Sunday, December 14, 2008

SANG AMANAH (93)

(93)

‘Pak Umar benar. Persis seperti itu yang saya alami. Dengan banyak membaca buku-buku tentang Islam, saya terjebak untuk membanding-bandingkan. Tentang nilai ketuhanan, tentang penciptaan makhluk, tentang kenabian, tentang kehidupan manusia, tentang tugas dan kewajiban manusia di dalam kehidupan yang sangat sebentar, tentang kehidupan sesudah kematian. Setelah saya mendapatkan jawaban untuk hal-hal tersebut, saya menjadi semakin mantap dengan keyakinan baru saya. Dengan agama Islam. Karena Islam menerangkannya dengan sangat rasional.’

‘Apakah konsep ketuhanan tadi itu termasuk yang ibu Rita bahas dengan ayah ibu Rita?’

‘Betul, pak. Konsep dasar ketuhanan seperti itu saya pertanyakan kepada ayah saya. Bukan saya bermaksud merendahkan keyakinan saya yang lama. Saya selalu mengajak ayah memikirkannya dengan kepala dingin. Ayah saya bertanya, kenapa mesti Islam? Saya balik bertanya. Apa ada agama selain Islam yang menggunakan logika berfikir seperti tadi itu? Ayah saya tidak bisa memberikan jawaban.’

‘Lalu, bagaimana dengan ibu dari ibu Rita sendiri? Apakah terlibat juga dalam diskusi-diskusi itu?’

‘Ibu saya lebih banyak diam. Ibu saya itu tadinya beragama Islam. Paling tidak dari keluarga Islam. Kakek dan nenek saya dari ibu, keduanya Islam. Ibu mengerti dengan apa yang saya kemukakan, tapi beliau sangat menghormati ayah saya.’

‘Waktu ibu Rita mengucapkan kalimat syahadat tadi itu, kedua orang tua ibu Rita mengetahuinya?’

‘Hari itu saya memberitahukan kepada beliau berdua. Bahwa saya akan pergi ke mesjid dekat rumah mas Darmaji untuk mengikrarkan diri saya masuk Islam. Ayah saya diam saja.’

‘Bagaimana perlakuan kedua orang tua sesudah itu?’

‘Beberapa kali ayah saya masih menunjukkan ketidaksukaannya kalau saya sudah berubah keyakinan. Tapi saya berusaha untuk tetap menghormati dan memperlakukan beliau seperti biasa. Saya tetap berlaku sopan dan menunjukkan bahwa saya tetap mencintai beliau. Kalau suasana memungkinkan saya ajak lagi berdiskusi. Anehnya akhir-akhir ini ayah saya malahan banyak bertanya kepada saya.’

‘Tentang apa?’

‘Tentang pandangan Islam terhadap nabi Isa. Tentang kenabian Isa, tentang kejadian Isa dan sebagainya. Kebetulan saya punya banyak buku yang membahas hal itu. Saya jelaskan kepada ayah. Saya berikan juga buku-buku yang saya baca itu kepada beliau.’

‘Hebat sekali. Benar-benar hebat sekali.’

‘Sebenarnya sudah lama saya ingin berdiskusi dengan bapak. Tapi saya selalu ragu-ragu dan takut-takut,’ ujar ibu Rita.

‘Mau mendiskusikan apa misalnya?’

‘Bukan mau berdiskusi pak, tapi mau bertanya dan belajar. Tentang cara-cara beribadah, tentang hal-hal lain yang menyangkut kewajiban seorang wanita Muslim. Tapi saya selalu ragu dan merasa belum siap untuk menemui bapak.’

‘Maaf, apakah ibu Rita sudah mampu memulai melaksanakan ibadah?’

‘Sebisa saya, pak. Saya masih belajar menghafalkan bacaan-bacaan shalat. Dan saya shalat dengan bacaan yang saya sudah bisa saja. Kalau belum hafal, saya diam saja.’

‘Jadi ibu Rita sudah melaksanakan shalat lima waktu?’

‘Alhamdulillah, sudah pak. Saya bangun subuh-subuh. Saya shalat subuh. Sebelum shalat saya latih dulu bacaan-bacaannya. Kalau lagi bertugas mengajar siang, saya sangat ingin ikut shalat di mesjid sekolah. Tapi saya juga takut-takut. Takut dikira seolah-olah saya membuat sensasi. Saya tidak ingin nanti suasana jadi heboh. Jadi saya shalat bersembunyi-sembunyi. Rasa-rasanya saya memerlukan guru untuk mengajari saya membaca bacaan shalat yang benar.’

‘Kenapa tidak belajar dengan pak Darmaji saja?’

‘Dia tidak yakin kalau belajar dengan saya pak, he..he..he. Katanya bacaan al fatihah saya berbeda sekali dengan bacaan di kaset ,’ jawab Darmaji.

‘Bukan juga begitu pak. Kalau dengan dia rasanya kurang serius saja.’

‘Kalau begitu, apakah ibu Rita mau saya carikan guru untuk mengajar dan melatih bacaan-bacaan shalat. Atau katakanlah untuk belajar mengaji?’ tanya pak Umar.

‘Mau sekali pak. Saya mau sekali kalau memang ada yang bisa membimbing saya. Saya memang ingin sekali pandai membaca Quran. Mengenali huruf-huruf al Quran itu.’

‘Bagaimana kalau saya usulkan ibu Rita belajar ke istri saya? Ibu Rita bisa datang ke rumah saya. Siang-siang, pada saat anak-anak sekolah, dia biasanya hanya sendirian di rumah.’

‘Apakah ibu kira-kira mau mengajar saya, pak?’

‘Nanti saya tanyakan. Saya rasa dia mau. Istri saya itu dulu juga guru, lho. Meski bukan guru agama,’ jawab pak Umar.

‘Kalau ibu mau, saya akan sangat berterima kasih sekali. Saya akan datang belajar ke rumah bapak. Bagusnya memang ketika ibu sendirian di rumah. Kalau ada anak-anak, saya nanti tidak bisa berkonsentrasi karena malu.’

‘Baiklah, nanti saya akan bilang ke istri saya. Saya yakin dia akan mau. Setelah itu akan saya hubungi ibu Rita.’

‘Terima kasih pak. Tapi, sekarang saya ingin bertanya kepada bapak. Dalam shalat. Yang saya masih kesulitan menghafal bahasa Arabnya, bolehkah saya membaca saja artinya dalam bahasa Indonesia dalam shalat itu?’

‘Tidak boleh. Karena shalat itu, sesuai dengan yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW hanya boleh dengan bahasa Arab dan dengan kalimat-kalimat yang sudah diajarkan saja. Tidak boleh ditukar dengan ucapan lain, meski dalam bahasa Arab sekalipun. Misalnya saja, waktu takbir mengawali shalat, kita membaca Allahu Akbar, yang artinya Allah Maha Besar. Harus membaca hanya kalimat itu saja. Tidak boleh ditukar dengan Allah Ta’alaa, misalnya yang artinya Allah Maha Tinggi, karena bukan seperti itu yang diajarkan nabi.’

‘Jadi kalau belum hafal, boleh saya loncat saja, tidak membaca apa-apa?’

‘Bacaan yang mana misalnya?’

‘Saat duduk terakhir. Bacaan pada waktu duduk terakhir yang ada salawatnya itu. Saya yang hafal baru dua kalimat syahadatnya saja. Bacaan yang lain, padahal sudah hampir tiga bulan masih saja terbalik-balik. Baik yang sebelum maupun yang sesudah syahadat itu.’

‘Kalau pendapat saya, ibu Rita baca saja biar terbalik-balik. Dengan latihan terus menerus mudah-mudahan nanti bisa hafal.’

‘Selama ini memang begitu saya lakukan. Kadang-kadang di luar shalat saya sudah hafal. Tapi pas dalam shalatnya saya lupa kembali.’

‘Insya Allah dengan kesungguh-sungguhan saya yakin ibu Rita akan cepat bisa menghafalkan bacaan shalat itu. Apakah ibu Rita menggunakan juga bantuan kaset untuk bacaan-bacaan shalat itu misalnya?’

‘Saya tidak menemukannya, pak. Yang ada saya dapatkan hanya kaset bacaan al Quran. Ada juga kaset shalat tapi hanya bacaan-bacaan tertentu saja yang dikeraskan. Mas Darmaji memberi saya kaset shalat di mesjid di Mekah. Padahal bukan itu yang saya perlukan.’

‘Mungkin karena bacaan itu tidak panjang, orang tidak mau merekamnya. Kalau ibu Rita mau, nanti saya rekamkan suara saya sendiri.’

‘Saya mau sekali pak. Karena terus terang, dengan membaca hafalan bacaan shalat yang ditulis dengan huruf biasa itu tidak meyakinkan. Saya tidak yakin bahwa pengucapannya seperti yang saya baca.’

‘Baiklah, nanti akan saya rekam di rumah. Tapi ngomong-ngomong, selama tiga bulan itu tidak adakah guru-guru lain yang tahu kalau ibu Rita sudah masuk Islam?’

‘Mungkin ada yang curiga saja pak. Setiap kali azan shalat zhuhur saya selalu mengingatkan, ‘tu..sudah dipanggil tuh’. Pernah pak Situmorang bertanya, apa saya merasa dipanggil juga, kok sering benar mengingatkan orang sudah dipanggil. Saya tersenyum saja.’

‘Tadi ibu Rita bilang shalat sembunyi-sembunyi. Ibu Rita pernah shalat di sekolah?’

‘Pernah pak. Di ruangan perpustakaan. Siang-siang, kalau semua sudah masuk kelas, saya pinjam kunci perpustakaan itu ke pak Kosasih dan saya shalat di dalam. Suatu kali saya hampir ketahuan ibu Sofni yang masuk ke sana. Saya baru saja selesai melipat kain shalat saya dan memasukkannya ke dalam tas. Ibu Sofni datang. Dia memperhatikan saya tapi tidak bertanya apa-apa. Saya, lagi-lagi hanya tersenyum saja.’

‘Bagaimana pendapat ibu Rita untuk seterusnya? Tentu tidak akan terus-terusan bersembunyi seperti itu?’

‘Pernah terlintas di hati saya akan nekad memproklamirkan diri di saat guru-guru sedang pada ngumpul. Tapi saya ragu lagi. Buat apa? Nanti dikira saya membuat sensasi. Bagaimana sebaiknya menurut bapak?’

‘Sebaiknya dimulai saja menceritakan ke pribadi-pribadi yang ibu Rita anggap paling netral. Dua tiga orang. Seterusnya, saya yakin berita itu akan menyebar. Kalau ada yang bertanya sesudah itu baru ibu Rita jawab sejujurnya. Dengan demikian sudah akan terkondisikan suasananya. Dan ibu Rita tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi.’

‘Benar juga pak. Saya berniat mau memberi tahu ibu Sofni dan ibu Sarah. Sesudah itu saya akan memberitahu pak Situmorang dan ibu Grace. Yang terakhir ini untuk mengetahui lebih awal bagaimana reaksi mereka. Dugaan saya pak Situmorang lebih netral orangnya. Sedangkan ibu Grace agak berbeda. Dulu dia pernah menasihati saya agar jangan sampai terpengaruh untuk merubah keyakinan. Waktu dia tahu saya cukup akrab dengan mas Darmaji. Tapi hanya sekedar mengingatkan begitu saja. Saya sih diam saja. Beberapa kali sesudah itu saya pernah juga dipancing-pancing untuk ngobrol tentang agama. Dia tanya dimana gereja saya, apakah saya selalu ke gereja setiap minggu. Dan saya menjawab seperlunya saja.’

‘Kalau lagi shalat di rumah apakah orang tua ibu Rita mengetahuinya?’

‘Ya. Karena saya melakukan secara wajar. Tidak demonstratif tapi tidak pula sembunyi-sembunyi. Sekali waktu ayah saya bertanya, masih dengan nada kesal dan marah, apa yang saya baca dalam sembahyang. Saya katakan saya membaca bacaan shalat. Dia tanya, apakah sembahyang itu dalam bahasa Arab? Saya jawab iya. Itulah bukti keyakinan kamu itu bodoh, kata ayah saya. Apa gunanya kamu mengucapkan sesuatu yang tidak kamu mengerti karena bukan bahasa kamu sendiri. Saya bilang, dalam kehidupan sehari-haripun kita begitu. Bukankah bahasa kanak-kanak ayah bahasa Jawa? Tapi dalam pekerjaan, karena peraturannya harus menggunakan bahasa Indonesia, ayah berbahasa Indonesia. Tapi saya mengerti bahasa Indonesia, jawabnya. Saya bilang, sayapun sedang berusaha untuk mengerti yang saya baca dalam shalat. Ayah saya diam sesudah itu. Yang aneh ibu saya, pak. Kadang-kadang seperti ditungguinya waktu saya shalat. Kalau pas waktu shalat maghrib misalnya, dia masuk ke kamar saya. Sesudah saya shalat, ibu saya ikut-ikutan shalat. Apa itu boleh pak? Ibu saya kan masih Kristen?’

‘Sesudah ibu Rita berhasil menundukkan hati ayahnya, kelihatannya kembali lagi keimanan lama ibunya ibu Rita. Mungkin kembali lagi bayangan masa kanak-kanak atau masa gadisnya, ketika dia juga pernah mengerjakan shalat. Tapi apakah ayah ibu Rita tahu kalau ibunya ikut-ikutan shalat?’

‘Mungkin sekarang jadi tahu. Tapi kayaknya tidak terjadi apa-apa. Saya tidak pernah mendengar mereka bertengkar misalnya.’

‘Ya. Kalau Allah berkehendak, Allah jadikan hati hambaNya yang mana saja cenderung kepada jalan yang dikehendakiNya. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik untuk keluarga besar ibu Rita,’ ujar pak Umar.

Tak terasa mereka sudah sampai di Jakarta. Darmaji membelokkan mobil itu keluar dari jalan tol Jagorawi menuju Cawang melalui Cililitan, jalan di depan UKI lalu berbelok ke arah jalan tol Cikampek. Mereka masih melanjutkan obrolan tadi.

‘Kalau bagi pak Darmaji ada tidak pengaruh pengalaman batin ibu Rita tadi?’ tanya pak Umar.

‘Mungkin itu, pak. Saya juga merasa tertantang untuk berusaha menjadi seorang Muslim yang baik. Saya ikut shalat berjamaah di mesjid sekolah. Begitu juga di rumah. Untuk shalat subuh saya pergi ke mesjid yang hanya beberapa langkah dari tempat tinggal saya. Hal yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Kami, saya dan Rita, jadi lebih sering berdiskusi agama dan Rita jadi semakin banyak tahu tentang agama Islam. Dalam beberapa hal mungkin dia lebih tahu dari saya. Dia sering mengingatkan saya. Seperti tadi yang diceritakannya, kalau mendengar azan, mengingatkan bahwa sudah dipanggil, sebenarnya sayalah yang dia ingatkan. Kalau sudah begitu saya baru ingat dan buru-buru pergi shalat.’

‘Syukurlah….syukurlah kalau demikian. Ini benar-benar kejutan bagi saya. Dan saya ikut bahagia mendengarnya.’

Akhirnya mereka sampai di pintu tol Jatibening. Kendaraan itu keluar di sana dan memutar menuju ke arah jalan Kali Malang dan terakhir sekali menuju ke kompleks perumnas Jatiwangi tempat pak Umar tinggal. Pak Umar menawari mereka untuk mampir dulu yang diterima kedua orang itu dengan senang hati. Rita ingin menanyakan langsung tawaran pak Umar tadi kepada ibu Fatimah istri pak Umar.

Di rumah hanya ada ibu Fatimah dan Fauziah. Fauziah sedang membantu ibunya membuat kue ketika pak Umar serta pak Darmaji dan ibu Rita datang. Pak Umar memperkenalkan kedua orang guru SMU 369 itu kepada ibu Fatimah dan anaknya Fauziah. Mereka bertiga duduk di ruang tamu kecil tapi asri dan tertata rapi, sementara ibu dan anak itu kembali ke belakang menyiapkan minuman. Tidak berapa lama kemudian Fauziah datang membawa tiga cangkir teh dan kue-kue lalu meletakkan di hadapan tamu-tamu itu. Pak Umar memanggil ibu Fatimah untuk ikut berdiskusi.

‘Fat, ibu Rita ini ada keperluan. Bagaimana ibu Rita? Apakah akan ditanyakan langsung?’ tanya pak Umar.

Ibu Rita tersipu agak malu. Dia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Mungkin dia ragu-ragu bagaimana memulainya.

‘Mungkin saya bantu menjelaskan. Ibu Rita ingin belajar membaca al Quran dan memerlukan seorang pembimbing atau guru untuk belajar. Tadi saya menawarkan, coba nanti kita tanya istri saya. Itulah pertanyaan yang ingin ditanyakan ibu Rita. Bukankah begitu bu?’ pak Umar menjelaskan sambil bertanya kembali pada Rita.

‘Benar sekali bu. Mungkin pak Umar nanti bisa menceritakan pengalaman spiritual saya yang tadi kami bicarakan sepanjang perjalanan dari Ciawi ke sini. Dan yang dikatakan pak Umar betul, bu. Saya ingin belajar dan ingin menanyakan sekiranya ibu bisa menolong mengajar saya,’ ujar Rita.

‘Insya Allah saya sanggupi. Kapan ibu Rita ingin memulainya?’ ujar ibu Fatimah.

‘Biar sesudah liburan sekolah saja, bu. Saya harap saya bisa belajar privat dengan ibu. Kalau disaksikan oleh orang lain, oleh anak-anak ibu misalnya, saya takut tidak bisa berkonsentrasi karena malu,’ jawab Rita polos.

‘Baik. Insya Allah saya sanggupi. Kapan saja ibu Rita ingin memulainya,’ jawab ibu Fatimah.

Beberapa menit kemudian, Darmaji dan Rita mohon diri. Rita mengucapkan terima kasih atas kesedian ibu Umar untuk mengajarnya mengaji. Rita bersungguh-sungguh ingin bisa membaca al Quran.


*****

No comments: