadi insinyur. Terkabul cita-citaku. Betapa bahagianya aku ketika itu. Betapa bahagianya orang-orang di sekelilingku. Ibuku yang jauh di kampung. Pak etek dan etek. Adik-adikku, baik yang di kampung maupun anak-anak pak etek. Dan tentu saja Rosita ikut bahagia.’

‘Pasti bangga sekali kau ketika itu,’ aku menyela.

‘Bangga luar biasa. Aku lega sekali. Aku minta izin pak etek untuk pulang ke kampung menemui ibuku. Sekalian menziarahi pusara ayahku. Aku ingin mendatangi kuburan beliau, memberi tahu bahwa aku, anak beliau sudah tamat sekolah. Sudah jadi insinyur. Pak etek mengijinkanku. Sebelum pulang ke kampung aku menyempatkan pula menemui orang tua Rosita di Malang, untuk menyampaikan kabar bahwa aku sudah lulus. Mereka sangat senang dan memberi ucapan selamat. Ibu Rosita bertanya setengah memancing apa rencanaku selanjutnya. Aku jelaskan bahwa aku akan mencari kerja. Tapi sebelumnya aku ingin menemui ibuku dulu di kampung. Meski dengan nada gurau dia menanyakan apakah aku sudah punya calon istri di kampung. Aku jawab sejujurnya saja. Pertanyaan selanjutnya lebih tepat menuju sasaran. Kapan rencanaku mau menikahi Rosita. Aku ulangi sekali lagi keinginanku untuk mencari kerja terlebih dahulu. Ayah Rosita sangat setuju dengan rencana seperti itu, karena diharapkan kuliah Rosita akan selesai di tahun 78. Rasanya hidupku sangat berbunga-bunga.’

‘Tapi, apakah ibumu di kampung sudah tahu kau sudah punya pomle? Punya calon istri? Jangan-jangan ibumu di kampung memang sudah menyiapkan calon menantu,’ aku bertanya.

‘Aku pernah memberi tahu ibuku tentang Rosita. Sejak aku datang mengunjungi rumah orang tuanya yang pertama kali. Ada juga kekhawatiranku, seandainya ibuku entah dengan alasan apa menyatakan tidak setuju. Lebih baik aku mendengar pendapat beliau dulu sebelum terlanjur lebih jauh. Akupun menanyakan kepada beliau, bagaimana seandainya nanti, sesudah sekolahku selesai aku berjodoh dengan Rosita. Ibuku tidak keberatan. Beliau hanya menyuruh agar aku merundingkannya dengan pak etek. Jadi amanlah, karena pak etek sudah lebih dulu setuju.

Aku berangkat ke kampung. Dan tinggal di kampung selama hampir sebulan. Melepaskan rindu dan teragakku kepada kampung. Yang sudah tujuh tahun pula aku tinggalkan sejak kematian ayah. Ketika itu aku datang mengunjungi SMP kita. Masih ada dua orang guru kita dulu yang aku jumpai disana. Ibu Halimah dan ibu Rosna. Tentu kau masih ingat. Mereka masih ingat denganku. Aku datangi pula kepala sekolahnya dan mengatakan bahwa aku dulu bersekolah di sekolah itu.’

‘Aku ingat ibu Halimah guru Bahasa Indonesia dan ibu Rosna guru Bahasa Inggeris,’ jawabku.

‘Ketika sedang di kampung aku mendapat telegram dari pak etek, ada panggilan dari perusahaan minyak yang aku lamar, ingin menginterviewku di Jakarta. Aku segera berangkat ke Jakarta mendatangi kantor perusahaan itu. Sesudah diinterview aku disuruh menunggu hasilnya. Katanya aku akan dihubungi secepatnya seandainya aku diterima.

Aku kembali ke Surabaya. Santai-santai saja sambil tetap membantu pak etek di toko. Sampai pada suatu hari aku menerima surat panggilan dari perusahaan itu. Aku diterima bekerja. Aku disuruh segera datang ke Jakarta. Menggunakan pesawat udara. Itulah pertama kali aku naik pesawat udara.

Aku diharuskan menjalani pemeriksaan kesehatan dan wawancara politik alias screening di kantor security Pertamina. Kau tentu tahu tentang screening. Hatiku bergetar ketika mengisi pertanyaan tentang orang tua, tentang ayahku. Apakah ayahku pernah ikut organisasi terlarang. Aku berbohong. Aku tulis bahwa ayahku sudah meninggal dunia, dan setahuku beliau tidak pernah ikut organisasi terlarang. Ketika diwawancara, pertanyaan lebih banyak diarahkan tentang diriku karena aku menulis bahwa aku adalah anggota HMI. Aku ditanya bagaimana pendapatku tentang DI TII, tentang Piagam Jakarta. Dan kau tentu tahu, jawaban yang diharapkan adalah jawaban-jawaban klise. Aku diarah-arahkan untuk menjawab sesuai dengan yang mereka inginkan. Dan aku ikuti saja. Tidak ada sedikitpun pertanyaan tentang ayahku selama wawancara berlangsung.

Setelah itu aku mulai bekerja. Mula-mula hanya di kantor. Tapi segera aku diperkenalkan pula dengan pekerjaan di lapangan di daerah pedalaman Irian sana. Pekerjaan itu sangat menyenangkan. Aku sangat menyukainya. Pergaulanku dengan semua orang di kantor sangat baik. Dengan teman-teman, dengan atasanku yang orang Canada. Aku kost di Jakarta di daerah Tebet, tidak jauh dari kantorku. Kalau aku bertugas di lapangan dan tinggal disana untuk seminggu atau bahkan kadang-kadang lebih, maka setelah pulang aku berhak mendapat libur. Waktu libur itu aku gunakan untuk pulang ke rumah pak etek di Surabaya. Aku beruntung karena penerbangan dari Sorong di Irian mampir dulu di Ujung Pandang. Dengan seizin kantor, dari Ujung Pandang aku ganti pesawat dan aku ambil penerbangan melalui Surabaya.

Jadi aku sering pulang ke Surabaya. Menemui keluarga pak etek dan menemui Rosita. Aku telah membuat rencana pernikahan kami yang lebih tepat. Aku beritahu Rosita niatku untuk menikahinya awal tahun 79, ketika aku cuti tahunan yang pertama nanti. Dia setuju. Orang tuanya setuju. Pak etek setuju. Ibuku setuju. Pokoknya jalan lurus terhampar dihadapanku. Jalan lurus dan indah.’

‘Hebat. Terus menikah dong?’ Desi berkomentar.

‘Ketika kami sudah sama-sama setuju dengan hari pernikahan, yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, Rosita sedang menyiapkan tugas akhir untuk jadi sarjana. Ajakanku itu memacunya untuk bekerja lebih keras. Akhirnya dia lulus sebagai sarjana ekonomi bulan November 78.

Kami terus mempersiapkan pernikahan itu setahap demi setahap. Rencananya kami akan menikah di Malang. Tentu saja disana karena orang tua Rosita tinggal di kota itu. Aku akan membawa ibu dan adik-adikku ke Surabaya untuk hadir pada hari pernikahan kami nanti. Aku akan pergi menjemput beliau ke kampung. Dan sesudah nikah aku akan membawa Rosita ke Jakarta. Kami akan menyewa rumah di Jakarta. Rosita setuju. Orang tuanyapun setuju dengan rencanaku.’


*****

No comments: