Wednesday, February 24, 2010

(RENCANA) POLIGAMI

(RENCANA) POLIGAMI

‘Jadi?’ tanya Khairul ketika mereka sudah selesai makan.

‘Apanya yang jadi?’ Arif balik bertanya.

‘Bagaimana rencana kau mau bertambuh?’

‘Kan sudah selesai kita makan. Bertambuh apa juga lagi?’

‘Bukan bertambuh makan…. Bertambuh istri…. Katanya kau akan kawin satu lagi…’

‘Entahlah…. Pening kepalaku…. Macam-macam sekarang syaratnya.’

‘Oh ya? Apa saja syaratnya? Memang dulu tidak banyak syaratnya?’

‘Harus jelas alasan kenapa ingin menikah lagi. Harus ada izin dari istri pertama. Mana ada istri pertama yang mau memberi izin suaminya menikah lagi? Harus ada izin atasan. Entah apa pula urusan atasan kalau awak mau menambah istri. Sementara dia? Berhau-hau dengan istri orang tidak ada masalah.’

‘Tak baik memperkatakan orang. Apa lagi berprasangka buruk….’

‘Memperkatakan orang karena memang harus diperkatakan. Berprasangka buruk kata kau? Kelakuannya bergelanggang mata orang banyak. Sekantor orang tahu. Dan dia seperti bangga dengan apa yang dikerjakannya. Tapi benar juga, itu bukan urusanku. Cuma, urusan awak ini yang kacau.’

‘Sebenarnya apa alasan kau mau menikah lagi?’

‘Itupun tidak perlu kujelaskan kepadamu. Aku yang punya masalah, aku yang tahu keperluanku. Dan menurut hematku menikah satu lagi itu penyelesaiannya. Tapi…. Ternyata repot….’

‘Dimana letak repotnya? Selain alasan-alasan yang kau katakan tadi?’

‘Kalau aku menikah lagi, aku ingin menikah secara resmi. Harus ada surat nikah. Supaya tidak timbul masalah pula di kemudian hari. Tapi justru di situ masalahnya. Ketika aku pergi ke kantor KUA, aku diingatkan tentang semua persyaratan tadi. Tidak boleh ada satupun yang terabaikan. Alias, kalau istri pertama tidak memberikan persetujuan di atas kertas bermeterai, atasan tidak memberikan persetujuan di atas kertas bermeterai, orang KUA tidak mau melayani. Repot kan?’

‘Kepada orang KUA itu…… Tidak kau jelaskan pula apa alasan kau?’

‘Terlanjur kujelaskan. Padahal membuka aib saja. Huh! Malunya aku. Tapi itulah. Mereka bersikukuh dengan persyaratan yang mereka minta.’

‘Ya…. Memang repot kalau begitu. Tapi…. Tidakkah dicoba meminta izin istri secara baik-baik? Siapa tahu istrimu pengertian…’

‘He…he..he.. Kan sudah kubilang. Tidak akan ada istri yang mau mengizinkan suaminya kawin lagi. Apapun alasannya. Termasuk istriku tentu saja…’

‘Kalau begitu banyak-banyak sajalah berzikir….’

‘Maksudmu?’

‘Banyak-banyak mengingat Allah agar keinginan menikah lagi itu bisa terlupakan…’

‘Coba kau jelaskan! Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang beristri lebih dari satu?’

‘Allah membolehkan. Aku ulangi, membolehkan. Bukan mewajibkan atau menyuruh. Itupun dengan peringatan, sekiranya yang akan beristri lebih dari satu itu mampu berbuat adil. Sekiranya tidak sanggup berlaku adil, cukuplah satu istri saja. Itu ketetapan Allah dalam al Quran.’

‘Apa batasan adil itu?’

‘Adil dalam pembagian nafkah lahir batin kepada masing-masing istri. Dan yang paling berat adalah adil dalam hal kasih sayang.’

‘Kalau seorang laki-laki yang tidak mampu berbuat adil dengan istri-istrinya, adakah sangsinya di dunia?’

‘Entahlah. Aku tidak tahu tentang itu. Tapi aku bisa membayangkan resikonya. Perseteruan di antara sesama istri, ketika yang satu merasa diperlakukan tidak adil.’

‘Adakah keterangan al Quran atau ajaran Nabi SAW tentang keharusan minta izin istri pertama?’

‘Tidak ada.’

‘Coba kau jelaskan pula apa persyaratan agar suatu pernikahan itu syah menurut ketetapan agama Islam.’

‘Ada lima rukunnya. Harus ada calon pengantin laki-laki. Ada calon pengantin perempuan. Ada wali nikah. Ada saksi sekurang-kurangnya dua orang laki-laki dewasa. Dan yang terakhir ada ijab kabul. Sudah, itu saja.’

‘Hanya itu?’

‘Ya, hanya itu.’

‘Tidak perlu ada surat menyurat? Tidak perlu ditulis dan ditanda-tangani oleh para saksi yang hadir itu? Aku dengar untuk masalah hutang piutang ada perintah di dalam al Quran agar ditulis dan juga disaksikan oleh beberapa orang saksi. Apakah pernikahan tidak seperti itu?’

‘Tidak ada. Kalau hutang piutang memang ada perintah Allah seperti itu. Tapi untuk pernikahan tidak ada. Artinya begitu kelima persyaratan tadi itu terpenuhi, pernikahan itu sudah syah. Dan sesudah itu disunahkan menyelenggarakan walimahan. Perjamuan pernikahan. Berhelat atau berpesta semampunya. Tujuannya untuk memberi tahu karib kerabat bahwa kedua pengantin sudah syah menjadi suami istri.’

‘Sekarang orang menyebut-nyebut istilah nikah sirri. Tahukah kau apa maksud nikah sirri itu?’

‘Sirr itu artinya secara diam-diam. Mungkin pernikahan yang dilakukan secara diam-diam. Entah pulalah.’

‘Aku dengar juga begitu. Seorang laki-laki, yang tidak mau istri pertamanya tahu, menikah secara diam-diam. Apakah pernikahan seperti itu syah menurut Islam? Bagaimana pendapatmu?’

‘Kalau secara hukum Islam, selama kelima rukun tadi itu terpenuhi, pernikahan itu sudah syah.’

‘Jadi istilah nikah sirri itu tidak tepat kalau begitu?’

‘Aku rasa tidak tepat. Aku rasa istilah itu tidak dikenal di negara berpenduduk Muslim lainnya.’

‘Keterlaluan kalau begitu….’

‘Maksudmu?’

‘Keterlaluan ketika pemerintah menambah-nambah aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah.’

‘Aku tidak mau berkomentar.’

‘Kabarnya, nanti para pelaku nikah sirri itu akan dituntut secara hukum dan akan dimasukkan ke penjara.’

‘Kasihan kalau begitu. Kasihan masyarakat di daerah-daerah tertentu yang tidak memiliki surat nikah. Pada hal mereka sudah menikah secara Islam.’

‘Memangnya ada?’

‘Pasti ada. Di kampung-kampung masih banyak masyarakat yang menjalankan pernikahan secara hukum agama saja tanpa mencatatkannya ke penjabat KUA.’

‘Apakah benar bahwa penjabat KUA berwenang menetapkan persyaratan bagi orang yang akan menikah?’

‘Penjabat KUA itu kan pegawai pemerintah. Mereka menjalankan perintah.’

‘Bukankah sebenarnya tugas mereka itu hanya untuk mencatat pernikahan saja.’

‘Mungkin awalnya demikian. Tapi sesudah pemerintah memberikan tugas tambahan, dengan mendata status calon pengantin akhirnya ditugaskan pemerintah pula untuk menjaring dan mencegah agar orang tidak menikah secara tidak terdaftar.’

‘Seandainya mereka yang sudah menikah berpuluh tahun yang lalu, tapi tidak punya surat nikah, apa yang harus mereka perbuat? Apakah menerima saja seandainya nanti dimasukkan ke penjara?’

‘Pertanyaanmu sangat sulit. Aku tidak sanggup menjawabnya.’

‘Apakah dulu orang-orang tua kita mencatatkan pula pernikahan mereka ke KUA?’

‘Peraturan pemerintah atau undang-undang perkawinan itu baru ada sejak tahun 1974. Sebelum itu tidak ada ketetapan seperti itu. Aku tidak yakin bahwa orang-orang tua kita mempunyai surat nikah seperti kita sekarang.’

‘Tentu nanti orang-orang tua kita juga terancam dipenjarakan?’

‘Entahlah.’

Arif terdiam cukup lama. Mungkin dia sedang berpikir keras.

‘Kau….?’ Arif memulai lagi.

‘Kenapa?’ tanya Khairul.

‘Kau sendiri tidak terpikir untuk menikah lagi?’

‘Tidak…. Kenapa?’

‘Kau takut tidak sanggup mengurus persyaratan KUA atau karena alasan lain?’

‘Aku tidak memerlukannya. Bagiku satu istri sudah cukup. Aku tidak punya masalah dengan satu istri.’

‘Seandainya kau punya masalah?’

‘Buat apa masalah diandai-andai?’

‘Aku ingin tahu pendapatmu yang sejujurnya.’

‘Itu adalah pendapatku sejujurnya.’

‘Menurut pemahaman kau, kenapa Allah mengizinkan laki-laki itu beristri sampai empat, meski dengan syarat adil sekalipun?’

‘Karena Allah tahu. Karena Allah Maha Tahu dengan naluri dan keperluan masing-masing hamba Nya. Allah Maha Tahu bahwa ada di antara hambanya itu memang tidak merasa cukup dengan hanya satu orang istri. Dan Allah mengizinkan, karena kalau tidak bisa-bisa orang itu menyeleweng. Malahan melakukan perbuatan yang dilarang Allah. Melakukan perzinaan.’

‘Jadi menurut kau memang ada orang laki-laki yang tidak merasa cukup dengan satu orang istri saja, itu sebabnya Allah izinkan.’

‘Ya.’

‘Bukankah bisa pula seorang wanita merasa tidak cukup terpenuhi hasratnya dengan satu orang suami saja? Dan wanita tidak boleh mempunyai lebih dari satu suami? Bagaimana itu?’

‘Begitu ketetapan Allah. Aku tidak mau mencari-cari alasannya. Aku mendengar dan aku taat dengan ketetapan itu.’

‘Ini pertanyaanku yang terakhir. Seandainya kau jadi aku. Apa yang kau lakukan?’

‘He..he..he.. Bukankah aku tidak mungkin jadi kau? Tapi baiklah. Tadi sudah kukatakan. Banyak-banyak berzikir dan memohon kepada Allah agar hasrat ingin beristri lagi itu bisa dilupakan.’

‘Kalau tidak bisa?’

‘Kalau tidak bisa menikah lagi saja. Cari calon pengantin wanita. Yang ada walinya untuk menikahkan. Cari saksi satu orang lagi. Aku bersedia jadi saksi yang pertama. Lakukan ijab kabul. Kau akan resmi jadi suami istri di mata Allah. Setelah itu berusaha keraslah untuk berlaku adil.’

‘Bagaimana dengan urusan dengan pemerintah?’

‘Hadapi apa adanya.’

‘Huh…. Itu yang berat.’


*****

Monday, February 15, 2010

TUKANG TUNJUK

TUKANG TUNJUK

Perang adalah bencana. Perang adalah kejahilan dan kebrutalan. Perang membawa korban terutamanya di kalangan yang tidak ikut berperang. Di kalangan rakyat berderai yang tidak ikut dan tidak mengerti kenapa terjadi perang. Mereka biasanya yang paling banyak menderita. Perang adalah tempat dimana fitnah dan dendam bisa dikobarkan. Alasan untuk berperang sejak jaman belum ber belum hampir selalu sama. Untuk melampiaskan hawa nafsu di satu fihak dan untuk mempertahankan diri di fihak yang lain. Hawa nafsu serakah ingin berkuasa, hawa nafsu ingin melanggengkan kekuasaan, hawa nafsu karena pantang kelintasan, hawa nafsu nyata-nyata ingin merampok dan menguasai milik orang lain. Maka dikobarkanlah perang. Sebuah negeri diserang, dihancurkan, hunian penduduknya dibumi hanguskan, penduduknya dipecundangi, dilecehkan, dihinakan, dibunuh dengan semena-mena.

Perang juga memecah belah masyarakat. Masyarakat terpaksa, dengan alasannya masing-masing harus berfihak kepada salah satu kelompok dari yang berperang. Berpihak kepada salah satu pihak dalam jaman perang tentu beresiko. Tapi juga memberi jaminan seandainya luput dari resiko.

***

Si Poan punya alasan tidak suka dengan orang PRRI. Tidak suka dengan orang kampung yang mendukung dan membantu orang PRRI. Alasannya karena partai orang tuanya berseberangan dengan partai orang-orang PRRI. Orang-orang PRRI itu kebanyakan adalah orang Masyumi. Orang yang memandang enteng kepada partai ayahnya, PKI. Tapi Poan juga tahu bahwa di kampung boleh dikatakan 99% orang pro PRRI. Poan tahu betul siapa-siapa di antara temannya, anak muda yang ikut lari ke luar, bergabung dengan tentara pemberontak. Diapun pernah diajak ikut. Tentu saja dia menolak. Dengan cara halus.

Suatu hari tentara APRI masuk kampung. Menggeledah rumah-rumah mencari tentara PRRI. Mencari anak-anak muda yang dicurigai ikut jadi tentara PRRI. Anak-anak muda yang ada di kampung berketabungan lari untuk menghindar. Sebenarnya sangat konyol yang mereka lakukan itu. Tiga orang terlihat oleh tentara pusat. Diteriakinya supaya berhenti dan mengangkat tangan. Anak-anak muda itu tidak tahu aturan seperti itu. Tidak mengerti aturan berhenti dan mengangkat tangan. Yang ada di dalam benak mereka hanyalah lari untuk menyelamatkan diri. Sementara tentara APRI yang ‘ringan-ringan tangan’ itu, sesudah sekali diperintahkan berhenti tidak didengar langsung membidik kepala anak-anak muda malang itu. Dor! Anak muda itupun tersungkur. Langsung terjilapak. Inna lillahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Si tentara APRI tidak mempedulikan sedikitpun. Dia mencari dan mengejar lagi yang lain. Dan mendornya pula.

Beberapa orang masuk ke rumah-rumah. Memeriksa ke sana ke mari. Dengan sepatu bot yang tidak dibuka. Berderak-derak bunyi tapak sepatu mereka di rumah kayu penduduk. Ada yang sampai memanjat ke atas loteng lalu menyenter-nyenter. Bahkan masuk ke dalam kandang di bawah rumah. Sambil membentak-bentak, menghardik-hardik, menanyakan dimana disembunyikan tentara PRRI. Rakyatpun mati kuncun semuanya.

Si Poan duduk tenang-tenang di rumah. Dengan sangat yakin. Dia tidak akan diapa-apakan oleh tentara APRI itu seandainya mereka naik ke rumah. Dua orang tentara ternyata memang naik ke rumahnya dengan terlebih dahulu menerjang pintu masuk. Soalnya di halaman terjemur tiga helai celana panjang laki-laki. Di ruang atas didapatinya Poan sedang duduk dengan tenang di tikar.

‘Angkat tangan! Kamu pemberontak, ya?!’ teriak seorang dari kedua serdadu itu.

‘Tidak pak. Ambo rakyat,’ jawab Poan dengan tenang.

Tentara itu menodongkan senjatanya ke kepala Poan sambil matanya melotot mencari-cari entah apa di rumah itu. Mata itu akhirnya hinggap di sebuah gambar yang ditempel di pintu lemari. Gambar palu arit.

‘Siapa yang PKI di rumah ini?’ tanya tentara itu dengan nada suara tidak lagi garang.

‘Apak saya, pak,’ jawab Poan.

‘Kau ikut dengan kami ke Bukit Tinggi!’ perintah tentara itu pula.

Dan Poan dibawa. Dinaikkan ke atas mobil truk reo. Dia ditahan dua hari di kantor Balayon B di Bukit Tinggi tapi sesudah itu diijinkan pulang.

***

Tentara APRI makin sering masuk kampung. Dan sekarang menangkapi beberapa orang kampung yang lalu dibawa ke markas Batalyon B dekat lapangan kantin di Birugo. Yang ditangkap umumnya adalah mereka yang punya anggota keluarga ikut lari ke luar alias jadi tentara PRRI. Dan kebanyakan adalah wanita. Yang suaminya atau saudaranya atau anaknya ikut PRRI. Entah dari mana tentara pusat itu tahu. Ditangkap dan dibawa ke Batalyon B itu sangat mengerikan. Banyak orang yang dibawa kesana, terutama yang laki-laki, tidak pulang dan hilang lenyap bak ditelan bumi. Tapi untunglah tidak demikian dengan rombongan ibu-ibu. Setelah ditahan sekitar beberapa minggu, dan diinterogasi siang dan malam, mereka umumnya diijinkan kembali pulang.

Orang kampung curiga. Dimana tentara-tentara pusat itu tahu bahwa ada anggota keluarga wanita-wanita itu orang PRRI? Dengan sebegitu jelasnya? Tentu ada yang memberi angin agaknya. Tapi siapa?

Si Poan boleh dikatakan satu-satunya anak muda yang bisa hidup tenang-tenang saja di kampung. Sekali sepekan dia pergi ke Bukit Tinggi. Pergi menggalas barang mudo. Membawa cabai merah, kentang dan sayur-sayuran yang dikumpulkan dari petani. Tiba-tiba saja dia sudah jadi seorang penggalas. Anehnya dia hanya membawa barang dagangan itu ke pasar Bukit Tinggi saja. Tidak pernah ke pekan-pekan berhampiran. Padahal kebanyakan orang menghindar untuk pergi ke pasar Bukit Tinggi. Takut digeledah dan dibentak-bentak tentara pusat. Tentara pusat memang selalu merazia setiap penumpang bendi yang menuju Bukit Tinggi. Penumpang laki-laki, meski orang tua-tua sekalipun disuruh turun. Digeledah dan ditanyai macam-macam. Barang bawaan ibu-ibu di dalam kambut atau karung diobok-obok.

Pada suatu petang, ketika akan membayar sesudah minum teh telur di lepau mak Tangkudun, selembar kertas yang dikeluarkan Poan dari saku bajunya terjatuh. Mak Pakiah yang duduk di dekatnya mengambil kertas itu dari lantai.

‘Kertas apa ini Poan?’ tanya mak Pakiah sambil menyerahkannya kembali.

‘Catatan jual beli lado mah, mak,’ jawab Poan sambil memasukkan kertas itu kembali ke saku celananya.

‘Si Nuraini kan ndak ada berkebun lado. Kenapa ada pula namanya di kertas itu?’ tanya mak Pakiah sambil lalu tanpa curiga apa-apa.

Nuraini adalah kemenakan mak Pakiah. Suaminya ikut ke luar. Nuraini sampai hari itu sudah hampir sebulan ditahan di Batalyon B.

‘Itu si Nuraini orang penggalas di pasar mah, mak. Pedagang yang membeli lado yang ambo bawa,’ jawab Poan mantap.

‘Oooo, mantun,’ jawab mak Pakiah pula.

Mak Tangkudun, pemilik lepau, menyimak saja soal jawab singkat itu. Setelah Poan berlalu tidak tahan juga hatinya untuk berkomentar.

‘Berdetak saja hatiku,’ kata mak Tangkudun ketika di lepau itu yang tinggal mak Pakiah seorang saja lagi.

‘Tentang apa?’ tanya mak Pakiah.

‘Tentang musang berbulu ayam.’

‘Hah? Siapa pula yang jadi musang?’

‘Apa yang Pakiah baca di kertas yang jatuh sebentar ini?’ tanya mak Tangkudun.

‘Kertas yang mana?’

‘Kertas yang dikembalikan ke si Poan.’

‘Ada tersurat nama Nuraini. Entah kenapa nama itu pula yang tertangkap di mata ambo. Ada nama si Fadilah di bawah itu dan nama-nama entah siapa lagi.’

‘Si Fadilah kan sama-sama dijemput dan dibawa tentara pusat? Tidak ada lagi nama yang lain yang teringat terlihat tadi?’

‘Rukayah..... Ya di atas nama si Nuraini ada Rukayah.’

Mak Tangkudun menghempaskan kopiahnya ke meja.

‘Pastilah kalau begitu. Si Nuraini, si Fadilah dan si Kayah sampai hari ini belum juga pulang dari Birugo. Ndak berdetak hati Pakiah ada kaitan nama-nama di kertas tadi itu dengan kenyataan ibu-ibu yang ditangkapi itu? Kalau ambo sangat yakin ambo sekarang,’ kata mak Tangkudun.

‘Jadi?’ mak Pakiah mulai ikut berpikir. Mulai agak menangkap maksudnya.

‘Tukang tunjuk,’ jawab mak Tangkudun.


***

Alhamdulillah, ibu-ibu yang ditangkap itu akhirnya dilepaskan juga semuanya. Hanya, sesudah itu rumah mereka selalu diintai tentara pusat. Beberapa kali di antara ibu-ibu itu terkejut ketika pergi ke sumur di waktu subuh terserobok dengan tentara sedang duduk bersiaga dekat pintu sumur. Mungkin tentara itu semalaman menanti-nanti tentara luar anggota keluarga penghuni rumah itu. Siapa tahu mereka pulang ke rumah.

***

Seminggu sesudah percakapan mak Tangkudun dan mak Pakiah di lepau, si Poan dijemput orang tengah malam. Tidak sedikitpun dia curiga. Ketika pintu diketuk dan namanya dipanggil, dan yang memanggil itu berbahasa Indonesia, Poan segera turun. Tentu saja dia kaget ketika sampai di halaman. Yang menjemputnya adalah tentara bersenjata tidak berseragam. Poan menghilang tidak tentu rimbanya sejak saat itu.

Beberapa hari sesudah itu wali nagari didatangi tentara pusat. Habis dia ditampari dan dibentak-bentak ketika tentara pusat itu menanyakan kemana perginya si Poan. Wali nagari menjawab sejujurnya bahwa dia tidak tahu. Wali nagari dan wali jorong dibawa ke Birugo dan ditahan sebulan disana. Sesudah sebulan, mereka diantarkan kembali ke kampung dalam keadaan lusuh dan kurus.

*****

Saturday, February 13, 2010

SURAT JALAN

SURAT JALAN

Sudah tiga bulan perang berlangsung. Perang antara tentara APRI yang datang dari ibu kota melawan tentara PRRI. Perang yang ganjil. Perang yang brutal dari pihak yang datang menyerang. Tentara PRRI banyak menghindar. Menghindar ke hutan, ke kampung-kampung yang jauh di pegunungan terpencil. Tentara APRI yang dijuluki rakyat dengan tentara pusat adalah tentara yang bengis dan tega. Mereka menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai tentara pemberontak. Kalau terjadi peperangan di dekat suatu kampung lalu ada tentara APRI yang terkorban, maka beberapa rumah di kampung itu dibakar. Itulah sebabnya tentara PRRI menghindar. Karena tidak mau mencelakai dan merugikan rakyat. Ketika PRRI menghindar, tentara APRI dengan mudah menguasai kampung dan nagari, membuat pos di kota-kota kecamatan.

Syamsu batal ikut bergabung dengan tentara PRRI. Ada sebuah telegram dari kakaknya di Padang memberi tahu bahwa maknya yang sejak perang pecah tinggal di Padang, sedang sakit dan masuk rumah sakit. Dia diminta segera datang. Padahal teman-temannya sudah pada pergi semua. Ikut memanggul senjata. Ada delapan orang anak-anak muda yang masih sekolah di SMA, di STM dan SMEA dari kampung yang ikut bergabung dengan kompi Udin Pitok. Syamsupun sudah ikut mendaftar. Tapi tepat sehari sebelum dia seharusnya melapor di markas tentara itu di Lasi Tuo, telegram dari kakaknya itu datang.

Tidak mudah untuk bepergian ke Padang. Meski jarak Bukit Tinggi – Padang sejak dari perhentian oto di Bukit Tinggi sampai ke perhentiannya pula di Padang tidak lebih dari 91 kilometer. Oto bus NPM dapat menempuh jarak itu antara dua sampai tiga jam. Yang lebih sulit adalah untuk mendapatkan surat jalan. Tanpa surat jalan yang ditandatangani komandan tentara APRI jangan dicoba-coba untuk bepergian antar kota. Apa lagi bagi seorang anak bujang mentah seusia Syamsu. Tanpa surat jalan, kalau ada razia di perjalanan, dia akan dituduh tentara PRRI. Akan dituduh tentara pemberontak. Kalau sudah dapat cap seperti itu dia bisa ditembak mati.

Tentara APRI sangat alergi dengan anak-anak muda seusia Syamsu. Di kampungnya sudah tiga orang yang mati ditembak tentara APRI. Anak-anak muda malang yang lari ketakutan ketika tentara APRI secara diam-diam datang masuk kampung. Dan anak-anak muda itu ditembak dari belakang di bagian kepala. Ada yang terkapar di batang air, ada yang tertelungkup di sawah bancah, ada yang tersandar di rumpun betung. Pada hal mereka tidak bersenjata dan lari benar-benar karena takut. Itu pulalah sebabnya kebanyakan anak-anak muda jadi benci kepada tentara pusat. Mereka beramai-ramai mendaftar untuk ikut berperang.

Syamsu harus pergi ke Padang menengok emaknya. Dia bergegas mengurus surat jalan. Yang pertama sekali adalah meminta surat pengantar di kantor wali nagari. Tidak sulit mendapatkan surat ini. Wali nagari menyatakan dalam surat keterangannya bahwa Syamsu akan meneruskan sekolah di Padang. Sekarang surat itu harus dibawa untuk mendapatkan pengesahan dari komandan tentara APRI di kecamatan.

Syamsu diantarkan wali jorong, yang masih terhitung mamaknya, ke kantor Buter. Buter adalah penguasa militer di tingkat kecamatan. Kantor itu menempati sebuah rumah tinggal. Di depan rumah ada gardu jaga dimana selalu ada seorang tentara bersiaga mengawal. Di teras luar rumah itu ada meja dan dua buah kursi. Dua orang tentara duduk disitu. Mereka adalah petugas piket. Siapapun yang ingin berurusan ke kantor itu harus melapor terlebih dahulu kepada tentara petugas piket ini. Agak terjarak ke samping ada dua buah bangku panjang tempat menunggu bagi orang yang ingin bertemu dengan komandan tentara. Ketika Syamsu sampai di kantor itu ada tiga orang wanita separuh baya duduk di bangku panjang. Mereka sedang menunggu untuk diwawancara. Mereka juga ingin mendapatkan surat jalan. Begitu ketentuannya kalau ingin mendapatan surat jalan yang ditandatangani komandan Buter.

Wali jorong yang menemani Syamsu mendaftar melalui tentara piket itu, yang rupanya seorang OPR. OPR adalah tentara bantuan yang dibuat oleh APRI, berasal dari penduduk lokal.

‘Siapa yang hendak berurusan?’ tanya tentara OPR itu dalam bahasa Indonesia.

Kamanakan wak ko ha,’ jawab wali jorong.

‘Di sika harus cara Indonesia!’ kata tentara OPR itu garang.

Mendengar kata-kata ‘disika’ satu di antara ibu-ibu yang sedang menunggu itu menahan tawa sambil menutup mulut.

‘Jangan gelak-gelak. Apa yang digelakkan?’ bentak tentara OPR ke arah ibu-ibu itu.

Si ibu itu menekur dan terdiam. Ibu yang satunya masih tersenyum.

‘Jangan cimees-cimees disika! Kesika mau mintak surat atau mau mencimees? Kalau cimees-cimees nanti kamu tidak diagis surat.’

Perut Syamsu juga memilin mendengar kata-kata tentara yang gagah ini. Dia berusaha menekur menahan rasa geli.

‘Hang yang hendak berurusan?’ bentaknya pula ke arah Syamsu.

‘Iya, pak,’ jawab Syamsu.

‘Ada surat wali nagari?’ tanyanya pula.

‘Ada pak. Ini....’ Syamsu menyerahkan sebuah amplop.

Tentara itu membuka amplop dan mengeluarkan surat pengantar dari wali nagari. Diperhatikannya surat itu dengan bola matanya menari ke kiri dan ke kanan. Syamsu tambah sakit perut melihat tingkah tentara itu. Surat yang ditangan tentara itu terbalik.

‘Catat nama hang disika!’ katanya menunjuk ke sebuah buku tulis besar di atas meja di hadapannya.

Syamsu mengisi buku itu.

‘Catat apo keperluan hang!’ perintahnya lagi.

‘Sudah pak. Sudah awak tulis,’ jawab Syamsu.

‘Apa keperluan hang?’

‘Sudah awak tulis di dalam buku ini.’

‘Apa yang hang tulis? Mau mintak surat apa hang?’

‘Surat jalan, pak.’

‘Suratkan disika. Bahasa hang mintak surat jalan.’

‘Ini sudah awak tulis pak.’

‘Kalau sudah nantikan disinan!’ perintahnya pula sambil menunjuk ke bangku panjang.

Kedua lelaki itu pergi duduk ke bangku yang ditunjukkan. Lamat-lamat Syamsu mendengar kedua tentara itu berbicara setengah berbisik.

Indak ba hang do. Ba kau,’ kata kawannya.

Maa lo jaleh di ang. Kau tu untuak padusi,’ jawab tentara itu.

Dua orang tentara lain datang. Kedua tentara OPR itu berdiri dan memberi hormat. Rupanya yang datang itu komandan di kantor ini. Dia itulah yang biasa di sebut orang pak Buter.

Satu persatu ibu-ibu yang menunggu itu disuruh masuk menghadap komandan tentara tadi di dalam ruangannya. Masing-masing berada di ruangan itu sekitar sepuluh menit. Akhirnya sampai pula giliran Syamsu disuruh masuk.

‘Inya saja yang masuk. Engku indak berurusan jadi indak boleh masuk,’ tentara OPR tadi mengingatkan ketika dilihatnya wali jorong ikut pula berdiri.

Syamsu masuk sendirian. Dia mengangguk ke arah komandan itu.

‘Ada perlu apa kau?’ bentak komandan tentara itu.

‘Awak mau minta surat jalan, pak,’ jawab Syamsu tenang.

‘Surat jalan apa? Kau ndak ikut berontak?’

‘Tidak, pak,’ jawab Syamsu.

‘Mana surat pengantar?’

Syamsu menyerahkan surat dari wali nagari. Tentara itu membacanya.

‘Dimana kau sekolah?’

‘Di SMA, pak.’

‘Dulu di SMA mana? Kenapa sekarang mau pergi ke Padang melanjutkan sekolah?’

‘Dulu di Bukit Tinggi, pak. Sekarang orang tua ada di Padang.’

‘Ada saudara kau yang ikut memberontak?’

‘Tidak, pak.’

‘Teman-teman kau?’

‘Tidak ada pak.’

‘Bohong kau! Banyak anak-anak muda seumur kau ikut-ikut pergi ke hutan. Masak di kampung kau tidak ada yang ikut?’

‘Awak tidak tahu pak,’ jawab Syamsu.

‘Untung kau masih punya otak, mau bersekolah. Kalau kau ikut-ikut memberontak, suatu saat kau akan terbunuh. Paham kau?’

‘Iya, pak.’

‘Kapan kau mau berangkat ke Padang?’

‘Segera, pak. Kalau bisa hari ini juga.’

‘Ya, sudah. Ini tak tanda tangan. Jangan sampai hilang surat ini. Kalau ada razia di jalan, kau tidak punya surat, habis kau.’

Tentara itu menyerahkan surat jalan itu kepada Syamsu. Dia mengangguk kepada komandan tentara itu sebelum keluar.

‘Sudah selesai urusan hang?’ tanya tentara OPR lagi, begitu Syamsu keluar.

‘Sudah pak,’ jawab Syamsu.

‘Ndak pandai hang berterima kasih agak sedikit?’

‘Terima kasih banyak, pak,’ ujar Syamsu seramah mungkin.

Indak itu do. Tinggalkan tanda terima kasih agak sedikit,’ tambah tentara itu pula.

‘Maksudnya bagaimana, pak?’ Syamsu pura-pura tidak mengerti.

Tentara OPR itu menggesek-gesekkan tiga buah jari tangannya memberi isyarat. Bertepatan dengan itu komandannya keluar.

‘Kok belum pergi kau? Apa lagi?’ tanya komandan itu membentak Syamsu dengan mata melotot.

‘Sudah mau pergi pak,’ jawab Syamsu.

‘Kau siapa? Ada urusan apa?’ bentak komandan itu ke wali jorong.

Ambo wali jorong. Mengawani dia saja,’ jawab wali jorong dengan wajah pucat.

Kedua orang itu segera berlalu dari kantor Buter. Tentara OPR menggerutu dalam hati karena tidak jadi dapat tanda terima kasih.


*****