Friday, December 19, 2008

SANG AMANAH (99)

(99)


Hari Minggu pagi tanggal 5 Oktober, terlihat suasana persiapan pesta pernikahan yang sangat apik di rumah kediaman Ir. Widodo di jalan Bangka, Kebayoran Baru. Tenda berwarna putih biru terpasang memayungi pekarangan rumah yang luas itu. Di pintu masuk pekarangan terpasang janur. Kursi tamu disusun rapi berjajar-jajar di bawah tenda dan di teras samping. Di pekarangan samping sebelah kanan berjejer pondok-pondok tempat aneka makanan khusus. Dua buah pesawat televisi berukuran besar (29 inci) diletakkan terpisah di bawah tenda, tempat para tamu dapat memonitor upacara pernikahan di ruangan dalam rumah sebentar lagi. Di ruangan tengah rumah besar itu sudah dibuatkan pelaminan, tempat duduk pengantin sesudah acara akad nikah nanti. Agak ke depan dari pelaminan itu terhampar tikar permadani dan sebuah meja rendah tempat melaksanakan acara akad nikah. Alat pengeras suara maupun kamera video sudah pula disiapkan. Kamar pengantin terlihat dari ruangan tengah itu. Kamar yang sudah dihiasi dan disiapkan sangat anggun.

Kesibukan sudah terlihat sejak pagi-pagi sekali di rumah itu. Kesibukan persiapan oleh petugas catering, petugas dokumentasi dan tentu saja para panitia dari fihak keluarga pak Widodo yang akan membantu ketertiban dan kelancaran upacara pernikahan itu. Pesta ini benar-benar disiapkan secara khusus oleh pak Widodo. Untuk puteri kesayangannya.

Sejak jam delapan tamu-tamu mulai berdatangan. Jam sembilan kurang sepuluh menit petugas KUA yang akan memimpin acara nikah sudah hadir. Begitu pula para saksi nikah yang sudah diminta kesediaannya. Pak Umar dan ibu Fatimah sudah hadir sejak jam delapan lebih seperempat. Jam sembilan tepat upacara itu dimulai. Calon pengantin pria memakai stelan jas abu-abu, berdasi dan berkopiah, terlihat sangat tampan. Pengantin wanita memakai kebaya putih bersih, berkerudung warna putih dan kain batik berwarna kebiruan, sangat anggun dan cantik. Kedua pengantin itu duduk berdampingan di depan pak penghulu. Di antara mereka dan pak penghulu dibatasi oleh meja rendah. Pak Widodo, memakai stelan jas berwarna hitam, duduk di samping kiri pak penghulu. Pak Umar dan pak Sumantri, paman dari pengantin pria duduk di samping pak Widodo. Ibu Widodo, serta kedua orang tua pengantin pria duduk di sebelah kanan pak penghulu. Para tamu yang ikut masuk ke ruangan dalam itu duduk di belakang lingkaran meja upacara itu. Atas permintaan Rita, pak Sofyan bertindak sebagai pembawa acara. Acara itu diawali dengan pembacaan ayat suci al Quran. Arif, murid kelas tiga IPA 2 yang menjadi pembaca qiraah, juga atas permintaan khusus dari ibu Rita.

Bacaan Arif sangat menyejukkan hati yang mendengarnya. Semua yang hadir mendengarkan bacaan itu dengan tenang. Bahkan ada yang sampai meneteskan air mata. Termasuk di antaranya ibu Widodo, ibu pengantin wanita. Pak Widodo menunduk sendu pada saat ayat-ayat suci itu dibacakan. Entah apa yang dipikirkannya. Setelah pembacaan sari tilawah, yang dibacakan oleh Fauziah, anak pak Umar, acara itu dilanjutkan dengan pengecekan data-data pengantin oleh penghulu. Semua data itu sudah syah. Pak penghulu menanyakan apakah kedua calon pengantin sudah siap secara mental untuk menjalani upacara pernikahan. Keduanya tentu saja menjawab sudah siap. Kemudian pak penghulu menanyakan kepada ayah pengantin wanita apakah siap untuk menikahkan anak perempuannya. Pak Widodo sedikit gugup. Dia tidak segera menjawab. Setelah petugas KUA mengulangi pertanyaannya, pak Widodo balik bertanya.

‘Saya siap. Tapi, apakah saya boleh…………..?’ tanyanya terputus.

Suasana berubah sedikit tegang. Semua yang hadir terdiam sambil memandang ke arah pak Widodo.

‘Karena………. saya tidak siap secara mental menikahkan puteri tunggal saya ini…. Apakah saya boleh meminta atau menunjuk seseorang untuk menjadi wakil saya? Untuk menjadi wali kepada puteri saya?’ tanya pak Widodo.

Para tamu jadi berbisik-bisik. Ada apa gerangan? Padahal tadinya pak Widodo sudah mantap sekali kelihatannya. Petugas KUA itu tidak mengerti apa yang sebenarnya jadi masalah.

‘Apakah bapak kurang sehat?’ tanya petugas itu

‘Ya, rasanya saya kurang sehat. Dan saya ingin agar pernikahan anak saya ini terlaksana dengan sempurna. Sementara saya sangat gugup….. ‘

‘Kepada siapa bapak ingin menyerahkan perwalian bapak?’ tanya petugas KUA itu kembali.

Pak Widodo berbisik kepada pak Umar menanyakan apakah pak Umar mau menjadi wali pernikahan itu. Mereka berunding sambil berbisik-bisik. Suasana berubah sedikit mencekam. Beberapa saat kemudian, pak Widodo berusaha mengumpulkan segenap semangat di dadanya lalu berkata.

‘Para tamu yang terhormat. Saya sangat terharu dengan suasana syahdu upacara ini. Karena alasan yang saya yakin sebagian dari para undangan memahaminya, dan saya tidak ingin timbul hal-hal yang mungkin mengurangi kekhidmatan acara ini, yang mungkin bisa menjadi ganjalan bagi puteri saya di dalam kehidupannya berumah tangga nantinya, maka saya memintakan kesediaan bapak Umar Hamzah untuk mewakili saya, menjadi wali nikah bagi puteri saya Rita Miranda. Saya berharap agar upacara yang khidmat ini dapat terlaksana tanpa cacad. Terima kasih.’

Pak penghulu yang petugas KUA itu mengangguk-angguk. Entahlah kalau dia mengerti masalah sebenarnya. Tapi dia berusaha mencairkan suasana yang tadi sempat agak mencekam.

‘Baiklah, kalau begitu. Bisakah bapak Ir. Widodo, ayah pengantin wanita menyerahkan perwalian ini secara jelas kepada bapak……. Bapak Umar Hamzah, agar hadirin dapat menyaksikan untuk menjamin syahnya penyerahan perwalian dimaksud? Yang mana pak Umar Hamzah?’ tanya pak penghulu.

Pak Umar kembali berbisik kepada pak Widodo menerangkan apa yang harus dilakukan. Setelah itu kedua orang itu berjabatan tangan dan pak Widodo mengatakan.

‘Saya Widodo, ayah kandung dari Rita Miranda menyerahkan hak perwalian untuk menikahkan anak saya Rita Miranda kepada bapak Umar Hamzah.’

‘Insya Allah saya terima hak perwalian dari pak Widodo, ayah kandung Rita Miranda untuk menikahkan puterinya Rita Miranda.’

Pak penghulu itu kemudian bertanya kepada Rita.

‘Saudari Rita Miranda, apakah saudari menerima bapak Umar Hamzah untuk menjadi wali, mewakili ayah saudari untuk menikahkan saudari?’

‘Saya terima,’ jawab Rita pendek.

Wajah Rita tampak sedikit pucat karena tambahan acara diluar rencana ini. Tapi dia masih berusaha untuk tenang.

‘Kalau demikian kita sudah memenuhi semua rukun untuk melaksanakan pernikahan ini. Marilah kita awali dengan bersama-sama membaca umul quran Al Fatihah,’ komando pak penghulu.

Hadirinpun membaca al Fatihah. Setelah itu pak penghulu itu mengawali upacara itu dengan khotbah nikah. Akhirnya sampai kepada acara mengucapkan ijab dan kabul yang dilakukan pak Umar dan pak Darmaji sambil bersalaman.

‘Saudara Sudarmaji, saya nikahkan saudara, saya kawinkan saudara kepada Rita Miranda binti Widodo dengan maharnya seperangkat perhiasan emas seberat seratus gram serta seperangkat alat shalat, tunai.’

‘Saya terima nikahnya, kawinnya Rita Miranda binti Widodo dengan mahar seperangkat perhiasan emas seberat seratus gram serta seperangkat alat shalat, tunai,’ Darmaji mengucapkan ‘kabul’ itu dengan sangat mantap.

Pak penghulu menanyakan pendapat saksi yang dijawab kedua saksi dengan tegas, bahwa ijab kabul itu sudah syah. Lalu pak penghulu itu menutupnya dengan nasihat pernikahan yang diakhiri dengan doa.

Selesai sudah acara akad nikah itu. Lalu dilanjutkan dengan acara mohon doa restu kepada kedua orang tua masing-masing pengantin secara adat Jawa yang disebut sungkeman. Waktu Rita ‘sungkem’ kepada ibu dan ayahnya, baik ibu, ayah dan anak itu bertangis-tangisan. Pak Widodo tidak dapat menahan gejolak perasaannya menyaksikan puteri yang dikasihinya itu sekarang sudah disunting orang. Entah kenapa, prosesi pernikahan yang baru saja disaksikannya itu menggoreskan kesan aneh di dalam hatinya. Acara itu terasa begitu menyentuh batin. Pernah juga dia menyaksikan upacara pernikahan secara Islam seperti ini di tempat lain, tapi yang baru saja dilihatnya sangat berbeda. Bacaan ayat al Quran, arti dari ayat-ayat al Quran yang dibacakan oleh puteri pak Umar, acara ijab kabul, pidato atau khotbah pak penghulu, semua itu terasa masih berdengung di telinganya. Apakah ini merupakan hukuman bagi dirinya? Karena dulu, ketika pertama kali puterinya Rita menyatakan hasratnya untuk menjadikan Sudarmaji menjadi suami, dia sangat tegas menolaknya. Dia bahkan semakin keras menolak setelah mengetahui bahwa Sudarmaji itu seorang Islam. Baginya waktu itu agama Islam seolah-olah merupakan kepercayaan orang luar angkasa yang bahkan mendengarkan kata Islam itu saja dia sangat alergi. Tetapi anak itu, puteri kesayangannya itu, sangat pandai berdiplomasi. Rita sangat pandai menahan diri ketika mereka terlibat dalam diskusi yang memancing emosi. Dan dia sangat kukuh dengan pendirian yang didukung dengan data dan fakta. Tanpa terasa, dari awalnya hanya meminta izin untuk menikah dengan Sudarmaji dengan rencana masing-masing tetap pada agama masing-masing, Rita mulai rajin membaca buku-buku tentang Islam. Dan setiap pengetahuan barunya itu selalu disampaikan puterinya itu kepadanya. Tentu saja mula-mula cara seperti itu memancing kemarahannya. Tapi Rita sangat pintar dan hati-hati dalam mengajak berdiskusi. Setiap kali dia terpancing untuk marah, puterinya itu mengingatkan bahwa berdiskusi itu harus dengan kepala dingin. Rita selalu punya keberanian untuk mengajaknya berdiskusi karena tahu bahwa dia tidak pernah, atau belum pernah marah sampai membabi buta. Rita mengerti betul bahwa dia masih mempunyai celah dalam lubuk hatinya untuk tidak menghancurkan hati puterinya dengan cara kasar.

Dan akhirnya dia bahkan tidak punya cara untuk membendung keinginanan puterinya berganti keyakinan. Setiap kali berdebat selalu saja dia dikalahkan dengan lembut dan santun sehingga dia tidak bisa lagi berkata-kata. Sejujurnya, bahkan keyakinannya sendiri terasa agak goyah. Sementara Rita begitu mantap dengan keyakinan barunya itu. Puterinya itu sangat bahagia dengan agama barunya. Pak Widodo memperhatikan itu. Diam-diam dia mengamati bagaimana cara anaknya melakukan ibadah. Masih dicobanya menentang. Masih dicobanya mengatakan bahwa tata cara beribadah seperti itu non sense. Tapi setiap usahanya untuk merendahkan agama baru anaknya itu selalu mendapat perlawanan dalam bentuk penjelasan secara lemah lembut dari anaknya lengkap dengan dalil dan keterangan. Rita punya bermacam-macam buku dan sudah menguasai sebagian besar isi buku itu. Dan dengan pengetahuan dari buku-buku itu dia seolah-olah mempunyai senjata pamungkas dalam setiap diskusi di antara mereka.


*****


Sesudah akad nikah yang diikuti acara sungkeman itu acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Kedua pengantin pindah ke pelaminan. Mereka tidak sempat duduk berlama-lama. Para tamu sudah antri untuk bersalaman dan mengucapkan selamat. Meskipun nanti malam ada resepsi pernikahan di gedung Balai Kartini, undangan yang datang pagi inipun sangat banyak. Mereka umumnya adalah teman-teman sekolah kedua pengantin. Dan beberapa orang guru SMU 369 yang sengaja hadir pada acara pernikahan pagi ini. Hadir ibu Sofni, ibu Sarah, ibu Purwati masing-masing dengan suami mereka. Hadir pula pak Darmawan, pak Tisna, pak Muslih dengan istri mereka. Banyak juga murid-murid SMU 369 yang ikut hadir menyampaikan ucapan selamat kepada guru mereka yang berbahagia itu.

Sebuah perhelatan yang meriah. Tamu-tamu yang hadir sejak pagi, yang cukup banyak jumlahnya, hanyalah yang ikut menyaksikan acara pernikahan saja. Para tamu itu menikmati makan siang kepagian sebelum meninggalkan rumah pesta itu. Sebelum tengah hari pesta di rumah itu sudah usai. Sebelum hujan rintik-rintik berubah semakin deras siang hari itu.

Kedua pengantin dapat beristirahat sebelum bersiap-siap untuk acara resepsi malam hari nanti. Yang waktunya masih panjang.

Pada acara resepsi di Balai Kartini malam harinya, suasana pesta lebih meriah lagi. Ratusan pasangan undangan hadir memenuhi gedung pertemuan yang luas itu. Sebahagian besar adalah rekan-rekan sekantor bapak Ir. Widodo ditambah dengan handai tolan kedua keluarga pengantin. Dan guru-guru SMU 369 yang tidak datang pada acara akad nikah tadi pagi. Kedua pengantin yang berbahagia itu berseri-seri dalam wajah gembira menerima ucapan selamat dari para tamu. Benar-benar sebuah puncak kebahagiaan.

Di antara undangan tampak hadir pak Suprapto mantan kepala sekolah dan istrinya. Beliau dikelilingi guru-guru yang hadir malam itu seperti pak Mursyid, pak Hardjono, pak Kus, pak Wayan, ibu Sarah, ibu Dewi, ibu Hartini. Semua dengan pasangan mereka masing-masing. Mereka sengaja berkumpul di salah satu sudut gedung itu sambil ngobrol-ngobrol. Seperti sebuah pertemuan reuni rasanya. Waktu pak Suprapto menanyakan kenapa guru-guru yang lain seperti pak Umar dan pak Sofyan tidak datang, dia diberi tahu bahwa sebahagian guru-guru memang sengaja datang untuk menyaksikan akad nikah tadi pagi. Pak Suprapto rupanya masih penasaran tentang cerita yang baru saja dia dengar bahwa ibu Rita menikah secara Islam karena dia sudah masuk Islam. Dia bertanya kepada pak Hardjono.

‘Apa betul Djon, Rita masuk Islam benaran?’

‘Betul pak,’ jawab pak Hardjono.

‘Apa ini karena asuhannya pak Umar? Karena dia didakwahi terus sama pak Umar?’ tanya pak Suprapto pula.

‘Rasanya bukan karena itu, pak. Paling tidak saya tidak pernah mendengar bahwa pak Umar pernah mendakwahi atau mengajak Rita masuk Islam,’ jawab pak Hardjono.

‘Apa iya karena Sudarmaji? Kan dia ini sepertinya biasa-biasa saja pemahaman agamanya?’

‘Rasanya juga bukan, pak. Tapi saya dengar waktu itu mereka pernah kebingungan bagaimana caranya untuk menikah kalau agama masing-masing dipertahankan. Dan sepertinya sejak itu Rita rajin membaca buku tentang agama Islam,’ giliran ibu Sarah yang memberi jawaban.

‘Jadi atas kemauannya sendiri kalau begitu?’

‘Saya rasa begitu pak,’ jawab pak Hardjono pula.

‘Hebat. Betul-betul hebat. Itu benar-benar namanya dia dapat hidayah. Tapi ngomong-ngomong bagaimana dengan kegiatan di mesjid sekolah?’ tanya pak Suprapto lagi.

‘Baik-baik saja pak. Jemaah shalat zuhur semakin ramai. Hari Jumat selalu dipakai tempat shalat Jumat. Untuk shalat Jumat bahkan terpaksa ditambah dengan ruangan kelas di sampingnya karena mesjid itu tidak cukup untuk menampung semua murid-murid.’

‘Bagaimana dengan pak Mursyid… maksud saya masih suka protes ke pak Umar?’ tanya pak Suprapto sambil tersenyum melirik pak Mursyid.

‘Pak Mursyid malahan ikut berjamaah sekarang, pak,’ jawab pak Kus.

Pak Mursyid hanya tersenyum mendengarkan.

‘Hebat. Hebat sekali. Rupanya banyak sekali perubahan sekolah kita itu sejak saya tinggalkan. Eh ya, saya dengar waktu itu pak Sofyan mengalami kecelakan waktu mendaki gunung bersama murid-murid dengan pak Mursyid. Bagaimana keadaannya sekarang?’

‘Sudah baik pak. Waktu itu memang tangannya patah. Tapi syukurlah sekarang sudah sembuh sama sekali sesudah dia diobati di Cimande,’ jawab pak Mursyid.

‘Sayang saya ndak ketemu bapak-bapak itu ya. Dan ibu Purwati. Tentu dia juga datang ke acara akad nikah tadi pagi, karena tidak kelihatan malam ini. Kangen juga rasanya. Biar kapan-kapan saya jalan-jalan ke sekolah deh. Melepaskan kekangenan. Karena ngumpul-ngumpul seperti sekarang ini malahan pingin ketemu semua rasanya,’ ujar pak Suprapto.

‘Betul, pak. Bapak datang saja ke sekolah. Saya percaya yang lain-lain juga kangen sama bapak,’ ujar pak Hardjono.

‘Iyalah, besok-besok deh saya mampir. Kayaknya sudah larut nih. Tamu-tamunya sudah tinggal sedikit. Kami pamit dululah,’ pak Suprapto mengakhiri ‘reuni’ itu.

Mereka bersalam-salaman sebelum berpisah.

Hari memang sudah agak larut. Sudah lebih jam sembilan malam. Guru-guru yang lain juga setuju untuk beranjak meninggalkan gedung pertemuan itu. Namun di luar hujan kembali turun. Membasahi bumi Jakarta.


*****

No comments: