Monday, November 17, 2008

SANG AMANAH (63)

(63)

‘Saya juga tidak tahu. Tapi saya agak heran dengan pertanyaan ibu Purwati. Apakah menurut ibu hal ini sebuah ketidak wajaran?’ tanya pak Umar.

‘Setahu saya, banyak sekolah yang ingin mendapat kesempatan untuk dijadikan sekolah unggulan. Bahkan saya dengar ada kepala sekolah yang berusaha keras agar sekolahnya dijadikan sekolah unggulan. Karena biasanya lagi, sebuah sekolah unggulan ‘nilai jualnya’ lebih tinggi. Sementara itu, sekolah kita ini, yang selama ini selalu mendapat nilai di bawah rata-rata, sejauh yang saya ketahui, tapi tiba-tiba terpilih untuk disiapkan menjadi sekolah unggulan. Hal ini yang sangat mengherankan menurut saya.’

‘Saya juga tidak tahu kriteria apa yang digunakan beliau-beliau di Depdiknas sana menentukan sebuah sekolah layak ditingkatkan menjadi sebuah sekolah unggulan. Saya juga agak heran menerima surat pemberitahuan dari Dirjen tentang hal itu. Tapi saya menanggapinya dengan penuh kewajaran saja. Kalau sekolah kita dipilih mari kita berusaha maksimal menunjukkan bahwa pilihan itu tidak salah.’

‘Apakah…apakah bapak punya kenalan atau kawan dekat di Dirjen Pendidikan Menengah?’

‘Tidak sama sekali. Kenapa?’ tanya pak Umar.

‘Nggak. Siapa tahu ada teman pak Umar yang sengaja ingin berbuat baik kepada pak Umar dalam pemilihan itu?’

‘Saya tidak punya siapa-siapa di sana. Dan saya rasa kalau dasarnya hubungan pertemanan untuk menentukan pilihan seperti ini, tentu sangat tidak adil. Jadi maksudnya, ibu Purwati merasa bahwa pemilihan SMU 369 dalam hal ini kurang wajar atau tidak pantas. Apa begitu?’

‘Bukan apa-apa pak. Sekali lagi ini pendapat saya, dipilihnya sekolah ini sebagai nominasi pasti mengundang tanda tanya bagi banyak orang. Karena menjadi nominasi itu merupakan obsesi banyak kepala sekolah. Saya ingat betul bagaimana pak Suprapto juga mendambakannya. Hanya pak Suprapto mungkin lebih realistis. Beliau tidak kecewa waktu SMU 369 tidak pernah terpilih, karena menyadari bahwa mutu SMU 369 memang belum bisa dibanggakan.’

‘Maaf, apakah untuk dipilih menjadi sekolah calon unggulan itu masing-masing sekolah harus mengajukan diri? Saya tidak pernah mengusulkan atau mengajukan agar sekolah ini dinominasi. Tapi karena kenyataannya sekarang sekolah ini dipilih, tentu tidak pada tempatnya kalau saya, misalnya mengajukan keberatan.’

‘Kalau bapak tidak pernah mengajukan, dan bapak tidak punya teman di sana, ya syukurlah. Dengan demikian tentu tidak akan bisa kepala sekolah dari SMU lain merasa iri kepada bapak.’

‘Terus terang saya tidak mengerti kemana arah pembicaraan ibu Purwati. Apa memang perlu ada rasa iri dari kepala sekolah lain kepada saya atau kepada sekolah ini? Apa memang ada persaingan diam-diam di antara kepala sekolah agar sekolahnya dipilih untuk menjadi sekolah unggulan? Atau saya mungkin terlalu bodoh selama ini sehingga saya tidak mendengar ambisi dari kepala sekolah SMU 267 misalnya tempat saya bertugas sebelum ini untuk dipilih. Saya hanya merasa bahwa di Depdiknas sana ada suatu perangkat untuk menentukan sekolah-sekolah mana yang dinilai berpotensi untuk ditingkatkan mutunya. Apa saja kriterianya, saya tidak tahu. Barangkali saja sekolah ini sudah dinilai sejak lama tapi baru sekarang dipastikan untuk dipilih. Jadi saya tidak merasa perlu mempermasalahkannya. Kalau sekolah kita dipilih, ya.. mari kita persiapkan. Begitu saja.’

‘Saya rasa bapak benar,’ jawab ibu Purwati pendek.

‘Baiklah. Terima kasih atas saran dan pendapat ibu Purwati. Saya akan mengundang guru-guru lain untuk membicarakan hal ini minggu ini juga,’ pak Umar merasa bahwa diskusi dengan ibu Purwati sudah tidak perlu dilanjutkan.

‘Baik kalau begitu, pak. Saya juga berterima kasih bapak libatkan untuk membicarakan hal ini,’ jawab ibu Purwati.

‘Saya melibatkan ibu karena saya merasa ini tanggung jawab kita bersama. Tanggung jawab saya sebagai kepala sekolah dan tanggung jawab setiap guru yang bertugas di sekolah ini,’ pak Umar menambahkan.

Mereka sama-sama terdiam sejenak setelah itu. Sampai akhirnya ibu Purwati memecah kebekuan itu sambil mohon diri.

‘Baik, saya pamit dulu. Saya sudah tidak ada tugas mengajar siang ini,’ kata ibu Purwati.

Pak Umar bangkit dari kursinya dan mengantarkan ibu Purwati ke pintu ruangannya. Pak Umar merasa heran dengan sikap dingin dan tidak antusias ibu Purwati. Padahal dia merasa bahwa hal ini seharusnya merupakan berita yang menggembirakan bagi setiap guru-guru sekolah ini dan karena itulah dia ingin membagi kebahagiaan itu dengan guru-guru yang lain. Siapa menyangka bahwa berita itu agaknya bukan sesuatu yang menggembirakan bagi ibu Purwati? Lebih aneh lagi dia bahkan menduga kalau terpilihnya SMU 369 untuk disiapkan menjadi sekolah unggulan itu justru melalui cara-cara yang tidak simpatik. Padahal tidak sedikitpun cara seperti itu terbayangkan oleh pak Umar. Pak Umar tidak habis pikir dan tidak mengerti dengan jalan pemikiran ibu Purwati.


*****


Hari Rabu siang guru-guru SMU 369 mengadakan rapat sesuai dengan undangan kepala sekolah. Pak Umar menyampaikan berita yang sudah ramai dibicarakan guru-guru, yakni mengenai kesempatan yang diberikan kepada SMU 369 untuk dijadikan sekolah unggulan. Sebahagian besar guru-guru itu cukup antusias mendengar berita itu tapi kebalikannya, ada juga sebahagian kecil yang bersikap skeptis. Atau mungkin seperti istilah ibu Purwati, mereka ini bersikap dan berfikir realistis. Bagaimana mungkin sekolah yang justru hanya dapat predikat sekolah anak-anak borjuis selama ini, tanpa prestasi belajar yang dapat dibanggakan, kok tiba-tiba mau disiapkan jadi sekolah unggulan. Apa nggak salah?

Maka rapat guru-guru itu berlangsung ramai disertai diskusi yang kadangkala agak panas.

‘Saya juga punya pertanyaan yang sama dengan yang disampaikan ibu Purwati. Apakah pemilihan sekolah kita sebagai sekolah yang disiapkan untuk jadi sekolah unggulan ini melalui prosedur yang baik dan benar? Apakah misalnya keterpilihan itu tidak disebabkan karena pak Umar punya seorang teman di Direktorat Pendidikan Menengah yang bersimpati kepada pak Umar, lalu memilih sekolah kita ini?’ pak Mursyid mengajukan komentar dan pertanyaan.

Pak Umar tersenyum mendengar komentar dan pertanyaan seperti itu.

‘Apakah pak Umar bisa memberikan klarifikasi atas pertanyaan pak Mursyid itu?’ tanya pak Muslih.

‘Saya tidak punya teman khusus di Direktorat Pendidikan Menengah. Saya mengenal satu dua orang pejabat di sana sejak saya menjadi wakil kepala sekolah di SMU 267, tapi hanya sebagai kenalan biasa saja. Saya bisa memahami tanda tanya yang timbul di hati sebagian bapak dan ibu. Kalau diamati secara seksama kelihatannya memang agak aneh penetapan SMU 369 sebagai calon sekolah unggulan. Atau mungkin ada motivasi ‘coba-coba’ yang sedang diterapkan bapak-bapak di Direktorat itu. Namun saya tidak akan mengajukan keberatan ataupun permohonan untuk meneliti ulang ketetapan itu. Mungkin saja ketetapan itu keliru, tapi biarlah fihak Direktorat yang menyatakan kekeliruan itu. Tanpa atau dengan ketetapan itu saya tetap ingin mengadakan perubahan di sekolah ini ke arah yang lebih baik dan bermutu. Jadi kalau terpilihnya SMU kita sebagai calon sekolah unggulan merupakan suatu ganjalan atau tidak berkenan di hati sebagian bapak dan ibu saya hanya dapat mengusulkan satu di antara dua pilihan. Pertama, melakukan penyelidikan langsung ke Direktorat dan menanyakan apakah penetapan SMU 369 sebagai calon bukan merupakan kekeliruan fihak Direktorat. Atau pilihan kedua, tidak usah memikirkan kemungkinan kekeliruan itu lalu bergiat bersama-sama saya dan guru-guru lain untuk membuktikan bahwa penetapan yang kelihatan seperti keliru itu tidaklah seratus persen keliru,’ pak Umar menjelaskan.

‘Tapi, kenapa guru-guru yang harus menanyakan ke Direktorat? Sementara bapak sendiri juga mengakui bahwa ketetapan itu tidak tepat? Kenapa tidak bapak saja yang menanyakan langsung ke sana?’ tanya ibu Purwati.

‘Saya tidak mau menanyakan karena kemungkinan keliru itu hanya menurut perasaan sementara kita. Bukan tidak mungkin pula sebaliknya, bahwa hal itu bukan kekeliruan tapi justru merupakan sebuah uji coba. Bukankah penetapan itu hanya untuk jadi calon? Masih ada kemungkinan calon itu tidak berhasil dan kalau tidak berhasil tidak ada resiko apa-apa. Tapi kalau berhasil, hal itu akan menjadi sebuah contoh yang baik,’ pak Umar menjelaskan.

‘Saya kok melihat sepertinya hal ini tidak adil. Kalau memang kita merasa tidak pantas diunggulkan, kenapa tidak secara jujur saja mengundurkan diri?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Maaf ibu Purwati. Apa kriteria pantas dan tidak pantas itu? Sekolah ini punya segala fasilitas. Punya staf pengajar yang lebih dari cukup. Punya murid-murid sah yang masuk ke sekolah ini dengan sistim penerimaan yang transparan. Atau saya keliru? Apa murid-murid sekolah ini diterima dengan cara tidak wajar? Dimana letak tidak pantasnya? Sekolah ini dipilih oleh Direktorat, bukan kita yang kasak kusuk minta dipilih. Sekarang saya balik bertanya. Apa sih resiko yang kita hadapi seandainya penetapan Direktorat Pendidikan Menengah ini kita terima dengan sikap wajar saja?’ tanya pak Umar.

Guru-guru itu terdiam mendengar penjelasan pak Umar. Entah apa yang mereka fikirkan.

‘Pak Umar kelihatannya terlalu berambisi untuk mengukir prestasi sehingga mengenyampingkan fakta-fakta yang ada,’ pak Mursyid memecah kesunyian.

‘Saya tidak berambisi tanpa dasar, pak Mursyid. Saya memang sangat ingin memajukan prestasi belajar mengajar di sekolah ini dan saya merasa hal itu sebagai amanah. Dan saya yakin bahwa kita, segenap guru-guru sekolah ini sanggup memikul amanah itu. Banyak perbaikan yang sanggup kita lakukan di sekolah ini. Untuk itu sekali lagi saya mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu semua untuk meningkatkan kerja keras kita. Lalu apakah jika suatu saat nanti murid-murid sekolah ini berhasil mencapai prestasi gemilang hanya saya sendiri saja yang akan menikmati keberhasilan itu? Tentu tidak. Keberhasilan itu akan merupakan hasil kerja sama kita bersama. Dan tidak ada niat saya untuk mengambil keuntungan pribadi seandainya hal itu jadi kenyataan nantinya. Pak Mursyid mengatakan saya mengenyampingkan fakta yang ada? Pernyataan ini terlalu naif. Seolah-olah, karena belum pernah berprestasi, maka mencita-citakan sebuah prestasi merupakan hal yang tabu. Saya tidak optimis berlebihan tanpa dasar. Mari kita buktikan bahwa dengan fasilitas yang ada kita mampu untuk berbuat. Kalau kita mau berusaha bersungguh-sungguh, meningkatkan mutu pendidikan di sekolah ini bukanlah merupakan mimpi kosong yang tidak mungkin dicapai. Saya sangat percaya dengan hal itu. Jadi jangan belum berusaha apa-apa sudah terbenam dalam anggapan bahwa kita tidak akan sanggup mencapainya.’

‘Maaf pak Umar. Tadi bapak mengatakan silahkan menyelidiki ke Direktorat Pendidikan Menengah apakah penetapan SMU 369 sebagai calon sekolah unggulan tidak keliru, benar begitu?’ pak Muslih bertanya.

‘Betul. Silahkan. Silahkan kalau ada di antara bapak-bapak atau ibu-ibu yang ingin bertanya ataupun menyelidiki ke sana. Mudah-mudahan bapak-bapak atau ibu-ibu akan mendapatkan jawaban yang memuaskan nantinya. Saya tidak keberatan sedikitpun untuk itu,’ jawab pak Umar.

‘Kalau begitu saya akan mencoba menanyakan. Maksudnya saya ingin mengecek apakah hal ini bukan merupakan suatu kesalahan. Saya harap pak Umar tidak berkeberatan untuk itu,’ tambah pak Muslih.

‘Sama sekali tidak. Silahkan pak Muslih mengeceknya,’ jawab pak Umar.

‘Apa yang pak Muslih ingin dapatkan dengan pengecekan itu?’ tanya ibu Sofni.

‘Kepastian, tentu saja. Bahwa penetapan Direktorat Pendidikan Menengah itu tidak keliru tapi benar-benar ada dasar yang bisa dipertanggung jawabkan. Kalau saya berhasil mendapatkan kepastian itu tentu akan lebih baik untuk sekolah ini,’ jawab pak Muslih.

No comments: