Thursday, March 6, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (1)

1. Persiapan


Saya adalah seorang ahli geologi yang bekerja pada sebuah perusahaan eksplorasi minyak swasta asing di Jakarta. Pada tahun 2001, ketika sudah beberapa saat sejak saya terbebas dari hutang-hutang kantor untuk cicilan rumah dan kendaraan, serta uang tabungan sudah pula agak terkumpul sedikit, saya putuskan untuk membawa keluarga beserta ibu saya pergi umrah. Perjalanan umrah itu kami laksanakan di bulan Juli tahun 2001 dan berlangsung selama seminggu. Anak-anak saya sangat menikmati perjalanan ibadah itu. Di perjalanan pulang dari umrah itu, anak saya yang tengah nyeletuk lepas secara spontan.

‘Entah kapanlah saya akan menginjak tanah suci ini lagi. Iya kalau nanti saya dapat suami yang mau membawa pergi haji......’

Sebuah ungkapan tak bermakna. Tapi terekam di kepala saya. Waktu itu tidak saya komentari apa-apa.

Awal tahun 2003 saya ingat bahwa saya boleh mengambil sebagian dari pembayaran pensiun pada tahun itu, sesuai dengan peraturan perusahaan tempat saya bekerja. Pembayaran itu biasanya dibayarkan persis pada bulan ulang tahun ke lima puluh dua setiap karyawan dan untuk saya hal itu jatuh pada bulan Agustus. Serta-merta melintas di benak saya keinginan membawa keluarga saya melaksanakan rukun Islam kelima, pergi haji. Saya dengan istri sudah melaksanakan ibadah itu di tahun 1990 yang lalu, tapi kali ini disamping membawa anak-anak, kami niatkan pula untuk menghajikan ayah kami masing-masing.

Pertama-tama hal itu saya rundingkan dengan istri. Dia tertarik, tapi tidak yakin anak-anak akan mau ikut mengingat mereka masih sibuk dengan urusan sekolah masing-masing. Saya coba menanyai mereka satu persatu. Mereka menanyakan tanggal dan bulan apa jatuhnya pelaksanaan haji tahun ini serta berapa lama kira-kira pelaksanaannya. Setelah kita hitung hati-hati, ternyata semua berminat dan menjawab mantap bahwa mereka sangat tertarik untuk ikut. Yang sulung insya Allah sudah (akan) selesai kuliahnya bulan September 2003. Yang tengah insya Allah pada waktu itu nanti sudah (akan) selesai ujian semester. Biarlah tidak bisa mengambil semester pendek kali ini, ujarnya. Yang bungsu, yang duduk di kelas tiga SMU dengan mantap mengatakan akan minta izin tidak masuk sekolah saja pada saat pelaksanaan haji itu. Dia bahkan sudah menanyakan ke LIA, tempat dia kursus bahasa Inggeris apakah dia boleh minta izin untuk beberapa minggu nanti.

Saya sangat puas dengan antusiasme anak-anak tersebut. Mulailah saya mencari informasi tentang biaya perjalanan haji khusus. Ikut dengan biaya khusus ini semata-mata karena pertimbangan waktu, agar anak-anak saya, terutama si Bungsu tidak terlalu lama meninggalkan sekolah. Ternyata variasi biaya yang ditawarkan cukup banyak. Akhirnya kami memilih sebuah biro perjalanan haji yang dikelola oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, mengambil paket dengan fasilitas lima orang sekamar di pemondokan nanti. Waktu mendaftar di sekitar bulan April 2003, saya bayar tanda jadi sebesar 10% dari biaya total, sementara cicilan berikutnya (60%) harus dilunasi sekitar bulan Agustus dan sisanya menjelang bulan puasa atau awal Oktober. Di bulan Juni saya diberitahu bahwa ada perubahan jadwal pembayaran. Yang enam puluh persen harus saya lunasi paling lambat pertengahan bulan Juli untuk menjamin agar kami mendapatkan tempat, begitu ceritanya. Waktu saya katakan bahwa bulan Juli saya belum punya uang fihak penyelenggara menawarkan untuk menggunakan fasilitas jaminan dari bank tertentu, tentu saja dengan biaya ekstra. Saya sangat kurang setuju dengan cara itu karena pinjaman uang untuk biaya haji harus saya bayar lebih, yang rasa-rasanya, seperti saya meminjam dengan sistim riba.

Saya coba menanyakan di kantor apakah pembayaran awal uang pensiun yang saya tunggu itu dapat diajukan. Alhamdulillah, ternyata memang bisa, bahkan kalau diminta sejak awal, uang itu bisa dibayarkan tiga bulan sebelum ulang tahun karyawan. Subhanallah, saya minta agar uang itu segera saja diturunkan karena saya akan segera pula melunasi BPIH kami.

Setelah itu kami mulai mempersiapkan diri sedikit demi sedikit. Saya ingatkan kepada anak-anak bahwa perjalanan kali ini jauh lebih berat dari umrah dulu. Untuk itu disamping diperlukan kesiapan fisik dan kesehatan juga diperlukan kesabaran dan yang lebih utama niat yang tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah. Perjalanan haji bukanlah perjalanan wisata, bukan perjalanan untuk bersenang-senang, begitu selalu saya mengingatkan mereka.

Pertengahan bulan Desember kami ikut manasik haji di Cipayung selama tiga hari, bergabung dengan grup lain yang juga dibimbing oleh ustad-ustad dari Dewan Dakwah. Jemaah grup itu lebih dua ratus orang sementara rombongan kami hanya terdiri dari enam puluh orang. Rencananya kami akan berangkat dalam satu kloter tanggal 21 Januari, menggunakan penerbangan Emirat, yang akan terbang dari Jakarta via Singapura, Dubai, Jeddah terakhir menuju Madinah dan akan sampai di Madinah pada tanggal 23 Januari pagi-pagi.

Tanggal 10 Januari kami mendapat berita bahwa ada perubahan jadwal pemberangkatan karena penerbangan Emirat yang biasanya bisa mendarat lima kali sehari di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah dikurangi menjadi hanya tiga kali, sehingga fihak Emirat terpaksa merubah rencana penerbangannya secara menyeluruh. Kami yang enam puluh orang tidak jadi bisa bergabung dengan kelompok yang dua ratus orang dan kalau tetap menggunakan Emirat kami harus berangkat dari Jakarta tanggal 20 untuk sampai di Madinah tanggal 23 Januari. Tapi alhamdulillah, fihak penyelenggara mendapatkan tempat di pesawat Saudia yang akan terbang langsung nonstop dari Jakarta menuju Madinah pada tanggal 22 Januari. Benar-benar suatu kemudahan dari Allah SWT.


*****

No comments: