Sunday, November 23, 2008

SANG AMANAH (71)

(71)

‘To, lo kok diam aja sih? Lo ngikutin nggak yang kita omongin dari tadi? Atau lo emang baru datang ?’ tanya Rano.

‘Iya, gue udah dengar dari tadi. Gue ngikutin sebagian. Tapi gue nggak ‘dong’ bener nih. Emang siapa sih yang katanya tukang ngeboat yang mau masuk sekolah di sini?’ Anto bertanya.

‘Itu dia. Katanya sih, keponakannya ibu Purwati. Anak serdadu. Pangkatnya kolonel. Gimana menurut lo?’ tanya Rinto.

‘Ah…., kalau menurut gue sih……. tunggu aja. Itu berita bener apa kagak? Kalau memang iya, baru kita bereaksi. Mau protes kek, mau demo kek, mau apa kek. Tapi kalau cuman gossip, terus lo udah pada sibuk, terus nanti jawabnya pak kepsek ternyata enggak, kita kan jadi malu-maluin,’ jawab Anto.

‘Benar juga. Jalan pikiran lo selalu mantap deh,’ sambut Ames, sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.

‘Wuuuuu…. Kalau Anto yang ngomong aja….. langsung deh lo berubah. Tadi lo yang ngotot mau nyuruh OSIS nanya ke pak Umar. Emang dasar lo!’ Dewi ngeledek Ames.

‘Yey… bolehnye. Kok lo yang sewot sih? Biarin aja. Kalau memang omongan dia lebih bijaksana ya wajar dong gue setuju? Ngapain lo yang sirik?’ Ames melayani dengan ketus.

‘Siapa yang sirik? Emang dasar lo aja……..,’ jawab Dewi cemberut.

‘Dasar apaan?’ Ames masih napsu.

‘Dasar emang lo cari muka ke Anto.. Ah lo, belagak nggak ngaku lagi, he..he..he,’ Rano pura-pura membela Dewi.

‘Ah….. udah! Pada berisik aja sih lo-lo semua,’ Rinto menengahi. ‘ Begini aja, kita lihat aja dulu, kalau dalam sehari dua ini anak itu nggak diantarin lagi ke sini berarti memang dia belum terdaftar di sini. Ntar juga gossipnya bakal hilang sendiri. Tapi kalau emang dia datang lagi, kita langsung demo aja.’

Rinto tidak sadar kalau di belakangnya sudah berdiri pak Umar. Anto sudah memberi kode dengan kedipan mata, tapi Rinto tidak mengerti maksudnya. Kata-katanya yang terakhir persis kedengaran oleh pak Umar. Tapi pak Umar tidak marah. Beliau hanya bertanya dengan nada suara biasa-biasa saja.

‘Kenapa mesti demo?’ tanya pak Umar pendek.

Rinto kaget bukan main. Anak-anak lain juga tidak kalah kaget. Mereka berpandangan satu sama lain, tapi tidak ada yang bersuara.

‘Apa yang sedang kalian diskusikan?’ tanya pak Umar pula datar.

‘Anu…pak. Itu… kami…kami lagi ngobrol tentang…..,’ Rinto tergagap-gagap.

‘Tentang apa?’ tanya pak Umar lagi, sambil tersenyum.

‘Tentang….. anak…. Anak yang kemarin pingsan itu pak,’ Ames mencoba menjelaskan, sambil berusaha tenang.

‘Kalian kenal anak itu?’ tanya pak Umar lagi.

‘Tidak, pak. Kami hanya mendengar omongan teman-teman tapi tidak tahu dari mana sumber yang sebenarnya. Dan kami dengar anak itu masih saudara ibu Purwati. Dan ada teman-teman yang bilang bahwa anak itu sudah diterima sebagai murid baru di sini,’ Rinto sudah lebih berani berbicara.

‘Terus, tadi kamu berencana mau demo itu kenapa?’

Rinto kembali gugup. Dia tidak berani melihat ke arah pak Umar.

‘Maaf, pak. Apa saya boleh bertanya? Maksud saya…. apakah anak itu benar-benar sudah diterima bersekolah di sini pak?’ tanya Anto hati-hati.

‘Belum, karena dia juga belum mendaftar ,’ jawab pak Umar.

‘Maksud bapak, kalau dia mendaftar… dia akan diterima bersekolah di sini?’ tanya Anto lagi.

‘Saya tidak mengatakan begitu,’ jawab pak Umar pula.

‘Maaf pak. Maksud teman-teman tadi, kalau benar anak yang bermasalah itu diterima sebagai murid baru, tentu kami bisa memohon agar teman-teman yang dulu pernah dikeluarkan dari sini, dapat pula diterima kembali,’ kata Anto.

‘Dan permohonan itu kalian lakukan dengan berdemonstrasi, begitu?’ tanya pak Umar selanjutnya.

‘Maksudnya bukan demonstrasi beneran, pak. Tapi ya sekedar bertanya begitu,’ jawab Ames.

‘Baiklah, saya ingin menjelaskan tentang hal ini, tapi tidak kepada kalian secara perorangan seperti ini. Silahkan kalian minta OSIS untuk mengatur pertemuan dengan saya, kapan saja kalian mau. Sekarang sudah hampir jam tujuh. Kalian harus segera masuk kelas,’ perintah pak Umar.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak itu membubarkan diri, menuju ke kelasnya masing-masing.


*****


Guru-guru sudah menuju ke kelas mereka masing-masing. Di ruang guru masih tinggal pak Muslih, pak Wayan dan ibu Hartini. Pak Muslih dan ibu Hartini baru akan mengajar pada jam pelajaran berikutnya. Pak Wayan malahan baru akan bertugas lebih siang lagi, tapi dia sengaja datang pagi-pagi karena mau memindahkan nilai ujian ke buku catatan nilai murid-murid. Ketiga guru itu berbincang-bincang ngalor-ngidul dan akhirnya kembali membahas kasus narkoba.

‘Peredaran narkoba ini betul-betul sudah keterlaluan. Harusnya pemerintah lebih tegas menindak mereka-mereka yang terlibat sebagai pengedar dengan hukuman seberat mungkin. Bila perlu dengan hukuman mati seperti di Singapura dan di Malaysia itu,’ ujar pak Muslih dalam diskusi itu.

‘Ya, itulah pak. Entah kenapa pemerintah kita kok sampai kedodoran mengurusi masalah ini sehingga dari sehari ke sehari semakin parah keadaannya. Saya masih ingat si Danta yang dikeluarkan tempohari. Anak itu padahal pintar. Entah bagaimana caranya sampai terlibat penggunaan obat terlarang begitu,’ pak Wayan menambahkan.

‘Sebenarnya hukuman berat itu juga dikenal dalam sistim pengadilan kita, pak. Hanya saja antara aturan dalam kitab-kitab hukum dengan pelaksanaan hukuman seringkali tidak sejalan di negara kita ini. Hukum di sini sedang sakit parah. Kalau kita ikuti berita di masmedia tentang pelaksanaan atau penegakan hukum, pasti kita sedih melihatnya. Keputusan hakim seringkali terbalik-balik dan susah difahami. Koruptor besar, yang terbukti sudah menyelewengkan uang negara, memiliki kekayaan dalam jumlah yang tidak masuk akal, berurusan dengan hukum akhirnya divonis dengan hukuman ringan. Sementara maling ayam, dihakimi oleh masa sampai babak belur sesudah itu dimasukkan ke penjara untuk waktu yang lama. Itulah cermin keadilan yang sangat memprihatinkan di negeri ini. Kasus narkoba, semua kita faham, mengerti bagaimana tragisnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba itu. Tapi belum pernah terdengar pengedarnya yang tertangkap dijatuhi hukuman berat. Lebih gawat lagi, di lingkungan penjarapun peredaran narkoba itu berjalan, sementara aparat penjaga seolah-olah buta dan tuli,’ ibu Hartini menambahkan panjang lebar.

Pak Umar yang mendengar diskusi itu keluar dari kantornya.

‘Saya dengar bapak-bapak dan ibu sedang membahas masalah besar. Saya jadi ingin ikutan jadi pendengar nih,’ kata pak Umar menyapa.

‘Wah! Kedengaran ke dalam toh pak?’ tanya pak Muslih.

‘Iya terdengar dong pak. Dan saya jadi tertarik mendengar uraian bapak-bapak dan ibu barusan,’ ujar pak Umar pula.

‘Kita prihatin dengan kasus yang menimpa anak-anak yang jadi korban narkoba itu lho, pak,’ pak Muslih menjelaskan. ‘Murid kita di sini sudah ada lima orang yang dikeluarkan sampai tahun yang lalu. Waktu itu suasananya memang sangat memprihatinkan. Anak-anak itu, yang sebelumnya dikenal anak baik-baik, pintar, tahu-tahu kedapatan nyuntik. Di sekolah. Di sini. Apa nggak sinting itu namanya. Kita, guru-guru waktu itu mendesak pak Suprapto supaya mengambil keputusan tegas dan cepat. Kalau tidak segera diambil tindakan suasana di kalangan murid-murid akan semakin kacau. Sayang sekali memang, harus mengusir anak-anak itu dari sekolah. Tapi tidak ada jalan lain. Kalau tidak ditindak tegas begitu dikhawatirkan korbannya akan semakin bertambah.’

‘Apa kelima murid itu dikeluarkan bersamaan, pak Muslih?’ tanya pak Umar.

‘Oh nggak pak. Ada tiga kali kasus dalam waktu yang berdekatan. Mula-mula seorang anak kedapatan mabok. Istilah anak-anak, ‘sakau’. Digeledah, di tasnya ditemukan bubuk-bubuk morfin. Anak itu tidak dikeluarkan, tapi diciduk polisi karena ada yang melaporkan bahwa dia menyimpan bubuk morfin itu dan rupanya sudah jadi incaran polisi juga. Anak itu ditahan polisi sebentar, tapi nggak lama kemudian bebas. Hanya sudah nggak berani datang ke sekolah. Habis itu ada dua anak bersamaan mabok akibat pil ekstasi yang dikonsumsi di sekolah. Kedua anak itu jadi seperti orang gila. Orang tua kedua anak ini langsung dipanggil untuk datang ke sekolah. Mereka diberi peringatan keras. Masih diberi kesempatan sekolah. Nggak taunya, seminggu kemudian mengulangi lagi perbuatannya. Masih mereka berdua itu. Keduanya lalu diskors satu bulan. Setelah sebulan, masuk lagi tapi sudah makin tidak benar. Sudah kurus. Pokoknya kelihatan seperti anak morfinis beneran. Nggak sampai sebulan bersekolah sudah kedapatan lagi menggunakan jarum suntik. Ya sudah, waktu itu kita para guru-guru mendesak pak Suprapto agar anak yang dua itu dikeluarkan. Beberapa minggu sesudah itu muncul lagi kasus baru. Ada lagi tiga anak yang ‘sakau’, karena pil lagi. Kita, guru-guru jadi bingung. Ada apa ini. Sejak itu penggeledahan terhadap tas murid-murid lebih diintensifkan. Ketiga anak itu diskors lagi seminggu. Dua dari ketiga anak itu, masih dalam waktu skorsing itu datang ke sekolah, ‘sakau’ lagi di sekolah. Benar-benar edan mereka itu. Keduanya langsung dikeluarkan juga. Salah satunya akhirnya dipindahkan orang tuanya ke daerah,’ cerita pak Muslih dengan rinci.

‘Dengan cara bagaimana mereka-mereka itu sampai terpengaruh seperti itu, ya?’ tanya pak Umar.

‘Waktu itu sekolah ini didatangi para pengedar, pak. Tidak masuk ke pekarangan sekolah sih, tapi di jalan, di luar sana. Pak Hardjono waktu itu yang mengamat-amati. Kalau menjelang bubar sekolah selalu ada preman hilir-mudik di jalan masuk di luar sana. Banyak murid-murid yang diteror. Dan mereka sepertinya tidak menganggap kita, para guru-guru. Pak Hardjono bahkan diancam-ancam. Akhirnya kita laporkan ke polisi. Sekolah ini dijaga polisi untuk beberapa minggu. Untunglah, sejak itu sudah lebih aman,’ giliran pak Wayan bercerita.

‘Kapan kejadian itu pak Wayan?’ tanya pak Umar lagi.

‘Sekitar setahun yang lalu, ya kan pak Muslih?’

‘Belum setahun, pak. Sekitar sembilan sampai sepuluh bulan yang lalu,’ jawab pak Muslih

‘Murid-murid kelas berapa mereka?’

‘Semua anak kelas dua waktu itu, tapi bukan dari kelas yang sama. Dua orang dari kelas dua A, murid-murid saya. Saya wali kelasnya. Namanya Edwin dan Wahyu. Edwin itu anak pegawai Swasta biasa. Kalau tidak salah ayahnya petugas Satpam. Anak itu tadinya baik, kalm, tidak banyak tingkah, tapi entah bagaimana caranya sampai bisa bergaul dengan preman-preman itu. Wahyu anak pengusaha kaya, mungkin karena selalu banyak uang, jadi sasaran para preman itu. Terus ada dua orang dari kelas dua C, Danta dan Parlin,’ jawab ibu Hartini.

‘Sayang sekali. Kasihan sekali mereka itu. Jangan-jangan anak-anak itu kena pengaruh obat terlarang gara-gara dipengaruhi preman-preman yang suka berseliweran di jalan di depan itu?’ tanya pak Umar pula.

‘Susah untuk dibuktikan, pak. Tapi ada kemungkinan memang begitu. Memang ada di antara anak-anak itu yang dari keluarga ‘broken home’. Ini tentu faktor yang berpengaruh pula. Ada satu orang yang kasihan, karena dia dari keluarga sederhana sebenarnya. Dan anak itu pintar. Tapi kena juga. Itu yang akhirnya dipindah keluar daerah tadi,’ jawab pak Muslih.

‘Kasihan sekali. Sedih saya mendengarnya,’ komentar pak Umar pendek.

‘Betul, pak. Memang kasihan. Saya rasa anak-anak yang dikeluarkan itu hanya karena kena pengaruh sesaat waktu itu saja. Waktu masih kelas satu mereka itu tidak ada yang bermasalah,’ kata ibu Hartini.

‘Masalah sebelumnya paling urusan kebiasaan merokok. Saya kenal salah satu yang terlibat itu memang perokok sejak di kelas satu,’ pak Muslih menambahkan.

‘Yaa begitulah, pak. Mudah-mudahan jangan kejadian lagi deh yang begitu itu,’ kata pak Wayan.

‘Mudah-mudahan pak Wayan. Kita harus selalu waspada mengawasi anak-anak dari pengaruh jahat seperti narkoba itu,’ tambah pak Umar.

Pembicaraan guru-guru itu berakhir waktu jam pelajaran kedua hampir dimulai.


*****

No comments: