Friday, December 21, 2007

SEBUAH HARI DISANA

SEBUAH HARI DI SANA

Di penghujung malam
Di sebuah kota di atas bukit
Ketika dingin embun semakin merasuk
Suara riuh rendah berketintam-ketintam baru saja berakhir
Suara riuh yang berasal dari kedai atau entah tempat apalah namanya yang diantaranya berjualan arak
Tiba-tiba sunyi sejenak dan dingin terasa menggerogot ke tulang sumsum
Berganti tiba-tiba saja dengan himbauan azan

Suara yang mendayu di tengah malam buta berselimut embun dingin itu
Mendayu, lirih menghimbau dalam suara bergetar panjang bergelombang
Wahai, marilah menegakkan shalat
Wahai, marilah meraih kemenangan
Wahai, shalat lebih indah dari pada tidur
Wahai, adakah agaknya yang tersentuh?
Adakah agaknya yang mendengar panggilan?

Belum
Belum masuk waktu subuh
Itu adalah azan pertama mengingatkan agar mereka mau segera keluar dari pelukan selimut dan segera bersiap-siap
Dilantunkan oleh seorang musafir lara dengan tubuh rapuh meski belum renta
Hanya dia seorang saat itu
Tapi ditemani entah berapa puluh malaikat Allah
Di dalam mesjid besar

Dan sesudah itu disibukkannya dirinya dengan shalat
Entah beberapa buah shalat
Dan shalat
Beberapa puluh saat kemudian
Kembali digapainya pengeras suara dan diapun azan sekali lagi
Itulah baru waktu subuh
Gayung bersambut
Bunyi tengkelek berketekak ketekek menghampir

Dan jumlah yang hanya dihitung dengan jari
Meski dengan jari kedua belah tangan
Sebegitulah yang datang memenuhi panggilan tadi itu
Akhirnya mereka menyusun barisan
Seorang buta maju ke depan menjadi imam
Memimpin shalat dengan bacaan yang fasih
Dalam sebuah bacaan surah yang cukup panjang dengan tajwij yang prima
Dalam gerakan khusyuk dan tumakninah

...............................

Hidup mulai hidup
Terang mulai terang
Ramai mulai ramai
Termasuk di lapau rendah
Ketika orang-orang berdiang mendekatkan diri ke sisi dapur yang mengepulkan asap dari kayu bakar untuk mengusir dingin
Orang yang datang minum kahwa lebih banyak dari jamaah tadi di mesjid

Gelas sendok mangkuk piring berlaga-laga
Dengan pasangannya masing-masing
Hidup mulai hidup
Makan mulai makan
Pisang goreng dan ketan dan teh telor
Roda ekonomi mulai menggelinding

Terang bertambah terang
Ramai bertambah ramai
Hiruk pikuk bertambah hiruk
Pintu-pintu tokopun dibuka
Orang-orang penggalas memulai kesibukan
Barang ditata dan digelar untuk diperdagangkan

Bertambah tinggi hari
Bertambah ramai yang datang
Bertambah banyak kesibukan
Yang sibuk menjual
Yang sibuk membeli
Yang sibuk menanti kesempatan orang terlengah

Ketika matahari tergelincir
Si berbadan rapuh penjual gula-gula itu sudah lama menyimpan kotak dagangannya
Bergegas
Dan kali ini suaranya kembali mendayu merasuk kalbu
Kalbu yang hatinya dibuka
Untuk memenuhi panggilan menuju ke kemenangan

Di dalam saf diatur, tumit diluruskan, bahu dirapatkan
Tangan diangkat takbir dikumandangkan
Di luar jual beli tetap berjalan bahkan bagai tak ada hubungan
Yang shalat shalat, yang berjual beli berjual beli
Yang makan bertambuh makan bertambuh
Walah........, yang mencopet tetap mencopet......

................


Matahari makin ke barat, udara panas dibelai tiupan angin dari arah gunung
Saat mata-mata sebahagian mulai berat di terjang kantuk
Balai yang ramai itu masih lagi ramai ditambah dengan aneka sampah balai
Namun yang berjual beli masih lagi berjual beli meski tidak seperti tadi pagi
Yang sebagian sudah mulai menghitung untung yang tertampung
Dan yang membeli sudah menuju pulang ke rumah masing-masing

Kanak-kanak berbaju seragam berlarian di halaman mesjid
Datang untuk mengenal huruf-huruf hijaiyah
Mengenal IQRA
Menyusun huruf menghafal bunyi
Muka-muka lugu bersahaja
Belajar mengaji

Tapi di sudut lain ada berempat duduk menghadapi sebuah meja kecil
Bergantian melapohkan batu ke meja kecil itu
Merangkai ular batu di meja kecil itu
Melotot, berpikir, berkonsentrasi sebelum dapat giliran melapoh meja kecil
Sampai keduapuluhdelapan buah batu itu berbaris di atas meja kecil
Sebelum keduapuluhdelapan batu itu untuk kesekian puluh kali diaduk di atas meja kecil

Tertawa terbahak-bahak
Bersungut terbudut-budut
Merokok berkepul-kepul
Lalu
Terdengar lagi azan
Siapa lagi kalau bukan si lara itu

Azan tinggal azan
Shalat tinggal shalat
Ganja anam tetap ganja anam
Yang harus dilapohkan
Diiringi sunggingan bibir kemenangan
Bagaikan tak ada hubungan

Datanglah kala magrib ketika matahari menghilang
Terkumandanglah azan magrib dari pengeras suara yang sama
Berkumpulah jamaah yang itu ke itu juga
Adalah sedikit bertambah dengan musafir lalu
Tapi di sana dibagian sisi lain kota ini
Banyak yang tidak perduli


Dan waktu isya
Bagai tiada bedanya
Kini malam mulai menggerogot
Kota di atas bukit, masih hidup
Dengan warna hidup yang dulu tak dikenal
Terasa aneh kata yang melihatnya sebagai aneh

Ada yang berjualan khusus dikala malam di kota di atas bukit
Ada yang sibuk khusus dikala malam di kota ini
Sekelompok anak remaja
Agaknya kakak-kakak dari kanak-kanak yang tadi sore mengaji
Berhondoh poroh bergelak tawa
Menikmati dunia mereka

Dan inilah yang aneh lagi pula aneh
Yang dulu tidak pernah dikenal anak negeri
Bunyi berketintam-ketintam memekak anak telinga
Dari tempat yang na’utzubillah tsumma na’utzubillah
Kok bisa ada di negeri yang selalu diseru seruan azan ini
Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana

Berkentintam-ketintam heboh memekak
Tak suatu apa boleh melerai
Tak seorangpun sepertinya perduli
Semua seolah berlepas diri
Biarkan mereka heboh sampai pagi, sampai mereka berhenti sendiri
Mengakhiri putaran sebuah hari di kota ini.

*****

No comments: