Monday, October 13, 2008

SANG AMANAH (16)

(16)

‘Sudah berapa hari sejak ibu dioperasi?’

‘Sudah cukup lama, sudah lebih dua bulan, pak..’ jawab mami.

‘Bagaimana keadaan ibu sekarang? Apakah ada kemajuan sejak sesudah dioperasi itu?’

‘Saya jadi sangat lemah, pak. Tidak kuat berdiri lama. Kadang-kadang saya paksakan dan berlatih untuk berdiri tapi jadi pusing dan mual-mual. Jadi terpaksa banyak istirahat di tempat tidur saja.’

‘Bagaimana dengan pengobatannya?’

‘Itulah yang repot pak. Dokter menganjurkan saya dioperasi lagi. Tapi saya trauma. Ditawarkan pula untuk dikemoterapi, saya takut juga.’

‘Ibu tidak mencoba obat-obat tradisional sebagai alternatif?’ tanya pak Umar.

‘Ada yang memberi saya jamu. Sudah saya coba tapi mungkin belum banyak pengaruhnya. Sementara oleh dokter sepertinya saya hanya dikasih obat penenang. Saya tidak terlalu disiplin meminumnya karena menyebabkan saya mengantuk terus.’

‘Ada pengalaman saudara saya yang mungkin bisa saya ceritakan. Dia itupun sudah sempat di operasi satu kali. Tidak atau belum sembuh. Dokter menganjurkan untuk dioperasi ulang. Dia sangat takut. Lalu ada yang memberikan kepadanya artikel tentang pengobatan dengan metoda jus atau ‘juice therapy’. Apakah ibu pernah mendengar tentang metoda serupa itu?’ tanya pak Umar.

‘Mungkin dulu saya pernah membacanya. Tapi sekarang saya tidak ingat sama sekali.’

‘Bagaimana pengalaman saudara bapak itu?’ tanya papi.

‘Dia menerapkan terapi jus itu. Dia hanya mengkonsumsi jus buah dan jus wortel saja. Menurut analisa yang dia dengar, penyakitnya itu akan semakin berkembang kalau dia mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak hewani, sebaliknya akan lumpuh kalau lemak hewani itu tidak dikonsumsi. Saya tidak tahu kebenaran hal ini secara ilmiah. Lalu dia hentikan memakan segala yang mengandung lemak hewan, bahkan dia hentikan minum susu. Selama dua minggu pertama dia benar-benar hanya minum jus itu saja. Alhamdulillah selama dua minggu itu dia merasakan kemajuan luar biasa, hari demi hari. Terapi itu diteruskannya. Akhirnya dengan pertolongan Allah, dia sembuh total.’

‘Saya tertarik mendengarnya. Saya akan mencobanya. Rasanya sangat masuk di akal...’ kata mami berseri-seri.

‘Kita kan wajib berusaha bu, sedangkan penyembuhan itu kekuasaan Allah. Oleh karenanya di samping berusaha kita harus pula banyak-banyak berdoa...’ lanjut pak Umar.

‘Benar pak… Benar sekali yang bapak katakan. Benar Ning… kamu cobalah terapi itu. Dan kita berdoa kepada ALLAH.’

‘Ada lagi obat lain, dari tumbuh-tumbuhan juga, yang sudah banyak pula dibuktikan orang sangat berkhasiat. Namanya ‘tapak dewa’. Namanya ini memang agak aneh. Tumbuh-tumbuhan ini berupa tanaman umbi-umbian. Daun dan umbinya sangat baik untuk obat.’

‘Bagaimana bentuk tumbuhan itu pak? Dan dimana terdapatnya?’ tanya papi.

‘Sebangsa tumbuh-tumbuhan rendah berbatang lunak dan berumbi mirip ubi rambat. Tadi kebetulan saya melihatnya di kebun sekolah.. tumbuh sangat subur di sana. Cara memakainya, daunnya di godok dan air rebusannya diminum. Umbinya bisa dimakan mentah atau bisa juga digodok. Rasanya tawar. Umbinya banyak mengandung air dan kelihatannya airnya itu yang sangat berkhasiat.’

‘Seberapa besar umbinya pak. Dan seberapa banyak harus dimakan?’ tanya mami penuh perhatian.

‘Umbinya sebesar kentang kecil-kecil. Sebesar kelereng barangkali, tapi saling tumbuh dan menempel satu sama lain sehingga membentuk kesatuan yang lumayan besar. Cukup dimakan mentah sebesar jempol jari dua kali sehari.’

‘Pak Umar melihat tumbuh-tumbuhan itu di kebun sekolah kita?’ tanya pak Suprapto.

‘Betul pak. Saya tadi melihatnya waktu saya berkeliling sekolah bersama pak Kosasih.’

‘Itupun saya mau mencobanya. Bolehkah saya meminta contohnya yang di sekolah itu pak?’ tanya mami.

‘Tentu bu. Adrianto, besok kamu tanyakan yang mana tanaman itu ke pak Umar!’ jawab pak Suprapto.

‘Kamu minta ke pak Simin, karena beliau itu yang merawatnya..’ pak Umar menambahkan.

Sementara itu terdengar azan ashar sangat lantang sekali. Rumah itu ternyata hanya beberapa puluh meter dari mesjid. Pak Suprapto melirik kepada pak Umar. Pak Umar tersenyum.

‘Bagaimana pak Umar? Apakah tidak sebaiknya kita pamit dulu? Terlalu lama kita mengganggu ibu Ningsih.’

‘Betul pak. Sebaiknya kita mohon diri dulu.’

‘Maaf pak. Sepertinya bik Inah menyiapkan sesuatu di luar…’ kata Anto.

‘Benar pak. Mari kita minum dulu di ruangan di luar.’ Papi menambahkan.

‘Bagaimana pak Umar? Apakah kita shalat dulu ke mesjid?’ tanya pak Suprapto.

‘Kalau bapak setuju, tentu saya akan senang sekali. Kelihatannya mesjidnya sangat dekat dari sini.’

‘Atau bapak-bapak mau shalat di sini barangkali?’ tanya ayah.

‘Biarlah kami ke mesjid saja, pak. Itu yang lebih afdal.’

‘Anto! Pergilah temani bapak-bapak ini ke mesjid!’ kata mami.

‘Ayo Anto! Papi juga mau ikut.’

‘Baik kalau begitu, bu Ningsih..kami langsung pamit..,’ kata pak Suprapto.

‘Terima kasih banyak..bapak-bapak.. Terima kasih banyak.. Tolong bapak-bapak bantu mendoakan saya..,’ pinta mami lirih.

‘Insya Allah bu..kami doakan.. Assalamu’alaikum..,’

‘Wa’alaikumsalam pak.’

Mesjid Nurul Iman hanya sekitar lima puluh langkah dari rumah keluarga Suryanto. Mesjid kompleks perumahan eksklusif itu bertingkat dua, sangat megah. Bercat putih dengan dua menara setinggi dua puluh meter menjulang gagah. Jendela-jendelanya lebar-lebar dan dicat warna hijau. Pekarangan mesjid sangat luas ditanami rumput hijau subur terpelihara. Ada beberapa pohon palem tumbuh teratur di pinggir taman itu. Ada beberapa orang yang sedang melangkah ke arah mesjid itu untuk melaksanakan shalat ashar. Termasuk di antaranya pak Suryanto, anaknya Anto dan kedua tamunya.

Pak Suryanto berjalan di samping pak Umar. Dengan setengah berbisik dia mengulangi permintaan istrinya untuk mendoakan istrinya itu sesudah shalat nanti. Entah kenapa, Suryanto sangat tertarik melihat pribadi orang ini. Mukanya bersih seperti bercahaya-cahaya. Dia sangat tergugah untuk ikut shalat bersamanya. Entah kapan terakhir kali dia shalat sebelum ini. Di dalam hatinya dia berjanji, dia akan mengerjakan shalat dengan teratur sesudah ini. Tuhan begitu sayang kepadanya. Ya… Allah Yang Maha Kuasa itu telah meluluhkan hatinya hari ini untuk kembali menyayangi keluarganya. Dan rupanya Allah Yang Maha Kuasa telah menggerakkan kaki orang-orang ini untuk datang ke rumahnya serta untuk ikut menambah keteguhan ke dalam hatinya. Tadi dia sudah berkali-kali menyebut Tuhan tapi masih dengan bayangan yang sangat mengambang. Orang-orang ini, terutama yang masih muda ini, yang umurnya mungkin hanya lebih tua beberapa tahun dari dirinya, mengajak untuk shalat mengingat Allah. Entah kenapa dia sangat ingin untuk ikut pergi shalat. Tiba-tiba dia merasa rindu untuk ikut sujud kepada Allah.

Sesudah shalat, atas permintaan papi, bapak-bapak itu mampir kembali ke rumah untuk minum yang tadi sudah disiapkan bik Inah. Mereka mampir sebentar memenuhi undangan itu, tapi hanya untuk beberapa menit saja. Papi berulang-ulang mengucapkan terima kasih atas kedatangan kedua orang guru itu, terutama atas informasi mengenai cara pengobatan dengan terapi jus. Mudah-mudahan cara pengobatan seperti itu bisa menyembuhkan mami. Apalagi mami kelihatan sangat antusias untuk mencobanya.

Papi dan Anto mengantarkan bapak-bapak itu ke mobil. Setelah guru-guru itu pergi, papi merangkul Anto masuk kembali ke dalam rumah.

‘Bapak apa namanya tadi To….? Calon pengganti kepala sekolah itu?’

‘Pak Umar, pi. Orangnya baik sekali ya pi..?’

‘Benar. Papi kagum melihat wajahnya yang bersih. Kelihatannya dia seorang yang sangat taat beragama. Papi percaya bahwa dia datang menengok mami ke sini semata-mata karena ketulusan hatinya.’

Mereka kembali ke kamar mami. Mamipun sangat terkesan dengan pak Umar. Mami segera menyuruh mbak Sri, perawat yang mengurus mami untuk menyiapkan wortel untuk dibuat jus. Mulai hari ini juga mami akan mencoba terapi itu. Mami benar-benar bahagia hari ini. Tuhan, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menurunkan limpahan kasih sayang yang tidak terhingga. Dan mami penuh harap dalam keyakinannya bahwa Allah Yang Maha Pengasih itu akan menyembuhkannya dari sakit yang dideritanya.

*****

Pak Suprapto mengantar pak Umar kembali ke sekolah karena Vespanya masih tinggal di sana. Diperjalanan kedua bapak-bapak itu sempat bercerita santai, tentang penyakit yang diderita ibu Ningsih.

‘Ternyata ayahnya Adrianto ada di rumah. Apakah tadi dia berbohong mengatakan bahwa ayahnya tidak boleh diberi tahu? Bahwa kedua orang tuanya tengah bermasalah?’ tanya pak Suprapto.

‘Entahlah, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pak. Tapi kelihatannya ayahnya itu cukup baik dan sangat sayang kepada istrinya. Tadi dia ulangi lagi permintaan untuk mendoakan kesehatan istrinya itu kepada saya waktu kita mau ke mesjid.’

‘Ya..padahal menurut anak itu ayahnya jarang pulang dan kalau di rumah sering marah-marah..’

‘Besok insya Allah akan saya tanyakan pak. Sampai sejauh ini saya percaya saja kepada Adrianto itu.’

‘Ya..ya.. Mudah-mudahan dia tidak bohong. Lagi pula untuk apa dia bohong? Anak itu kelihatannya cukup jujur, meskipun bandel.’

Pak Suprapto menunggu sampai pak Umar menghidupkan Vespa dan mengendarai kendaraannya itu keluar dari tempat parkir. Setelah yakin kendaraan itu baik dan dapat dikedarai barulah beliau berangkat.

Pak Umar menuju pulang sesudah menyelesaikan hari pertama yang panjang di SMU 369.

*****

No comments: