Wednesday, December 17, 2008

SANG AMANAH (96)

(96)

22. Pernikahan Di Musim Penghujan


Liburan akhir tahun ajaran sudah usai sejak beberapa minggu yang lalu. Kegiatan belajar mengajar di SMU 369 sudah kembali normal. Murid-murid kelas tiga lama pergi, murid kelas satu baru datang. Murid kelas satu baru yang diterima sebanyak dua ratus empat puluh satu orang. Mereka sudah selesai menjalani masa perkenalan. Di antara murid baru itu terdapat Faisal, putera pertama pak Umar. Anak-anak baru itu menemukan sekolah ini sangat menyenangkan. Suasananya, lingkungannya, kakak-kakak kelas, guru-guru, fasilitas olah raga semua serba asyik. Mereka mengamati dengan perasaan antusias setiap keutamaan yang dimiliki sekolah ini dan rasanya sangat membanggakan sekali bahwa mereka sekarang menjadi bahagian dari padanya.

Di papan pengumuman sekolah ditempelkan bermacam-macam informasi. Di antaranya pemberitahuan mengenai tingkat keberhasilan sekolah ini pada akhir tahun ajaran yang lalu. Prestasi yang diraih murid-murid SMU 369 untuk memasuki perguruan tinggi tahun ini sangat menggembirakan. Ada peningkatan prestasi dilihat dari keberhasilan lulusan sekolah ini memasuki perguruan tinggi favorit. Empat orang di terima di ITB, tiga orang di terima di UI, ada juga yang diterima di Unpad, di Universitas Gajah Mada dan Universitas Diponegoro masing-masing satu orang. Ditambah mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri lainnya serta PT swasta yang diminati. Ada pula informasi tentang prestasi masing-masing kelas, serta nilai rata-rata murid di setiap kelas. Semua menunjukkan grafik peningkatan yang sangat bagus. Nilai rata-rata murid kelas satu yang naik ke kelas dua maupun yang dari kelas dua naik ke kelas tiga semuanya meningkat.

Umumnya guru-guru SMU 369 sekarang yakin bahwa ternyata mereka mampu memperbaiki mutu sekolah ini. Meskipun belum ada keputusan tertulis dari fihak Depdiknas untuk menyatakan bahwa SMU 369 layak dijadikan sekolah unggulan, rasanya dengan prestasi yang sudah diraih hal itu tidaklah merupakan impian kosong lagi. Sangat wajar kalau semua guru-guru ikut bangga dan bahagia karena hasil yang dicapai adalah jerih payah bersama. Mereka telah berusaha untuk menunjukkan kesungguh-sungguhan dalam mengajar.

Murid-murid lama, yang sekarang duduk di kelas dua dan tiga merasakan benar perubahan yang terjadi di sekolah ini. Sekarang mereka bangga jadi murid di sini. Rasa antipati terhadap pak Umar, yang sempat mereka gelari Umar Bakri sebagai julukan merendahkan pada awal-awal beliau bertugas dulu, berubah menjadi rasa hormat dan segan. Tidak ada yang bisa dijadikan alasan untuk membenci pak Umar itu. Orangnya baik, santun, penuh perhatian, sederhana, tidak pernah marah apalagi memaki dengan kata-kata menyakitkan. Dia memang sangat tegas dan disiplin tapi tidak terkesan keras atau otoriter. Dia berlaku adil terhadap semua orang. Tidak ada yang berani merokok karena segan dengan kewibawaan pak Umar. Tidak ada lagi yang berani nyontek karena takut dan segan akan ketahuan pak Umar, yang tetap menerapkan pengawasan langsung ke kelas-kelas. Tidak ada yang berani berkelahi. Bahkan acara duel yang diperkenalkan dan digagas pak Mursyid beberapa bulan yang lalu hilang begitu saja. Dan murid SMU 369 tidak juga pernah terlibat tawuran dengan sekolah lain.

Prestasi olah raga juga menonjol, terutama sekali bola basket. Kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler baik yang dikelola OSIS maupun yang dibimbing langsung oleh guru berjalan dengan baik. Sekolah ini menjadi terasa semakin asyik-asyik saja. Kegiatan Grup Pencinta Alam pimpinan pak Mursyid juga patut mendapat acungan jempol. Grup itu selalu jadi bahan obrolan murid-murid. Murid kelas satu yang baru masukpun sudah banyak yang mendaftar untuk menjadi anggota. Para peserta pendaki gunung Salak merasa bangga dengan keberhasilan mereka mencapai puncak gunung itu. Foto-foto hasil jepretan Hardi dan Anto menghiasi papan pengumuman sekolah dan selalu ramai dilihat murid-murid. Mereka umumnya penasaran dan menyatakan keinginannya untuk ikut serta pada kegiatan jelajah alam berikutnya. Pak Mursyid merencanakan untuk melakukan penjelajahan lain di saat hari-hari libur mendatang. Musibah yang menimpa pak Sofyan pada waktu pendakian gunung Salak menjadi pelajaran berharga tentang perlunya kekompakan, kehati-hatian, dan perlengkapan yang memadai pada saat melakukan perjalanan melintasi alam seperti yang mereka lakukan.


*****


Di tengah-tengah suasana ke sehari-harian di SMU 369 terdengar bisik-bisik dikalangan guru-guru. Bahwa ibu Rita telah masuk Islam. Bermacam-macam tanggapan yang muncul. Ada yang tidak perduli, ada yang menghargai, ada yang sinis. Persis seperti yang sudah dibayangkan oleh Rita sendiri. Tapi semua berita itu masih samar-samar. Belum begitu jelas dari siapa sumbernya. Bahkan waktu ada yang bertanya kepada pak Darmaji dia tidak secara jelas menjawab ya atau tidak.

Pada suatu siang, ibu Rita baru saja selesai mengajar dan kembali ke kantor guru. Hanya ada pak Situmorang dan ibu Grace di kantor itu. Keduanya sedang berbincang agak serius dengan suara setengah berbisik-bisik. Kelihatannya mereka sengaja menunggu kedatangan ibu Rita karena mereka sudah selesai mengajar sejak jam pelajaran sebelumnya. Ibu Rita menyapa keduanya dengan ramah seperti biasanya. Ibu Grace langsung saja membuka pembicaraan, seperti tidak mau kehilangan waktu.

‘Saya dengar ada yang berubah, apa benar Rit?’ tanya ibu Grace sambil menatap tajam ke arah ibu Rita.

‘Maksud ibu Grace?’ ibu Rita balik bertanya, dengan tenang.

‘Ada desas desus bahwa Rita sekarang sudah pindah agama, apa betul?’

‘Oh, itu. Kalau itu betul. Saya sudah pindah agama,’ jawab ibu Rita singkat, sambil berkemas, mengambil sesuatu dari rak tempat menyimpan buku-buku.

Pak Situmorang dan ibu Grace melongo mendengar jawaban spontan seperti itu. Mereka hanya bisa saling berpandangan untuk beberapa detik. Seolah-olah mereka mendengar petir di siang bolong rasanya. Akhirnya ibu Grace meneruskan lagi kata-katanya.

‘Kok begitu mudahnya, Rit? Apa sudah dipikir betul? Apa nggak bakal menyesal? Apa sih yang salah dengan agama yang lama? Menukar agama kok seperti menukar pakaian begitu saja?’ ibu Grace melanjutkan pertanyaan dengan sedikit agresif.

Ibu Rita menatap ibu Grace sambil tersenyum. Ditariknya kursi di belakang meja tulisnya dan dia duduk dengan tenang.

‘Begini ibu Grace. Pertama ini bukan merupakan pilihan yang mudah, bukan sesuatu yang saya putuskan dalam sesaat, tapi merupakan hasil perenungan yang panjang. Bahwa akhirnya saya sampai kepada satu kesimpulan, untuk pindah agama, saya harap agar hal itu bisa diterima sebagai hak pribadi saya. Saya sadar dengan apa yang saya lakukan dan saya siap menerima segala konsekwensinya. Ini adalah sebuah keyakinan. Saya memahami tidak semua orang akan mengerti dengan keputusan yang saya ambil, tapi sekali lagi saya berharap agar semua fihak bisa menerima bahwa hal ini adalah masalah pribadi saya.’

Kata-kata itu mengalir datar tanpa emosi. Tapi sangat tegas.

‘Ya, tapi kenapa? Apa ada yang memaksakan? Apa karena mau menikah dengan si Darmaji itu? tanya pak Situmorang.

‘Tidak ada yang memaksa. Dan bukan karena saya mau menikah dengan mas Darmaji,’ jawab ibu Rita.

‘Tapi saya dengar kalian mau menikahnya?’ tanya pak Situmorang lagi.

‘Mudah-mudahan. Dan belum tahu kapan. Tapi bukan karena itu saya pindah agama,’ jawab ibu Rita.

‘Jadi karena apa?’

‘Karena bisikan dalam hati saya sendiri. Setelah saya merenung. Setelah saya membaca. Setelah saya berfikir. Setelah saya berdiskusi,’ jawab ibu Rita mantap. Nada suaranya tetap datar dan tenang.

‘Hebat kalinya pengalaman spirituil kawan ni. Jadi hanya dengan merenung? Lalu sampai ke kesimpulan mau pindah keyakinan? Apa yang direnung?’ tanya pak Situmorang pula.

‘Maaf pak Situmorang, saya tidak siap untuk beradu argumentasi kali ini. Tapi kalau pak Situmorang mau berdiskusi, saya bersedia melayani pada kesempatan lain. Dengan syarat, tidak untuk saling melecehkan,’ usul ibu Rita berusaha menghindari pertanyaan yang sepertinya hanya untuk memojokkan dirinya itu.

‘Begini, Rit. Sebagai guru kita ini kan seharusnya memberi contoh di sekolah ini. Kamu kan tahu bahwa banyak juga murid-murid beragama Kristen bersekolah di sini. Apa kata mereka nanti? Saya hanya berharap agar kita tidak memberi contoh yang buruk kepada mereka dengan mudahnya bergonta ganti agama,’ lanjut ibu Grace pula.

‘Ibu Grace, ini masalah keyakinan. Tidak bisa dipaksakan. Saya tidak terpaksa waktu saya pindah agama dan saya tidak mau dipaksa untuk pindah agama. Tidak dulu dan tidak juga sekarang. Masalah pindah keyakinan seperti itu ada dimana-mana. Jadi biarlah dia berlalu secara wajar saja. Saya harap murid-murid akan bisa juga menerimanya.’

‘Kami ini bermaksud baik, Rit. Ingin menyelamatkan kamu. Mungkin kamu sedang kalut, mungkin kamu sedang mengalami depresi atau sedang bagaimana sehingga akhirnya nekad mengambil jalan pintas yang keliru. Saya yakin kalau kamu mau berkonsultasi, mau mengajak diskusi, mau berbagi cerita dengan orang-orang yang seiman, tidak akan semudah itu kamu tergelincir,’ ibu Grace berusaha bijaksana.

‘Wah, bagaimana ya ibu Grace. Saya tidak pernah merasa stres atau depresi. Saya baik-baik saja kok. Apa yang saya lakukan sudah melalui proses yang panjang, bu. Saya sudah berdiskusi dengan banyak orang. Saya sudah dinasihati oleh banyak orang. Termasuk oleh ayah saya sendiri. Saya sangat berterima kasih untuk itu. Termasuk kepada ibu Grace dan pak Situmorang seperti sekarang ini. Ini bukan kekeliruan tapi sebuah keyakinan. Sebuah keyakinan yang baru saya dapatkan. Dan saya sama sekali tidak merasa tergelincir. Kalau pak Situmorang dan ibu Grace mau, saya bersedia kok bertukar fikiran tentang kenapa saya berganti keyakinan. Tapi jangan sekarang. Bukan karena saya takut, tapi saya ada keperluan lain.’

‘Bertukar fikiran untuk apa?’ tanya pak Situmorang dengan muka berkerut menahan kesal.

‘Untuk apa saja yang kira-kira perlu didiskusikan,’ jawab ibu Rita.

‘Apa untuk menunjukkan bahwa agama Islam lebih baik dari agama Kristen? Kalau orang yang sudah dari sononya Islam yang mengatakan begitu mungkin jugaklah. Bisa jugaklah awak terima. Tapi kalau orang yang pindah agama yang mengatakan, saya rasa itu hanya mungkin karena dia sudah terkena sihir,’ ujar pak Situmorang lagi. Kentara sekali dia semakin emosi

‘Makanya dari tadi saya katakan. Saya siap untuk berdiskusi, pak Situmorang. Hanya jangan sekarang. Dan dengan syarat, diskusi itu maksudnya bukan untuk saling melecehkan. Mari kita saling menghargai keyakinan masing-masing,’ ujar ibu Rita tetap tenang.

‘Beh! Hebat kali kawan ‘ni sekarang. Ya sudahlah ibu Grace. Sudah mantap kalinya keyakinan kawan ‘ni nampaknya. Ndak usahlah kita recoki lagi. Biarkan terserah dia sajalah,’ pak Situmorang berusaha menahan perasaan tidak enak.

‘Begini, Rit. Saya tetap mengulangi harapan saya tadi. Agar kamu kembali merenung. Cobalah berfikir yang tenang. Coba diskusikan lagi dengan ayah kamu. Atau dengan pendeta di gereja kamu. Atau dengan siapa saja yang seiman. Saya yakin mereka pasti siap membantu mencarikan jalan keluar dari masalah hidup yang memang seringkali menjadikan kita uring-uringan. Jangan terlalu mudah mengambil kesimpulan, Rit. Kamu nanti rugi sendiri. Pasti kamu tidak mau rugikan?’

‘Ibu Grace, pak Situmorang! Terima kasih banyak, ya. Maaf, saya ada keperluan lain. Jadi maaf saya tinggal dulu,’ ujar ibu Rita sambil bangkit dari tempat duduknya.

Pak Situmorang dan ibu Grace tidak bisa berkata-kata lagi. Mereka berdua hanya menatap ibu Rita melangkah pergi. Kelihatannya usaha mereka untuk menasihati ibu guru Kimia itu agar kembali kepada keyakinannya yang lama sia-sia kali ini.

Ibu Rita bergegas keluar dari ruangan guru. Dekat pintu masuk dia berpapasan dengan ibu Sofni dan ibu Lastri. Keduanya memandang ke arah ibu Rita sambil tersenyum tanpa berkata sepatahpun. Entah apa maksudnya. Ibu Rita membalas dengan tersenyum lagi saja. Sebenarnya kedua ibu guru ini dari tadi mendengarkan diskusi mereka bertiga di dalam ruang guru tapi keduanya tidak mau masuk. Mereka sengaja mendengarkan saja dari luar.

Ibu Rita tidak sedikitpun tersinggung saat berdiskusi dengan ibu Grace dan pak Situmorang tadi. Dia bahkan sudah mengantisipasi hal yang lebih berat dari itu. Dia siap jika ada yang mencaci makinya. Tapi ternyata tidak ada. Atau mungkin belum ada?

Sekarang dia menuju ke rumah pak Umar. Dia akan belajar mengaji dengan ibu Umar. Pelajaran yang sudah diikutinya sejak dua minggu. Dan pelajaran itu sangat disenanginya.


*****

No comments: