Monday, December 31, 2007

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag. 1)


MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL

1. JAKARTA – DUBAI

Suatu petang, ketika kami berbincang-bincang santai, istriku mengatakan bahwa tahun ini, ibu-ibu (istri karyawan) Total akan pergi berdarmawisata ke Istambul, Turki. Darmawisata seperti itu biasanya menggunakan biaya sendiri dengan sedikit subsidi dari kantor. Yang disubsidi hanya biaya fiskal dan visa negara yang dituju. Aku tidak terlalu menanggapinya ketika itu dan istriku juga tidak berharap untuk ikut pergi, karena dia tahu aku tidak akan mengizinkannya pergi tanpa aku.

Beberapa bulan kemudian, di awal Agustus yang lalu, ketika kami berbincang-bincang lagi di suatu saat, pembicaraan kami menyinggung tentang Turki. Dan istriku mengatakan bahwa rombongan ibu-ibu yang akan ke Turki, kali ini akan disertai juga seorang bapak, pensiunan karyawan Total. ‘Kok ada bapak-bapak diizinkan ikut, bukankah biasanya pesertanya hanya ibu-ibu saja?’ aku bertanya. Rupanya karena jumlah peminat dibawah quota, maka suami ataupun anak-anak diperbolehkan untuk ikut dengan syarat harus membayar penuh tanpa subsidi.

Di ujung pembicaraan, aku bertanya kepada istriku, apakah dia berminat untuk ikut. Dia melongo keheranan mendengar pertanyaan seperti itu. Aku memperjelas, tentu saja kalau aku juga boleh ikut, dan kita pergi bersama-sama. Istriku sangat surprise dan sangat senang. Tapi masih mungkinkah bisa mendaftar? Karena rombongan itu akan berangkat tanggal 13 Agustus. Istriku segera sibuk mencari informasi. Mulanya, sepertinya kami sudah tidak bisa ikut karena setiap anggota rombongan sudah mendapatkan tiket pesawat pulang pergi serta visa Turki. Kami menunggu hampir seminggu, untuk mendapat kepastian mendapatkan tiket. Kepastian itu baru datang, pada tanggal 7 Agustus, enam hari sebelum berangkat. Barulah kami pergi mengurus visa Turki, yang tidak sulit mendapatkannya. Artinya kami siap untuk ikut dalam rombongan wisata itu.

Tanggal 13 Agustus itu kami berangkat dari rumah sebelum jam setengah enam sore, karena semua peserta diminta sudah hadir di bandara jam tujuh. Waktu yang kurang aku sukai untuk berangkat meninggalkan rumah karena hanya 30 menit sebelum waktu magrib. Kami akhirnya shalat magrib di perjalanan ke bandara yang langsung kami jamak dengan shalat isya. Jam tujuh lebih kami sampai di bandara, dan ternyata kami adalah yang paling akhir di antara peserta. Mereka sangat antusias dan berhati-hati rupanya untuk perjalanan jauh ini. Aku yakin, ini adalah keberhati-hatian yang berlebihan mengingat pesawat kami baru akan berangkat jam sepuluh nanti.

Benar saja, ketergesa-gesaan itu sebenarnya tidak terlalu perlu. Kami menunggu sekitar tiga jam sebelum keberangkatan pesawat. Perjalanan itu menggunakan pesawat Boeing 777 dari maskapai penerbangan Emirat, yang berangkat jam sepuluh malam dari bandara Soekarno – Hatta. Kami transit sekitar satu jam di Kuala Lumpur, dan jam dua belas tengah malam (menurut jam Jakarta) melanjutkan penerbangan ke Dubai. Kenyamanan di pesawat berbadan lebar ini cukup menyenangkan, karena dilengkapi dengan segala pernak-pernik peralatan audio visual untuk dinikmati sepanjang perjalanan. Aku perhatikan sebahagian besar pramugarinya berkulit putih dan berbicara dengan aksen Inggeris British. Meski ada juga yang bertampang Asia (Philipina atau Cina atau Korea) dan sedikit sekali yang bertampang Timur Tengah. Dari brosur yang terdapat dikantong kursi dihadapanku terbaca bahwa maskapai penerbangan ini menjelajah hampir ke segenap pelosok di lima benua. Mereka mempunyai 90 buah pesawat berbadan lebar sejenis Boeing 777 ini. Garuda pasti jauh tertinggal di belakang Emirat.

Penerbangan ke Dubai ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam. Aku berhasil tertidur sebentar dalam rentang waktu itu. Jam empat subuh waktu Dubai kami mendarat di bandara Dubai. Belum masuk waktu subuh. Temperatur di luar saat itu dilaporkan 40 derajat. Ini adalah musim panas. Kami melalui pemeriksaan imigrasi karena kami akan transit sekitar 10 jam di kota ini. Ketika sedang antri di loket imigrasi terdengar azan subuh. Sesudah melalui loket tersebut kami mencari mushala untuk shalat subuh.


*****

2. DUBAI

Dubai adalah sebuah negeri yang WAH. Airportnya besar dan moderen. Dengan puluhan pesawat terparkir, sebagian besar pesawat Emirat dari kumpulan yang 90 buah lebih itu. Penerbangan Emirat memang dipusatkan disini. Pemeriksaan imigrasi berjalan lancar. Dan cukup banyak orang antri di loket-loket imigrasi pada subuh begini. Mungkin orang-orang seperti kami yang akan transit sebentar sebelum meneruskan penerbangan ke negeri lain.

Kami sudah ditunggu oleh petugas perjalanan yang akan membawa kami melihat-lihat kota Dubai. Begitu keluar dari ruangan bandara, terasa udara panas padang pasir. Mataku melihat sebuah sedan super limosin yang panjangnya mungkin mencapai sepuluh meter. Entah Syeikh mana yang punya. Kami menaiki bus pariwisata yang akan membawa kami ke sebuah hotel untuk sarapan. Sebenarnya aku tidak lapar karena di pesawat kami baru saja mendapatkan sarapan besar. Tapi dalam program perjalanan kami rupanya sudah diatur demikian, kami akan mampir dulu di hotel Lotus. Lalu lintas masih belum terlalu sibuk di pagi hari itu. Hanya dalam beberapa menit kami sudah sampai di hotel yang dimaksud. Meski hanya menggunakan fasilitas umum di hotel itu, lumayan juga karena kami dapat mencuci muka dan berganti pakaian sebelum sarapan. Menu sarapan dan suasana di restoran hotel ini mengingatkanku ke hotel Kakhi di Jeddah. Anggota rombongan terlihat sedikit lebih segar sesudah mencuci muka dan berganti pakaian pula. Kami sarapan sambil berbincang-bincang santai. Waktu kami berfoto-foto, dan suasana terlanjur agak ramai, kami ditegur petugas hotel. Dia menunjuk ke sebuah pengumuman yang melarang memotret di dalam ruangan restoran. Sebagian peserta menggerutu. Aku menduga, larangan itu disebabkan karena restoran adalah ruangan semi umum, dimana wanita yang bercadarpun bisa masuk dan pastilah mereka membuka cadarnya untuk makan dan itu yang dilarang untuk dipotret. Larangan pagi ini rasanya disebabkan karena rombongan kami agak sedikit riuh dan ramai. Maklumlah rombongan ibu-ibu.

Sesudah sarapan, sekitar jam setengah sembilan waktu Dubai kami dibawa berkeliling untuk melihat-lihat. Pemandu wisata kami seorang wanita berasal dari Peru - Amerika Selatan. Kami dibawa melalui jalan raya besar di pusat kota. Di kiri kanan terlihat bangunan-bangunan tinggi pencakar langit dan banyak sekali bangunan-bangunan yang masih dalam tahap pembangunan.

Pemandu kami bercerita tentang Dubai. Negeri yang tadinya dihuni oleh sekelompok kecil orang Arab Badui yang mungkin sesudah capek mengembara lalu membanting kemudi menjadi nelayan dan penyelam mutiara di tepi pantai teluk. Tentang Dubai yang kemudian menjadi satu dari tujuh emirat yang berserikat dalam Uni Emirat Arab. Dengan penduduk sekitar dua juta jiwa yang hanya 15 persen pribumi dan sisanya adalah pekerja pendatang dari India, Pakistan, Banglades, Korea dan Philipina (dia tidak menyebutkan Indonesia). Tentang pembangunan dan pembangunan yang memang gila-gilaan. Sebuah kota yang konon jumlah crane (alat pemindah bahan bangunan di pembangunan gedung bertingkat) paling banyak saat ini. Tentang sebuah bangunan yang akan menjadi yang tertinggi di dunia yang minimum akan 800m tingginya. Akupun bertanya, minimum? Memang berapa maksimumnya, apakah tidak ada rencananya? Lalu dijawab, memang, 800m itu sudah pasti, tapi lebihnya dari 800m masih dalam perbincangan.

Dan kami dibawa singgah ke kantor perencanaan kota (?). Disini kami lihat maket rencana pengembangan kota buatan di pinggir laut yang dibentuk menyerupai pohon kurma. Dan ini bukan hanya sekedar maket karena sebagian sudah direalisasikan pembangunannya. Mereka menyedot pasir dari laut dalam untuk kemudian dijadikan pulau buatan dan pulau itu dibuat menyerupai pohon dan pelepah kurma yang di setiap lembaran pelepah dibangun puluhan bangunan bertingkat untuk jadi apartemen, perkantoran dan sebagainya. Masya Allah. Dan rencana lebih besar adalah membangunan beberapa pohon kurma lagi, sehingga besar rangkaian kota buatan itu nantinya, akan lebih besar dari kota Paris. Dengan emas semua kemas, dengan padi semua jadi (itu dulu) dan sekarang dengan minyak semua rancak.

Dan tadi di antara bangunan tinggi aku melihat di puncaknya potongan ayat al Quran, wa lilLaahi maa fis samaawati wamaa fil ardh. Dan kepunyaan Allah lah apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.

Ini adalah sebuah kota yang sangat ambisius dan sangat WAH (sekali lagi) karena taburan petro dollar dari hasil penjualan minyak bumi. Ada pembangunan sarana transport kereta bawah tanah (entahlah kalau itu memang perlu) yang pemborongnya adalah syarikat Mitshubishi. Dan pemborong utama bangunan-bangunan tinggi dan besar-besar itu adalah syarikat Al Amar, milik pribumi Dubai. Membangun, membangun, membangun dan membangun. Apa saja yang tidak akan dibangun. Bahkan, aku melongo mendengarnya, ada bangunan tempat bermain ski setinggi empat ratus meter agar pemain ski dapat meluncur meliuk-liuk ke bawah. Bermain ski di sebuah ruangan yang dibekukan untuk membuat es di tengah cuaca yang elok untuk memanggang. Membangun apa saja. Yang bekerja buruh pendatang yang datang dari Asia Selatan dan Asia Timur. Untuk penduduk asli disediakan segala kemudahan dan kemudahan. Dari sarana pendidikan, pengobatan dan tempat tinggal semua diberikan nyaris cuma-cuma kepada penduduk asli.

Dan kami dibawa pula ke pantai. Yang panasnya 45 derajat celcius. Tapi ada juga orang yang sanggup berjemur di pantai yang membara itu. Ambisi menjadikan Dubai kota wisata campuran barat dan timur di Asia Barat sedang direalisasikan. Entahlah kalau orang mau datang berbondong-bondong nanti kesini, bahkan untuk berjemur di pantai dibawah cuaca terik seperti ini.

Kami mampir pula ke sebuah super mall. Untuk melihat-lihat. Aku harus merasa rendah diri melihat barang-barang yang dipajang di mall dengan harga yang tidak mudah dijangkau rupiah. Sebuah sepatu yang biasa-biasa saja harganya di atas 400 dirham alias sejuta dua ratus ribu rupiah lebih. Di dalam super mall ada juga Carrefour yang kasirnya kebanyakan laki-laki. Sambil menunggu ibu-ibu melakukan shopping (baik window shopping maupun shopping benaran) aku dan bapak satunya dalam rombongan, duduk di sebuah bangku di depan Carrefour sambil berbincang-bincang. Membahas kecanggihan dan kehebatan Dubai.

Kami dibawa pula mampir sesudah itu ke Hardrock Cafe Dubai sekedar melihat-lihat karena ketika itu bukan pada saatnya beroperasi. Ya Allah, bangunan yang seronok inipun ada disini. Banyak petugas bertampang kurang begitu jelas entah dari negeri mana di dalamnya sedang berbersih-bersih. Ada beberapa orang laki-laki Amerika Latin beranting-anting. Entah kenapa ada pula acara mengunjungi tempat ini. Tapi bagi ibu-ibu yang heboh itu kunjungan ini bermakna sekali. Mereka berebutan membeli baju kaus berlogo Hardrock Cafe Dubai yang harganya 25 dollar selembar. Bukan main.

Setelah itu kami dibawa berputar-putar menjelajahi kota pelabuhan laut. Terlihat kapal-kapal kayu berbaris-baris bersandar. Konon kapal-kapal itu datang dari Pakistan. Memang banyak orang bertampang Pakistan di pelabuhan itu.

Setelah mengelilingi Dubai yang hebat sekitar enam jam, kami diantarkan kembali ke bandara untuk melanjutkan penerbangan kami ke Istambul. Kami melintas di depan toko-toko bebas bea di dalam bangunan bandara. Yang menawarkan apa saja. Datanglah ke Dubai, bawalah uang sebanyak-banyaknya, berbelanjalah disini sepuas-puasnya, itulah kesan yang aku tangkap. Dan bandara ini ramai dan sibuk dengan orang yang datang dan pergi. Aku boleh tidak terlalu yakin orang akan datang ke Dubai mengunjungi negeri panas di tepi padang pasir, tapi kenyataannya orang-orang berdatangan. Menumpang pesawat Emirat. Mungkin yang dari Paris mau ke Tokyo. Yang dari London mau ke Sidney. Yang dari Rio de Janeiro mau ke Berlin. Semua dikunjungi oleh pesawat Emirat dan dibawa singgah ke Dubai.


*****

No comments: