Friday, March 21, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (15)

15. Mabit Di Muzdalifah


Perlu waktu agak lama juga untuk mengumpulkan anggota rombongan mendapatkan busnya masing-masing. Mendekati jam delapan malam baru kami akhirnya meninggalkan Arafah. Jalan menuju Muzdalifah relatif tidak ramai meskipun tidak pula terlalu lancar. Benar-benar sangat kontras dengan waktu saya melaksanakan haji dulu yang jalanan macet bukan main. Mungkin kali ini disamping jalan menuju ke Mina melalui Muzdalifah sudah bertambah, disertai pula waktu keberangkatannya lebih awal. Saya ingat dulu itu kami baru kebagian bus sudah jam sebelas malam dan jalan sudah dipadati banyak sekali bus. Dulu kami hanya singgah sebentar saja di Muzdalifah, sekedar untuk mencari kerikil, meski saya dan istri melakukan shalat maghrib dan isya di jamak ta’khir waktu itu, dengan terlebih dahulu mengingatkan sopir bus agar jangan meninggalkan kami.

Kali ini kami sampai di Muzdalifah menjelang jam setengah sepuluh malam. Bus berhenti di tempat banyak bus-bus lain sudah lebih dahulu berhenti. Kami turun dan menggelar tikar plastik yang sudah disiapkan. Setelah itu saya segera mengajak anak-anak melakukan shalat maghrib dan isya (istri dan si Sulung sudah mulai dapat cuti). Disekitar tempat itu sudah ada jamaah dari bermacam-macam negara. Ada di antara mereka yang sudah mulai tidur.

Baru saja kami selesai shalat seorang ustad pembimbing mengatakan, tempat ini ‘belum’ Muzdalifah karena Muzdalifah mulai beberapa meter lagi ke arah dalam. Dia meminta kami segera pindah. Kamipun mengemasi tikar plastik dan bawaan lainnya dan mengikuti ustad itu. Di tempat yang baru, jemaahnya jauh lebih banyak. Tidak mudah menemukan tempat lapang. Dan tempat itu tidak pula rata karena terletak dekat tebing batu. Akhirnya rombongan kami terpaksa berpencar-pencar. Saya sekeluarga mendapatkan tempat yang ternyata adalah bahu jalan di kaki tebing. Kami gelar kembali tikar di bawah langit lepas. Tempat itu agak remang-remang karena tidak ada lampu disitu. Lampu penerangan jalan terletak agak jauh ke tengah. Ustad tadi masih sempat bergurau, ‘silahkan dinikmati hotel berbintang-bintang ini.’ Tempat itu pas-pasan untuk kami berlima bersempit-sempit. Saya segera ingin mencoba tidur. Ternyata cukup mudah (pada dasarnya saya memang diberi nikmat oleh Allah dengan mudah sekali tertidur, pokoknya asal kepala diistirahatkan, dalam bilangan beberapa menit sudah langsung ‘fly’).

Jam satu malam saya terbangun karena rasa dingin yang sangat menusuk. Benar-benar dingin luar biasa. Biarpun saya meringkuk melipat badan rasa dingin itu tetap terasa. Apa lagi saya hanya berpakaian ihram dan saya tidak ingin menutupi kepala. Saya berdoa (sambil menangis lagi), ya Allah berilah hamba kekuatan. Ya Allah hamba ini sedang mematuhi perintah Engkau, sedang beribadah kepada Engkau. Berilah hamba kekuatan ya Allah. Allah Maha Besar, entah dengan cara bagaimana, saya tertidur kembali. Tapi dua jam kemudian, jam tiga saya terbangun lagi, oleh serangan dingin yang lebih dingin dari tadi. Saya ulang doa yang sama. Dan tertidur pula kembali. Setelah itu jam empat kembali terbangun. Subhanallah, kali ini tidak karena dingin. Saya ingin buang hajat kecil. Nah, bagaiman caranya? Saya bawa botol air kecil yang isinya sudah tinggal sedikit dan pergi ke bongkah batu besar yang agak terpisah dari kumpulan jamaah. Saya harus memanjat tebing untuk mendapatkan tempat yang benar-benar terlindung dan melepaskan hajat sambil duduk diatas batu besar. Waktu saya kembali istri dan anak saya mengatakan ingin buang air kecil juga. Mereka pergi ke bus yang terparkir beberapa puluh meter dari tempat itu. Baru saya ingat bahwa bus itu ada toiletnya.

Saya sudah tidak tidur lagi. Para jamaah satu persatu terbangun. Pemandangan itu mungkin replika kecil bangkitnya kita nanti di Padang Mahsyar. Ustad pembimbing mengajak saya mencari air untuk berwudhuk. Katanya dia tadi malam melihat mobil tangki tidak jauh dari tempat bus parkir. Kami berjalan kesana. Mobil tangki itu kami temukan, tapi tidak ada air yang bisa kami dapatkan. Mobil itu ternyata bukan mobil penyuplai air wudhu untuk jamaah seperti yang diduga ustad tadi. Akhirnya kami putuskan untuk bertayamum saja. Jam setengah enam lebih sedikit masuk waktu subuh. Azan berkumandang. Ternyata sama lagi seperti di tenda, bahkan disini mungkin lebih ramai yang azan. Kami shalat qabliyah subuh. Dan shalat subuh berjamaah dengan imam yang banyak (lebih dari satu). Sesudah shalat subuh para jamaah bersiap-siap berangkat. Kamipun mengemasi tikar dan barang-barang sebelum melangkah ke bus yang rupanya stand by semalaman disini. Sebuah sistim transportasi yang sama sekali berbeda dengan tahun lalu. Sampai di bus, anak-anak saya setengah protes kepada ustad pembimbing dengan mengatakan bahwa di Muzdalifah ini waktu yang paling baik untuk berdoa adalah sesudah shalat subuh sampai terbit matahari. Ustad itu dengan tersenyum mengatakan, kalau kalian masih ingin berdoa lagi, pergilah tapi jangan lama-lama. Mereka bertiga turun dan pergi kembali untuk berdoa. Saya biarkan saja mereka pergi bertiga. Setelah kira-kira sepuluh menit mereka kembali ke bus. Jamaah lain toh belum semua hadir.

Sudah hampir terang waktu semua anggota rombongan naik ke bus. Kami punya dua kemungkinan sekarang. Kalau jalan ke Makkah tidak macet, maka kami akan langsung kesana untuk thawaf ifadha. Tapi kalau macet kami akan kembali ke tenda di Mina untuk nanti pergi melontar. Ternyata jalan ke Makkah sangat lancar. Kami sampai di Makkah saat khatib sedang berkhotbah (Idul Adha). Bus kami berhenti kira-kira dua ratus meter dari Masjidil Haram. Kami mengatur rencana untuk masuk mesjid untuk thawaf. Tapi sebelumnya harus ke kamar kecil dulu untuk berbersih-bersih dan berwudhuk.



*****

No comments: