Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (23)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (23)

23. BONUS PUKULAN TERAKHIR

Desi sedang menata meja untuk makan malam waktu kami sampai kembali di rumah. Sepertinya dia juga sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Aku bertanya apakah dia tidak tertarik meneruskan mendengar cerita Marwan. Dia bilang kalau dia akan menggoreng telor untuk tambahan lauk dan setelah itu sebaiknya kami makan malam dulu. Marwan mengusulkan agar makannya nanti saja karena dia merasa masih kenyang. Aku mengusulkan menyuruh Faisal pergi membeli sate untuk makan malam. Usul yang akhirnya disetujui.

Marwan mulai lagi bercerita.

‘Ketika aku diberhentikan aku diberi uang pesangon sekedarnya. Enam bulan gaji. Tabunganku boleh dikatakan nol ketika itu karena disamping kami membeli mobil dan membayar cicilannya, kami juga baru saja membayar perpanjangan kontrak rumah untuk dua tahun ketiga. Tabungan Ita adalah sedikit. Aku mulai mencari tempat untuk memulai usaha membuka toko buku. Pilihanku adalah Pasar Senen, pasar yang lumayan besar. Aku cari toko kecil. Sewanya setahun segera menguras setara dengan empat bulan gaji yang aku terima.

Aku segera mulai. Membeli beberapa buah rak tempat memajang buku di toko itu. Akhirnya semua uang pesangon masuk kesana. Toko itu mulai berjalan tertatih-tatih. Pengalamanku membantu pak etek dulu di Surabaya sangat banyak membantu usaha ini.

Untuk biaya di rumah dan melanjutkan pembayaran cicilan mobil kami tergantung dari gaji Ita. Kami harus menjalani hidup sehemat mungkin. Ita bukan wanita boros, tapi untuk hidup prihatin seperti ketika itu sangat berat baginya. Kami jalani hidup seperti itu beberapa bulan sampai datangnya cobaan berikutnya.

Mungkin karena tekanan dan kesulitan hidup, hubungan kami, hubungan antara aku dan Ita, sedikit demi sedikit semakin renggang. Tidak ada lagi masa-masa indah seperti dulu ketika kami banyak canda dan ketawa. Ketika kami sangat bahagia dan selalu ceria. Rumah tangga kami sekarang seperti selalu ditutupi awan hitam. Kami tidak pernah bertengkar. Tapi kami lebih banyak saling diam. Sebenarnya kalau menurutku, musibah yang kami alami masih dapat ditahankan, masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dari kami. Tapi tidak demikian halnya dengan Ita. Dia betul-betul tersiksa oleh kepedihan dan keberatan beban mental selama ini. Entah deraan apa pula yang diterimanya di kantornya, dari rekan-rekan sekerjanya yang pasti juga tahu apa yang sedang kami alami. Ita tidak pernah bercerita. Dan Ita tidak pernah tertarik mendengar ceritaku berjuang menjalankan usaha toko buku.

Akhirnya datanglah hari yang paling dahsyat dalam hidupku itu. Ita mengajakku berunding. Tentang sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.


***

Malam itu sesudah shalat isya, kami duduk di sajadah masing-masing, dalam zikir dan doa. Ita masih memakai mukena. Dia memulai pembicaraan.

‘Uda, Ita ingin berbicara serius dengan uda,’ katanya mengawali.

‘Tentang apa Ita?’ tanyaku.

‘Tentang rumah tangga kita, da. Tentang kita.......,’ katanya terbata-bata.

‘Apa yang ingin Ita sampaikan ?’ tanyaku, tanpa prasangka buruk sedikitpun.

‘Uda... Ita sangat sayang kepada uda. Dan Ita tahu, uda sangat sayang kepada Ita. Kita saling mengasihi, saling mencintai......’ Ita mulai menangis.

Mataku ikut berlinang-linang. Tapi apa yang akan disampaikannya ?

‘Da, mungkin Ita keliru. Untuk itu maafkan Ita. Ita melihat penderitaan uda. Ita sedih, karena Ita tidak sanggup membantu penderitaan uda. Uda sangat menderita selama ini...’ katanya terbata-bata dalam isak tangis.

‘Ita, bukankah ada Allah yang menolong kita. Berapapun beratnya penderitaan ini, uda akan tanggungkan. Uda percaya Allah akan menolong kita,’ jawabku.

‘Itapun percaya dengan itu, uda. Ita percaya dengan ketegaran dan kesabaran uda. Ita yakin Allah akan menolong kita,’ katanya.

‘Uda hanya meminta agar Ita, tetap bersabar. Sekali lagi permintaan uda tentang sabar ini mungkin sudah membosankan telinga Ita mendengarnya. Tapi percayalah, Allah mencintai orang-orang yang sabar.’

‘Betul uda. Tapi seperti yang sering juga uda katakan. Kita harus melihat perjalanan hidup ini secara nyata. Secara realistis. Ini yang sangat berat bagi Ita untuk menyampaikannya........... Maafkan Ita....’ katanya terisak-isak.

Hatiku mulai berdetak. Apa yang akan dikatakan Ita berikutnya? Aku terdiam mematung.

Itapun terdiam cukup lama.

‘Maafkan Ita, da. Maafkan kalau Ita lancang dengan yang akan Ita katakan ini........’

Ita menutup mukanya dengan mukena. Ita menangis sejadi-jadinya.

‘Apa yang akan Ita katakan? Katakanlah!’ kataku membujuknya sambil merangkulnya ke dalam pelukanku.

Tangisnya semakin menjadi-jadi.

‘Ita, katakanlah. Apa yang menyesakkan dada Ita ? Katakanlah! Uda akan mendengarkannya,’ kataku.

‘Maaf, da. Ita minta beribu-ribu maaf. Ita merasa kita tidak beruntung menjadi pasangan suami istri. Uda sudah banyak menderita karena Ita. Uda tidak bahagia dengan Ita. Ita mohon maaf sekali lagi....... Sejujur-jujurnya Ita minta...... Maafkan Ita....... Ceraikanlah Ita uda....’

Petir. Patuih tungga. Itu rasanya yang menghajar telingaku. Dadaku bergemuruh kencang. Sakit luar biasa. Yang dibicarakan Ita bukan hal main-main. Dia tidak menyampaikannya dalam suasana kami bertengkar. Dia menyampaikannya sesudah kami selesai shalat. Pasti ini sudah hasil telaahan panjang. Pantas dia sangat berubah sejak beberapa bulan terakhir. Terlebih-lebih sejak aku berhenti bekerja.

Aku peluk Ita. Aku menangis. Benar-benar menangis tersedu-sedu. Aku sangat menyayanginya. Mencintainya. Ya Allah... Ujian apa lagi ini ?

Ita juga menangis dalam pelukanku. Lama kami larut terbawa emosi masing-masing. Mencurahkan banyak air mata. Kami tidak mampu bersuara untuk waktu cukup lama. Akhirnya aku memecah kesunyian kami.

‘Kenapa Ita sampai pada kesimpulan seperti ini? Ini tidak boleh terjadi Ita......... Ita tahu uda sangat menyayangi Ita. Kita saling mengasihi........ Uda tidak akan menceraikan Ita.........,’ kataku terbata-bata.

Ita mengangkat kepalanya.

‘Uda. Ita sangat sadar tentang hal itu. Uda sangat sayang kepada Ita. Itapun demikian. Tapi Allah menunjukkan bahwa hidup kita tidak nyaman selama ini. Allah tidak memberi kita keturunan. Padahal uda sehat walafiat. Uda mampu. Ita pernah hamil. Tapi sesudah itu, jalan kita seperti sudah tertutup untuk punya anak. Sudah lama Ita merenungkan hal itu. Dan nasib tidak baik yang uda alami selama ini, boleh jadi karena ketidak sabaran Ita menerima ujian Allah. Allah menguji uda, menguji kita dengan ujian yang lebih berat lagi. Oleh karena itu biarlah kita terima takdir ini. Bahwa kita memang ditakdirkan Allah untuk tidak beruntung dalam berjodoh. Hidup kita dihadapkan kepada banyak tantangan. Ita bukannya ingin lari, uda. Bukan Ita ingin berkhianat kepada uda.....Maafkan Ita........... Ita meyakini, mudah-mudahan perpisahan kita akan memperbaiki jalan hidup kita masing-masing sesudah itu...’ katanya panjang lebar.

Hatiku berdetak. Aku pegang bahunya dan aku tatap matanya.

‘Apakah Ita sedang didekati laki-laki lain?’ tanyaku.

‘Demi Allah, da. Ita tidak berkhianat, da. Ita tidak pernah mengkhianati uda,’ jawabnya.

‘Jawab sejujurnya Ita! Ada laki-laki lain yang menyebabkan Ita sampai berpemikiran seperti ini?’ tanyaku dengan suara bergetar.

Ita, sujud mencium kakiku dalam tangis.

‘Demi Allah, da. Ita tidak mau melayaninya da......... Demi Allah....’ jawabnya tersedu-sedu.

Aku terpana. Aku paham sekarang. Jadi itu rupanya. Ada pemain baru yang mencoba mendekat. Lama aku terdiam. Dadaku bergemuruh kencang. Aku akan jadi pecundang lagi? Aku akan dikalahkan lagi? Istriku sekarang didekati orang dan Ita rupanya sudah hampir tidak bisa bertahan lagi. Di saat aku sedang terpuruk. Sudah jatuh, sekarang akan ditimpa tangga pula.

Dia tidak mau melayani orang itu, siapapun dia. Tapi Ita sudah sampai ke penghujung titik pertahanannya dan kelihatannya menunggu rubuh. Entah dengan cara bagaimana pendekatan itu dilakukan. Entah kapan dimulai. Dan entah siapa orangnya. Sakit, betul-betul sakit dadaku sampai ke hulu hati. Tapi salahkah Ita ? Mungkin dia memang tidak siap untuk dibawa hidup melarat. Dibawa hidup dalam keadaan tidak ada jaminan seperti keadaanku saat ini. Ita anak orang kaya. Hidupnya sudah biasa senang dan berkecukupan sejak dia kecil.

Ita masih berada dalam pelukanku, menelungkup terisak-isak di pahaku. Sarungku basah oleh air matanya. Dan air matakupun meleleh bercucuran.

‘Siapa dia, Ita ?’ tanyaku akhirnya memecah kesunyian.

Ita semakin meratap di pahaku.

‘Ita tidak pernah mengkhianati uda...... Demi Allah da, Ita tidak pernah mengkhianati uda....’

‘Apa saja yang dilakukannya kepada Ita ?’ tanyaku bodoh.

‘Demi Allah da..... Ita tidak pernah mengkhianati uda. Demi Allah....’

‘Uda mempercayai Ita. Uda percaya Ita tidak mengkhianati uda........’ kerongkonganku seperti tercekik.

‘Apa yang terjadi? Sejak kapan dia itu mendekati Ita... ?’ aku mencoba bersikap tenang.

Ita hanya bisa larut dalam tangis. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain isak tangis.

‘Ita, cobalah tenangkan hati Ita. Uda tidak akan memarahi Ita. Ceritakanlah! Apa yang terjadi?’ kata-kataku keluar lebih tenang tanpa getaran.

Tetap tidak ada suara.

‘Biarlah uda yang mencoba menerka. Ada seorang laki-laki di kantor Ita. Yang bersimpati dengan penderitaan Ita. Mencoba menghibur Ita. Mendekati Ita. Begitu kan ?’ kataku setenang mungkin.

Ita mengangkat kepalanya. Melihat kepadaku dengan mata basah oleh air mata.

‘Dia memberi tahu uda.....?’ tanyanya dalam sesenggukan.

‘Tidak ada yang menghubungi uda. Uda hanya menerka seperti itu jalan ceritanya. Tidak akan jauh dari itu. Benar kan?’

‘Ada orang kantor Ita yang menghubungi uda?’ tanyanya lagi dengan suara yang lebih teratur.

‘Tidak ada, Ita. Tidak ada siapapun yang menghubungi uda. Jadi betul begitu ceritanya? Ceritakanlah lebih jelas. Uda tidak marah, Ita. Ini pelajaran berharga untuk hidup uda. Ceritakanlah apa yang terjadi!’

Setelah perasaannya lebih tenang, Ita bercerita panjang. Tentang seorang laki-laki lajang yang sudah sejak lama bersimpati kepadanya di kantor. Katanya, pada awalnya laki-laki itu selalu sopan dan tidak pernah berlaku tidak pantas kepadanya. Hubungan mereka hanya sebatas teman sekantor. Sejak aku dapat masalah dan ada teman sekantornya yang tahu, (bukan dari Ita, tapi teman yang juga istri karyawan tempat aku bekerja) si laki-laki simpatiknya itu semakin memberikan perhatian. Memberi nasihat, memberi semangat, katanya. Hal itu dilakukannya setiap hari dengan cara yang Ita tidak bisa menolaknya. Tapi lama kelamaan, karena setiap hari memberi perhatian seperti itu, laki-laki itu semakin berani memberi saran-saran yang rupanya mulai menarik perhatian Ita.

Dia yang menyuruh pikirkan kemungkinan agar kami bercerai saja. Dengan semua alasan seperti yang sudah dijelaskan Ita kepadaku. Bahwa menurut dia, kami bukan pasangan yang cocok, karenanya tidak ada salahnya kehidupan rumah tangga kami untuk dievaluasi ulang.

Aku mendengarkan uraian Ita dengan dada bergemuruh.

Racun untukku, tapi simpatik dan masuk akal bagi Ita.

‘Ita, barangkali benar. Kita harus realistis. Apa lagi yang akan uda katakan? Ita sudah terbawa hanyut olehnya bukan? Dan uda saat ini adalah biduk tiris pendayung patah, buat Ita,’ kataku lirih.

‘Uda.... jangan begitu uda......’ katanya mulai menangis lagi.

‘Apanya yang jangan begitu ?’ kataku dengan suara serak.

‘Uda..... Bukan begitu uda.... Maafkan Ita.......’ katanya sambil merangkulku.

Tiba-tiba saja aku jadi muak. Setan masuk kedalam dadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kasar. Dia terjatuh. Dia merangkul kakiku dan menangis sejadi-jadinya. Setan masih bercokol didadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kakiku sehingga dia terjengkang. Aku keluar dari kamar.

Ita menjerit-jerit histeris di tengah malam itu. Aku biarkan dia. Aku sangat terluka untuk mendekati dan memperhatikannya.

Aku tidak bisa tidur semalaman. Dari dalam kamar aku dengar tangisan Ita juga hampir sepanjang malam. Sampai masuk waktu subuh. Aku tersentak. Dan bersitighfar. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Aku masuk ke kamar. Ita masih menangis. Dia telah menangis sepanjang malam. Aku dekati dia dan aku rangkul tubuhnya.

‘Maafkan uda, Ita. Maafkan uda,’ kataku.

Ita makin keras lagi tangisnya.

‘Ita, maafkan uda. Sudah azan. Marilah kita shalat. Mari kita minta ampun kepada Allah,’ ajakku.

Ita bangkit. Aku bimbing dia ke kamar mandi. Kami berwuduk. Dan shalat subuh. Dan berdoa. Doa yang panjang sekali.

Sesudah shalat aku ulangi minta maaf kepada Ita. Dia rebah lagi di dadaku dalam tangisannya. Kami berbaring. Dan akhirnya tertidur keletihan di lantai beralaskan sajadah.’


*****

No comments: