Friday, November 14, 2008

SANG AMANAH (59)

(59)


Sore ini ada latihan basket di sekolah di bawah pimpinan pak Hardjono. Anto adalah salah seorang pemain basket terbaik SMU 369. Peminat basket ini lumayan banyak. Tapi lebih banyak lagi penggembiranya. Kalau ada pertandingan basket antar sekolah, SMU 369 bisa riuh rendah. Hampir semua murid yang tidak ikut main jadi penonton dan pemberi semangat. Tim basket SMU 369 termasuk tim yang diperhitungkan di kalangan SMU se Jakarta Timur. Pada waktu latihanpun biasanya banyak saja anak-anak yang tidak ikut main datang menonton. Permainan basket itu memang lagi naik daun, lagi digandrungi anak-anak muda. Pemain-pemainnya yang jangkung-jangkung dan gagah-gagah itu jadi pujaan fans mereka masing-masing. Rencananya sebelum liburan akhir tahun ajaran nanti akan ada kompetisi basket se Jakarta Timur. Dan latihan sore ini adalah dalam rangka menghadapi kompetisi itu.

Jumlah peserta latihan tidak ditentukan berdasarkan kelasnya tapi dipilih yang terbaik dari setiap kelas. Ada tiga puluh orang murid dari semua kelas. Mereka dibagi menjadi dua tim dalam latihan. Dan rencananya untuk kompetisi nanti kedua tim itu akan diturunkan. Dari kelas dua C yang ikut latihan adalah Anto, Iwan dan Herman. Kebetulan trio kelas dua C ini adalah pemain berbakat semua. Mereka berlatih bersungguh-sungguh. Pak Hardjono adalah seorang pelatih yang sabar dan sangat pandai membangkitkan semangat. Guru olah raga ini sangat akrab dengan murid-murid. Beliau bukan seorang instruktur yang otoriter dan keras tapi seorang pelatih yang sabar dan disiplin. Dan disenangi serta dihormati oleh murid-muridnya.

Latihan itu berlangsung sampai jam setengah enam sore. Sesudah latihan, pada saat beristirahat mengeringkan tubuh mereka dari keringat, pak Hardjono menghampiri Anto dan bertanya.

‘Saya dengar ibu kamu waktu itu sakit, apa benar To?’

‘Betul, pak. Tapi sekarang sudah baikan,’ jawab Anto.

‘Katanya minum obat sesuai petunjuk pak Umar. Apa benar begitu?’

‘Benar pak. Dan barangkali berkat doanya pak Umar juga,’ jawab Anto lagi.

‘Syukurlah. Tentu juga berkat doa kamu. Saya lihat kamu banyak berubah sekarang. Saya perhatikan kamu selalu shalat di mesjid sekolah setiap siang.’

‘Itu sih benar pak. Dia sekarang sudah berubah banget. Padahal gara-gara ngejahilin Vespa pak Umar. Tapi malahan dapat berkah bener kayaknya,’ Iwan ikut menyambung.

‘Iya nih. Dan idolanya sekarang pak Umar lho, pak,’ Herman menambahkan.

‘Apaan sih, lo-lo kok ribut aja?’

‘Benar, kan. Idola lo sekarang pak Umar?’ Herman ngotot.

‘Beliau itu sangat baik. Sangat berjasa kepada keluarga gue. Gue memang sangat mengaguminya,’ jawab Anto.

‘Tadi siang saya pas dekat pak Umar waktu kamu memberikan surat ayah kamu. Katanya ayah kamu mau berkunjung ke rumah pak Umar.’

Anto menatap wajah pak Hardjono. Apa maksud pak guru olah raga ini? Pak Hardjono rupanya mengerti Anto kurang suka membicarakan hal itu.

‘Ah nggak apa-apa. Saya bukannya sok mau tahu. Tapi benar tadi pak Umar yang bercerita tentang sakit ibu kamu dan tentang kunjungan pak Umar hari Minggu kemarin serta keheranan beliau atas kesehatan ibu kamu yang sangat mengagumkan. Itu saja,’ kata pak Hardjono.

‘Benar pak. Kemarin ini pak Umar datang ke rumah bersama istrinya. Ayah saya ingin membalas kunjungan itu hari Minggu depan. Dan surat tadi maksudnya menanyakan kalau pak Umar tidak berkeberatan,’ Anto menjelaskan.

‘Harusnya lo bilang ke bokap lo ngasih apa kek gitu ke pak Umar sebagai ungkapan terima kasih. Kalau bener pak Umar yang memberi tahu obat nyokap lo. Dan kalau bener kesehatan nyokaplo maju pesat kayak gitu,’ Iwan sok memberi nasihat.

Anto melotot melihat Iwan. Dia tidak berkata apa-apa. Sepertinya ada sesuatu yang mau meledak dari dada Anto dan kelihatannya dia sedang berusaha menahan diri agar tidak sampai marah. Pak Hardjono tersenyum memperhatikan anak-anak itu.

‘Tidak semua kebaikan harus dibalas dengan pemberian berupa benda. Saya rasa pak Umar waktu memberi tahukan cara pengobatan itu tentu tidak mengharapkan imbalan apa-apa,’ kata pak Hardjono.

‘Benar, pak. Pasti pak Umar tidak mengharapkan apa-apa. Tapi kalau sudah segitu yakin bahwa yang membantu penyembuhan maminya Anto itu adalah pak Umar, kan nggak salah kalau memberi sesuatu sebagai ungkapan terima kasih,’ Iwan membela pernyataannya.

Anto menarik nafas. Dia mengamati Iwan dengan pandangan tajam. Pak Hardjono memperhatikan cara Anto memandang Iwan sambil tersenyum.

‘Ah, itukan sekedar pendapat dan usul Iwan, Anto,’ kata pak Hardjono.

‘Bapak mau nggak saya ceritakan sesuatu?’ tanya Anto.

‘Apa yang mau kamu ceritakan?’ tanya pak Hardjono masih tersenyum.

‘Begini pak. Papi dan mami saya, terutama mami saya bukannya tidak merasa berhutang budi kepada pak Umar. Kalau menurut istilah mami saya, dia malahan seperti berhutang nyawa kepada pak Umar. Mami percaya betul bahwa cara pengobatan dan doa pak Umar itu yang dikabulkan Tuhan sehingga mami saya sembuh. Mami berunding dengan papi. Dan saya juga dilibatkan. Kami berdiskusi. Akhirnya kami sepakat mau memberi sesuatu sebagai hadiah untuk membahagiakan pak Umar. Hadiahnya itu sudah dibelikan papi saya. Sebuah mobil Kijang Krista baru. Sudah diantar oleh ‘dealer’nya ke rumah saya. Hari Minggu kemarin pak Umar datang ke rumah karena memang beliau berjanji mau datang, dan mobil itu diminta papi saya supaya diantar ke rumah sebelum hari Minggu. Maksudnya mau memberi kejutan kepada pak Umar. Dan bapak tahu? Yang terkejut itu bukannya pak Umar. Tapi kami semua. Papi saya, mami saya dan saya sendiri. Pak Umar menolak pemberian itu. Mami menjelaskan sebaik-baiknya kenapa mami ingin memberikan hadiah itu. Mami ingin membagi kebahagian kami sekeluarga atas kesembuhan mami. Dan mami berharap pemberian hadiah mobil itu akan membahagiakan pak Umar dan keluarganya. Pak Umar mengatakan bahwa dia mengerti perasaan mami saya. Tapi dia tetap menolak karena menurut pak Umar dia tidak mampu memiliki mobil di samping alasan-alasan lainnya. Papi dan mami saya menjadi malu. Kami salah menafsirkan seolah-olah kebahagian itu bisa diukur dengan benda, begitu kata papi saya. Jadi begitu ceritanya pak,’ Anto bercerita panjang.

Pak Hardjono, Iwan dan Herman melongo mendengar cerita itu. Iwan malahan sampai ternganga mulutnya. Pak Umar menolak pemberian sebuah mobil? Padahal itu merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih. Tapi ditolak pak Umar dengan alasan dia tidak mampu memiliki mobil? Alangkah anehnya orang seperti pak Umar itu. Masih dengan ketidak percayaannya, pak Hardjono bertanya lagi.

‘Mobil itu diperlihatkan ke pak Umar, maksud kamu?’

‘Benar, pak. Jadi waktu beliau itu datang bersama istrinya, papi dan mami saya terlibat dulu ngobrol-ngobrol agak lama. Sampai papi saya mengingatkan bahwa ada sesuatu surprise yang mau diberikan ke pak Umar. Sebelumnya mami saya menjelaskan alasan dan rasa terima kasihnya yang tak terhingga atas jasa dan doa pak Umar. Untuk itu, kata mami, kami sekeluarga sepakat mau memberikan hadiah. Dan papi mengajak beliau itu melihat ke garasi. Pak Umar dan istrinya ikut ke garasi mobil. Tapi waktu papi menyerahkan kunci mobil itu, pak Umar langsung menolaknya dengan memberikan alasan penolakannya. Biar dijelaskan bagaimana juga, beliau tetap dengan sangat tegas menolaknya. Sampai papi dan mami saya merasa malu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa,’ Anto menambah keterangannya.

‘Ya itulah. Pak Umar itu memang pribadi yang sangat mengagumkan. Sangat keras sekali memegang prinsip hidup lurus dan sederhana,’ komentar pak Hardjono.

Sudah hampir jam enam. Sudah menjelang maghrib. Mereka akhirnya bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Pak Hardjono menyimpan berita yang baru saja didengarnya dari Anto. Tentang kesederhanaan pak Umar.


*****


Hari Minggu sesuai dengan persetujuan dan permintaan pak Umar, papi, mami dan Anto berangkat ke rumah pak Umar jam sebelas siang. Sebelum jam setengah dua belas mereka sudah sampai di rumah pak Umar di kompleks perumnas Jatiwangi. Kompleks perumahan itu rapi dan bersih. Ukuran rumahnya kecil-kecil kalau dibandingkan rumah keluarga Suryanto. Tapi lingkungannya sangat bersih, hijau dan tertata baik. Pak Umar sekeluarga rupanya sudah menyiapkan penyambutan kedatangan mereka. Dan undangan itu sesuai yang disampaikan pak Umar dua hari sebelumnya merupakan undangan makan siang.

Pak Umar memperkenalkan anak-anaknya kepada keluarga pak Suryanto. Mereka cepat sekali akrab. Anak-anak itu duduk di teras luar sementara orang tua mereka duduk di ruang tamu. Fauziah membantu ibu menyuguhkan minuman. Anto terlibat dalam obrolan dengan Faisal dan Amir. Fauziah tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya kepada Anto.

‘Mas Anto dulu bandel sekali katanya ya?’

‘Pasti kamu diceritain bapak,’ jawab Anto.

‘Iya. Dan kenapa sih dulu itu kok ngejahilin Vespa ayah?’ tanyanya dengan gaya bahasanya yang lucu.

‘Dulu itu saya bandel, tapi sekarang saya sudah tidak bandel lagi kok,’ jawab Anto.

Anak-anak itu tertawa mendengarnya.

‘Mana bekas luka waktu kamu kecelakaan dulu itu Mir?’ tanya Anto mengalihkan pembicaraan.

Amir menunjukkan bagian kepalanya bekas jahitan yang sudah mulai tertutup oleh rambut.

‘Bapak yang mengalami kecelakaan motor dengan kamu itu pernah datang ke sini nggak?’ tanya Anto lagi.

‘Pernah. Sudah tiga kali dia datang. Orangnya baik sekali,’ jawab Amir.

‘Baik bagaimana maksudnya?’ tanya Anto.

‘Kita jadi kayak bersaudara, ya bang ya? Kalau ke sini ngobrol lama sama ayah. Diskusi agama. Dia banyak tanya dan kelihatannya setiap yang dia tanya langsung diamalkannya,’ jawab Amir.

‘Oh ya, begitu?’

‘Mas Anto katanya pintar main gitar, ya?’ tanya Amir.

‘Katanya siapa?’ tanya Anto berpura-pura.

‘Kata ayah.’

‘Saya kebetulan suka. Nggak pintar-pintar amat,’ jawab Anto.

‘Mau main gitar di sini nggak?’ tanya Amir lagi.

‘Emang kamu suka main gitar juga?’ Anto balik bertanya.

‘Nggak. Kami tidak ada yang pandai main gitar. Tapi karena kata ayah, mas Anto main gitarnya hebat sekali, bang Faisal kepengen mendengarkannya. Bang Faisal sampai minjam gitar tetangga kami, mas Andri,’ kata Amir.

Anto tersenyum mendengar pengakuan polos itu. Rasanya tidak sopan kalau mereka dikecewakan.

‘Boleh saya coba gitarnya?’ tanya Anto.

Amir segera bangkit sambil minta izin kepada Faisal.

‘Aku ambil gitarnya, ya bang ya?’ kata Amir.

Faisal mengangguk. Amir masuk kedalam mengambil gitar. Waktu melihat Amir membawa gitar itu keluar, ayah berkomentar.

‘Pasti anak-anak itu minta Adrianto mendemokan permainan gitar. Saya bercerita kepada mereka kalau Adrianto sangat piawai bermain gitar.’

Amir menyerahkan gitar itu ke Anto. Sebuah gitar Spanyol yang masih baru. Anto memain-mainkan senar gitar itu dengan petikan jarinya yang sangat ahli.

‘Kalian menyenangi lagu apa?’ tanya Anto.

‘Lagu apa aja,’ jawab Amir.

‘Suka mendengar lagu Ebid G. Ade?’

‘Ya..ya.. suka, suka,’ Amir sangat antusias, sementara Faisal memperhatikan dengan sangat bersemangat. Faisal memang sedikit sekali bicara.

‘Tapi lagu-lagunya kebanyakan lagu-lagu tua. Lagu-lagu sebelum kita dilahirkan,’ komentar Anto.

Anto memetik gitar dan melantunkan sebuah lagu lama ciptaan Ebid G.Ade. ‘Sebuah tanya kepada teman’.

Semua terpukau mendengar suara Anto. Mendengar petikan gitarnya yang sangat elok dengan jari-jarinya yang lincah. Anak-anak itu termangu-mangu menyaksikan pertunjukan istimewa itu. Ibu bahkan sampai keluar menyaksikan permainan gitar yang hebat itu. Begitu Anto menyelesaikan nyanyi yang indah itu, anak-anak itu terhenyak karena kagum.

‘Ayah tidak pernah bohong,’ kata Fauziah.

‘Tentang apa? Kenapa kamu ngomong begitu?’ tanya Anto.

‘Mas Anto benar-benar pemain gitar yang mengagumkan. Ayah yang bilang begitu. Dan ternyata ayah benar. Mas Anto memang hebat sekali bermain gitar,’ kata Fauziah.

Pak Umar mengingatkan bahwa sebentar lagi akan masuk waktu zuhur. Sebaiknya bersiap-siap untuk pergi shalat. Ketiga anak-anak itu segera mematuhinya. Amir menanyakan apakah Anto mau pergi berwudhu sekarang. Ternyata Anto mau. Amir mengantarkannya ke kamar mandi. Semua bersiap-siap untuk pergi shalat ke mesjid. Beberapa menit kemudian terdengar suara azan dari mesjid Al Muhajirin. Mereka semua keluar menuju mesjid untuk shalat berjamaah.

No comments: