Friday, December 26, 2008

SANG AMANAH (107)

(107)


Entah kenapa mesjid Al Muhajirin agak berbeda subuh ini. Jamaahnya banyak sekali. Kalau biasanya bapak-bapaknya hanya dua shaf kurang yang shalat subuh, hari ini mencapai tiga shaf penuh. Ditambah shaf ibu-ibu. Keseluruhan jamaah itu ada sekitar delapan puluh orang. Jumlah jamaah mesjid ini selalu bertambah dari hari ke hari meskipun secara pelan-pelan sejak awal keberadaannya. Pak Umar masih ingat waktu awal-awal mesjid ini dibangun kira-kira sepuluh tahun lebih yang lalu, hanya beberapa gelintir saja yang rajin datang untuk ikut berjamaah.

Pagi ini harusnya yang jadi imam pak Abdus Salam. Biasanya dia selalu bergantian dengan pak Umar. Kemarin pak Umar mengimami shalat subuh, shalat maghrib dan isya. Maka hari ini giliran pak Abdus Salam. Selalu begitu. Tapi pagi ini pak Abdus Salam minta pak Umar jadi imam. Katanya tenggorokannya sakit. Walaupun merasa agak aneh karena belum pernah hal seperti itu terjadi, pak Umar menerima. Ia maju jadi imam untuk memimpin shalat. Pak Umar membaca surah Ar Rahman. Entah karena terlalu khusyuk atau entah kenapa, pak Umar menangis dalam shalat itu. Terisak-isak. Begitu pula pada rakaat kedua, waktu dia melanjutkan surah yang sama. Kembali dia terisak-isak. Pernah juga pak Umar sampai sesenggukan waktu membaca ayat al Quran dalam shalat, tapi sampai terisak-isak baru sekali ini. Beberapa orang jamaah, yang mungkin sedikit-sedikit paham apa yang dibaca imam, ikut tersengguk-sengguk.

Sesudah shalat semua jamaah biasanya larut dalam zikir masing-masing di dalam hati. Sebelum zikir, berbeda dengan biasanya, kali ini pak Umar menyampaikan sesuatu. Intinya dia minta maaf kalau kekhusyukan para jemaah terganggu disebabkan dia menangis dalam shalat tadi.

‘Sekali lagi saya mohon maaf. Entah kenapa hati saya luluh benar ketika membaca ayat-ayat Allah itu tadi. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni kita, karena kekeliruan yang kita buat, karena kesalahan-kesalahan kita. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada bapak-bapak dan ibu-ibu para jamaah shalat subuh yang dirahmati Allah. Maukah bapak-bapak dan ibu-ibu memaafkan saya?’ tanya pak Umar.

‘Mauuuuu,’ jawab jamaah itu serentak. Dalam hati mereka bertanya-tanya. Kenapa pak Umar sampai berkata begitu.

Setelah selesai dengan zikir, seperti biasa jamaah itu bubar satu persatu. Pak Umar bergegas pulang karena harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mereka sarapan seperti biasa. Sesudah itu masing-masing berangkat ke sekolah. Yang berbeda sekarang, Fauziah tidak lagi diantar ayah naik Vespa. Dia berangkat bersama Amir. Faisal yang sekarang ikut ayah karena mereka satu tujuan.

Amir dan Fauziah lebih dulu berangkat karena mereka akan naik kendaraan umum. Sesudah berpamitan kepada ayah dan ibu, mereka berangkat. Waktu berpamitan ayah mencium mereka keduanya. Kadang-kadang ayah memang suka mencium anak-anaknya itu. Ayah sangat menyayangi mereka. Semuanya tanpa kecuali. Ayah tidak mengenal anak kesayangan atau yang tersayang. Semua disayangi dengan wajar.

Sebelum berangkat pak Umar minta maaf kepada ibu.

‘Uang dari undian berhadiah itu sudah masuk ke tabungan kepala sekolah di Bank Muamalat, Fat. Pagi ini abang akan pergi ke Bank itu. Pembagiannya seperti yang kita sepakati beberapa malam yang lalu itu. Untuk melunasi biaya rumah sakit si Suwagito. Jumlah keseluruhan biaya itu tiga belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Abang akan lunasi hari ini. Uang yang diambil dari tabungan kita akan abang masukkan kembali. Untuk si Arif Rahman itu akan abang masukkan uang dua puluh lima juta rupiah ke tabungannya. Abang minta maaf, karena untuk kita tidak ada abang ambil dari uang hadiah undian itu. Kamu tidak apa-apa kan Fat?’ tanya pak Umar.

‘Ya nggak apa-apa bang. Saya setuju sepenuhnya dengan yang abang lakukan. Abang tidak usah khawatir,’ jawab ibu Fat.

‘Ya, bagaimanapun abang tetap minta maaf. Uang itu lewat di depan hidung kita, tapi abang tidak menginginkan kita ikut mengambilnya. Biarlah yang benar-benar memerlukannya saja yang menggunakannya,’ tambah pak Umar.

Ibu Fat tersenyum. Meskipun sedikit sekali, terbetik juga di hatinya rasa heran, kenapa suaminya ini dari tadi minta maaf melulu. Tadi di mesjid minta maaf. Sekarang minta maaf. Tapi….. ah, pak Umar memang seringkali minta maaf kalau dia merasa telah menyulitkan orang lain.

Sebelum pak Umar berangkat, ibu Fat ingat juga untuk berwanti-wanti dan menanyakan.

‘Bang, Vespa itu ada abang periksa keadaannya? Apakah semuanya baik-baik saja?’ tanya ibu Fat.

‘Insya Allah baik-baik saja. Businya baru abang ganti. Remnya baru tiga bulan yang lalu diperbaiki. Kendaraan tua itu baik-baik saja. Kenapa Fat? Apa kamu ingin abang menukar Vespa itu dengan yang baru?’ tanya pak Umar tersenyum.

‘Tidak bang. Abang hati-hatilah di jalan. Ngeri sekali melihat kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di jalan raya setiap saat,’ ibu Fat mengingatkan.

‘Ya, insya Allah abang berhati-hati. Baiklah kami pergi dulu ya,’ ujar pak Umar pamit.

‘Ya, bang. Assalamu’alaikum,’

‘Wa’alaikumsalam,’ jawab ayah dan anak itu serentak.


*****

Sekitar jam sembilan pak Umar pergi ke Bank Muamalat di Jaka Sampurna Bekasi. Dia transfer kekurangan biaya rumah sakit Suwagito sebanyak sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ke rekening rumah sakit Keluarga Sejahtera di BCA. Ditambah biaya transfer sepuluh ribu rupiah. Dibuatkannya sebuah tabungan mudharabah atas nama Arif Rahman, siswa kelas tiga IPA 2 dan diisinya tabungan itu sebanyak dua puluh lima juta rupiah. Buku tabungan itu akan disuruh tandatanganinya nanti kepada Arif sebagai orang yang berhak mengambilnya. Diambilnya empat juta rupiah dan dimasukkannya kembali ke buku tabungan atas nama masing-masing anggota keluarganya sebanyak yang diambilnya minggu lalu. Akhirnya yang tinggal di buku tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369 adalah sebanyak delapan puluh satu juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah, karena sebelum itu masih ada sisa dalam buku tabungan itu sebanyak tujuh ratus ribu rupiah. Uang itu hanya dapat diambil kepala sekolah SMU 369.

Setelah semua urusan itu selesai pak Umar kembali ke sekolah. Bahagia benar rasanya sesudah semua itu beres. Jalan Kali Malang agak sepi jam sepuluh begini. Saat umumnya orang sudah berada di tempat kerjanya masing-masing. Pak Umar hanya memerlukan waktu dua belas menit untuk sampai kembali di sekolah. Setelah memarkirkan Vespanya di tempat biasa pak Umar bergegas menuju kantornya. Dia akan mengerjakan shalat dhuha.

Di ruangan guru didapatinya pak Hardjono, pak Mursyid, pak Wayan dan pak Kus sedang asyik berdiskusi. Entah apa yang sedang mereka bahas. Pak Umar mengucapkan salam. Guru-guru itu membalasnya. Pak Umar tidak jadi segera ke kantornya tapi ikut dulu duduk dengan guru-guru itu. Pak Mursyid memberitahu bahwa tadi ada orang mencari pak Umar.

‘Tadi pak Slamet, orang tuanya Suwagito datang mau bertemu bapak. Dia sempat menunggu kira-kira setengah jam. Baru saja dia berangkat kira-kira sepuluh menit yang lalu,’ ujarnya.

‘Wah, sayang sekali. Saya baru dari Bank Muamalat. Dia tidak berpesan apa-apa?’ tanya pak Umar.

‘Tidak pak. Katanya dia mau kembali lagi nanti siang. Tadi kami bilang agar dia kembali sebelum shalat zuhur. Begitu, pak,’ ujar pak Mursyid.

‘Lama juga dia menunggu. Ada apa kira-kira ya?’ pak Umar bertanya.

‘Kurang tahu juga pak. Dia hanya bilang ingin bertemu bapak. Tapi dia bercerita bahwa rumahnya ada yang menawar. Lima puluh juta. Dan dia bilang akan segera menjual rumah itu untuk membayar biaya perawatan anaknya kemarin,’ kali ini pak Hardjono yang bicara.

‘Kalau dia nanti ke sini lagi, tolong pak Hardjono sampaikan tidak usah dia jual rumahnya. Biaya rumah sakit sudah dibayar lunas. Oh, ya. Ini bukti transfer uangnya,’ ujar pak Umar menunjukkan tanda bukti transfer uang itu.

‘Memangnya bapak mau pergi lagi?’ tanya pak Hardjono.

‘Ya, ndak juga. Siapa tahu nanti dia tidak bertemu dengan saya. Ini juga ada buku tabungan atas nama Arif Rahman. Dia harus menanda tangani buku ini di sini. Dan ini buku tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369,’ pak Umar menambahkan sambil menunjukkan buku buku tabungan Bank Muamalat itu dan meletakkannya di meja di depannya. Ada tujuh buah buku tabungan.

‘Kalau yang ini buku tabungan kami sekeluarga. Tadi saya kembalikan uang empat juta yang digunakan minggu kemarin ke tabungan kami ini,’ tambah pak Umar.

‘Jadi waktu membayar uang jaminan hari itu diambil dari tabungan bapak sekeluarga?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya. Kan perlu buru-buru. Jadi yang paling cepat mengambilnya, ya dari tabungan-tabungan kami ini,’ jawab pak Umar.

‘Seandainya tidak ada uang dari undian berhadiah itu bagaimana dong pak?’ tanya pak Kus.

‘Ya itulah. Rencananya, pak Slamet itu mau menjual rumahnya. Untuk biaya perawatan Suwagito itu. Tapi karena sudah ada uang hadiah itu tidak perlu lagi dia menjual rumahnya. Kasihan juga kalau dia harus menjual rumah. Untuk membelinya lagi nanti pasti susah,’ jawab pak Umar.

Setelah ikut berbincang-bincang sebentar, pak Umar minta izin mau pergi shalat dhuha. Entah kenapa, pak Umar menyalami keempat bapak-bapak itu dan minta maaf sebelum pergi ke ruangan kantornya. Pak Kus merasa, wah pak Umar mungkin minta diucapin selamat, makanya mengajak bersalam-salaman.

No comments: