Monday, October 25, 2010

GEMPA

GEMPA

Jam sembilan pagi. Matahari bersinar cerah mengusir embun dan udara dingin. Sinar matahari itu terasa enak menghangatkan badan. Malin Marajo, petugas mesjid sedang membersihkan kolam besar di belakang mesjid. Mengais dan membuang kumpulan kalayau sendok atau enceng gondok kata orang di Jawa. Kalau tidak segera dikeluarkan tumbuhan itu akan berkembang biak dengan cepat menutupi permukaan kolam dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan ikan-ikan di dalam kolam. Ikan mas, mujair dan gurame. Ikan-ikan yang merupakan cadangan dana mesjid. Kalayau sendok itu ikut masuk kolam bersama air bandar, entah dari mana asalnya.

Kak Zahara, seorang pedagang beras bersiap-siap akan menjemur padi di pagi hari itu. Wanita separuh baya itu biasa menjemurnya di pekarangan mesjid yang rata dan luas. Kak Zahara memergoki setumpuk kalayau sendok yang baru saja diangkat Malin Marajo tergeletak di tepi kolam dekat tempat dia biasa menjemur padi. Kak Zahara langsung mengingatkan.

‘Jangan di sana diletakkan kalayau itu Marajo. Tidak elok dipandang dan sebentar nanti dia akan berbau busuk,’ katanya.

‘Ah, di mana pula akan busuk. Dipanggang matahari sehari ini akan langsung kering. Kalau sudah kering nanti kubakar,’ jawab Malin Marajo.

‘Jangan kau bantah aku. Kalayau itu belum akan kering meski ditimpa panas matahari agak seminggu. Lebih baik kau buang ke pinggir kebun di seberang sana. Di sini, aku akan kena baunya, orang sembahyang di mesjid akan kena baunya.’

‘Bagaimana pula aku akan membuangnya ke pinggir sebelah sana, dia adanya di pinggir kolam sebelah sini. Kakak ini mempersulit pekerjaanku saja.’

‘Lebih baik kau dengar apa kataku. Atau kau akan dimarahi engku Imam. Bau kalayau ini busuk memusingkan kepala. Tanggung-tanggung bekerja, lebih baik kau lakukan sungguh-sungguh atau kalau tidak, tak usah kau kerjakan.’

‘Kenapa kakak pula yang memerintah-merintah?’

‘Aku bukan memerintah-merintah. Aku mengatakan yang benar. Bukan asal memerintah. Kalau sudah keluar bau busuknya nanti, pasti kau juga yang akan disuruh engku Imam memindahkannya.’

‘Kakak nyinyir. Pening kepalaku mendengar orang nyinyir.’

Malin Marajo bersungut-sungut sambil berusaha mendorong tumpukan kelayau yang masih di dalam kolam ke arah kebun yang dikatakan kak Zahara. Dia mendorongnya dengan galah bambu.

‘Yang ini jangan kau biarkan di sini,’ kak Zahara mengingatkan lagi, sambil menunjuk ke tumpukan yang sudah terangkat.

‘Berhentilah memerintah kak! Tanganku hanya dua. Dan berhentilah jadi orang nyinyir.’

Kak Zahara hanya tersenyum sambil medorong gerobak berisi karung-karung padi. Padi yang akan dijemurnya. Malin Marajo meneruskan pekerjaannya. Masih bersungut-sungut.

Tiba-tiba, Malin Marajo yang sedang mendorong-dorong kalayau sendok itu terpelanting masuk kolam. Air kolam itu beriak sejadi-jadinya sampai memancur ke atas. Air itu terpancur sangat tinggi, sementara yang di dalam kolam bergoyang-goyang. Bumi bergoncang sangat dahsyat. Malin Marajo yang tidak kehilangan kesadaran berpegangan ke pinggir kolam, pada saat bumi bergoncang luar biasa dan air kolam bagai diaduk-aduk itu. Entah berapa puluh detik suasana mencekam itu berlangsung. Malin beristighfar sambil menggigil ketakutan. Sambil berpegang kuat-kuat ke pinggir kolam.

Terdengar suara bunyi benda besar jatuh. Bunyi sesuatu yang runtuh menghantam bumi. Malin Marajo bertakbir dengan suara parau. Allaaahu Akbaaar. Dia menutup matanya. Rasanya inilah akhir hayatnya.

Kak Zahara dibantu sepupunya Salma baru saja selesai mengembangkan tikar penjemuran padi. Dua lembar tikar mensiro berukuran dua kali empat meter. Empat karung padi terletak di atasnya siap untuk dijemur, sebelum nanti digiling di mesin penggilingan padi. Kak Zahara baru akan menuangkan karung pertama ketika gempa dahsyat itu terjadi. Tubuh wanita separuh baya itu terpelanting dan terduduk di tanah. Salma yang berdiri dekat sebuah karung berpegangan erat-erat ke karung itu sambil berteriak ketakutan.

Kejadian itu berlalu begitu cepat. Hanya dalam bilangan beberapa detik. Kubah mesjid besar itu jatuh menimpa tepat ke tempat kedua wanita malang itu. Kedua wanita itu mungkin tidak sempat memikirkan apa yang tengah menimpa mereka. Keduanya terkorban. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.


****

Gempa besar itu berlangsung sekitar seratus detik Seratus detik yang luar biasa mencekam. Yang luar biasa dahsyat. Meninggalkan kehancuran yang mengerikan. Di kampung itu dua puluh buah rumah runtuh, hancur, rata dengan tanah. Lebih banyak pula yang rusak sebagian atau retak-retak. Menara mesjid runtuh dan sebagian dinding mesjid rengkah. Dalam waktu begitu singkat. Beberapa buah pohon tumbang. Jalan kampung retak aspalnya di sana-sini. Gempa itu terjadi di bawah cuaca cerah di sebelah pagi. Ada empat orang yang terkorban maut, termasuk kak Zahara dan Salma.

Malin Marajo menangis meratap ketika dia yang pertama sekali mendapatkan jasad kak Zahara yang sudah tidak bernyawa.

‘Berdosa aku kaaaaak…….,’ rintihnya pilu sambil mengusap darah di mulut wanita itu dengan kain sarungnya.

Tubuh wanita malang itu terhimpit runtuhan kubah mesjid. Hanya bagian dadanya ke atas yang terlihat. Darah keluar dari mulutnya. Di sebelahnya, terlihat sebagian kaki Salma. Sungguh sangat mengerikan pemandangan itu. Belum sampai sepuluh menit sejak Malin Marajo berbantah-bantahan dengan kak Zahara, yang sekarang sudah menjadi mayat dengan kondisi sangat mengenaskan seperti itu.

Korban lain adalah seorang laki-laki tua yang terbaring sakit di tempat tidur. Rumahnya runtuh. Orang tua itu terhimpit kayu besar yang jatuh dari langit-langit rumah. Korban ke empat seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun yang terhimpit runtuhan dinding sebuah rumah. Ada belasan orang yang luka-luka dan patah tulang. Sungguh sebuah musibah dahsyat. Musibah yang terjadi dalam sekejap mata.

Semua yang masih selamat terperangah. Terperanjat menyaksikan mimpi buruk di siang hari yang datang begitu tiba-tiba. Kampung itu jadi centang perenang mengenaskan. Tangis pilu terdengar di sana-sini. Tangis duka memandang kehancuran.

Terperangah itu tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Beberapa orang yang tinggal dekat mesjid bergotong royong mengeluarkan jasad kak Zahara dan Salma dari himpitan reruntuhan kubah mesjid. Lalu kedua jenazah itu dibawa pulang ke rumah mereka , sebuah rumah kayu lama, yang alhamdulillah tidak mengalami kerusakan berarti. Satu dari dua puteri kak Zahara jatuh pingsan ketika melihat jasad ibu dan etek mereka. Yang beberapa menit yang lalu masih segar bugar. Masih penuh semangat. Laa hawla wa laa quwwata illa billaahi. Kalau Allah berkehendak, apapun terjadi di bawah kekuasaan Nya.

****

Sore harinya bantuan datang dari kota. Dari perorangan maupun dari kelompok masyarakat. Menurut berita banyak sekali kampung dan nagari yang juga hancur seperti kampung ini, luluh-lantak disebabkan gempa pagi tadi itu. Berpuluh banyaknya korban yang meninggal. Entah berapa ratus yang terluka dan patah-patah. Entah berapa ratus, atau bahkan mungkin ribuan buah bangunan yang hancur..

Atas saran wali nagari, sekolah dasar yang alhamdulillah selamat, kecuali sedikit retak-retak, dijadikan tempat penampungan korban yang rumahnya hancur. Mesjid masih bisa dipakai untuk shalat berjamaah walaupun bagian atapnya sekarang terbuka karena kubahnya jatuh. Dinding mesjid hanya retak-retak di beberapa bagian.

Sesudah shalat maghrib, dengan jamaah lebih banyak dari biasanya, Buya Haji memberikan ceramah singkat untuk menenangkan hati masyarakat. Buya mengingatkan agar musibah yang terjadi dijadikan pelajaran untuk menyadari ke Maha Kuasaan Allah. Sebagai makhluk kita memang tidak ada apa-apanya di bawah kekuasaan Allah. Terjadi sedikit tanya jawab sesudah ceramah Buya Haji.

‘Buya! Apakah yang terjadi ini merupakan peringatan atau hukuman dari Allah?’ tanya guru Sofyan.

‘Biarlah kita berprasangka baik saja kepada Allah bahwa ini adalah sebuah peringatan. Kita diperingatkan agar lebih banyak mengingat Allah dan beribadah kepada Nya. Karena kita ini ternyata tidak ada apa-apanya. Karena Allah begitu Maha Perkasa dan Maha Berkuasa. Betapa mudahnya bagi Allah untuk berbuat sesuatu. Rumah, bangunan, mesjid yang kita bina bersusah payah dalam waktu lama, dalam beberapa detik saja, dengan kekuasaan Allah jadi porak poranda. Allah kuasa melakukannya. Allah kuasa menghancurkan alam raya ini.’

‘Tapi ada yang mengartikan bahwa ini adalah hukuman Allah karena sudah semakin banyaknya kemaksiatan, Buya. Bagaimana pula itu?’ tanya etek Syarifah.

‘Boleh-boleh saja ada yang berpendapat seperti itu. Tapi pada gilirannya, kan tetap saja merupakan sebuah peringatan Allah. Akankah kita sadar? Akankah mereka yang suka bermaksiat mau bertobat? Memperbaiki diri? Kalau mereka mau, maka beruntunglah mereka.’

‘Benarkah gempa itu juga merupakan sunatullah Buya?’ kembali guru Sofyan bertanya.

‘Benar sekali. Hujan, panas, laut bergelora, gunung-gunung mengeluarkan asap atau bahkan letusan yang melemparkan batu-batuan, gempa bumi semua itu adalah ketetapan-ketetapan Allah. Semua sudah diadakan Allah sejak dunia terkembang. Begitu kata para ahli. Tentulah guru Sofyan yang lebih tahu tentang itu. Tapi adakalanya sesuatu yang sunatullah itu dijadikan Allah untuk memperingatkan umat manusia bahkan ada juga umat-umat terdahulu yang dihukum Allah dengan bencana yang berasal dari alam. Kaum Luth yang dimusnahkan Allah dengan letusan gunung berapi. Kaum nabi Nuh yang ditenggelamkan dengan air bah. Kita sebagai orang yang beriman kepada Allah, tidak punya pilihan selain bertawakkal dan berserah diri kepada Allah. Seandainya musibah itu menimpa kita, mendatangkan maut kepada kita seperti yang dialami saudara-saudara kita hari ini, mudah-mudahan itu terjadi pada saat kita ikhlas bertawakkal kepada Nya.’

Begitu Buya Haji mengakhiri ceramah singkat beliau.


*****

No comments: