Friday, January 4, 2008

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.5)

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.5)

9. JUMAT - 17 AGUSTUS 2007

Sesuai rencana kegiatan wisata kami, pagi hari Jumat ini adalah acara bebas. Sebenarnya lebih tepat dikatakan acara mengunjungi Grand Bazaar sendiri-sendiri tanpa dikawal oleh Lale. Sore kemarin kami sudah diberitahu dimana letak Grand Bazaar yang jaraknya dari hotel kami sangat dekat. Salah satu gerbangnya terletak di belakang mesjid Beyazid.

Grand Bazaar, sesuai dengan namanya adalah komplek pasar besar. Pasar ini sudah berumur ratusan tahun. Disini di jual berbagai macam produk tekstil, permadani, becah belah, mainan-mainan untuk asesori, mainan anak-anak dan entah apa lagi. Grand Bazaar merupakan kumpulan toko-toko yang berjejer-jejer secara berketerusan, menempati area yang sangat luas. Dan semua dilindungi dengan atap. Banyak jalan atau gang yang saling berpotongan di antara kumpulan toko-toko tersebut. Kalau kurang hati-hati seseorang bisa kehilangan arah dan berputar-putar di dalamnya.

Toko-toko itu tidak ada yang bertingkat, meski semuanya tidak berada di ketinggian tanah yang sama. Sebagian ada yang berada di tempat kerendahan, sehingga perlu tangga untuk turun naik. Barang-barang yang dijual disini tidak ada yang benar-benar istimewa. Tapi bagi rombongan ibu-ibu hal itu jelas tidak jadi masalah. Mereka selalu sangat bersemangat kalau sudah urusan berbelanja. Aku ikut menemani istri pada hari Jumat pagi itu. Tapi setelah berjalan di antara dua tiga toko aku segera saja menyerah dan minta izin untuk duluan pulang ke hotel. Aku tinggalkan istriku dengan temannya, ibu-ibu yang lain.

Menjelang siang istriku kembali dengan beberapa barang belanjaan.

Sebelum jam dua belas siang kami sudah dijemput oleh Lale dengan bus. Mula-mula kami pergi makan siang. Terus menuju ke Mesjid Biru untuk shalat Jumat sesuai dengan permintaan kami kemarin. Terjadi sedikit salah pengertian yang agak menggelikan dengan Lale. Ketika kami sampai di depan mesjid, waktu baru menunjukkan jam satu siang. Waktu zuhur atau waktu shalat Jumat adalah jam 13.30. Dari jauh sudah terdengar suara orang sedang berbicara melalui mikropon dari dalam mesjid. Suara penceramah yang sedang menyampaikan sebangsa taklim atau pengajian yang dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Lale dengan sangat percaya diri mengatakan, dia akan menunggu kami shalat tapi waktunya tidak boleh lebih dari dua puluh menit. Aku menjelaskan kepadanya, bahwa hal itu tidak mungkin. Masuk waktu masih setengah jam lagi dan perlu sekurang-kurangnya setengah jam sampai khotbah dan shalat Jumat selesai.

Lale membantah dengan nada sok tahu sambil mengatakan bahwa kalau kami mau mendengarkan penceramah itu, maka dia tidak akan berhenti berbicara sampai berjam-jam. ‘Kalian tidak akan mengerti apa yang dikatakannya karena semua disampaikannya dalam bahasa Turki. Buat apa kalian buang-buang waktu yang akibatnya program untuk kalian akan terganggu,’ katanya.

Aku menjelaskan dengan hati-hati bahwa kami (lima orang laki-laki) tidak bisa melakukan shalat Jumat saat itu karena belum masuk waktunya. Dan kami wajib mendengarkan khotbah Jumat karena itu bagian dari ibadah shalat Jumat. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar mengerti. Tapi yang jelas dia harus menunggu sampai kami selesai shalat Jumat.

Sungguh mengagumkan bagiku melihat bahwa mesjid yang sangat besar ini dipenuhi oleh jamaah. Padahal sebelumnya aku mendengar bahwa Mesjid Biru termasuk yang sudah dijadikan musium dan orang Turki sudah tidak banyak yang mau melakukan shalat karena lebih mementingkan pekerjaan mereka ketimbang beribadah. Semua itu sepertinya terbantahkan.

Waktu masuk ke dalam mesjid, terlihat seorang penceramah sedang menyampaikan pengajiannya dari sebuah tempat khusus di ketinggian sekitar tiga meter bersandar pada salah satu tiang. Jadi bukan dari podium di bagian depan mesjid seperti umumnya di mesjid-mesjid di negeri kita. Ceramah yang diberikannya dalam bahasa Turki yang disana sini dilengkapinya dengan ayat-ayat al Quran dan hadits Rasulullah. Penceramah yang menggunakan kopiah putih dan mantel merah terlihat sangat fasih pembicaraannya. Tidak ada bedanya dengan ustad-ustad atau kiyai-kiyai kita. Beberapa menit sebelum masuk waktu dia turun dari tempat khusus itu lalu berpindah ke mimbar. Jarak kedua tempat itu sekitar lima meter. Mimbar ini lumayan tinggi, mungkin ada sekitar 3 sampai 4 meter tingginya. Begitu dia sampai dibagian atas mimbar, di dekat mikropon yang sudah disediakan, dia langsung duduk. Aku yakin sekali bahwa dia tidak mengucapkan salam terlebih dahulu, lalu muazin langsung azan. Muazin ini azan dari tempat yang ditinggikan di bagian tengah mesjid, yang agak mirip dengan pelataran serupa di mesjid Nabawi di Madinah. Setelah azan selesai sang khatib langsung berkhutbah. Khutbah yang tidak panjang, kurang dari dua puluh menit. Lalu kami shalat. Bacaan imamnya sangat baik dan suaranyapun bagus. Khusyuk sekali rasanya. Sesudah shalat (aku langsung menjamak shalat asar) aku berdiri sebentar menyaksikan masih banyak jamaah yang masih larut dalam zikir. Perasaanku mengatakan, orang Turki yang seperti ini masih lebih baik ibadahnya dari kebanyakan jamaah shalat Jumat yang pernah aku lihat di mesjid di Jakarta. Entahlah kalau ini ada kaitannya dengan pamor partai pro Islam yang kabarnya sedang membaik di negeri sekuler ini.

Sudah lebih jam dua siang ketika kami berkumpul kembali di jalan di depan mesjid, dekat hipodrom. Ada dua buah pilar cukup tinggi di taman dekat jalan itu. Salah satu pilar bertuliskan huruf-huruf Mesir kuno. Kami berhenti sebentar disana dan Lale menceritakan bahwa tempat itu dahulu adalah sebuah arena (hipodrom) dari zaman kerajaan Bizantium. Hipodrom atau arena tempat dilakukan pertandingan ketangkasan antara manusia dengan manusia atau bahkan manusia dengan hewan (singa). Pada jamannya, hipodrom ini sangat megah, dilengkapi dengan balkon berbentuk huruf U, terdiri dari 40 baris yang dapat memuat 30,000 penonton, tempat menonton pertandingan atau pertunjukan di tengah arena. Pilar yang bertulisan Mesir kuno itu (yang umurnya sudah lebih dari 4000 tahun) benar-benar didatangkan dari Mesir pada abad-abad pertama Masehi. Sungguh mengagumkan kemampuan manusia memindahkan benda raksasa yang beratnya berton-ton itu dari tempat yang jauh (Mesir) tanpa merusakkannya. Aku bahkan sangat sulit membayangkan dengan cara bagaimana mereka menegakkan pilar besar itu di tempat itu ketika itu. Rekan seperjalanan berkomentar, begitu perkasa-perkasanya manusia di jaman silam. Ya, akupun setuju. Dan begitu hebatnya kekuasaan manusia atas manusia, yang dikerahkan untuk mengerjakan pekerjaan raksasa, menggotong, memikul, menarik benda-benda besar dengan tulang mereka yang delapan kerat. Tentu saja dengan bantuan dari hewan, entah gajah, sapi atau kuda. Sayang hipodrom itu tertimbun oleh puing dan tanah saat pembangunan Mesjid Sultan Ahmad. Menurut Lale pula, karena memang ketika Mesjid Biru dibangun hipodrom itu sudah merupakan puing karena tidak digunakan lagi.

Kami tinggalkan tempat itu dan sekarang kami menuju ke Istambul bagian Asia, melalui sebuah jembatan besar dan panjang, yang menurut Lale jembatan itu setara dengan The Golden Gate di San Fransisco. Kami akan mengunjungi istana musim panas Sultan di sana.

*****

10. JEMBATAN SELAT BOSPORUS

Kami dibawa melalui jembatan besar dan panjang melintasi selat Bosporus, selat yang memisahkan bahagian Eropah dan Asia dari kota Istambul. Sebuah jembatan moderen yang kukuh, ditopang oleh dua menara setinggi 165m, melengkapi keelokan kota yang antik ini. Jarak kedua menara penopang itu 1075m. Panjang jembatan ini 1560m dan terletak setinggi 64 di atas permukaan laut. Pembangunan jembatan ini diselesaikan pada bulan Oktober tahun 1973. Begitu informasi yang aku dapat.

Jembatan ini memang megah. Dan pemandangan ke kedua tepi jembatan juga memukau. Ke bagian Eropah, ke daerah perbukitan dengan ‘seribu minaret’ dan ke bagian Asia yang kehijauan. Bus kami melalui jembatan panjang ini dengan mantap tanpa sedikitpun terasa goyangan. Tambahan cerita dari Lale, bahwa jembatan ini dilalui sekitar 200,000 kendaraan seharinya.

Di ujung sebelah Asia kami segera keluar dari jalan besar dan berbelok ke jalan yang lebih kecil. Tidak berapa jauh sesudah keluar dari jembatan selat Bosporus kami sampai ke sebuah bangunan besar bertingkat dua. Bus di parkir agak jauh di luar pekarangan bangunan ini dan kami memasukinya melalui gerbang yang ada penjaganya. Kami harus melalui kamar pemeriksaan untuk keamanan. Bangunan besar ini adalah istana musim panas yang dibangun antara tahun 1861 – 1865 dibawah pemerintahan Sultan Abdul Aziz. Namanya istana Beylerbeyi. Sultan terakhir yang menggunakan istana ini adalah Sultan Abdul Hamid II yang dimakzulkan. Bahkan sesudah dia tidak lagi berkuasa dia tinggal disini sampai akhir hayatnya. Sekarang istana ini terbuka untuk dikunjungi umum.

Istana ini berbeda dengan istana Topkapi, yang sangat islami, yang dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat al Quran dimana-mana, sedangkan suasana disini lebih keeropah-eropahan. Kelihatannya pembangunan istana ini memang lebih banyak dipengaruhi arsitektur Eropah. Tidak heran pula bahwa ada beberapa raja atau permaisuri negara di Eropah yang diundang berkunjung kesini diantaranya Raja Edward VIII dari Inggeris dan Ratu Eugenie, permaisuri Napoleon III dari Perancis.

Menurut pemandu wisata, istana ini mempunyai enam buah ruangan besar (hall) dan 24 buah kamar. Kami mengitari bangunan ini mulai dari lantai bawah, naik ke lantai atas, melihat ruangan demi ruangan yang terlihat anggun. Hanya saja, mungkin karena sudah tidak digunakan sehari-sehari, ada bagian-bagian tertentu yang terlihat redup, tidak berseri. Lantai bagian atas istana ini terbuat dari papan yang disusun keping demi keping dengan sangat sempurna. Ada bagian lantai yang ditutupi dengan tikar anyaman sebangsa pandan yang didatangkan dari Mesir. Sebagian yang lain dari lantai itu ditutupi dengan permadani yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran ruangan. Jadi ada permadani yang luasnya lebih dari 50 meter persegi. Permadani yang dibuat khusus oleh ahli tenun permadani langganan Sultan. Di lantai atas terdapat pilar-pilar bulat yang terlihat seolah-olah terbuat dari batu pualam. Pemandu wisata kami menjelaskan bahwa pilar-pilar itu terbuat dari kayu karena lantai papan tidak kuat untuk menahan batu pualam seberat dan sebesar itu.

Kami lihat kamar tidur Sultan di antara kamar-kamar ‘harem’, yang tidak terlalu besar di lantai atas. Kami lihat kamar mandi Sultan (tempat mandi Turki). Dan ruang shalat Sultan dengan sajadah dibiarkan terbentang disitu.

Dalam waktu kurang dari satu jam kami sudah selesai melihat-lihat istana Beylerbeyi. Sebelum meninggalkannya, Lale menjelaskan bahwa istana ini masih sering digunakan untuk menerima tamu-tamu negara. Tamu penting yang paling akhir berkunjung kesini adalah Tonny Blair ketika dia masih menjabat sebagai perdana menteri Inggeris.

Sekitar jam setengah lima sore kami tinggalkan tempat itu. Kami kembali melalui jembatan selat Bosporus. Kali ini tujuan kami adalah ke sebuah bukit tempat melihat pemandangan ke arah laut. Tempat ini rupanya tempat yang biasa didatangi masyarakat Istambul maupun wisatawan. Tidak disebutkan nama tempat itu. Mungkin namanya hanya bukit wisata saja. Ada taman di bawah pohon-pohon dengan bangku-bangku tempat duduk-duduk. Ada kafetaria juga disitu. Menurut Lale tempat ini, termasuk kafetarianya dikelola oleh pemerintah. Orang-orang yang bekerja disini adalah pegawai pemerintah. Jadi jangan kaget, katanya, seandainya pelayanan mereka agak sedikit berbeda. Maksudnya mungkin keramahan para pelayannya agak kurang. Namun kebalikannya, harga makanan kecil atau minuman disini lebih murah. Aku segera membuktikan kebenarannya. Secangkir kopi di kafetaria harganya hanya satu setengah YTL dibandingkan 5 YTL di restoran Cina (ketika kami makan di restoran, kopi harus dibayar sendiri). Dan layanan petugasnya tidaklah terlalu mengecewakan.

Rombongan kami lebih senang bersantai-santai di kafetaria daripada melihat pemandangan ke arah laut. Sambil minum teh dan makan kue-kue. Berbincang-bincang tentang tempat yang sudah kami kunjungi di Istambul. Ketika aku menanyakan berapa jumlah wisatawan yang datang ke Turki pertahunnya, Lale menyebut angka kurang dari sepuluh juta orang. Agak aneh menurutku mengingat begitu banyaknya objek wisata di negeri ini (di luar Istambul), sementara Turki sangat dekat ke Eropah. Lale mengakui bahwa jumlah turis yang datang memang relatif sedikit. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak terlalu bersungguh-sungguh mempromosikan pariwisata. Aku percaya dengan keterangan Lale, ketika menyadari tidak banyak hotel-hotel besar terlihat di Istambul.

Menjelang senja kami tinggalkan pula bukit wisata itu. Berjalan kaki ke tempat parkir bus yang jaraknya sekitar dua ratus meter. Sebenarnya pemandangan ke arah laut di bawah sana memang cukup indah. Aku beberapa kali berhenti sejenak untuk mematut ke arah laut Marmara di ujung selat. Laut yang berbinar-binar diterpa sinar matahari sore. Dengan kapal-kapal yang berseliweran.

Sekarang kami menuju ke daerah lapangan Taksim. Kami akan makan malam di sebuah restoran Cina yang lain lagi disana. Hari sudah hampir jam delapan sore tapi matahari masih kelihatan. Restoran itu terletak di jalan yang agak kecil. Bus kami berhenti di satu sisi lapangan Taksim dan kami berjalan kaki menuju ke restoran. Restoran yang hidangannya tidaklah istimewa. Tapi jadi istimewa karena disini kami dapat makan nasi.

Ini adalah malam terakhir kami di Istambul. Besok sore kami akan kembali pulang melalui Dubai. Tapi besok masih ada satu objek lagi yang akan kami lihat. Istana Dolmabahce.


*****

No comments: