Monday, May 18, 2009

DERAI-DERAI CINTA (31)

31. DUA SAHABAT

Sudah hampir seminggu Lala dirawat di rumah sakit. Kesehatannya sudah berangsur-angsur pulih. Sudah tidak mual-mual lagi. Demamnya juga sudah banyak berkurang. Kata dokter dalam sehari dua, kalau kondisinya tetap bertambah baik, Lala sudah boleh pulang. Selama berada di rumah sakit uni dan mama bergantian menjaga Lala di malam hari. Yuni datang dua kali di waktu siang sehabis kuliah. Yuni berjanji akan menemani Lala hari Sabtu malam.

Imran datang sekali dua hari, biasanya menjelang maghrib. Setiap dia akan pulang, Lala selalu meminta agar besok-besok datang lagi. Imran selalu mengiyakan. Itulah sebabnya dia datang sekali dua hari. Hari Sabtu sore Imran datang lagi ke rumah sakit. Lala sangat senang setiap kali Imran datang berkunjung. Sangat senang kalau ditemani Imran. Entah kenapa, setiap kali melihat Imran ada suatu perasaan yang dia tidak tahu apa artinya, bergelora di dalam hatinya. Imran adalah kakak sepupunya. Dia tahu Imran menganggap dia sebagai adiknya. Tapi perasaan di hati Lala mengharapkan Imran lebih dari sekedar kakak sepupu. Lebih dari sekedar kakak.

Sebaliknya Imran seperti tidak merasakan apa-apa. Ketika dia datang ke rumah sakit, dia merasa kedatangannya itu sebagai suatu yang biasa-biasa saja. Karena Lala adalah anak mak dang Taufik. Lala adalah adik sepupunya.

Waktu Imran datang hari Sabtu sore Lala sedang ditemani tante Ratna. Muka Lala sudah tidak pucat seperti terakhir kali dilihatnya. Sudah kelihatan lebih segar.

‘Ada kuliah juga hari Sabtu ini, Ran,’ tanya tante Ratna menyapa Imran.

‘Tadi ada tugas mengawasi praktikum, mak tuo,’ jawab Imran.

‘Bang Imran kan asisten dosen sekarang, ma,’ Lala menambahkan.

Imran hanya tersenyum.

‘Bagaimana? Sudah banyak kemajuan?’ tanya Imran.

‘Sudah lumayan, bang,’ jawab Lala.

‘Sudah dikasih tahu dokter kapan bisa pulang?’

‘Kata dokter mungkin dalam dua hari ini sudah boleh pulang. Mudah-mudahan hari Senin. Lala sudah bosan disini....’

’Disini kan tujuannya untuk beristirahat...’

‘Ya.... Tapi ngebosenin.... Nggak enak....’

‘Ya iyalah...... Mana ada rumah sakit yang enak. Yang namanya rumah sakit ya seperti ini,’ tante Ratna ikut berkomentar.

‘Makannya sudah normal? Atau masih makan nasi bubur?’

‘Masih. Masih belum boleh makan nasi biasa,’ tante Ratna yang menjawab.

‘Nggak enak. Ngelihatnya aja udah malas...’

‘Tapi kan harus makan. Biar bertambah tenaga. Kalau tidak akan lama sembuhnya..’

Mereka ngobrol sampai terdengar azan maghrib. Imran pergi shalat maghrib ke mushala di rumah sakit itu. Tidak lama kemudian bang Lutfi dan teteh Yani datang menjemput mama. Abang akan mengantar mama pulang dan sekalian menjemput Yuni karena dia yang akan menjaga Lala malam ini. Teteh menunggu di rumah sakit sampai Yuni datang.

Waktu Imran kembali dari shalat maghrib yang ada hanya teteh Yani.

‘Mak tuo kemana ?’ tanya Imran.

‘Sudah pulang diantar abang,’ jawab Lala.

‘Apa kabar, teh?’ tanya Imran ke teteh Yani.

‘Baik-baik saja..... Kamu bagaimana? Kuliahnya lancar?’ tanya teteh Yani pula.

‘Alhamdulillah aman-aman saja, teh,’ jawab Imran.

‘Sibuk terus dong sekarang.’

‘Lumayan sibuk.’

‘Pantesan jarang ke Sekeloa, ya?’

‘Emang, nih. Bang Imran nggak pernah main ke rumah,’ Lala ikut menambahkan.

Imran hanya tersenyum mendengar ocehan Lala.

Sebenarnya dia sudah ingin pulang. Tapi tidak enak meninggalkan Lala sekarang. Biarlah dia tunggu sampai sehabis shalat isya.

Mereka melanjutkan obrolan santai. Teteh Yani menyindir Imran, apakah dia tidak pergi bermalam minggu. Imran balik bertanya dengan lugu, bermalam minggu kemana? Teteh memperjelas pertanyaan apakah Imran tidak pergi ke rumah pacarnya? Kata Imran dia tidak punya pacar. Mereka tertawa-tawa bertiga disela-sela obrolan dan jawaban-jawaban Imran yang lugu dan lucu.

Sampai terdengar azan isya. Imran pamit lagi mau pergi shalat.

Kembali dari shalat isya teteh Yani sudah tidak ada. Yang ada sekarang Yuni. Rupanya sudah terjadi lagi pergantian yang jaga ketika Imran pergi shalat. Yuni tidak tahu kalau Imran sudah dari tadi berada di rumah sakit.

‘Kok kayak janjian, pas Yuni datang bang Imran juga datang,’ kata Yuni menyapa.

‘Yuni baru datang rupanya...... Apa kabar?’

‘Kabar baik-baik, bang.’

‘Bang Imran sudah disini sejak tadi, tau ?’ kata Lala.

‘Emangnya barusan dari mana?’ tanya Yuni lagi.

‘Dari shalat isya di mushala,’ jawab Imran.

‘Bang Imran sangat taat..... Senang punya abang yang taat....’ Yuni asal ngomong.

‘La, abang pulang dululah ya? Kan sudah ada Yuni yang menemani Lala.’

‘Mau kemana sih bang? Kok buru-buru?’ tanya Yuni.

‘Saya mau mengerjakan tugas praktikum,’ jawab Imran.

‘Yaa... bang. Kan malam minggu. Atau abang mau ke tempat pacar ya?’

‘Benar, saya mau mengerjakan tugas. Untuk hari Senin ada tiga tugas yang harus dikumpulkan,’ Imran menjelaskan.

‘Ya lah bang. Mudah-mudahan hari Senin Lala sudah boleh pulang. Abang doain saja.’

‘Akan abang doakan.... Baik-baik kalian berdua, ya. Abang pergi dulu....’

‘Hati-hati bang....’

Imran segera meninggalkan rumah sakit.


***

Sepeninggal Imran kedua sahabat itu membahas pribadi Imran.

‘Aku benar-benar tertarik sama bang Imran itu,’ kata Yuni mengawali.

‘Tertarik apanya?’ jawab Lala.

Dada Lala sebenarnya bergemuruh mendengar pernyataan Yuni.

‘Dia benar-benar laki-laki ideal. Taat. Gagah. Pintar, calon insinyur. Tidak bisa kau membantu agar aku jadi pacarnya?’

‘Dia bukan laki-laki yang suka berpacaran.’

‘Maksudmu?’

‘Dia yang bilang begitu. Tadi teteh menanyakan tentang pacar juga. Begitu jawabnya.’

‘Ah... Pasti dia itu laki-laki normal.’

‘He..he..he.. Tadi teteh Yani juga menanyakan begitu sambil bercanda. Kamu ini laki-laki normal nggak, sih ? Terus dia jawab, bahwa dia sangat normal. Pada waktunya dia akan menikah. Akan punya istri. Tapi tanpa proses berpacaran, begitu katanya.’

‘Masak dia nggak mau pacaran?’

‘Dia yang bilang.’

‘Kenapa? Alasannya apa?’

‘Alasannya, berpacaran itu mendekati maksiat. Mendekati perbuatan dosa.’

‘Begitu katanya......? Tambah naksir aku padanya. Tambah pengen aku jadi istrinya. Bisa kau tolong bilangin ke dia?’

‘Hih. Ganjen kali kau ini.’

‘Aku ndak ganjen bagai, do.’

‘Apa namanya kalau bukan ganjen?’

‘Aku wanita normal. Tertarik sama anak laki-laki gagah macam bang Imran itu kan normal. Masak kau bilang aku ganjen?’

‘Sudahlah. Kau berharap sajalah. Dan berdoa, kalau kau memang menginginkan dia. Akupun akan berdoa pula.’

‘Begitu baru namanya sahabat....... Kau akan berdoa untukku kan?’

‘Tidak. Aku akan berdoa untukku pula.... he..he..he...’

‘Maksudmu?’

‘Maksudku, aku akan berdoa untuk diriku sendiri.’

‘Untuk mendapatkan bang Imran?’

‘Kenapa tidak?’

‘Gila kau. Kau naksir pula sama dia? Itu kan saudaramu?’

‘Tapi aku bisa dan boleh jadi istrinya.....’

‘Kau serius?’

‘Memangnya kenapa kalau aku serius?’

‘Benar-benar gila... Kau sungguh-sungguh menginginkan bang Imran?’

‘Aku sejujurnya juga sangat mengagumi bang Imran.’

‘Wah, payah kau ini. Berat dong sainganku kalau kau juga naksir padanya.’

‘Kenapa berat? Mari bersaing secara fair. ‘

‘Serius kau?’

‘Dari tadi serius-serius melulu..... Sudahlah.... Sementara ini kita lupakan saja dia...’

Yuni masih penasaran. Antara percaya dan tidak dia dengan apa yang diucapkan Lala. Rasanya tidak mungkin kalau Lala sekedar bercanda. Selama ini memang tidak ada rahasia di antara mereka berdua. Tapi untuk hal yang satu ini, tidak pernah sedikitpun terlintas dalam omongan mereka selama ini.


*****

No comments: