Sunday, April 26, 2009

DERAI-DERAI CINTA (13)

13. PERTENGKARAN

Lamat-lamat terdengar pertengkaran di kamar mama. Lala sengaja mendengar dari ruang tengah. Dia berusaha untuk mendengarkan baik-baik.

....................

‘Mama nggak suka dengan Imran ada disini.’

‘Alasannya apa? Alasan yang masuk di akal? Dia itu kemenakan papa.’

‘Dia kan bukan kemenakan kandung papa.’

‘Dia itu kemenakan papa. Secara adat Minang dia kemenakan papa.’

‘Mama kan juga orang Minang. Tapi harusnya tidak begitu-begitu amat berkemenakan.‘

‘Tidak bisa. Kami ini orang kampung. Di kampung kepedulian kami terhadap saudara dan kemenakan memang demikian. Papa berasal dari lingkungan yang saling perduli seperti itu. Imran itu kemenakan papa. Dia itu cucu mak. Tidak lihat bagaimana dia menghormati mak? Karena membantu mak dia tinggal ibunya dan waktu itu ibu kandungnya ditimpa bencana.’

‘Jadi karena itu papa mau membalas budi?’

‘Ya Allah.... Bukan karena mau membalas budi. Bukan hanya karena itu dia papa bawa kesini. Dia anak yatim piatu. Kampung dilanda musibah. Masak mama tidak memahami semua itu? Masak kita tidak punya rasa peri kemanusiaan sedikit juga?’

‘Tapi papa tidak melihat resiko yang bisa timbul dengan keberadaannya disini.’

‘Resiko apa? Dia itu bukan orang jahat. Dia anak baik-baik yang tahu sopan santun. Yang tahu diri. Mama jangan mengada-ada memburuk-burukkannya.’

‘Mama tidak mengada-ada. Wanita itu firasatnya halus. Mama sudah melihat gelagat. Lala memberikan perhatian berlebihan kepada Imran. Lala nanti akan jatuh cinta kepada Imran. Mereka akan berpacaran disini. Di rumah ini. Di belakang kita.’

Lala tersentak kaget. Kok mama berpikiran seperti itu.

‘Masya Allah........ Mama benar-benar keterlaluan. Mama benar-benar mengada-ada. Lala itu kan masih anak-anak? Lala memperlakukan Imran seperti abangnya, karena dia tahu Imran kemenakan papa. Karena dia tahu papa yang membawa Imran kesini. Anak kita justru anak yang sopan. Yang tahu tata krama. Pikiran mama benar-benar absurd. Benar-benar tidak masuk di akal.’

‘Terserah papa mau mengatakan apa saja. Mama telah memperhatikannya. Mama yakin keberadaan Imran disini akan berpengaruh buruk kepada Lala.’

‘Tidak baik berprasangka buruk seperti itu. Kita kan bisa saja menasihati Lala seandainya memang ada hal-hal yang tidak wajar di antara mereka. Mama berpikirlah yang jernih.’

‘Mama justru berpikir jernih, pa. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik kita berhati-hati.’

‘Tidak. Itu tidak benar. Papa tidak setuju.’

‘Terserah papa. Papa kan memang yang berkuasa. Kepala rumah tangga ini. Mama hanya ingin papa tahu, mama tidak suka dengan keberadaan Imran ikut menumpang di rumah ini.’

......................................


Lala tidak mau lagi mendengarkannya. Dia masuk ke kamarnya dan menangis. Kok mama sampai setega itu? Sejahat itu?

Lala malah jadi sangat bersimpati kepada Imran. Kepada bang Imran. Orang kampung yang lugu tapi sangat sopan. Orang yang ramah dan baik hati. Kenapa mesti dibenci mama ? Ah, mama memang serba tidak jelas. Mama reseh.

Tapi tiba-tiba pintu kamar Lala dibuka dan mama muncul. Mama masuk ke kamar Lala dengan mata merah karena menangis. Biasanya memang begitu. Kalau mama habis bertengkar dengan papa, mama ngambeg dan masuk ke kamar Lala. Harusnya mama juga melihat kalau mata Lala juga merah.

Mama langsung tiduran di tempat tidur Lala. Lala diam saja. Sampai akhirnya mama sendiri yang mulai ngomong.

‘Papa itu egois.’

Dalam hati Lala, apa bukannya mama yang egois.

‘Kenapa, ma,’ tanya Lala pura-pura.

‘Mama tidak suka dengan keberadaan Imran disini,’ kata mama.

‘Memangnya kenapa, ma ?’

‘Tidak kenapa-kenapa. Mama tidak suka aja.’

‘Kan kasihan, ma. Dia sudah tidak punya orang tua. Kenapa mama tidak suka?’

‘Tu, kan? Kamu sudah sangat perhatian kepadanya?’

‘Lala, nggak ngerti maksud mama.’

‘Ah, sudahlah. Kamu juga sama aja.’

‘Lala benar-benar ingin tahu. Mama nggak sukanya itu kenapa? Apa kesalahan bang Imran? Masak gara-gara dia nggak pamit ke mama waktu mau pergi, marahnya mama sampai segitu benar?’

‘Bukan hanya itu, Lala. Bukan hanya itu. Mama nggak suka dengannya.’

‘Kan harus ada alasannya, dong ma. Apa alasan mama nggak suka?’

‘Ya nggak suka.’

‘Lala tadi dengar mama bertengkar dengan papa,’ kata Lala.

‘Kamu dengar apa?’ kata mama sambil bangun dan langsung duduk di tempat tidur.

‘Mama takut Lala jadi naksir sama bang Imran, gitu, kan? Lala kan masih kecil, ma. Lala menganggap bang Imran itu saudara. Memang salah kalau Lala baik sama dia?’

‘Kalian anak-anak remaja yang sebentar lagi memasuki masa panca roba. Ada dalam satu rumah. Kalian akan saling tergoda. Mama nggak mau itu sampai terjadi...’

‘Ya....., mama. Mama itu terlalu berkhayal, tahu nggak ?’

‘Kamu jangan sok tahu. Mama ini orang tua. Mama tahu apa yang bisa terjadi.’

‘Nggak akan segitunya lah, ma.’

Mama diam. Mereka berdua diam.


***

Imran masih berpikir keras, bagaimana caranya memberi tahu mak dang, bahwa dia ingin pulang saja. Makin cepat makin baik. Hatinya sudah semakin mantap. Tinggal di kampung sambil bersekolah sambil mengurus ibu sudah dijalaninya. Tidak ada masalah. Untuk makan, hasil sawah masih mencukupi. Untuk tambahan biaya, hasil berjualan pisang juga lumayan. Dia akan berusaha berdagang apa saja nanti karena pohon pisang di kampung hancur semua. Imran yakin dia mampu. Di kampung, dia berada di lingkungannya sendiri. Sedangkan disini dia adalah tamu. Ikut menumpang. Yang lebih parah dia bisa merusakkan rumah tangga mak dang. Tanda-tanda ke arah itu sudah nampak seperti yang dialaminya malam ini. Dia tidak ingin itu sampai terjadi.

Nenek juga tidak bisa tidur. Nenek tidak pernah bisa bertahan lebih dari dua minggu di rumah mak dang. Beliau tidak cocok dengan sopan santun tante Ratna yang menurut beliau tidak pantas. Kalau berbicara tidak ada sopan santunnya. Tante Ratna sepertinya tidak menganggap beliau sebagai mertua. Nenek tidak pula mengharapkan agar beliau diperlakukan istimewa berlebihan. Cukuplah yang wajar-wajar saja. Tapi yang wajar itupun tidak ada. Makanya nenek tidak betah tinggal disini. Mak dang harusnya tahu bahwa hubungan istri beliau dengan nenek tidak harmonis. Sepertinya mak dang tidak dapat berbuat banyak untuk memperbaikinya. Perlakuan mak dang dalam menghormati nenek sangat baik. Hanya saja, keberadaan beliau di rumah sangat terbatas.

Makanya nenek juga berpikir untuk segera pulang saja ke kampung. Di kampung beliau punya kesibukan sendiri. Tidak ada orang yang melarang-larang. Kalau Imran berkeras untuk tidak mau bersekolah di Rumbai, nenek akan pulang ke kampung bersama Imran. Biarlah mereka tinggal di rumah lama yang tidak rusak.


*****

No comments: