Wednesday, December 26, 2007

HARTA TUA

HARTA TUA


Pulang dari sembahyang subuh berjamaah di mesjid, Malin Basa menuju ke rumah dunsanaknya Zainab. Hari masih gelap. Di halaman rumah dia bertemu dengan tuo Tipah yang baru kembali dari sungai mengambil air sembahyang. Tuo Tipah memegang senter. Mendengar bunyi langkah orang datang diarahkannya cahaya senter itu kepada Malin Basa.

‘Oo engkau Malin. Apa kabar yang kau bawa? Pagi subuh kelam sudah sampai kau disini?’ tanya tuo Tipah.

‘Kabar biasa saja biyai (=ibu),’ jawab Malin Basa, mengiringi tuo Tipah menapaki anak jenjang.

‘Apa jawaban si Timah?’ lanjut tuo Tipah

‘Sembahyanglah biyai dulu, sebentar lagi saya jelaskan.’

‘Ooo,’ jawab tuo Tipah, seolah sudah tahu apa jawaban itu.

Zainab masih duduk di tikar sembahyang ketika Malin Basa masuk ke rumah. Masih memakai tilakung (=mukena) dia bergegas ke dapur, menjerangkan air.

‘Tergegas benar tuan tiba. Bagaimana jawab kak Timah atas pertanyaan biyai?’ tanya Zainab.

‘Sebentar lagilah. Kita nantikan biyai selesai sembahyang,’ jawab Malin.

Zainab masuk ke kamarnya, melepas tilakung dan merapikan rambut serta bajunya. Tidak lupa dia menutup kepalanya dengan selendang. Setelah itu dia kembali bergegas ke dapur membuatkan minum dan menggoreng pisang. Zainab sangat cekatan. Hanya sekitar lima belas menit saja dia sudah selesai dengan tiga cangkir minuman dan sepiring pisang goreng yang segera di bawanya ke hadapan kakaknya Malin Basa yang sudah duduk berhadap-hadapan dengan ibu mereka di tikar.

‘Kenapa tiga cangkir saja kamu buat minuman? Si Saiful sebentar lagi pasti datang. Saya melihatnya berjemaah di mesjid tadi,’ ucap Malin Basa memprotes adiknya.

‘Air panas masih terjerang, tuan. Kalau dia datang akan saya buatkan lagi. Mungkin juga dia pergi menemui Guru Rusli pagi ini. Begitu katanya kemarin,’ jawab Zainab.

‘Jadi begini, Nab.’ Malin Basa menukar pembicaraan. ‘Sudah saya sampaikan pertanyaan biyai pekan lalu itu ke si Timah. Sudah berunding-runding pula kami. Akhirnya keputusannya dia tidak setuju. Katanya pula, kalau ada rezeki, biarlah dibantu-bantunya saja biaya si Saiful sesanggupnya nanti kalau jadi dia ke Bandung.’

‘Berapa benar akan sanggup dia membantu? Sedangkan sekarang untuk ongkos kapal ke Jawa saja entah dimana-mana uang akan diambil,’ tuo Timah langsung berkomentar.

‘Iyakah Nab? Belum ada ongkos untuk tiket kapal?’ Malin Basa bertanya kepada Zainab.

‘Entahlah tuan. Atau biarlah saya jual subang dan kalung saya ini. Hanya itu satu-satunya jalan yang tampak oleh saya sementara ini. Mudah-mudahan uangnya cukup untuk biaya dia agak sebulan disana,’ jawab Zainab.

‘Beginilah, juallah subang atau kalungmu saja. Jangan kedua-duanya. Saya carikan penambahnya sesudah itu,’ jawab Malin Basa.

‘Huh, berapa benarlah uangnya itu. Lagi pula, orang perempuan ini perlu juga mempunyai perhiasan agak sedikit. Ini, hanya tinggal kalung dengan subang masih mau dijual pula. Lalu sesudah itu? Sesudah sebulan dia disana, kalaupun cukup uang sebegitu untuk sebulan olehnya. Kemana lagi dia akan pergi?’ Tuo Tipah masih penasaran.

‘Mudah-mudahan dapat pula dia jalan biyai. Mudah-mudahan ada pula rezekinya disana. Kalaupun jadi sawah digadaikan, uang gadaian itu dibawanya ke Bandung, kalau dia tidak pandai berusaha, sekali waktu tentu akan habis juga olehnya. Entah kok indak begitu biyai?’ ajuk Malin Basa.

Tuo Tipah terdiam beberapa saat. Beliau menyadari betul bahwa kedua anaknya ini, bahkan termasuk menantunya, si Timah, tidak setuju dengan rencananya menggadaikan sawah. Sudah berulangkali hal ini mereka bicarakan, selalu saja kedua anaknya itu menolak. Alasan mereka tidak elok kita menggadaikan sawah.

Terakhir, tuo Tipah mengusulkan agar sawah itu digadaikan ke si Timah, istri Malin Basa. Dengan demikian hitung-hitung seperti pinjam mememinjam sesama adik dengan ipar saja. Kalau ada rezeki entah kapan-kapan ditebus kembali, begitu usul tuo Tipah. Soalnya beliau ingin betul agarnya cucunya si Saiful yang selalu jadi juara di sekolah itu pergi berangkat ke Bandung melanjutkan sekolahnya. Tuo Tipah menyadari bahwa kedua anaknya ini sepengajian. Mereka merasa bahwa harta tua, sawah, parak dan sebagainya itu bukanlah milik ‘kita’ kata mereka. Jadi kita tidak berhak menjual maupun menggadaikannya. Lalu kenapa kalian mau juga ikut memakan nasi hasil sawah itu? pernah tuo bertanya seperti itu. Memakan padi hasil sawah itu seperti kita makan pemberian atau sedekah inyiak-inyiak kita seisuk. Tapi pokoknya benar, yaitu sawah begitupun rumah gadang ini tetap milik inyik kita itu. Bukan milik kita, jadi tidak boleh kita jual sesuka kita. Selalu begitu jawaban kedua anaknya, Malin Basa dan Zainab.

‘Sebenarnya,’ kata tuo Tipah pula, ‘secara adat menggadai ataupun menjual harta adat itu boleh kalau tepat alasannya. Senyampang terjadi, rumah gadang ketirisan, atau mayat terbujur di tengah rumah, atau gadis gedang belum berlaki. Dalam hal seperti itu boleh harta adat dijual atau digadaikan. Artinya, kalau jelas betul keperluannya, boleh harta itu kita manfaatkan. Tapi kalian madar (=bandel). Pengajian kalian selalu saja mengatakan bahwa harta itu bukan milik kita bahkan tidak jelas kepemilikannya. Hanya yang membuat saya heran, nasi hasil sawah itu mau juga kalian memakannya.’

‘Iya biyai. Memakan nasinya itu ibarat kita mengambil ranting kayu di hutan. Hutan bukanlah hutan kita, kayunya bukanlah kayu kita, bukan kita yang menanamnya, tapi rantingnya yang patah, insya Allah ketika kita tidak ada pilihan lagi bolehlah kita manfaatkan. Tapi hutan dan pohon kayunya tidak boleh kita rusak. Tidak boleh kita dakwa sebagai milik kita. Dan tidak pula untuk kita wariskan kepada anak-anak kita sebagai harta faraidh.’ Malin Basa kembali mencoba menjelaskan.

‘Jadi menurut engkau sawah di Bancah itu bukan aku yang punya?’ tanya tuo Tipah.

‘Biyai, bukankah biyai menyaksikan bahwa harta pusaka tinggi itu, sawah-sawah itu dulu sepertinya dimiliki oleh tuo? Padahal juga bukan tuo yang membelinya? Tuo, menerimanya lagi dari tuonya biyai dengan cara yang sama? Beliau juga bukan yang membelinya. Jadi yang menerukonya mula-mula, atau yang membelinya mula-mula sudah tidak jelas. Dan kepemilikannya hanya seperti itu saja, hanya mengambil hasil panennya saja. Itulah yang saya katakan, ibarat kita memakan pemberian dari inyiak Asa kita dahulu. Hanya memakan hasilnya saja, sementara pokoknya biarkan sajalah tetap disana. Belum lagi kalau kita perhatikan bahwa yang ditinggalkan inyiak Asa dahulu sudah kita bagi-bagi pula penerimaan hasilnya. Yang biyai terima hanya sepersekian, karena bahagian lain sudah diambil pula oleh mak tuo dan etek. Bukankah begitu biyai?’ ajuk Malin Basa pula panjang lebar.

‘Kenapa tidak kalian bagi saja pula menurut syarak kalau memang itu yang terpikir oleh kalian tentang harta pusako tinggi itu?’ ulas tuo Tipah agak emosi.

‘Bukankah sudah saya katakan pula biyai. Itupun tidak mungkin. Karena kepemilikannya tidak jelas. Sawah di Bancah itu ibaratnya biyai hanyalah sebagai penjaganya tapi bukan pemiliknya. Tentu tidak mungkin biyai wariskan kepada kami, tidak boleh kami warisi, tidak boleh pula kami wariskan nantinya.’

‘Payah saya berbicara dengan kalian,’ ucap tuo Tipah merajuk. ‘Kalau mati saya besok, apakah bukan engkau yang akan jadi pemiliknya Enab?’ tanyanya pula.

‘Itu sebenarnya contoh yang rancak biyai. Ketika biyai sudah tidak ada besok si Enab akan jadi penjaganya pula. Mana-mana anak kemenakan yang datang ke rumah gadang ini akan disuguhinya dengan hasil sawah di Bancah itu insya Allah. Tapi dia tidak akan mewariskan lagi tugas penjagaan sesudah itu. Seandainya biyai sudah tidak ada, seandainya kami berdua sudah tidak ada pula, si Saiful bukanlah yang akan jadi pewaris penjagaan hasil sawah itu. Begitu ketentuan adat, bahwa tugas penjagaan itu turun melalui garis ibu-ibu biarlah begitu seterusnya. Mungkin sampai hasil sawah itu semakin tidak ada lagi artinya karena saking kecilnya pembagian sesudah kita berkembang biak juga. Mungkin pada ujung akhir, nilai sawah pusako tinggi itu akan hilang sendirinya. Sebab dia tidak ditambah orang lagi. Tidak ada lagi orang meneruko sekarang ini.’

‘Sudahlah, penat saya,’ kata tuo Tipah. ‘Bagaimana kata kalianlah. Enab, usahlah kau jual pula subang atau kalung kau itu. Ada uang suku emas saya simpan sejak engkau masih gadis. Dulu maksudnya untuk penambah pembeli sambal ketika engkau berhelat. Ketika itu tidak jadi dijual. Juallah sekarang, pembeli tiket si Buyuang pergi merantau. Bagi saya, jadi orang juga hendaknya si Buyuang itu. Dia itu pintar,’ kata tuo Tipah berkaca-kaca.


*****

No comments: