39. SEKELOA
Setelah dua malam di rumah sakit Imran sudah dibolehkan pulang. Sudah dicobanya melatih menggunakan kedua tongkat penyangga. Tidak ada masalah. Kecuali kaki kirinya yang memang harus dijaga hati-hati sebab tersenggol sedikit saja langsung terasa nyeri.
Abang Lutfi dan teteh Yani bersungguh-sungguh menyuruh agar Imran tinggal di Sekeloa saja untuk sementara. Uni Lani juga sangat setuju. Apa lagi Lala. Dan apa lagi Yuni tentu saja. Imran akhirnya menerima tawaran itu. Dia menyadari bahwa urusan ke kamar kecil akan jadi masalah kalau dia pulang ke tempat tinggalnya di Taman Sari. Imran memberi tahu Syahrul tentang usulan ini. Bahwa dia akan mencoba tinggal disana paling tidak selama liburan semester di akhir tahun. Syahrulpun sependapat bahwa usulan itu sangat baik. Bukankah disana ada dua dokter yang akan merawatnya?
Rumah di Sekeloa itu besar. Ada tiga buah kamar yang masing-masing ditempati abang Lutfi dan teteh Yani, kamar uni Lani sendirian dan yang terakhir ditempati Lala dan Yuni. Di samping itu ada sebuah ruangan setengah terbuka, tadinya untuk mushala merangkap perpustakaan. Tapi akhir-akhir ini ruangan itu dimodifikasi untuk jadi ruangan praktek dokter. Sisi yang terbuka ditutup dengan dinding triplek. Di dalamnya ada sebuah dipan kecil untuk pemeriksaan pasien, meja kerja dokter, sebuah lemari yang entah apa isinya dan rak buku besar berisi banyak sekali buku-buku. Dengan isi seperti itu ruangan itu masih saja cukup lega. Masih ada bagian yang kosong. Memang ruangan ini digunakan kalau ada pasien yang datang berobat ke rumah. Tapi pasien yang datang ke rumah tidak banyak.
Imran akan menempati ruangan ini. Uni Lani dan Lala memindahkan sebuah dipan kecil, kembaran dipan yang terletak di bawah tempat tidur uni. Dipan kecil itu sekarang diletakkan di samping rak buku. Mereka merapihkannya dengan seprai dan bantal bersarung putih bersih. Itulah tempat tidur Imran.
Rumah itu bertambah ramai dengan kehadiran Imran. Terutama di saat makan malam bersama. Karena abang Lutfi dan teteh Yani praktek sampai sekitar jam setengah sembilan malam, makan malam selalu agak terlambat, menunggu sampai kedua dokter itu pulang.
‘Bagaimana rasanya Ran, pindah dari Hasan Sadikin ke rumkit Sekeloa ini?’ tanya abang Lutfi bercanda pada saat makan malam.
‘Sama, bang,’ jawab Imran.
‘Lho kok sama? Masak nggak ada bedanya?’
‘Sama-sama berbeda dengan di Taman Sari.’
‘Semprul……’
‘Di Sekeloa nggak ada perawatnya, ya Ran,’ teteh Yani menimpali.
‘Lha, ini? Kan ada tiga perawat..? Ada dua dokter, ada tiga perawat. Pasiennya cuman satu. Di Hasan Sadikin pasiennya banyak sekali.’
‘Itulah, bang. Yang membuat awak agak takut. Jangan-jangan ndak sanggup awak membayar biaya perawatannya nanti.’
‘Aaah…… awak jangan khawatir. Tagihannya nanti disampaikan kalau pasiennya sudah menerima gaji. Sementara ini tidak akan ada tagihan….. Tapi kalau pasiennya sudah agak baikan diminta ikut membantu staf dapur umum… he..he..he..’
‘Membuat gulai tunjang? Begitu?’ tanya Lala.
Semua tertawa.
‘Iyalah. Tapi itu nanti….. Kalau pasiennya sudah bisa diperbantukan ke dapur. Bukan sekarang-sekarang.’
‘Bang….. Kok abang suka banget dengan gulai tunjang?’ Yuni bertanya.
‘Itu sudah dari sononya….. Bukan ding… Abang dulu diperkenalkan papa dengan gulai tunjang nasi Kapau di Bukit Tinggi. Kami makan di warung di tengah pasar. Tapi rasa masakannya, wuih….. Sejak itu abang nggak pernah melupakannya. Pernah sesudah itu abang ke Bukit Tinggi, bukan ikut papa. Kalau nggak salah menemani mama waktu nenek sakit, abang pergi sendiri ke tempat nasi Kapau itu lagi. Pokoknya bukan main dah. Dan rasa gulai tunjang yang dibuat Imran persis sama dengan gulai Kapau itu. Ini abang nggak bohong…’
‘Sama, apa enakan masakan bang Imran?’ Lala menggoda.
‘Yaa, beda-beda tipislah…. Yang dimasak Imran wuiih…. Ini, baru ngomongin aja…. Titik air liur abang mengingatnya....’
‘Kalau sama, kenapa nggak dibeli aja yang di warung nasi Kapau…?’ giliran uni Lani.
‘Di warung Kapau yang di Bandung ini? Waah…jauh. Jauuh banget bedanya. Kayaknya yang di Bandung masakan Kapau tiruan, atau masakan orang Kapau yang sudah lama merantau, jadi sudah lupa resep aslinya…’
‘Masakan Imran juga masakan Kapau tiruan. Orang dia bukan orang Kapau…hayooo.’
‘Tapi sepertinya dia sudah dapat sertifikat dari orang Kapau. Masakan dia Kapau banget.’
‘Abang memuji-muji karena ada maunya,’ kata Lala.
‘Memang…. Kan abang nggak menutupinya. Ya nggak, Ran?’
Imran tersenyum.
‘Teteh pintar memasak juga ‘teh?’ Imran mengalihkan pembicaraan.
‘Nggak pinter…’
‘Teteh pinter membuat pepes ikan mas…. Pepes ikan mas itu mirip-mirip…… apa itu kalau masakan Minang….. ?’ uni Lani yang mengomentari.
‘Mirip pangek ikan. Tapi pangek tidak dibungkus daun pisang,’ jawab Imran.
‘Gulai Kapau itu ada juga pangek ikannya kan?’ tanya Lala.
‘Ya…. Pangek ikan tawes. Mereka menyebutnya ikan paweh. Ikan paweh batalua…’
‘Dimasak pakai telor maksudnya?’ tanya teteh Yani.
‘Bukan….. Ikannya yang bertelor. Ikannya gemuk-gemuk dan di dalam perutnya berisi telor ikan. Ikan seperti itu yang dimasak. Dibuat pangek. Waah… itu juga sangat OK punya.’
‘Wuuuf. Pasti mantap itu,’ kata teteh.
‘Enak mana dengan gulai tunjang bang?’ giliran Yuni.
‘Beda enaknya. Tapi kalau abang berkunjung ke nasi Kapau seperti di Bukit Tinggi itu lima kali, abang akan minta gulai tunjang tiga atau empat kali…he..he..he..’
‘Yang satu sampai dua kalinya pakai ikan tawes bertelur?’
‘Ya… yang sekalinya pakai tawes bertelur tambah belut goreng balado… Wuuuuuiih.’
‘Kata mama, abang ini bapusa-pusa di perut,’ kata uni.
‘Apa itu? Maksudnya puser?’ Kalau puser kan memang diperut…he..he..he,’
‘Pusa-pusa itu, ini ‘teh,’ kata Imran sambil menunjukkan ke pusaran rambut di kepalanya.
‘Lalu apa maksudnya? Kok dibilang ada pusaran di perut? Kan nggak ada rambut di perut… ‘ teteh penasaran.
‘Ungkapan itu diberikan kepada orang yang terlalu doyan makan,’ uni menjelaskan.
‘Ooooh. Kalau itu….. abang memang orangnya….’
‘Aaah nggak begitu-begitu amat,’ abang Lutfi membela diri.
‘Kalau makan harus masakan Padang ya, bang?’ tanya Yuni lagi.
‘Nomor satu….. asal yang enak. Tapi masakan lain OK juga. Masakan Sunda juga boleh. Masakan Cina juga boleh…. Makan steak sama kentang goreng OK.’
‘Lalap-lalapan OK juga bang?’ tanya Imran pula.
‘Nggak semua. Kayak ada terong kecil mentah, yang Yani suka banget, abang nggak suka. Daun kemangi mentah, abang juga nggak suka…’
Obrolan itu berlanjut kemana-mana.
***
Seperti itu suasana santai di Sekeloa. Sejak awal Lala, dan juga Yuni berusaha memberikan perhatian khusus kepada Imran. Mereka berlomba, meski secara halus dan diam-diam, untuk melayani Imran. Lala membuatkan minuman di pagi hari. Yuni membuatkan di sore hari. Lala mengingatkan bibik untuk memasakkan air untuk mandi Imran. Kadang-kadang Lala sendiri yang meletakkan ke kamar mandi dan memberi tahu Imran kalau air untuk mandi sudah disiapkan.
Mereka berusaha selalu menyempatkan untuk berbincang-bincang dengan Imran. Kalau bisa sendiri-sendiri, tapi kadang-kadang bertiga. Untuk bertanya. Berdiskusi. Imran memang kawan berdiskusi yang asyik. Dia mau mendengar lawan bicaranya dengan sabar. Lalu memberikan pendapatnya tanpa memaksakan dia yang benar. Itu sudah menjadi sifatnya.
Bagaimanapun sikap dan perhatian Lala dan Yuni kepadanya, Imran menanggapi semua itu sebagai ketulusan dalam persaudaraan biasa. Sedikitpun dia tidak menangkap adanya pesan khusus dalam perlakuan mereka. Imran menganggap mereka seperti adiknya sendiri. Tidak lebih.
***
Hari Jumat sore Rizal datang dari Jakarta. Berita bahwa Imran mendapat musibah telah sampai di Jakarta. Nenek sangat cemas dan menyuruh Rizal pergi melihat keadaannya. Imran senang sekali dengan kedatangan Rizal.
Suasana jadi bertambah ramai dengan kedatangan Rizal. Diskusi di meja makan pada malam harinya bertambah seru.
‘Apa kata nenek mendengar kabar cucu kesayangannya dapat musibah, Zal?’
‘Sedih banget nenek. Rasanya mau beliau ikut ke Bandung. Tentu saja dilarang mama. Waktu aku bilang aku mau ke Bandung, beliau sangat senang. Beliau menyuruh agar cepat-cepat pergi,’ jawab Rizal.
‘Langsung menyuruh etek membuat rendang, begitu?’
‘Ya, iyalah. Nenek kan selalu begitu.’
‘Terus, tadi rendang ini, khusus buat si awak saja, dong?’
‘Kayaknya sih begitu. Kan oleh-oleh untuk orang sakit he..he..he..’
‘Jadi bagaimana dong?’
‘Abang ini paling bisa….,’ kata Imran.
Begitulah omongan mereka disertai canda. Sampai berlama-lama duduk di meja makan. Disertai tertawa terkekeh-kekeh. Abang Lutfi dan Rizal sama-sama pandai melawak. Ada-ada saja celotehan mereka yang mengundang tawa.
‘Ngomong-ngomong, bang. Abang percaya nggak sama dukun patah tulang yang mampu mengobati orang patah?’ tanya Rizal.
‘Percaya dan nggak percaya.’
‘Maksud abang?’
‘Perawatan patah tulang itu pada dasarnya adalah memberi kesempatan pada bagian yang patah itu untuk tersambung kembali secara alamiah. Untuk itulah dibalut dengan gips supaya proses penyambungan itu tidak terganggu. Dukun patah tulangpun melakukan hal yang sama, biasanya dengan menggunakan penyangga dari kayu atau bambu. Prinsipnya sama-sama saja. Dengan menggunakan gips, tentu lebih aman karena perlindungan pada bagian yang patah itu lebih menyeluruh.’
‘Ada temanku jatuh dari motor, tulang kakinya remuk, dibawa ke dukun urut. Sama dukun itu diurut . Dan temanku itu sembuh kembali.’
‘Diurut itu mungkin maksudnya untuk meletakkan bagian-bagian yang kamu bilang remuk itu di tempatnya semula. Baru setelah itu dibantu kembali dengan penyangga. Untuk membiarkan bagian-bagian tulang yang patah itu saling menyatu kembali. Masih bisa diterima akal.’
‘Ada yang bilang dia dibantu oleh makhluk halus.’
‘Wah, kalau itu sih abang nggak ikut campur.’
‘Jadi abang nggak percaya?’
‘Tidak terlalu percaya.’
*****
No comments:
Post a Comment