Thursday, November 27, 2008

SANG AMANAH (75)

(75)

Amran Harahap menawarkan untuk mengantarkan Edwin pulang karena dia akan melalui jalan raya Kali Malang untuk pulang ke Bekasi. Tawaran itu diterima Edwin dengan senang hati. Di dalam taksi mereka masih ngobrol membahas kecelakaan tadi. Amran bercerita tentang bermacam-macam pengalaman yang dijumpainya di jalan raya. Edwin mendengar semua itu di sela-sela rasa kantuk yang menderanya. Tidak terasa hari sudah lewat dari jam dua belas malam. Edwin turun di dekat lampu merah di persimpangan jalan DI Panjaitan dan jalan raya Kali Malang, setelah mengucapkan terima kasih kepada Amran. Dari sana dia berjalan kaki ke rumahnya.

Didapatinya ibunya belum tidur. Ibu sedang menjahit baju seragam sekolah adiknya Edwanto. Mengecilkan ukuran baju seragam lungsuran kakaknya Edwar yang masih kebesaran untuk Edwanto. Sebenarnya lebih tepat lagi bahwa ibu menunggu Edwin sampai larut tengah malam itu.

‘Kok terlambat betul kamu pulangnya, Win? Tidak ada angkot lagi?’ tanya ibu.

‘Iya, bu. Dan tadi saya menolong orang kecelakaan. Mengantarnya ke rumah sakit?’ jawab Edwin.

‘Kecelakaan dimana? Dan kamu antar ke rumah sakit mana?’ tanya ibu sambil menghentikan jahitannya.

‘Dekat pompa bensin. Mobilnya tabrakan dan terguling. Pengendaranya luka parah sedang satu orang lain di mobil itu, seorang wanita, meninggal. Saya dengan seorang sopir taksi mengantarkan yang luka parah itu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Habis itu saya diantar sopir taksi itu sampai di depan sini,’ jawab Edwin.

‘Ya Allah. Ada yang meninggal? Ada orang wanita yang meninggal di mobil itu?’ tanya ibu lagi.

Ibu tiba-tiba saja menggigil mendengar cerita itu. Mungkin ibu langsung teringat ayah yang meninggal pada sebuah kecelakaan lalu lintas beberapa bulan yang lalu.

‘Namanya juga musibah, bu. Jangan ibu pikirkan. Nanti ibu kumat lagi,’ Edwin membujuk ibu sambil memijit-mijit kaki ibu yang keletihan itu.

Ibu dan anak itu terdiam beberapa saat. Edwin masih memijit-mijit kaki ibunya. Ibu tampak lebih kurus sekarang. Mungkin di samping capek bekerja juga karena pengaruh pikiran. Ibu sangat terpukul semenjak ayah meninggal. Siapa yang tidak akan terpukul ditinggal mati suami. Lebih-lebih lagi karena selama ayah masih hidup dulu, biaya keperluan hidup mereka lebih separohnya dihasilkan ayah. Setelah ayah meninggal, beliau tidak meninggalkan pensiun. Hanya ada uang duka cita serta beberapa bulan gaji yang diberikan oleh perusahaan tempat ayah bekerja, dan uang itu sebentar saja sudah habis terpakai. Penghasilan ibu tidak bertambah. Gajinya masih tetap seperti dulu. Dan itu sangat pas-pasan untuk biaya makan mereka anak beranak. Kalau saja Edwin tidak dapat pekerjaan di pompa bensin itu, sudah pasti adik-adiknya tidak akan bisa lagi meneruskan sekolah.

‘Kamu kan belum makan, Win? Pergilah makan. Nanti kamu masuk angin,’ ibu mengingatkan Edwin, setelah mereka terdiam beberapa saat.

‘Iya, bu. Sebentar lagi saya makan. Ibu belum ngantuk? Sebaiknya ibu tidur. Sudah jam setengah satu lebih,’ Edwin mengingatkan ibunya.

‘Pergilah kamu makan. Baru ibu tidur,’ kata ibu pula. Ibu yang sangat sayang kepada anak-anaknya.

Edwin bangkit berdiri dan melangkah ke dapur mau mengambil makanan. Perutnya memang sudah sangat lapar. Tapi dia ingat bahwa tangannya tentu sangat kotor. Dia keluar pergi mencuci tangan dan mukanya. Baru dia sadar bahwa di bajunya ada bercak-bercak darah. Tentu darah orang yang ditolongnya tadi itu. Edwin sekalian saja mandi. Dan menukar pakaiannya. Setelah itu baru dia kembali mengambil makanan ke dapur.

Ibu masih menunggui Edwin makan di tengah malam itu. Dia ingat tadi ada teman anaknya itu datang menanyakan Edwin.

‘Tadi ada teman sekolahmu dulu, si Samsul datang ke sini,’ ibu memberi tahu.

‘Kok tumben dia datang. Ada apa bu?’ tanya Edwin.

‘Ibu juga heran. Dia bertanya bagaimana keadaan kamu sekarang. Sepertinya anak itu menyelidik-nyelidik dan agak aneh ibu lihat,’ jawab ibu.

‘Menyelidik-nyelidik bagaimana maksud ibu? Apa yang diselidikinya?’ tanya Edwin pula.

‘Mula-mula dia menanyakan kamu. Ibu bilang kalau kamu sekarang bekerja di pompa bensin saudaranya si Amir. Terus dia bertanya, kamu sekarang bergaul dengan siapa saja. Ibu heran. Ibu tanya, apa maksud dia? Terus dia bilang, apakah kamu sudah insap, sudah jadi orang baik-baik sekarang. Ibu bilang ke dia, Edwin itu dari dulu sebenarnya anak baik-baik. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Dia malahan nanya lagi, kalau mau ketemu kamu bagaimana caranya. Ibu bilang bahwa kamu biasanya pulang sudah hampir tengah malam. Dan berangkatnya agak siangan, begitu tiap hari. Terus ibu bilang kalau mau ketemu datang saja hari Minggu pagi,’ cerita ibu panjang sekali.

‘Biarin ajalah, bu. Mungkin dia itu ada keperluannya barangkali. Kalau dia perlu bertemu saya paling nanti dia kembali lagi,’ jawab Edwin.

‘Tapi, Win…….. Kamu sudah tidak pernah berurusan dengan anak-anak bergajul dulu itu lagi kan?’ tanya ibu hati-hati.

‘Nggak, bu. Nggak pernah. Dan nggak bakalan. Ibu percaya deh. Saya tidak akan mau lagi berurusan dengan mereka. Saya kapok. Gara-gara mereka saya keluar dari sekolah,’ jawab Edwin.

‘Ibu percaya, Win. Ibu percaya dengan kamu. Barangkali memang sudah takdirnya begitu. Kamu berhenti sekolah dan membantu ibu dengan bekerja mencari uang,’ ibu tiba-tiba sesengukan, menangis.

‘Sudahlah, bu. Nggak usah ibu pikirkan lagi hal-hal kayak gitu. Nanti ibu sakit lagi. Bu, sudah terlalu malam. Ibu tidurlah. Ibu pasti sudah terlalu capek. Kan besok ibu harus pergi bekerja lagi. Pergilah tidur, bu. Saya juga akan pergi tidur sebentar lagi,’ Edwin berusaha menghibur ibu.

‘Ya. Baiklah. Ibu akan tidur dulu. Jam berapa kamu mau berangkat ke tempat kerjamu besok?’ tanya ibu pula.

‘Seperti biasa saja bu. Jam sebelas. Saya akan menunggu sampai Wanto pulang sekolah. Sekarang ibu pergilah tidur.’

Dan ibu akhirnya pergi tidur. Dan Edwin tidak lama kemudian juga menyusul pergi tidur. Mereka sudah terlalu lelah hari ini.

Edwin hanya tertidur beberapa jam. Kira-kira jam setengah empat dia terbangun dan sesudah itu matanya tidak bisa terpejam lagi. Entah kenapa, cerita ibu tentang Samsul datang mencarinya tadi muncul dalam ingatannya. Ada keperluan apa anak itu datang ke sini? Pikirannya melayang lebih jauh. Ke saat dia masih sekolah tempohari. Kira-kira setahun yang lalu.


*****

Edwin duduk di kelas dua di SMU 369. Meskipun dia tidak pernah menjadi juara kelas, prestasinya di sekolah lumayan baik. Dan dia pandai bergaul. Temannya banyak. Tidak saja di sekolah tapi juga di luar sekolah. Anak gaul seperti dia kadang-kadang bisa jadi agak norak. Jadi sok berani. Jadi suka aneh-aneh. Sebenarnya dia itu bukan tipe anak bergajulan yang suka cabut dari sekolah dan suka nongkrong di warung-warung pinggir jalan. Tapi mungkin juga waktu itu karena pengaruh masa pancaroba sehingga Edwin kadang-kadang suka agak nekad dalam ke-norak-annya.

Kenekadan itu berawal waktu dia mencoba-coba merokok. Tentu saja sebagai anak gaul banyak teman yang menawarinya rokok. Mula-mula coba-coba. Sebenarnya sejak semula dia tidak bisa menikmati rokok. Pasti terbatuk-batuk. Tapi tentu tidak boleh ‘sampai memalukan kayak begitu’ dan dia harus tetap berpura-pura bahwa dia juga bisa merokok. Tidak pernah dia membelinya. Selalu saja ada teman yang men-suplai.

Lalu meningkat. Rokok yang dibumbui ganja kering. Juga dikasih teman. Karena dia tidak ‘menghisap’nya, hanya di ‘kepas-kepus’ saja, jadi tidak ada pengaruhnya apa-apa. Pada waktu teman-teman gaul ‘ngeganjanya’ pada ‘fly’ dia biasa-biasa saja. Sebagian teman-temannya penasaran. Kok anak ini tidak terpengaruh apa-apa oleh ganja. Waktu ada teman-teman yang semakin nekad-nekad itu mengajaknya main alat suntik dia nggak berani. Bukan apa-apa, Edwin memang paling tidak berani disuntik.

Sampai suatu hari dia ditawari minuman ‘Sprite’ oleh temannya. Edwin tidak menyangka kalau ‘Sprite’ itu ada isinya, pil ekstasi yang sudah dihancurkan dan dilarutkan di dalam minuman itu. Kali ini kontan ada hasilnya. Dia pun ikut-ikutan ‘sakau’. Dia tidak sadarkan diri seperti teman-teman lain yang hanyut di bawah pengaruh pil durjana itu. Ekstasi yang dikonsumsinya secara tidak sengaja itu tidaklah berpengaruh berat juga kepada Edwin, tapi dia memang merasakan sesuatu yang lain dikala sedang ‘sakau’ itu. Ketika teman-temannya memberi tahu bahwa dia sudah menggunakan ‘pil ajaib’ itu, dia cuek-cuek saja. Tidak ketagihan, tapi kalau ada lagi yang mengasih dia tidak keberatan.

Semua ini jadi omongan di sekolah. Tapi hanya di kalangan teman-teman ‘gaul’ terbatas. Tidak semua anak juga suka dengan cerita hebat-hebat seperti itu. Kejadian pada hari dia tertangkap basah sedang dalam keadaan ‘trans’ atau ‘sakau’ di sekolah, diawali dengan tantangan temannya Parlin yang menanyakan, apakah dia mau minum ‘Sprite’ seperti yang pernah diminumnya beberapa hari sebelumnya. Edwin yang nekad, yang sok jagoan, yang tidak sadar apa yang diperbuatnya disaat dia ‘sakau’, menerima tantangan itu. Dan kedua anak-anak itu minum ‘Sprite’ plus yang dibelikan Parlin. Dan tidak berapa lama kemudian kedua anak itu langsung ‘melayang-layang’. Edwin tertangkap basah. Ayahnya dipanggil ke sekolah bersama-sama orang tuanya Parlin. Dan mereka berdua diskors dari sekolah.

Ayahnya sempat marah-marah ketika itu. Tapi Edwin mengatakan bahwa dia itu dibohongi temannya, diberi minuman yang mengandung obat yang membuat dia mabok. Ayah yang baik itu percaya dengan keterangan Edwin. Dan dia tidak percaya bahwa anaknya itu nakal. Lagipula darimana anak itu dapat uang untuk membeli obat-obat terlarang yang pasti harganya mahal.

Mungkin nasibnya lagi sangat tidak beruntung. Meskipun sedang diskors tidak boleh masuk sekolah, Edwin masih berusaha hadir di sekolah tiap hari. Hanya dia tidak dibenarkan masuk kelas mengikuti pelajaran. Tahu bahwa Edwin selalu datang ke sekolah, Parlin juga ikut-ikutan datang. Hari mereka dikeluarkan dari sekolah, Parlin kembali mentraktirnya ‘Sprite’. Parlin sudah lebih dahulu meminumnya. Edwin hanya memegang botol ‘Sprite’ itu tapi tidak berniat meminumnya. Paling tidak dia tidak meminumnya waktu itu dan tidak ikut-ikutan ‘sakau’. Edwin malahan ingin sekali melihat bagaimana reaksi ‘Sprite’ plus itu bagi yang meminumnya. Dia ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan Parlin. Bagaimana sih orang yang sedang ‘sakau’ itu? Karena waktu mengalami sendiri dia merasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Waktu beberapa menit kemudian Parlin sudah mulai mabok, pak Mursyid kebetulan mampir di kantin dan mendapatkan Parlin yang sedang mabok dan berlaku seperti orang gila. Edwin sedang duduk dengan sebotol ‘Sprite’ di dekatnya. Parlin yang sedang mabok berat itu, beserta Edwin berikut kedua botol ‘Sprite’ yang satu sudah kosong dan yang lain masih penuh dibawa ke kantor guru. Untuk kasus Parlin sudah pasti hukumannya. Anak ini dalam keadaan mabok berat dan karenanya tidak ada ampun. Parlin dikeluarkan. Edwin agak berbeda. Dia tidak dalam keadaan mabok. Tapi ada sebotol ‘Sprite’ yang sudah berisi ‘bahan haram’ di tangannya. Meskipun tidak dalam keadaan mabok, tapi dia sudah dalam proses ke arah itu. Guru-guru berunding untuk menjatuhkan hukuman bagi Edwlin. Bagaimanapun, anak ini berada di sekolah dalam masa skorsing, tertangkap basah sedang memiliki ‘Sprite’ mengandung ekstasi, di samping temannya yang sudah lebih dahulu mengkonsumsi minuman yang sama. Jadi kalau Parlin dikeluarkan maka Edwin juga harus dikeluarkan.

Percuma saja Edwin memberikan alasan bahwa dia diberi Parlin minuman itu dan tidak berniat meminumnya. Bukankah seminggu yang lalu mereka berdua kedapatan dalam keadaan mabuk sesudah minum ‘Sprite’ yang mengakibatkan mereka diskors? Pernyataan Edwin bahwa dia hanya ingin melihat bagaimana prilaku orang yang sedang ‘sakau’ dianggap guru-guru sebagai alasan yang dibuat-buat dan tidak bisa dipercaya. Tidak satupun hal yang bisa meringankan tuduhan terhadap Edwin. Begitulah kejadiannya waktu. Dan dia dikeluarkan dari sekolah bersama-sama Parlin.

Ayahnya benar-benar marah dan bahkan sampai menempelengnya. Ayah yang selama ini begitu baik, menempelengnya. Percuma dia memberi alasan, karena ayahnya juga tidak percaya. Edwin frustrasi. Dalam frustrasi itu dia jatuh sakit. Penyakit gejala typhus sehingga dia sempat dirawat di rumah sakit Cipto. Setelah sembuh dia tidak punya kegiatan apa-apa. Ayahnya tidak mungkin memindahkannya ke sekolah lain karena pasti harus membayar ekstra uang pindah. Ayahnya hanya berniat untuk memindahkan sekolahnya nanti di awal tahun ajaran, kalau dia sudah punya uang untuk biaya pindah sekolah itu.

Edwin tetap bukan tipe remaja yang suka nongkrong. Dia masih bergaul dengan teman-temannya dulu, tapi sekarang dia sangat berhati-hati untuk tidak kena pengaruh jenis narkoba lagi. Meskipun tidak lagi bersekolah dia menunjukkan kepada kedua orang tuanya bahwa dia tidaklah anak yang bergajul. Sampai saat ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa bulan yang lalu dia berusaha menjadi anak yang baik di rumah. Tapi semenjak ayah meninggal, dan dia melihat penderitaan ibu memikul tanggung jawab untuk mengurus dirinya beserta ketiga orang adiknya, memacu Edwin untuk berusaha mendapatkan pekerjaan. Syukurlah, temannya Amir memperkenalkannya dengan mas Hendro sampai dia diterima bekerja di pompa bensin.


*****

No comments: