Sunday, January 6, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (1)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (1)

1. KAWAN LAMA

Marwan. Nama itu akhirnya muncul dari balik otak kecilku. Sudah berbulan-bulan aku mencoba mengingatnya. Nama pria di toko buku di komplek pertokoan Pasar Senen. Secara tidak sengaja aku bersirobok pandang dengannya kira-kira tiga bulan yang lalu. Alam bawah sadarku mengatakan bahwa aku kenal dengan orang ini. Dia duduk di belakang meja kasir ketika itu. Ketika aku membayar harga beberapa buah buku yang aku beli, dia mengembalikan uang kembalian tanpa berbicara banyak selain ucapan pendek terima kasih. Karena di belakangku ada antrian pembeli yang juga akan membayar belanjaan mereka. Aku memutar otak mengingat-ingat sepanjang perjalanan pulang. Ah, aku yakin aku kenal orang itu. Tapi siapa?

Sampai malam hari aku mencoba mencari di antara ratusan bahkan ribuan memori dalam otakku. Tetap tak ketemu.

Hampir dua bulan kemudian aku mampir lagi ke toko itu. Dia masih disitu, duduk di bangku kasir. Aku sudah membulatkan tekad ingin bertanya kepadanya di saat membayar nanti. Tapi tidak jadi. Karena pembeli yang membayar di depanku, yang rupanya kenalannya, berbicara dalam bahasa Jawa kepadanya. Dan dia berbicara dalam bahasa Jawa yang cukup medok melayani pembeli di depanku itu. Ah, aku tidak kenal orang Jawa yang bertampang seperti dia. Jadi aku tidak jadi bertanya dan berusaha melupakannya. Berarti dia mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal. Meski siapa orang yang mirip dia itu tetap tidak muncul di otakku. Aku berusaha melupakannya.

Sebulan kemudian aku kembali lagi berbelanja buku di toko itu. Kali ini berdua dengan istriku. Kami memilih buku-buku agama sesuai selera dan kebutuhan kami di toko yang luas itu. Agak sepi ketika kami mendekat ke meja kasir untuk membayar buku-buku belanjaan kami. Dari jauh dia tersenyum memandangku. Aku yakin dia mulai mengenalku sesudah aku beberapa kali mampir berbelanja di toko ini. Ketika kami telah berhadap-hadapan dia menyapaku ramah dan aku benar-benar kaget.

‘Ternyata kau tetap kutu buku Safri,’ ujarnya.

Aku melotot memandangnya. Dia mengenalku. Berarti orang ini memang seseorang yang aku kenal. Tapi belum juga keluar namanya dari dalam otakku. Siapa gerangan dia?

‘Pelupa benar kamu. Tidak ingat lagi kamu denganku. Bagaimana kabar si Rosmiar?’ tanyanya tersenyum.

‘Kau....kau.... si Marwan?’ spontan nama itu keluar akhirnya, begitu dia menyebut si Rosmiar.

Kami bersalaman.

‘Jadi kau si Marwan ? Masya Allah.... Pecah kepalaku mengingat-ingat namamu sejak berbulan yang lalu. Sejak pertama kali melihatmu disini, aku yakin bahwa aku mengenalmu. Tapi siapa dan entah dimana kita pernah bertemu lupa aku. Hilang sama sekali dari ingatanku,’ aku lega setelah kepenasarananku baru saja lepas sumbatnya.

‘Mungkin karena janggutku ini. Tentu ini orang rumahmu ya ? Kami ini dulu sekelas, ibu. Di SMP di Bukit Tinggi, tahun 66, 42 tahun yang lalu,’ Marwan menyalami dan menyapa istriku.

‘Jadi kau mengenalku sejak aku pertama kali masuk ke toko ini ?’ tanyaku penasaran.

‘Ya, sejak pertama kali kau datang berbelanja dan membayar harga bukumu disini. Seingatku itu sekitar tiga bulan yang lalu,’ jawabnya.

‘Kenapa kau diam saja ketika itu ?’

‘He..he..he.., akupun mula-mula ragu-ragu. Tapi ketika kau datang lagi dan aku melihat goretan luka kecil di pelipismu ini, aku sudah yakin kau si Safri. Ketika itu aku ingin menyapamu, tapi kelihatannya kau terburu-buru.’

Goretan luka kecil di pelipisku yang dia maksud memang sangat istimewa. Karena itu terjadi ketika kami berkelahi suatu hari ketika itu. Tinjunya yang memakai cincin besi mampir di pelipisku dan meninggalkan luka. Aku mengamuk sesudah itu dan menyerangnya membabi buta dan dia akhirnya mengaku kalah.

‘Sudah lama kau disini? Ini tokomu?’ tanyaku.

‘Ya, ini tokoku. Sudah dua puluh tahun lebih,’ jawabnya.

‘Alhamdulillah. Cukup maju kelihatannya.’

‘Ya, seperti yang kau lihat. Begini adanya,’ jawabnya.

‘Dimana kau tinggal? Sudah berapa orang anak?’ tanyaku dengan pertanyaan klise.

‘Aku tinggal di Pondok Kopi. Anak bertiga, masih kecil-kecil. Ada yang masih di kelas satu SD. Kau sendiri? Orang mana ibu ini? Berapa orang pula anak?’ dia balas bertanya.

‘Kami tinggal di Pondok Kelapa. Tidak terlalu jauh rupanya tempat tinggal kita. Dia ini orang Solok. Anak kami berempat. Yang sulung sudah tamat dari kedokteran UI dan yang paling kecil kelas tiga SMA,’ jawabku.

‘Berapa tahun sejak kita tamat di SMP? 42 tahun ya? Huh, cepatnya waktu berlalu. Sekarang kita sudah menjelang tua. Ya, bagaimana kabar si Rosmiar? Masih adakah kau berjumpa dengannya?’ ujarnya.

‘Si Rosmiar pomlemu dulu itu? Tidak pernah aku dengar beritanya. Entah dimana dia sekarang. Kok bukannya kamu yang lebih tahu dimana keberadaannya ?’

‘He..he..he.. Dia bukan pomleku. Aku memang tertarik dengannya ketika itu. Ah, kemana melanturnya cerita kita ini. Maaf, ibu,’ Marwan menoleh kepada istriku.

‘Panggil saja saya Desi,’ jawab istriku. ‘Teruskanlah bernostalgia. Sesudah sekian lama berpisah tentu memang banyak cerita lama yang terlupakan dan sekarang muncul kembali,’ istriku menjawab bijak.

‘Kami dulu sekelas. Sama-sama main voli, sama-sama ikut pramuka, pergi jambore ke Sawah Lunto. Pernah berkelahi, bertinju. Huh, gara-gara anak gadis teman sekolah kala itu. Dan setamat SMP kami sama-sama kehilangan kontak,’ Marwan meneruskan cerita.

‘Ya, kami pernah berkelahi. Tapi bukan memperebutkan anak gadis untuk jadi pomle. Si Marwan salah sangka ketika itu, merasa aku mempengaruhi si Rosmiar agar menolak cintanya. Padahal aku tidak ada urusan tentang itu. Rosmiar adalah adik kelas kami teman sekampungku,’ aku meneruskan sedikit ceritanya, untuk sedikit lebih memperjelas cerita nostalgia itu bagi istriku.

‘Bagaimana kalau aku ajak kalian berdua makan siang, biar kita bisa berbincang-bincang lebih lama? Kita makan nasi Kapau di lantai bawah,’ ajak Marwan mengalih pembicaraan.

‘Wah, kami memang berniat akan singgah di kedai nasi Kapau itu pula. Tapi sesudah shalat zuhur. Aku tidak akan menolak tawaranmu,’ jawabku.

‘Cocok sekali kalau begitu. Sepuluh menit lagi masuk waktu zuhur. Kita shalat di mesjid di atas. Sesudah shalat kita pergi makan. Baik, kita sambung cerita sambil menunggu waktu. Dimana kau bekerja?’ tanyanya.

‘Aku sudah pensiun. Baru saja pensiun dari sebuah perusahaan perminyakan asing. Sekarang menikmati masa-masa santai. Sampai bosan, nanti kalau perlu dicari lagi kerja,’ jawabku.

‘Hebat, kau. Dimana terakhir kau bersekolah dulu ?’ tanyanya.

‘Di ITB. Dan sejak lulus dari sana aku bekerja di beberapa perusahaan. Di perusahaan terakhir sejak lima belas tahun terakhir,’ jawabku.

‘Aku ingat kau dulu selalu juara kelas dan kesayangan guru-guru,’ tambahnya.

‘Dan kau? Dari SMP kita dulu itu kemana kau melanjutkan sekolah ?’ tanyaku.

‘Ke SMA di Surabaya. Ikut dengan pak etekku. Aku di Surabaya sampai pertengahan tahun tujuh puluhan. Sempat pula aku mencoba jadi orang kantoran beberapa tahun. Tapi akhirnya ternyata urusan dagang yang lebih cocok untukku,’ jawabnya.

‘Sering kau pulang ke kampung kita?’ tanyaku pula.

‘Ada jugalah. Bila-bila perlu. Kau sendiri bagaimana ? Tentu lebih sering agaknya ya, karena si Desi kan orang awak juga,’ dia bertanya dan menebak.

‘Aku juga pulang kampung bila-bila perlu. Kadang-kadang sekali setahun, kadang-kadang sekali dua tahun. Oh, ya. Kau sendiri, orang mana orang rumah ?’ tanyaku.

‘Sekarang orang Sunda,’ jawabnya.

‘Hei, apa katamu? Sekarang? Berarti dulu ada bukan yang sekarang ?’ tanyaku menyelidik.

‘Ada. Panjanglah ceritanya. Yang pasti bukan si Rosmiar...he..he..he,’ jawabnya terkekeh.

‘Dan anak-anak yang kau katakan tadi? Dari istri yang dulu berapa orang?’ tanyaku pula.

‘Banyak betul selidikmu. Baiklah, yang pertama itu tidak beranak. Kami bercerai. Aku lama menduda sesudah itu, ada sekitar lima tahun. Baru menikah lagi dengan yang sekarang. Dengan yang ini dapat tiga orang anak,’ jawabnya.

Anak buah Marwan sudah mulai menutup toko buku itu. Rupanya hari Minggu begini mereka hanya buka setengah hari. Kami segera menuju ke mesjid di lantai atas untuk shalat.

Ternyata cukup ramai jamaah mesjid di komplek pasar ini. Berbaur antara para pedagang dan pengunjung yang datang berbelanja. Sesudah shalat sunat qabliyah, dan iqamat dikumandangkan, Marwan maju menjadi imam shalat. Rupanya dia memang orang yang disegani disini dan dia pula yang dijadikan imam shalat rawatib, seperti yang diceritakannya kepadaku kemudian.

Seselesai shalat dan shalat sunat, kami masih menunggu dulu sebentar karena ada beberapa orang yang datang berunding dengan Marwan. Kedengaran mereka membahas rencana mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam. Barulah sesudah itu kami pergi makan siang di kedai nasi Kapau.

Sambil makan kami sambung lagi obrolan. Marwan yang asyik betul bercerita.

‘Kami ini dulu berteman sangat baik, Desi. Safri ini orang pintar, aku senang berteman dengannya. Kami pemain voli, pemain sepak bola. Aku pandai bergitar dan Safri pandai menyanyi. Ada acara di kelas kami waktu itu yang kami sebut main presiden-presidenan. Main oper-operan angka. Setiap kami mempunyai nomor urut dalam angka-angka. Permainan itu dipimpin ketua kelas yang disebut presiden. Dia yang mengawali memanggilkan angka. Misalnya presiden tujuh. Si nomor tujuh harus mengoper ke angka yang ada kelipatan tujuh, misalnya dia oper , tujuh empat belas. Si empat belas boleh mengoper ke angka berapa 14 itu bisa dibagi atau dikalikan. Siapa yang lupa dengan angkanya, atau tidak bisa melanjutkan angkanya kena hukum, harus menyanyi ke depan kelas. Si Safri jarang kena hukum. Tapi kalau dia lagi ingin menyanyi, ketika dipanggil nomornya sengaja disalah-salahkannya. Misalnya dia angka lima, lalu disebutnya lima tujuh belas. Berarti dia keliru karena angka tujuh belas tidak ada hubungan dengan angka lima. Diapun dihukum dan maju ke depan. Lagunya Anak Salido atau Lintuah. Aku yang mengiringi dengan gitar. Suaranya merdu mendayu. Kalau si Safri menyanyi, anak dari kelas lain yang tidak ada gurunya pasti datang mengintip. Terutama anak-anak perempuan,’ Marwan bercerita panjang.

‘Ah, masih ingat saja kau cerita jaman dulu itu. Mana pula ada anak-anak perempuan datang menonton. Nanti cemburu pula istriku,’ jawabku bercanda.

‘Tapi kenapa sampai pernah berkelahi, kalau begitu?’ tanya istriku.

‘Begini ceritanya. Aku jatuh hati kepada si Rosmiar yang dari tadi kami sebut-sebut namanya, maklumlah, kan lagi masa pancaroba ketika itu. Tapi si Rosmiar rupanya tidak suka denganku, meskipun dia itu jinak-jinak merpati. Sebenarnya, kalaupun kami berpomle-pomlean ketika itu, belumlah ada diantara kami yang berani berbuat apa-apa. Paling-paling disamping bersurat-suratan, sedikit berbincang di saat keluar bermain. Aku beberapa kali menulis surat untuknya, pernah dibalasnya sekali dan sesudah itu tidak pernah lagi. Kalau aku ingin mengajaknya berbincang-bincang ketika keluar bermain dia selalu menghindar. Aku akhirnya agak mengkal dan aku katakan bahwa dia sombong dan mati kerancakan. Diapun marah. Entah dari mana datang ceritanya aku dengar dia pernah mengatakan, ‘aku tidak mau dengan si Marwan, anak orang PKI itu,’ begitu katanya. Aku datangi dia, kali ini untuk marah-marah. Aku tanya, apa benar dia mengatakan seperti itu. Malah dia berbalik dan mengatakan, semua orang tahu kalau da Marwan anak orang PKI, aku tahu, da Safri tahu, semua orang tahu, katanya. Jadi si Safri yang mengatakan padamu bahwa aku anak orang PKI, aku desak dia. Ya, da Safri juga tahu, katanya. Aku datangi Safri dengan perasaan marah. Aku langsung bercarut kepadanya, memarahinya karena merasa cintaku ditolak si Rosmiar karena si Safri ikut merendahkan diriku dimatanya.

Safri membantah bahwa dia pernah mengatakan hal itu, tapi aku tidak percaya dan terus mendesak, bukankah begitu Safri?’ ujar Marwan bersemangat.

Aku yang sedang menikmati gulai tunjang mengangguk mengiyakan.

‘Aku masih marah-marah dan menantangnya berkelahi. Kalau kau benar-benar jantan, kita selesaikan urusan ini dengan bertinju, desakku. Safri masih menghindar dan mengatakan, dia tidak pernah mengatakan yang aku tuduhkan. Dia tidak ada urusan soal aku jatuh hati kepada si Rosmiar, karena si Rosmiar bukanlah pomlenya, katanya. Tapi karena aku desak-desak juga berkelahi, entah setan dari mana yang merasuki aku ketika itu, akhirnya dia naik pasang pula dan menerima tantanganku.

Safri adalah yang dituakan dari kampungnya, dan aku adalah yang dituakan pula dari kampungku. Sebelum kami berkelahi, para ketua setiap kampung (murid sekolah SMP berasal dari banyak kampung di sekitar sekolah itu, dan kami datang kesekolah berkafilah-kafilah) diberitahu untuk jadi saksi, agar perkelahian ini tidak berubah menjadi perkelahian massal antar kampung. Sehabis jam pelajaran, siang hari itu kami berkumpul di sawah yang agak jauh dari sekolah.

Dan kami berkelahi secara jantan. Bertinju dengan aturan main yang disepakati ketua-ketua kafilah, yaitu tidak boleh main keroyokan, tidak menggunakan alat alias dengan tangan terbuka. Aku sehari-hari memakai sebuah cincin besi putih. Sebenarnya kalau Safri menghendaki, dia boleh memprotes agar aku melepas cincin itu, tapi dia tidak melakukannya.

Dalam perkelahian itu, tinjuku mengenai pelipis Safri sehingga berdarah. Darah mengucur dari keningnya. Tapi karena berdarah itu kekuatan aslinya keluar. Aku diserangnya habis-habisan. Dan ketika itu timbul rasa bersalahku, karena sudah melukainya. Konsentrasi berkelahiku buyar. Dan aku akhirnya dikalahkannya,’ Marwan mengakhiri cerita panjangnya.

Semua yang diceritakannya benar dan aku tidak membantahnya sedikitpun.

‘Terus bagaimana?’ tanya istriku masih penasaran.

‘Ketika aku tidak memberikan perlawanan lagi, selain menahan serangan dan tinjunya, Safri berhenti menyerangku. Kami dipisahkan oleh ketua-ketua kafilah. Luka Safri diobatinya dengan daun ubi kayu yang dikunyahnya sendiri. Aku menyalaminya dan minta maaf kepadanya. Beberapa hari kami saling diam sesudah itu tapi kemudian berbaik kembali.’

‘Seru juga ceritanya. Anak laki-laki nggak dulu nggak sekarang rupanya memang hobi berantam. Dan si Rosmiar tidak tahu?’

‘Tentu saja dia tahu. Dan aku rasa dia sebenarnya juga kenai hati kepadamu, bukankah begitu Safri ?’ tanya Marwan.

‘Entahlah. Tapi memang banyak yang kenai hati kepadaku ketika itu he..he..he..,’ jawabku sekenanya.

‘Rupanya play boy juga beliau ini kala itu, ya da Marwan ?’ tanya istriku tersipu.

‘Dia memang bintang. Benar itu. Pintar, atletis, biduan,’ Marwan memuji-muji.

‘Jadi banyak pomle dong uda ketika itu,’ lanjut istriku.

‘Kalau yang dimaksud berpomle adalah berbincang-bincang, ngobrol-ngobrol, memang banyak pomle uda. Anak-anak perempuan itu selalu mati kerancakan kalau sudah dekat uda,’ jawabku GR.

‘Kalau yang benar-benar pomle?’ desak istriku. Entah kenapa bersemangat benar dia bertanya.

‘Kalau yang benar-benar pomle uda ganti-ganti saja, he..he..he... Pekan ini si Zuniar, pekan depan si Ernawati, si Astuti dan seterusnya,’ jawabku.

‘Dan yang dia sebut itu bintang-bintang semua,’ Marwan menambah bumbu.

‘Iyalah. Bintang untuk bintang ha..ha..ha,’ jawabku.

Panjang cerita kami siang itu. Cerita yang mengalir begitu saja. Marwan yang membayarkan makan siang kami karena dia merasa jadi tuan rumah.

‘Marwan, datanglah ke rumah kami kapan saja. Kenalkan pulalah istrimu kepada kami. Kita sambung cerita masa remaja kita disana,’ ajakku sebelum kami berpisah. Aku berikan nomor telepon dan alamat lengkap rumah kami kepadanya.

‘Insya Allah. Ingin juga aku berbagi cerita yang lain denganmu. Sebenarnya banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Sekedar untuk melepaskan isi hati. Akan aku cari nanti alamat rumah kalian ini. Dan akan aku telepon sebelum kami datang nanti,’ jawabnya.

Kami berpisah siang itu. Masih sempat Marwan mengingatkan. ‘Ceritakanlah apa saja tentang aku yang kau ketahui kepada Desi. Engkau tidak bergunjing untuk itu. Mudah-mudahan ada maknanya cerita itu baginya,’ ujarnya sebelum kami berpisah.


*****

No comments: