Saturday, January 23, 2010

RAPAT BERHELAT

RAPAT BERHELAT

Syafwal menerima usulan istrinya agar anak mereka diperhelatkan di kampung. Menerima dengan ikhlas. Meski istrinya membumbui bahwa permintaan itu adalah permintaan mertuanya. ‘Percuma saja rumah dibuat sebesar dan serancak ini tidak dimanfaatkan untuk berhelat,’ begitu kata mak Khadijah, mertuanya. Kakak iparnya, Nursal Sutan Mudo, juga ikut menyemangati. ‘Rancaklah berhelat di kampung. Kalaulah nanti akan ada lagi resepsi di Pakan Baru tidak jadi soal. Yang di kampung ini perlu benar rasanya dilaksanakan. Bukankah menantu awak orang kampung juga meski berbeda kecamatan?’ Begitu kata mamak rumahnya Sutan Mudo itu. Syafwal tidak keberatan sama sekali.

‘Cuma ada satu permintaan saya, uda,’ kata Syafwal.

‘Apa itu?’ taya Sutan Mudo.

‘Kalau berhelat di kampung, kita pakai benar cara di kampung. Cara beradat,’ katanya.

‘Tentulah iya,’ Sutan Mudo menyetujui. ‘Kita rancang betul sebaik-baiknya,’ tambahnya.

‘Kalau begitu besok malam rapat kita. Kita perbincangkan pelaksanaan helat itu,’ usul Syafwal.

Suai. Biarlah besok saya ajak si Pirin, Rajo Bungsu, mak Muncak, mak Malin ke rumah. Gindo ajak pulalah agak berdua bertiga dari tipak bako si Lena. Sesudah sembahyang isya kita mulai rapat,’ Sutan Mudo memberi persetujuan.

‘Baiklah kalau begitu uda,’ jawab Syafwal Bagindo Sati.

***

Sesuai rencana, semua yang diundang rapat telah hadir malam itu. Rapat dipimpin Sutan Mudo. Karena dia mamak rumah. Dia mamak kandung Lena, puteri Syafwal yang akan menikah.

‘Begini mah, mak,’ kata Sutan Mudo, seolah memberi laporan kepada mak Muncak dan mak Malin. ‘Dari fihak Gindo Sati kan sudah sesuai setentangan kerja besar yang akan kita seberangkan ini. Sudah setuju helat si Lena dilaksanakan di kampung. Namun ada sebuah permintaan dari fihak Gindo Sati, yakni supaya helat ini dikerjakan menurut adat. Ini kan permintaan yang sebenar permintaan. Permintaan yang sudah sangat jelas. Kalau kita berhelat di kampung tentu iya kita selesaikan dengan cara di kampung. Tapi supaya lebih jelas lagi, itulah sebabnya maka pada kesempatan ini kita perundingkan, bagaimana tertib pelaksanaannya.’

‘Kalau begitu sudah betul itu. Apa juga yang akan dirundingkan lagi?’ mak Muncak berkomentar.

‘Maksudnya begini, mak. Tolonglah mamak curaikan, rangkaian helat dengan cara beradat itu. Sesudah itu tentu ingin pula kita mendengar dari fihak Gindo, kalau-kalau ada tukuk tambahnya.’

‘Kalau yang secara adat di nagari kita ini, menikah di rumah jadi, atau di masjid pun bisa. Kita tentukan harinya. Kalau sekiranya di rumah, bisa dilaksanakan di sehari sampai atau di hari pelaksanaan ijab kabul. Kalaulah akan dilaksanakan di masjid boleh juga sore hari, atau biasa juga dilaksanakan orang sesudah sembahyang Jumat. Kalau nikah di rumah, yang biasa dilakukan orang, rombongan marapulai datang menjelang maghrib. Marapulai datang dengan mamak-mamaknya beserta anak-anak muda yang mengantarkannya. Langsung diselesaikan ijab kabul malam itu. Sesudah itu makan minum si pangkal dan si alek. Malam itu, malam sampai disebut orang, adalah malam helat marapulai dengan kawan-kawannya sesama anak muda, diiringkan pula oleh seorang berdua mamak-mamaknya.

Besoknya anak daro dijemput oleh rombongan ibu-ibu dari fihak marapulai. Istilahnya pun hari dijemput. Yang datang adalah rombongan perempuan lengkap dengan pasumandannya. Anak daro dan marapulai diarak ke rumah mertua. Di sebelah petang, rombongan itu diantar kembali ke rumah anak daro.

Lalu malam harinya, marapulai membawa mamak-mamaknya, khusus mamak-mamak saja, ke rumah istrinya untuk makan singgang ayam. Maka sudah selesailah helat itu. Begitu yang diadatkan di nagari kita ini,’ jawab mak Malin.

‘Bagaimana kira-kira Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Ambo menurut saja..... Tapi ada satu pertanyaan, mak. Di kota dikerjakan orang helat ini dengan acara malam bainai. Apakah itu tidak lazim, mak?’ tanya Syafwal.

‘Itu boleh-boleh saja. Walaupun tidak semua orang mengerjakan. Maksudnya adalah malam menasihati calon anak dara. Datang bako, datang mintuo (istri mamak) untuk memandikan calon anak dara dan melekatkan inai. Mereka membawa hadiah untuk anak ujung emas, calon anak dara. Malam bainai ini kalau mau dikerjakan boleh saja. Biasanya dilakukan semalam sebelum akad nikah. Dan itu adalah helatnya ibu-ibu.’

‘Lalu..... Bagaimana dengan helat untuk tamu orang kampung, nyiak?’ tanya si Pirin.

‘Ha... itu urusan kau lah itu,’ jawab mak Muncak.

‘Hari Minggu kita jamu tamu undangan, kan begitu Gindo?’ tanya Sutan Mudo memastikan.

‘Iyalah uda, saya menurut saja,’ jawab Syafwal.

‘Tapi ada pula kebiasaannya pak etek, helat hari minggu itu biasanya sampai malam,’ Pirin menambahkan.

‘Ya iyalah. Kalau masih ada tamu datang tentu kita layani. Ndak masalah kan, itu?’ jawab Syafwal.

‘Dan biasanya, pada malam hari itu yang datang anak-anak muda kampung. Mereka minta agak diistimewakan sedikit.’

‘Maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Kalau bisa disediakanlah minuman untuk mereka. Khusus untuk malam itu,’ usul Pirin.

‘Sebentar dulu.... Maksudnya bagaimana?’

‘Malam orang berhelat itu, sudah seperti tradisi pula di kampung sebagai malam hiburan untuk anak-anak muda. Mereka akan datang berombongan mendengarkan musik. Begitu biasanya.’

‘Musik? Musik apa? Dari tadi kita tidak ada membicarakan musik,’ Syafwal terheran-heran.

‘Begini, Gindo. Sekarang, dek jaman kemajuan, di kampung ini kalau orang berhelat selalu ada hiburan musik. Orgen tunggal, begitu disebut namanya. Dipanggil tukang orgen. Yang muda-muda nanti akan menyumbang lagu. Bernyanyi di pentas. Kebetulan si Pirin ini pemain orgen tunggal itu,’ Sutan Mudo membantu menjelaskan.

Syafwal tidak segera menjawab. Dia sudah memperkirakan akan ada pembahasan tentang orgen tunggal ini. Justru inilah sebenarnya yang ingin dicegahnya dengan usul untuk melaksanakan perhelatan secara beradat.

‘Jadi, bagaimana pendapat Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Saya tidak setuju, uda,’ jawab Syafwal singkat.

‘Maksudnya?’

‘Saya tidak setuju ada acara musik orgen tunggal,’ jawab Syafwal tegas.

‘Itu tidak mungkin pak etek,’ giliran Pirin mengeluarkan pendapat.

‘Kenapa tidak mungkin?’

‘Saya diundang orang kemana-mana berorgen tunggal. Sekarang giliran di rumah bako saya sendiri tidak ada musik. Apa kata orang?’

‘Tidak terlalu faham saya maksudnya.’

‘Pak etek. Bermain orgen ini pekerjaan saya. Dengan ini saya mencari rejeki. Kalau sampai helat si Lena tidak pakai orgen tunggal, kan sama saja namanya pak etek menggulingkan periuk nasi saya. Masak pak etek sampai hati?’

‘Tapi melaksanakan perhelatan tidak ada kewajiban membuat pertunjukan musik. Tidak ada hubungannya itu.’

‘Ada hubungannya Gindo.... Sekarang cara seperti itu yang diperbuat orang. Tidak ramai helat kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Ambo minta maaf, uda. Minta maaf kepada mak Muncak serta mak Malin. Kalau yang satu ini sungguh, ambo tidak mau ikut.’

‘Apa alasan Gindo?’

‘Banyak mudharatnya uda. Sekali lagi mohon maaf mamak-mamak.’

‘Mudharat? Apa mudharatnya?’

‘Sebelum saya jawab. Tadi si Pirin mengawali dengan permintaan agar untuk anak-anak muda di malam hari disediakan minuman. Minuman apa maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Ya.... Minumanlah pak etek. Tapi kalau pak etek tidak mau menyediakan tidak juga jadi masalah. Biarlah mereka urus sendiri urusan minuman itu.’

‘Jadi apa yang akan mereka lakukan pada acara itu? Kenapa perlu minuman? Maaf, maksudnya minuman ini, minuman keras?’

‘Ya... sekedar bir bintang begitulah pak etek. Kan maksudnya untuk sedikit bergembira. Malam muda mudi. Malam gembira. Biar mereka berjoged-joged sebagai bentuk kegembiraan di hari istimewa anak dara dan marapulai,’ Pirin merasa seperti dapat angin.

‘Jawaban saya pasti tidak. Saya tidak setuju dengan acara seperti itu,’ jawab Syafwal.

‘Begini, Gindo. Maksudnya, kita mengerjakan seperti yang dilazimkan orang sekarang. Kalau Gindo tidak setuju dengan menyediakan minuman untuk mereka, seperti kata si Pirin, biarlah mereka urus sendiri apa yang mereka perlukan. Kalau sekedar bermusik-musik itu apa pulalah salahnya.’

‘Sangat salah itu, uda. Ambo meminta pelaksanaan helat ini secara adat adalah untuk menghindarkan hal-hal yang seperti itu. Kalau kita biarkan, kalau ambo biarkan berarti ambo menyokong tradisi baru itu. Tradisi baru kata si Pirin. Tradisi yang jelas sangat banyak kelirunya. Ambo bukan tidak mendengar uda, di acara berorgen tunggal itu biasanya anak-anak muda itu banyak yang sampai mabuk. Yang perempuan berjoged dalam keadaan setengah waras, bergoyang dengan goyangan yang tidak pantas. Ini bukan budaya kita, uda. Yang berjoged dan yang mabuk-mabuk anak kemenakan kita. Ambo tidak setuju membiarkan anak-anak muda itu berbuat yang tidak pantas seperti itu.’

‘Kalau tidak ada orgen tunggal, tidak akan ada orang datang ke perhelatan, pak etek. Percayalah.’

‘Begini Pirin. Hutang kita adalah mengundang. Datang tidak datang terpulang kepada yang diundang.’

‘Dan helat ini bisa saja diganggu anak-anak muda kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Begini sajalah. Urusan orgen tunggal, mohon maaf sebesar-besarnya kepada mamak-mamak, kepada uda, biarlah jadi tanggung jawab saya mengatakan tidak. Kalau ada yang mengganggu saya serahkan urusannya kepada si Misran di kapolsek. ’

Misran adalah kemenakan sepersukuan Syafwal, komandan polisi di kapolsek.

‘Sudahlah. Benar juga yang dikatakan Bagindo Sati. Kita coba mengawali meninggalkan musik orgen tunggal itu. Aku sependapat dengan Gindo. Acara seperti itu merusak,’ mak Malin kembali ikut berbicara.

‘Rapat apa ini. Rapat tidak sendereh...’ kata Pirin merentak lalu bangkit dari duduk dan langsung pergi.

Mak Malin dan mak Muncak tersenyum saja melihat. Nursal Sutan Mudo tidak berani mempertegaki anaknya itu lagi. Dia terpaksa diam saja.


*****

No comments: