Monday, November 17, 2008

SANG AMANAH (64)

(64)

‘Bagaimana kalau seandainya pada awalnya memang disebabkan kekeliruan, tapi fihak Direktorat tidak mau mengoreksinya dan membiarkan saja alias menjadikan ketetapan itu sebagai sebuah percobaan?’ tanya ibu Purwati pula.

‘Kalau menurut ibu Purwati sendiri bagaimana?’ pak Muslih balik bertanya.

‘Saya kok ya khawatir bahwa sekolah ini sedang masuk sebuah jebakan untuk dijadikan kelinci percobaan oleh Direktorat,’ ujar ibu Purwati tanpa menjawab pertanyaan pak Muslih.

‘Bapak-bapak dan ibu-ibu. Tidak ada sedikitpun yang perlu dikhawatirkan. Kalau ini sebuah kekeliruan biarlah fihak Direktorat sendiri yang mengoreksinya. Kalau ini sebuah percobaan, mari kita buktikan bahwa percobaan itu tidak mesti sia-sia hasilnya. Kalau ini sebuah kepercayaan meski kelihatannya tidak mudah untuk direalisasikan, sekali lagi mari kita berusaha merealisasikannya dengan segenap kemampuan dan sarana yang kita punyai. Kewajiban kita hanya berusaha. Apapun hasilnya nanti, selama kita sudah berusaha, tidak ada yang perlu kita takutkan atau khawatirkan. Saya sekali lagi tidak keberatan dengan keinginan pak Muslih untuk mencari informasi ke Direktorat. Silahkan tanyakan. Apapun jawaban dari fihak Direktorat akan kita terima secara wajar,’ pak Umar menambahkan.

‘Kapan pak Muslih akan pergi menanyakan?’ tanya pak Hardjono.

‘Sesegera mungkin. Tapi apakah saya harus pergi sebagai utusan SMU 369?’ tanya pak Muslih agak ragu-ragu.

‘Saya rasa tentu tidak. Bukankah tadi pak Muslih sendiri yang mengajukan diri untuk mengecek ke sana?’ jawab pak Hardjono.

‘Saya setuju dengan pak Hardjono. Silahkan pak Muslih bertanya secara tidak formal. Jadi bukan sebagai utusan SMU 369. Apapun jawaban mereka akan kita terima apa adanya. Saya harap fihak Direktorat akan mengeluarkan suatu pernyataan tertulis seandainya ada perubahan ketetapan dari yang sudah kita terima. Kalau tidak ada pernyataan tertulis tentu tidak mungkin pula kita ikuti. Katakanlah misalnya seseorang di Direktorat mengatakan bahwa ketetapan itu memang keliru, tapi tidak dengan mengeluarkan surat resmi, maka kita tidak dapat membatalkan sefihak surat resmi yang sudah kita terima sebelumnya,’ kata pak Umar menengahi.

‘Apakah dengan demikian, seandainya memang ada kekeliruan, pak Muslih boleh minta supaya surat yang terdahulu itu dibatalkan?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Silahkan,’ jawab pak Umar.

‘Maaf pak. Kalau demikian sebaiknya pak Muslih tidak pergi sendirian. Bukan apa-apa. Saya mulai khawatir bahwa sebagian dari kita memang cenderung membatalkan ketetapan ini. Tujuannya bukan lagi sekedar mengecek tapi lebih jauh lagi dari itu, bahkan ingin meminta pembatalan ketetapan Direktorat itu,’ usul pak Hardjono.

‘Maaf pak Hardjono. Pertama saya setuju ada yang menemani saya pergi ke sana meskipun kita bukan sebagai utusan resmi sekolah. Maksudnya biar ada saksi bahwa yang saya tanyakan hanya hal yang perlu ditanyakan saja tanpa usulan atau permintaan apa-apa. Kalau tidak ada yang menyaksikan, saya justru khawatir dikira mengkhianati SMU 369 nantinya. Jadi biar ada yang jadi saksi. Kedua, saya benar-benar ingin memverifikasi saja. Tidak ada niat saya meminta pembatalan dari fihak Direktorat seandainya ketetapan itu keliru sekalipun. Jadi saya hanya akan bertanya secara sederhana apakah penetapan SMU 369 sebagai calon sekolah unggulan bukan merupakan kekeliruan mengingat selama ini prestasi SMU 369 biasa-biasa saja,’ pak Muslih menjelaskan.

‘Apakah ibu Purwati ingin menemani pak Muslih kalau begitu?’ tanya pak Umar.

Semua guru-guru terdiam mendengar tawaran pak Umar kepada ibu Purwati. Hampir semua mereka menyadari bahwa ibu Purwati adalah yang kurang berkenan dengan ketetapan Direktorat itu. Tapi kenapa pak Umar malahan menawarkan ibu Purwati untuk menemani pak Muslih? Ibu Purwati tidak segera menjawab pertanyaan itu. Guru-guru yang lain menatap ke arah ibu Purwati, menunggu jawabannya sehingga dia jadi agak salah tingkah.

‘Jangan sayalah,’ jawab ibu Purwati akhirnya.

‘Atau ada yang ingin mengajukan diri?’ tanya pak Umar lagi.

‘Bagaimana kalau pak Muslih ditemani ibu Sofni dan ibu Lastri?’ usul pak Mursyid.

‘Lho, kenapa mesti jadi lebih banyak?’ tanya pak Hardjono.

‘Perasaan saya mengatakan, ibu Sofni mewakili yang tidak keberatan sama sekali dengan ketetapan Direktorat itu sementara ibu Lastri mewakili yang keberatan. Ibu-ibu berdua hanya untuk jadi saksi. Yang akan bertanya adalah pak Muslih,’ pak Mursyid menjelaskan.

‘Bagaimana ibu Sofni dan ibu Lastri? Kira-kira bisa diterima usulan pak Mursyid itu?’ tanya pak Umar pula.

Kedua ibu guru itu menyatakan kesediaannya. Dan ditetapkan bahwa mereka bertiga akan pergi ke kantor Direktorat Pendidikan Menegah besok pagi. Ibu Purwati cukup puas dengan keputusan itu


*****

Besoknya, sesuai dengan kesepakatan dalam rapat sebelumnya, pak Muslih dengan ditemani ibu Lastri dan ibu Sofni pergi ke kantor Direktorat Pendidikan Menengah dengan menaiki taksi. Pak Muslih agak salah tingkah. Bagaimana caranya dia bertanya nanti? Dan kepada siapa dia akan bertanya? Apakah dia akan bertanya langsung ke bapak Dirjen? Tentu tidak mungkin dan akan sangat tidak etis hal itu dilakukan. Apa lagi dalam kapasitasnya bukan sebagai utusan sekolah secara resmi. Tapi kalau tidak, kepada siapa dia akan bertanya? Pak Muslih tidak punya kenalan siapapun di kantor itu. Ah, kenapa kemarin dia berlaku sok kritis mau menanyakan hal itu? Sementara itu, kedua ibu guru yang mendampinginya hanya akan menjadi saksi saja sesuai kesepakatan rapat kemarin. Jadi tidak ada yang bisa diharapkan dari kedua ibu guru itu.

Pak Muslih jadi ‘stress’ sendiri. Tentu tidak mungkin pula dia mengundurkan diri karena kemarin dia yang mengusulkan untuk menanyakan masalah itu. Pak Muslih berfikir keras untuk mendapatkan jalan keluar dari kemelut yang dibuatnya sendiri. Keringat dingin tanpa disadarinya mengalir deras. Tidak terasa akhirnya mereka sampai di kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah. Ibu Sofni heran melihat baju pak Muslih basah oleh keringat sementara AC taksi itu cukup dingin. Tapi ibu Sofni segera mengerti bahwa kelihatannya pak Muslih kehilangan rasa percaya dirinya. Pak Muslih tidak berbicara sepatah kata juapun. Ibu Sofni merasa kasihan melihat keadaan pak Muslih seperti itu dan menawarkan untuk menemui kenalannya, seorang kepala bagian di kantor itu yang barangkali dapat membantu pak Muslih melaksanakan misi pengecekannya.

Mereka bertiga menuju kantor pak Iwan Setiawan, kepala bagian Penempatan Pegawai. Ibu Sofni berpura-pura bertanya kalau ada rencana penambahan staf guru untuk SMU 369. Pak Iwan Setiawan agak heran dengan pertanyaan itu namun tetap berusaha menjawabnya, bahwa sementara ini belum ada rencana seperti itu. Pak Iwan menanyakan apakah pertanyaan seperti itu muncul disebabkan terpilihnya SMU 369 sebagai calon sekolah unggulan. Ibu Sofni mengatakan bukan karena itu. Perlahan-lahan, timbul juga keberanian pak Muslih untuk bertanya.

‘Maaf pak. Sebenarnya, kami di samping gembira juga agak was-was. Kalau-kalau penetapan SMU 369 sebagai calon sekolah unggulan bukan karena hal-hal yang tidak disengaja. Apakah pak Iwan Setiawan punya informasi tentang kriteria penetapan itu?’ tanya pak Muslih.

‘Begini, pak. Cara penilaian seperti yang sekarang ini memang merupakan suatu terobosan dari bapak Dirjen yang baru. Tujuannya adalah mengoptimalkan setiap kemampuan yang ada di masing-masing sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu fasilitas serta sarana yang dimiliki setiap sekolah diamati dengan sangat hati-hati. Saya kebetulan ikut dalam tim penilai sekolah-sekolah yang dipilih. Jadi ada bermacam-macam faktor yang dijadikan sebagai prasyarat. Di antaranya adalah sarana dan prasarana yang ada. Jumlah murid-murid dan jumlah kelas. Fasilitas laboratorium dan perpustakaan yang tersedia. Jumlah guru-guru yang mengajar. Pengalaman kerja masing-masing guru. Termasuk tentu saja kepala sekolahnya. Semuanya kami beri nilai. Dari penilaian itu kami teliti sekolah-sekolah mana saja yang punya potensi untuk disiapkan menjadi sebuah sekolah unggulan. Terpilihnya SMU 369 karena dalam hal sarana dan prasarana sekolah itu memang mempunyai nilai lebih. Dan kami berkeyakinan bahwa SMU 369 seharusnya mampu membuktikan hal itu,’ pak Iwan Setiawan menjelaskan.

‘Jadi boleh dikatakan ini merupakan suatu uji coba, begitu pak?’ tanya pak Muslih lagi.

‘Meski tidak sepenuhnya benar, bapak boleh saja beranggapan demikian. Seperti saya katakan, kami bekerja dalam sebuah tim yang cukup solid di sini. Kami mempunyai semua informasi tentang setiap sekolah negeri yang ada. Kondisi sekolahnya, kelengkapan sekolahnya, staf guru-gurunya. Pokoknya kami mengetahui semua itu. Dan tanpa bapak-bapak dan ibu-ibu ketahui, kalau ada informasi yang kurang jelas, kami datang untuk mengeceknya langsung ke sekolah bersangkutan. Hanya saja penilaian ini kami lakukan diam-diam. Pada saatnya nanti Direktorat akan mengumumkan hasil penilaian tersebut untuk diketahui sekolah-sekolah yang lain. Agar mereka bisa pula berusaha mempersiapkan diri untuk penilaian yang akan datang. Tadi saya katakan, bapak boleh saja beranggapan bahwa hal ini merupakan suatu uji coba. Itu benar, karena tidak tertutup kemungkinan sekolah bapak gagal dalam memenuhi persyaratan menjadi sekolah unggulan itu sesudah jangka waktu yang ditetapkan,’ kata pak Iwan Setiawan menjelaskan.

‘Baiklah, pak. Terima kasih atas penjelasan pak Iwan. Seperti saya katakan tadi, sebagian di antara kami para guru SMU 369, agak was-was kalau-kalau sekolah kami yang belum pernah berprestasi itu salah pilih untuk dijadikan percontohan. Dengan keterangan pak Iwan ini kami jadi yakin dan mudah-mudahan kami akan termotivasi untuk bekerja keras membuktikan bahwa penilaian Direktorat tidak keliru,’ ungkap pak Muslih.

‘Saya percaya itu, pak. Saya yakin kami tidak salah pilih. Saya mengucapkan selamat bekerja kepada guru-guru SMU 369. Untuk itu, sebagaimana yang mungkin bapak dan ibu-ibu ketahui akan ada penataran khusus bagi kepala sekolah yang dipilih selama waktu-waktu liburan sekolah nanti. Saya yakin kepala sekolah SMU 369 sudah diberi tahu tentang itu,’ tambah pak Iwan Setiawan.

‘Kalau begitu kami mohon diri dulu pak. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih banyak atas informasi yang bapak berikan,’ kata pak Muslih sambil mohon diri.

‘Baiklah bapak dan ibu-ibu. Tapi maaf, ngomong-ngomong apakah bapak dan ibu-ibu ini tim verifikasi dari SMU 369 yang ditugaskan resmi oleh sekolah?’ tanya pak Iwan Setiawan pula.

‘Bukan tim verifikasi resmi dari sekolah pak. Seperti yang tadi dikatakan pak Muslih, di samping sangat gembira, ada sedikit kekhawatiran kami kalau-kalau penetapan Direktorat itu ada unsur kekeliruannya. Ada beberapa guru-guru yang ragu-ragu, jangan-jangan pilihan itu kurang tepat,’ jawab ibu Lastri.

‘Oh, begitu?! Tidak ada salahnya juga untuk diverifikasi, kok. Tapi sekali lagi, ketetapan itu adalah hasil kerja sebuah tim yang terdiri dari banyak orang. Kami sepuluh orang yang ditugasi oleh bapak Dirjen sebagai anggota tim dan setiap penilaian kami harus dipresentasikan di hadapan beliau secara jelas. Dan didiskusikan. Bapak pimpinan menanyakan hal-hal yang tidak jelas sampai yang sekecil-kecilnya. Jadi faktor kekeliruannya kami usahakan seminimal mungkin. Bapak-bapak dan ibu-ibu guru SMU 369 tidak usah khawatir. Silahkan berkiprah dan bekerja keras saja sesudah ini untuk membuktikan kemampuan SMU 369,’ jawab pak Iwan Setiawan mengakhiri pembicaraan itu.

Ketiga orang guru itu sangat puas dengan informasi yang mereka dapatkan. Pak Muslih mengakui terus terang bahwa dia tadi sempat sangat cemas tidak akan mendapatkan informasi yang diperlukan. Dia sampai bercucuran keringat dingin. Untunglah ibu Sofni memperkenalkannya dengan pak Iwan dan ternyata pula pak Iwan Setiawan kenalan ibu Sofni dapat menjawab semua keterangan yang mereka perlukan.

Ketiga guru itu kembali ke sekolah membawa berita dan fakta temuan mereka. Informasi itu segera disampaikan kepada semua staff guru-guru. Guru-guru itupun puas dengan berita itu. Dengan demikian, mudah-mudahan setiap guru SMU 369 akan mampu bekerja keras untuk merealisasikan target agar sekolah mereka menjadi sekolah bermutu.

Informasi yang diperoleh pak Muslih yang ditemani ibu Sofni dan ibu Lastri itu sangat menggembirakan pak Umar. Dengan demikian tertepislah anggapan bahwa penetapan SMU 369 jadi calon sekolah unggulan diperoleh dengan cara-cara tidak simpatik. Dengan informasi itu dia mengharapkan tidak ada lagi guru-guru yang berprasangka dan mereka mau diajak bekerja sama untuk mencapai sasaran yang ditetapkan Dirjen agar SMU 369 menjadi sekolah unggulan.

Ibu Purwatipun puas dengan keterangan itu. Dia menyadari prasangkanya sebelum ini ternyata keliru dan berlebih-lebihan. Dan dia berjanji dengan dirinya sendiri untuk ikut membantu usaha memajukan mutu pendidikan di SMU 369. Bagaimanapun juga dia harus mengakui kepemimpinan pak Umar di sekolah ini. Pak Umar tidak pernah menunjukkan sikap bermusuhan kepada siapapun, tentu saja tidak juga kepada dirinya sendiri. Dia semakin menyadari bagaimana berwibawanya kepemimpinan pak Umar sesungguhnya.


*****

No comments: