Thursday, January 14, 2010

DERAI-DERAI CINTA (45)

45. NENEK RAFIAH

Agustus 1989. Sudah dua setengah tahun Imran bekerja di ARCO, perusahaan eksplorasi minyak yang mempunyai daerah operasi di laut Jawa. Bekerja sebagai ahli geologi pengembangan lapangan. Kantornya terletak di sebuah bangunan bertingkat tinggi di jalan Sudirman. Tapi Imran tidak hanya bekerja di kantor. Secara berkala dia harus pergi ke anjungan pengeboran di lepas pantai laut Jawa itu, mengikuti pekerjaan pengeboran sumur-sumur minyak. Setiap kali pergi bertugas ke lapangan, biasanya dia tinggal di menara pengeboran itu untuk beberapa hari. Sebagai ahli geologi, tugasnya adalah mendeteksi keberadaan minyak bumi di dalam sumur yang sedang dibor. Suatu pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan keahlian.

Imran sangat menyenangi pekerjaannya. Dia sangat rajin, ulet dan pekerja keras. Untuk menambah pengetahuannya Imran rajin membaca dan bertanya. Kalau tidak mengerti tentang sesuatu dia tidak segan-segan bertanya. Atasannya, seorang Inggeris sangat senang dengan pekerjaan dan kepribadian Imran. Pergaulan di lingkungan pekerjaan, baik di Jakarta maupun di menara pengeboran sangat menyenangkan. Imran tidak pernah bermasalah dengan siapapun. Dia bergaul dengan semua karyawan di kantor, tanpa membedakan apapun pekerjaan dan posisi mereka.

Di Jakarta dia tinggal di rumah etek Munah di Cipinang. Tadinya dia ingin kos di tempat yang lebih dekat dari kantor. Tapi nenek Piah memintanya agar tinggal disitu, dan Imran tidak bisa menolak. Rumah itu cukup besar dengan sebuah pavilyun di bagian samping. Dulu pavilyun itu digunakan sebagai tempat menjahit barang konveksi. Sejak setahun yang lalu kegiatan menjahit dipindahkan ke sebuah rumah kontrak yang lebih besar, tidak jauh dari rumah itu. Pavilyun itu dibersihkan dan dirapikan untuk tempat Imran.

Tidak ada masalah bagi Imran untuk tinggal di rumah di Cipinang itu. Etek Munah dan suaminya om Darto menganggap Imran sebagai anak sendiri dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Ketiga anak-anak tek Munah, Dito, Andam dan Deman sangat akrab dengannya. Imran menyayangi mereka dengan tulus. Ketiga anak-anak itu yang masing-masing duduk di kelas 3 SMP, kelas 1 SMP dan kelas 4 SD memanfaatkan kehadiran Imran di rumah sebagai guru pelajaran tambahan. Imran sangat sabar mengajari mereka.

***

Setahun yang lalu etek (Munah) pernah menanyai Imran tentang jodoh. Etek bertanya bersungguh-sungguh karena semua orang tua-tua merasa sudah sangat pantas Imran berumah tangga. Waktu itu etek sengaja berbicara berdua saja dengannya. Berbicara dari hati ke hati. Mengingat usianya sudah menjelang dua puluh lima tahun, sudah mempunyai pekerjaan yang mapan. Rasanya tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Imran menjawab bahwa dia merasa belum cukup mantap untuk berumah tangga. Jawaban yang agak aneh menurut etek.

Etek menanyakan apakah Imran sudah mempunyai calon istri yang oleh Imran dijawab sejujurnya, belum ada. Jawaban itu tidak mengherankan etek, karena beliau memang melihat sehari-hari, Imran tidak mempunyai teman wanita secara khusus. Lalu ditanyakan apakah Imran mau seandainya dicarikan jodoh. Jawabnya, dia insya Allah akan mencari jodohnya sendiri. Karena masih penasaran, akhirnya etek menanyakan pendapat Imran tentang Lala.

‘Bagaimana pandanganmu tentang Lala?’ tanya etek waktu itu.

‘Awak menganggapnya seperti adik awak sendiri, tek,’ jawab Imran.

‘Kalian halal menikah.’

‘Itu awak faham, tek. Tapi sungguh, dalam pandangan awak, Lala seperti adik awak. Rasanya hubungan kami tidak lebih dari seperti hubungan kakak beradik.’

‘Etek pernah menanyai Lala,’ kata etek memancing.

‘Apa yang etek tanyakan?’

‘Pandangannya terhadap kamu.’

‘Apa katanya?’

‘Etek berandai-andai. Seandainya dia mau, apakah kamu mau menikah dengannya?’

‘Berarti dia tidak mau, kan?’

‘Kenapa kamu menyimpulkan begitu?’

‘Tadi etek katakan, etek berandai-andai. Seandainya dia mau. Tentu arti sebenarnya dia tidak mau.’

‘Dia tidak mengatakan mau dan tidak pula mengatakan tidak mau,’ jawab etek.

‘Dugaan awak, diapun menganggap awak sebagai saudaranya saja.’

‘Nenek dan mak dang sebenarnya sangat ingin kalian berjodoh. Mak dang yang meminta etek untuk menanyakan hal ini langsung kepadamu. Tapi mak dang berpesan betul, dia tidak ingin mendapatkan jawaban yang direkayasa. Yang dibuat-buat. Jadi etek bertanya apa adanya saja.’

‘Ya……, itulah jawaban awak tek,’ jawab Imran.

Etek Munah terdiam. Berbicara dengan Imran ini pasti-pasti. Etek sudah sangat mengenal wataknya. Apa yang dikeluarkannya adalah yang berasal dari hatinya.

‘Jadi….,’ kata etek memecah kesunyian, ‘Berapa lama lagi kira-kira kau akan bertahan membujang?’

‘Insya Allah tidak akan terlalu lama lagi, tek. Mudah-mudahan dalam setahun dua ini awak dapat jodoh.’

‘Pernah pula etek dengar dari si Rizal, ada anak gadis tetanggamu dulu di Bandung. Katanya, anak gadis itu tertarik kepadamu.’

‘Sepertinya dia sudah berjodoh dengan orang lain.’

‘Dari mana kau tahu?’

‘Dulu, sebelum awak meninggalkan Bandung. Dia yang bercerita.’

‘Apa sekarang mereka sudah menikah?’

‘Mungkin belum, tek.’

‘Atau mungkin ada teman-teman wanita kau di kantor?’

‘Sementara ini tidak ada, tek. Tidak ada yang menarik perhatian awak.’

‘Ya, sudahlah. Biarlah etek teruskan saja berdoa…. Mudah-mudahan cepat dapat jodohmu.’

Imran tersenyum , tidak menjawab.

Begitu pembicaraan mereka setahun yang lalu.

***

Sejak beberapa hari ini nenek sakit. Beliau mengeluh karena nafas beliau sesak. Setelah dibawa ke dokter dan berobat jalan selama tiga hari kondisi beliau tidak juga membaik akhirnya nenek masuk rumah sakit. Beliau dirawat di rumah sakit Cipto. Anak-anak dan cucu-cucu beliau bergantian menjaga.

Hari Sabtu malam giliran Imran yang menjaga nenek. Nenek senang sekali ditemani Imran. Kondisi beliau masih sangat lemah. Beliau dipasangi alat infus dan memakai selang oksigen untuk bantuan pernafasan. Imran membantu memijit kaki nenek dan mengajak beliau bercerita.

‘Mudah-mudahan cepat nenek sembuh…. Kalau nenek sembuh nanti, pulang kita menengok kampung, nek,’ kata Imran.

‘Benar-benar mau kau membawa nenek?’ tanya nenek setengah berbisik. Beliau tersenyum.

‘Insya Allah, nek.’

‘Ya Allah….. sembuhkanlah aku…..’ doa nenek lirih.

‘Amiin…’

‘Kita berdua saja…., Ran?’

‘Ya…nek. Kita berdua saja….. Atau kalau etek mau ikut, kita ajak etek…’

‘Kita berdua sajalah. Si Munah banyak urusan…’

‘Pergi kita dengan pesawat….’

‘Ya Allah….. senangnya hatiku..’

‘Ya Allah… sembuhkanlah nenek… Ya Allah panjangkan umur beliau…’

‘Amiin.’

Mata nenek berlinang, terharu.

Pintu kamar terbuka. Ada mak dang, tante Ratna dan Lala datang.

‘Bagaimana, mak?’ tanya mak dang.

‘Dada mak masih berat saja,’ jawab nenek.

‘Sudah datang dokter sore ini?’

‘Tadi… siang…. Ditambahnya lagi obat.’

‘Sudah mak minum?’

‘Sudah…..’

‘Besok si Lutfi kesini, insya Allah…’

‘Syukurlah….. Sudah teragak mak dengan si Lina…’

‘Makan mak bagaimana?’

‘Sedikit…. Dipaksa-paksakan…. Tadi disuapi si Imran….’

‘Hanya empat sendok….. tapi lumayanlah, mak dang,’ kata Imran.

‘Tadi malam bisa tidur mak?’ tanya tante Ratna.

‘Sering terbangun…. Berkali-kali terbangun…’

‘Tadi malam siapa yang menemani?’

‘Si Rizal,’ jawab nenek.

Dua orang perawat datang membawakan obat.

‘Obat apa itu?’ tanya mak dang.

‘Tadi ada obat tambahan dikasih dokter untuk mengurangi sesak nafas, pak. Yang satunya lagi obat tidur,’ jawab perawat itu.

Nenek meminum kedua obat itu. Tidak lama kemudian beliau tertidur.

Lala akan ikut menemani nenek di rumah sakit malam ini. Dia sudah berencana begitu sejak dari rumah.

***

Mak dang dan Imran terlibat obrolan singkat sebelum mak dang dan tante Ratna meninggalkan rumah sakit.

‘Ada salam dari si Syahrul untukmu,’ kata mak dang.

‘Wa’alaihissalaam…. Dimana mak dang bertemu dengannya?’

‘Di kampus…. ‘

‘Sejak dia kembali dari Australia awak bertemu sekali dengannya. Dia datang ke kantor awak waktu itu….. Sudah aktif mengajar dia, mak dang?’

‘Sudah… Kebetulan dia memberi kuliah di ruang yang sama sesudah kuliah mak dang. Jadi setiap minggu ketemu.’

‘Tolong mak dang sampaikan salam awak kalau mak dang bertemu lagi dengannya.’

‘Nanti mak dang sampaikan……. Iyalah….. kami pergi dulu…. ’

‘Lala, kan tinggal,’ kata Lala.

‘Ya sudah…. Hati-hati kalian menjaga nenek…’

‘Kapan mak dang balik ke Bandung?’

‘Besok sore…. Sama-sama Lutfi, insya Allah. Dia akan kesini besok pagi…’

‘Iyalah, Ran…. Mak tuo tinggal dululah ya….’

‘Ya, mak tuo.’

‘Lala besok langsung ke rumah uni atau bagaimana?’

‘Lihat bagaimana besoklah, ma.’


*****

No comments: