Thursday, December 10, 2009

DERAI-DERAI CINTA (34)

34. SAINGAN BARU?

Sudah jam setengah enam sore waktu Yuni sampai di rumah Sekeloa. Di rumah hanya ada Lala dan bibik. Lala sedang menonton tv sendirian. Ada liputan tentang gunung Marapi yang sedang aktif. Saking terpesonanya dengan liputan itu, dia tidak sadar waktu Yuni masuk rumah.

‘Asyik ‘kali kau…..’ kata Yuni menyapa.

‘Heh… kapan kau masuk? Kok nggak kedengaran? Lihat tu, kampung kita sedang dapat musibah,’ jawab Lala sambil matanya tidak berkedip dari layar tv.

‘Iya…. Heboh betul beritanya akhir-akhir ini…. Itu Bukit Tinggi kan? Ya…lihat itu…. Semua diselimuti debu… sampai kuda dan bendipun kena debu….’

‘Ah…. Berisik ‘kali kau. Dengarkan sajalah cerita itu dulu….’

‘Waduh…. Maaf……, maaf juragan puteri…. Terganggu ya…..gan…?’

Lala diam saja. Matanya terus memperhatikan tayangan tv itu. Sampai akhirnya liputan itu selesai.

‘Yaah…. Kasihan orang di sekitar gunung Marapi….. Heh ngomong-ngomong gimana keadaan Irma? Sudah sembuh betul dia?’ Lala menoleh ke Yuni.

‘Sudah…. Sudah lumayan… Besok sudah mau ikut kuliah lagi.’

‘Mamanya sudah pulang ke Jakarta?’

‘Sudah. Begitu Irma keluar dari rumah sakit tante Salma langsung pulang ke Jakarta. Katanya, sempit di kamar kos Irma….. Tante Salma memang paling bisa…’

‘Ya, iya juga ‘kali. Kan sudah lama dia meninggalkan rumah di Jakarta. Ada semingguan kan? Sejak Irma masuk rumah sakit?’

‘Sepuluh hari…’

‘Mangkanya…… Mama aja kalau sudah sepuluh hari disini pasti juga resah pengen cepat-cepat pulang.’

‘He..he… begitu rupanya kebiasaan mak-mak ya… Jadi wajar-wajar saja rupanya… Eh, uni kemana?’

‘Dia ke Jakarta tadi siang. Pulangnya besok…’

‘Oooo… Aku ada berita lho….’

‘Berita apa?’

‘Berita penting….’

‘Berita penting apa?’

‘Adalah pokoknya…’

‘Ya udah… ceritain!’

‘Ah nggak. Ntar ajalah…. Aku mau mandi dulu… Ntar abis tu baru aku ceritain… Soalnya pasti bakalan menarik buat kau juga….’

‘Semprul! Ceritain aja sekarang…. Kenapa mesti menunggu entar?’

‘Ntar aja…. Udah mau maghrib…. He..he… Biar kau penasaran dulu.’

‘Berarti nggak penting-penting amat…..’

‘Tunggu sajalah nanti!’

‘Ya sudah! Cepatlah kau pergi mandi sana!’

‘Penasaran, kan? He..he..he..’

***

Sehabis shalat maghrib Lala duduk di depan meja belajarnya sambil menghadapi diktat Biologi. Dia tidak mau mendesak Yuni tentang cerita yang mau diceritakannya tadi. Biar Yuni yang penasaran bahwa dia seolah-olah tidak tertarik mendengar yang akan diceritakan Yuni. Benar seperti yang diduga Lala. Justru Yuni yang tidak sabar ingin bercerita.

‘Mau dengar nggak nih?’ tanya Yuni mengawali.

‘Silahkan…… kalau mau cerita…’ jawab Lala dengan nada tidak terlalu tertarik.

‘Tadi aku ketemu bang Imran.’

‘Oooo… cuman itu? Ketemu terus ngapain emang?’

‘Kamu nggak mau tahu aku ketemu dimana?’

‘Ketemu dimana? Di bioskop? Nonton bareng?’

‘Di rumahnya.’

‘Hah? Kau ke rumahnya?’

‘Penasaran, kan? Mulai penasaran kan? Ya, aku ketemu bang Imran di rumahnya di Taman Sari.’

‘Ngapain kau kesana?’

‘Ada urusan. Dan ketemu bang Imran.’

‘Berurusan lalu ketemu bang Imran? Urusan apa?’

‘He..he.. pasti kau penasaran….’

‘Cerita sajalah yang jelas…… kalau kau benar-benar mau bercerita!’

‘Baik. Biar kau tidak menduga yang bukan-bukan, begini ceritanya. Tadi aku ke Taman Sari mengantar Irma ke rumah temannya. Irma mau meminjam catatan kuliah. Mau memfotokopi catatan selama dia nggak masuk. Nama temannya itu Ratih. Aku sudah kenal Ratih di tempat Irma. Tapi Ratih tidak ada di rumahnya. Sama adiknya Ratih kami diantarkan mencarinya. Lalu kami ketemu Ratih di rumah bang Imran. Berdua saja.’

‘Wah! Terus?’ Lala menutup diktat Biologi dan menoleh ke Yuni.

‘Ya…. Bang Imran berdua dengan Ratih di rumah pondokannya itu. Katanya sih sedang berdiskusi tentang gunung Marapi yang sedang meletus. Aneh kan? Mahasiswa Farmasi berdiskusi gunung meletus dengan mahasiswa geologi?’

‘Mmmh…. Agak aneh memang. Mungkin mahasiswa farmasi bertanya tentang gunung berapi ke mahasiswa geologi. Terus? Maaf aku tanya satu hal. Waktu kalian datang pintu masuk rumah bang Imran itu tertutup atau terbuka? Maksudku…, apa mereka berdua-dua itu di rumah yang tertutup?’

‘Nggak sih. Pintu masuknya terbuka. Tapi di dalam hanya ada mereka berdua. Bang Syahrul belum pulang.’

‘Bang Imran bagaimana? Kikuk? Maksudku, apa dia salah tingkah waktu kalian datang?’

‘Nggak. Dia biasa-biasa saja.’

‘Kalau begitu, aku percaya mereka tidak melakukan hal yang tidak-tidak.’

‘Yeeeeei…. Siapa yang bilang dia melakukan yang tidak-tidak?’

‘Lha… terus memang kenapa kalau begitu? Rumahnya……. Siapa tadi namanya?’

‘Ratih.’

‘Rumahnya Ratih seberapa jauh dari rumah bang Imran?’

‘Bang Imran tinggal di rumah petak di samping rumah Ratih. Sepertinya tempat bang Imran itu kepunyaan orang tua Ratih. Rumah petak dan rumah induk itu nyambung, tidak ada pagar di antaranya.’

‘Ya… iyalah kalau gitu. Mereka bertetangga. Ratih anak ibu kosnya atau ibu yang punya rumah yang disewanya. Pastilah mereka akrab. Mungkin Ratih dianggap bang Imran sebagai adiknya, begitu kali. Kan nggak ada masalah kalau gitu?’

‘Dasar kau sok tahu…. Ceritaku belum selesai kau sudah membuat kesimpulan.’

‘Lho….. ada lagi? Ya silahken diterusin!’

‘Silahken…… Meniru-niru aja kau…’

‘Mangga atuh neng….. silahkan… terusin…’

‘Ratih bilang…………’

‘Dia bilang apa?’

‘Dia bilang, dia tertarik sama bang Imran…..’

‘Kok bisa….. Kok bisa dia bilang begitu. Emangnya kau interview dia?’

‘Makanya…. Jangan sok tahu dulu….. Irma yang menginterview dia. Begini. Ratih menyuruh adiknya memfotokopikan catatan kuliah. Sementara menunggu adiknya, kami lanjutkan ngobrol-ngobrol. Irma menggoda Ratih sambil bertanya apakah dia berpacaran sama bang Imran. Dia bilang tidak. Dia bilang kalau bang Imran itu tidak tertarik untuk berpacaran. Bahkan dia bilang, sepertinya bang Imran itu tidak tertarik sama perempuan. Jadi mereka berteman saja. Bersahabat. Hanya Ratih mengulang-ulang omongan bahwa dia tertarik dengan bang Imran.’

‘Mmmmmh……. Ya nggak apa-apa juga kali. Mereka bertetangga. Lebih sering ketemu. Bang Imran itu pribadinya menarik, ganteng. Mungkin si Ratihnya juga cakep. Artinya mungkin dia merasa, seandainya dia jadi kekasih bang Imran itu pas-pas saja. Menurut aku wajar-wajar saja…’

‘Gitu? Kau nggak khawatir?’

‘Khawatir apa?’

‘Nggak khawatir………?’

‘Kok nggak diterusin?’

‘Nggak khawatir kalau bang Imran didapatkan orang lain?’

‘Siapa juga yang mendapatkan siapa…… Kan kau sudah bilang, katanya si Ratih dia tertarik tapi dia menyadari bahwa bang Imran tidak berminat….katakanlah untuk berpacaran. Dia menyadari bahwa bang Imran seperti orang yang tidak punya perhatian terhadap cewek-cewek. Sehingga dia hanya berteman saja. Begitu kan kau bilang tadi?’

‘Ya… Begitu katanya si Ratih….’

‘Nah! Apa yang dikhawatirin? Lagi pula kita, atau aku siapanya bang Imran untuk khawatir. Aku sepupunya, ding. Tapi ya….. tidak lebih dari itu.’

‘Kalau aku khawatir…. Aku khawatir dia akan jatuh cinta kepada cewek lain.’

‘He..he..he.. terus? Kau mau ngapain? Kalau nggak, pergilah suruh lamar dia sekarang-sekarang. Suruh ninik mamak kau melamar bang Imran ke papaku. Biar kau punya kepastian. Diteimanya lamaran kau atau ditolaknya….. he..he..he..’

‘Gila kau!’

‘Lho…. Kok aku yang gila? Cobalah kau pikir tenang-tenang.’

‘Kau sedang tidak membohongi hatimu, kan?’

‘Tidak.’

‘Kau bilang, kau juga tertarik sama bang Imran, kan?’

‘Iya. Betul. Aku tertarik. Aku mau jadi istrinya seandainya kami berjodoh.’

‘Lalu?’

‘Nggak ada lalu. Aku hanya berdoa saja. Aku tidak mungkin mengemis, tidak akan aku lakukan itu. Aku akan berusaha terlihat sebagai orang baik-baik di depannya. Seterusnya terserah dia.’

‘Kau akan pasrah, begitu?’

‘Kalau nggak, mau ngapain? Aku sudah mengenal sifatnya. Kalau dia bilang dia tidak suka berpacaran terus aku mau apa? Nggak akanlah aku mau merayu-rayu dia.’

‘Begitu ya?’

‘Terus kau sendiri….? Yang katanya….. kau juga tertarik kepadanya…. Kau mau ngapain?’

‘Nggak tahu juga…….’

‘Mangkanya……’

‘Terus…… Seandainya….. lima tahun ke depan…. Dia punya istri yang bukan kau…. Kau menyesal tidak?’

‘Kenapa menyesal?’

‘Seandainya istrinya aku….. he…he…he Seandainya, boleh saja kan seandainya? Terus, kau menyesal tidak? Atau kau akan memusuhiku, nggak?’

‘Nggak.’

‘Hebat….. Sudahlah kalau gitu….. Jangan-jangan kita ini sedang menggantang asap.’

‘Hah? Apa pula maksudnya itu?’

‘Kita seperti sedang membincangkan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya, tapi hati kita bergetar….’

‘Juntrungannya sebenarnya jelas. Bang Imran….. Iya, kan? Tapi kita tidak tahu siapa yang akan mendapatkannya.’

‘Sudahlah. Pusing aku.’

‘He…he..he…’

‘Kenapa kau cengengesan?’

‘Nggak….. Sudahlah! Aku mau belajar…’


*****

No comments: